"Jeng, kemarilah."
Ajeng yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di dalam kamar rawat inap salah satu rumah sakit swasta terkenal langsung berhenti. Ponsel masih menempel di telinga kanannya. "Evan nggak bisa dihubungi, El. Sepertinya lagi meeting deh. Duh, aku belum ijin juga kalau ada urusan mendadak," kata Ajeng dengan wajah tak enak. "Sini, Jeng," panggil Ella lagi. Melihat kondisi sahabatnya yang lemah di atas ranjang rumah sakit, Ajeng langsung bergegas mendekati Ella. Dia menyambut tangan Ella yang sejak tadi terulur. "Kamu kenapa nggak bilang kalau sakit? Kanker darah itu bukan penyakit yang bisa disepelekan. Kenapa kamu nggak bilang sama Evan?" omel Ajeng dengan wajah jengkel. Ajeng dan Ella adalah sahabat sejak kuliah dan sudah seperti saudara kandung saking dekatnya. Orangtua Ella bahkan sudah menganggap Ajeng seperti anak mereka sendiri. "Menikahlah dengan Mas Evan, Jeng." Sayang sekali, rumah orang tua Ella lumayan jauh dari rumah yang ditempati oleh Ella dan Evan. Tidak mungkin mereka bisa sampai di rumah sakit ini dalam waktu yang singkat. "Rumah orangtua kamu juga lumayan jauh. Mau menghubungi Nadia juga....Eh? Kamu tadi ngomong apa?" Ajeng berhenti bicara sambil mengingat-ingat perkataan Ella sebelumnya. "Menikahlah dengan Mas Evan. Aku akan membayar biaya operasi ayahmu," pinta Ella. Ajeng membuka dan menutup mulutnya kembali. Otaknya mendadak berhenti bekerja dan tidak mengerti dengan perkataan Ella. "Aku merasa lebih aman menitipkan Mas Evan sama kamu. Aku nggak percaya dengan perempuan lainnya. Apalagi sebentar lagi anak kami lahir." "Kamu ngomong apa sih?" tanya Ajeng bingung. "Rawat bayiku setelah dia lahir," pinta Ella. "Jangan bicara yang aneh-aneh, El. Aku yakin kamu pasti sembuh, kok. Evan pasti mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk kamu," balas Ajeng dengan sabar. Penyakit yang diderita oleh Ella memang menakutkan. Wajar jika sahabatnya bicara yang aneh-aneh. "Ajeng, aku tahu kamu menginginkan anak. Setelah diceraikan oleh Dimas karena kamu divonis mandul, memangnya siapa yang mau menikah dengan kamu?" Ajeng menatap Ella tak percaya. Setelah sekian lama saling mengenal, baru kali ini Ella berkata yang menyakitkan seperti itu. Seolah-olah Ella mengejeknya karena tidak bisa hamil. "Ambil kesempatan ini, Jeng. Kamu bisa melayani Mas Evan juga. Udah 8 bulan aku nggak bisa melayani dia di atas ranjang dan..." "Sudahlah, El. Lebih baik kamu fokus pada kesembuhan kamu dan kehamilan kamu. Jangan bicara yang aneh-aneh. Aku nggak mungkin menyakiti kamu dengan menjadi madumu," potong Ajeng. Tapi Ella justru menggeleng-gelengkan kepalanya, terlihat keras kepala. Tiba-tiba ekspresi wanita itu berubah menjadi sedikit dingin, membuat Ajeng tercengang. "Aku akan menolong kamu. Membantu semua kesulitan kamu. Asalkan kamu mau menikah dengan Mas Evan. Dimas saja membuangmu. Memangnya siapa lagi yang bisa menolongmu dengan kondisi ekonomi keluargamu yang hampir hancur itu?" Ajeng terpaku, tidak menyangka Ella bisa berkata seperti itu. Ajeng tahu, dirinya memang berasal dari keluarga menengah yang mungkin sebentar lagi akan bangkrut, tidak seperti Ella yang bergelimang harta. Tapi haruskah Ella menyudutkannya seperti ini? "Kenapa kamu berbicara seperti itu, El?" kata Ajeng dengan suara bergetar, masih terlalu terkejut dengan sisi Ella yang tak pernah ia lihat sebelumnya. "Sudahlah. Aku yakin setelah ini kamu akan menerima tawaranku menjadi istri kedua Evan," kata Ella yakin. Tidak ada lagi raut lemah di wajah wanita itu. Ajeng terdiam, tidak mengerti dengan perubahan sikap Ella. Apakah karena penyakit itu? Ella merasa harus melindungi diri agar tidak terluka? Sesaat kemudian, ponselnya berdering. Dari ibunya. "Ya, Bu?" [Jeng, ayah kamu...kondisi jantungnya memburuk. Dokter bilang harus segera menjalani operasi transplantasi jantung.] "Apa? Terus duitnya dari mana, Bu? Tabungan Ajeng cuma sedikit. Pinjam duit swalayan dulu gimana?" tanya Ajeng dengan suara bergetar. Tangannya mulai gemetaran dan jantungnya berdegup kencang. Bayangan kematian ayahnya sudah di depan mata. [Itulah yang membuat ibu bingung, Jeng. Ibu menelpon kamu untuk minta bantuan. Kira-kira kamu bisa mencari pinjaman di sana, nggak? Pinjam uang dari tempatmu bekerja mungkin. Kakakmu sudah berusaha mencari pinjaman, tapi tidak cukup.] "Memangnya butuh uang berapa, Bu?" Ibunya terdiam. Mendadak Ajeng merasa was-was sampai perutnya terasa mulas. [Dokter bilang kisaran 21 milyar. Belum ongkos perjalanan ke Singapura.] "Apa? 21 milyar? Uang darimana sebanyak itu, Bu? Siapa yang mau meminjamkan uang sebanyak itu?" Tubuh Ella langsung lemas dan pikirannya linglung. [Ibu juga bingung, El. Kalau semua aset kita dijual, tetap tidak akan mencukupi. Dan setelah itu kita akan menjadi gelandangan karena nggak punya tempat tinggal. Tapi kalau ayahmu nggak segera dioperasi, dia akan...] "Sebentar, Bu. Biaya operasinya kenapa bisa semahal itu?" [Dokter bilang, untuk biaya operasinya saja membutuhkan sekitar 4 milyar. Belum lagi harus rawat inap di rumah sakit selama 7 sampai 14 hari pasca operasi untuk memastikan jantung baru berfungsi dengan baik. Bahkan katanya pemulihannya bisa memakan waktu sekitar 6 bulan atau lebih.] Terdengar suara isak tangis ibunya. Mata Ajeng sendiri sudah berkaca-kaca. Sekarang kepalanya terasa pusing. Pantas saja biayanya mahal sekali. Memasang jantung baru pada manusia tentulah harus terus dipantau setiap hari. [Jeng, temenmu yang namanya Ella itu, apa nggak bisa membantu kita? Bukannya kamu bilang dia itu kaya raya?] "Bu, nggak bisa gitu. Ella sekarang juga sedang..." Tarikan di tangannya membuat perhatian Ajeng teralihkan pada Ella. "Sudah aku bilang dari awal. Aku akan membayar biaya operasi ayahmu. Tapi sebagai gantinya, kamu harus menjadi istri kedua Evan," ucap Ella. Ajeng lupa bahwa dulu dia pernah bercerita mengenai kondisi ayahnya pada Ella. Dan sekarang curahan hatinya malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. [Jeng? Itu Ella? Dia mau membayar biaya operasi ayahmu?] "Sudahlah, Jeng. Terima saja. Kamu nggak punya pilihan lain. Mau mencari uang itu di mana lagi? Waktunya juga mepet, kan? Urusannya nyawa ayahmu, lho," desak Ella. Sekarang Ajeng benar-benar merasa tertekan. Dia hanya bisa menangis. [Jeng, ayahmu drop lagi! Ibu harus gimana?] "Oke!" Ajeng sedikit berteriak. Dia melihat Ella yang tersenyum penuh kemenangan. Tenggorokannya seperti tercekat. "Baiklah, aku setuju." Ella meraih tas tangan dan mengambil ponselnya. Sementara Ajeng mengusap air matanya dengan tangan bergetar ketika Ella menelpon seseorang dan meminta orang itu untuk mentransfer uang ke rekening ibunya secepat mungkin. Ajeng sendiri heran kenapa Ella bisa tahu nomor rekening ibunya. Seolah-olah wanita itu sudah mempersiapkan semua ini sejak lama. Ia menunduk untuk melihat ponselnya. Panggilan dari sang ibu sudah terputus entah sejak kapan. "Sekarang kamu harus menjadi istri kedua Evan. Kamu sudah tidak bisa menolak lagi," kata Ella. Ajeng tidak bisa berkata-kata lagi. Dia langsung berjalan menuju ke pintu ruang rawat dan membukanya, hanya untuk mendapati dua orang yang kini menatapnya dengan ekspresi yang berbeda. "Kamu mau menjadi istri kedua Evan?"H-1 sebelum pesta dilaksanakan di sebuah kapal pesiar mewah, Siska mengetuk pintu kamar Ajeng untuk menanyakan tentang kepastian acara besok. Dia lupa pesta diadakan jam berapa, karena betapa banyaknya pekerjaan di kantor yang harus dia selesaikan sebelum akhirnya naik ke kapal pesiar demi menghadiri pesta pernikahan sang sahabat."Jeng, kamu lagi sibuk nggak?" teriaknya setelah mengetuk pintu beberapa kali.Dia tadi melihat Evan bersama Dana sedang bercengkerama dengan bos besar dan nyonya besar Braun, jadi dia pikir Ajeng mungkin sedang berada di kamar untuk mempersiapkan segala sesuatu."Jeng?"Tidak ada jawaban. Dia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci."Aku buka ya. Maaf kalau aku mengganggu," ucapnya sambil tersenyum. Tidak sabar untuk bergosip ria dengan Ajeng. "Besok pestanya jam bera...pa..."Siska langsung menganga dengan mata membelalak ketika melihat tubuh yang hanya dibalut dengan handuk di bagian bawah pinggul. Dia terengah kaget dan hal itu membuat sang pemilik
Siska menatap mantan calon mertuanya tak percaya sekaligus geram. Padahal selama dia menjalin hubungan dengan Bayu, wanita itu begitu baik padanya. "Apa selama ini Tante hanya berpura-pura baik di depan saya? Kalau memang Bayu sudah bertunangan sejak kuliah, kenapa Tante menerima saya sebagai calon menantu?" tuntutnya.Ibu Bayu langsung gelagapan ketika Meliana mengerutkan kening, lalu menatap wanita itu curiga."Eh, ng-nggak kok Mel. Nggak usah percaya sama dia. Mama nggak kenal siapa dia. Bayu selalu setia sama kamu kok," kata ibu Bayu cepat-cepat.Hati Siska sakit sekali mendengarnya. Seandainya saja pernikahan itu sudah terlanjur terjadi, apakah dia akan ditindas oleh wanita itu? Dia jadi teringat dengan nasib Ajeng ketika menikah dengan Dimas. "Ck, ternyata memang bener ya. Orang jahat itu manipulatif dan pinter berpura-pura. Untung saya nggak jadi menikah sama Bayu. Nggak kebayang saya menjadi perempuan yang dibodohi oleh suami dan keluarganya."Siska beralih menatap Meliana.
Siska terus menangis entah sudah berapa lama. Dadanya sesak sekali dan rasanya dia ingin menghilang dari dunia ini. Cintanya pada Bayu begitu besar. Dia sudah menyerahkan seluruh hatinya pada pria itu karena berpikir bahwa Bayu adalah belahan jiwanya."Kenapa pria yang terlihat baik dan setia seperti Bayu ternyata bajingan?" tanyanya setelah tangisnya reda, namun masih sesenggukan."Biasanya kan memang begitu," jawab Raka dengan santai.Siska langsung melotot pada pria yang telah bertahun-tahun menjadi rekan kerjanya menjadi orang kepercayaan Evan. Raka langsung mengangkat kedua tangannya."Biasanya memang begitu. Pria yang terlihat kalem dan nggak neko-neko tuh justru menyimpan banyak rahasia. Coba lihat Mr. Evan. Dia itu dingin, kelihatan nggak peduli sama perempuan. Eh tahu-tahu istrinya dua kan? Tapi kasusnya kan beda. Diam-diam dia bucin akut sama Ajeng."Siska menyeka air mata di wajahnya, tak peduli dengan make-up yang ikut luntur."Rasanya sakit banget, Ka. Kenapa aku nggak ja
"Semua dokumen sudah lengkap?""Sudah, Mr.," jawab Siska dengan antusias. Jantungnya berdegup kencang karena sebentar lagi akan bertemu dengan tunangannya. Kesibukannya sebagai sekretaris CEO di perusahaan multinasional membuatnya begitu sibuk dan sering pulang malam, sehingga waktu untuk bertemu dengan tunangannya sangat sedikit."Semangat banget yang mau ketemu tunangan," goda Raka ketika mereka sampai di lobi perusahaan.Siska hanya tersenyum, namun debar dalam dadanya semakin kencang. Padahal mereka sebentar lagi menikah, tapi Siska merasa seperti baru saja jadian dengan sang tunangan.Mereka masuk ke dalam mobil dinas khusus CEO yang disediakan oleh perusahaan. Mobil mewah keluaran terbaru yang anti peluru, karena keselamatan Evan Braun sangatlah penting."Gimana liburannya di Malang, Pak?" tanya Raka membuka percakapan sambil fokus melihat jalanan di depannya."Menyenangkan. Istri saya pintar memilih tempat liburan yang bagus," jawab Evan sambil tersenyum.Siska yang duduk di s
Dari sekian banyak orang yang mengenalnya, kenapa justru wanita itu yang datang menjenguknya? Bahkan orangtuanya sudah tidak peduli lagi, apalagi kekasihnya."Maaf ya baru bisa menjenguk kamu. Nih, aku bawain makanan kesukaan kamu," kata Ajeng sambil tersenyum."Kenapa?"Wanita itu mendongak. Gerakan tangannya meletakkan dua kotak makanan dan satu gelas minuman terhenti."Aku pengen bawain kamu makanan yang enak. Nggak aku kasih racun kok, udah diperiksa juga sama petugas," jawab Ajeng."Kenapa kamu mau repot-repot datang?" jelasnya.Ajeng menghela nafas panjang. Wanita itu terlihat lebih bercahaya dan tetap awet muda, persis seperti ketika dia pertama kali dikenalkan pada wanita itu oleh Ella dulu.Hanya Ajeng yang tidak pernah mengusiknya, meskipun tahu bahwa dia membawa pengaruh buruk pada sahabat wanita itu. Jadi ketika Ella ikut terjerumus ke dalam sekte sesat demi bisa menghancurkan Ajeng, Johan tidak mendukung Ella sama sekali.Baginya, Ajeng itu seperti kertas putih yang sayan
"Kamu juga harus mati, Johan. Enak saja kamu masih hidup dengan tenang, sedangkan aku harus menjadi bulan-bulanan mereka."Johan membelalak ketika melihat Nadia mendekatinya dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali dia melihat wanita itu. Rambut panjang Nadia acak-acakan. Perut wanita itu berlubang dan mengeluarkan banyak darah. Lalu di tangan kanan wanita itu....Janin merah yang tiba-tiba saja melihat ke arahnya dengan mata melotot. Bibir janin itu tertarik membentuk senyuman dengan gigi-gigi runcing yang terlihat tajam."Ayah."Johan menjerit ketakutan. Dia langsung berlari dengan sekuat tenaga. Nadia sudah mati, dia yakin itu. Dia sendiri yang mengatakan pada Ansel di mana keberadaan Nadia sebelum kabur ke Australia. Belum jauh dia berlari, kakinya tersandung. Membuatnya jatuh dengan keras. Dua orang berjubah hitam dan bertudung menarik tangannya dan memaksanya untuk berdiri. "Nggak! Nggak lepasin aku! Aku udah bukan bagian dari kalian lagi!""Siapapun yang menjadi pengkhi