Dingin.Seluruh tubuhku terbungkus nyeri, tapi aku tidak bisa membuka mulut untuk menyuarakannya.“Kondisi Nona Minna sudah stabil.”“Tapi mengapa Nona Minna belum juga siuman, Dokter?”Aku sudah sadar. Hanya saja, kedua mataku terasa sangat berat.Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Sudah berapa lama aku tertidur? Mengapa suara Windi terdengar seputus asa itu?Kucoba mengingat kejadian yang terjadi. Namun yang tertinggal hanyalah potongan-potongan gambar samar.Malam yang dingin. Dinding-dinding mansion yang menyesakan. Jalan setapak yang dipenuhi potongan ranting runcing, dan danau tersembunyi yang indah.Pelarian kecilku membawa ke sebuah tempat tersembunyi, yang memanggilku dengan kemilau rembulan di atas permukaannya.Pekat air danau membungkus tubuhku. Semakin dalam aku melangkah, hatiku menjadi tumpul. Rasa sesak itu perlahan berayun pergi bersama embusan angin.Aku tidak ingin mati.Tapi aku ingin mengenyahkan semua perasaan menyakitkan itu.Keserakahan akan perasaan bebas itu
“Gadis ini ingin mati. Aku hanya berbaik hati untuk mewujudkannya.” “Apa?! Anda pasti bercanda! Nona Minna, tolong katakan itu tidak benar!” Kutatap Helga dengan pandangan sedih. Ia adalah penolong pertamaku. Orang yang menawarkan kehangatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. “Tidak apa-apa, Helga. Aku baik-baik saja,” senyumku setulus mungkin. Meski singkat, tapi apa yang kudapatkan di rumah ini adalah hal yang paling indah yang pernah kurasakan. Kebaikan mereka, perhatian mereka, penerimaan mereka, entah bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih atas semua itu. “Nona Minna…” Aku ingin menunjukkan senyuman terbaikku untuk yang terakhir kalinya. Namun, entah mengapa air mata itu tak kunjung berhenti. “Terima kasih banyak, Helga. Seumur hidupku, inilah perlakuan terbaik yang pernah kuterima. Terima kasih banyak.” Air mata Helga meleleh bagai aliran sungai. “NONA MINNA!” Andai Remy tidak menahan tubuhnya, Helga pasti akan berlari melindungiku. Dan aku sama sekali tidak me
Tangan pria itu besar dan kasar.Ia terlihat tenang, tapi saat ujung jemariku menyentuh kulitnya yang terbuka, tangan pria itu sedingin bongkahan es.Semua mata mengekori gerangan tanganku dengan tatapan penuh waspada.Joachim bahkan tampak menahan napasnya sendiri.Waktu berjalan sangat lambat.Ketegangan yang membungkus udara membuat napasku semakin berat. Jemariku mulai gemetar di atas telapak tangannya.Satu detik.Dua detik.Tiga detik.Aku menghitung di dalam hati.Dan saat hitunganku mencapai detik ke 15, aku menarik kembali tanganku.“Anda… benar-benar baik-baik saja?” Joachim berjalan mendekat dengan tatapan tak percaya.Dokter Fabian ikut membungkuk, terjaga dari ketegangannya. “Biar saya periksa kondisi Anda.” Pria berkaca mata itu langsung bergerak cepat. “Pak Killian, apa yang Anda rasakan saat ini?”Selama beberapa detik pria itu terdiam sambil menatap tangannya, lalu ia kembali menatapku.“Aku baik-baik saja.”“Semuanya normal.” Dokter Fabian bergumam pelan.Ketidak per
“Tolong pergi dari rumah ini, Nona.”Suara Helga mengalun setenang embusan angin, menyusup perlahan di antara helaian gorden yang menari.Kedua mataku menatap langit sore, sebelum menerima berkas yang Helga berikan.Ini kali kedua Helga memintaku pergi dari mansion itu.Namun kali ini, aku tidak memiliki alasan untuk memohon tetap tinggal.“Saya minta maaf, Nona. Tapi jika Nona tetap berada di sini, Pak Killian akan terus mencari Nona dan melakukan uji coba itu.”Aku tau.Itu juga membuatku takut.Bayangan bagaimana pria itu terluka hanya karena sebuah sentuhan membuatku takut setengah mati.Meski mereka begitu vokal menyuarakan bahwa sentuhanku takkan menyakitinya, tapi aku sama sekali tak bisa membiarkan ia menyentuhku lagi.Ketika tangannya terulur, aku akan menghindar. Saat ia berjalan mendekat, aku akan bergerak menjauhinya.Harus kuakui, itu adalah permainan konyol yang melelahkan.Hingga malam itu, saat kami duduk berhadapan di meja makan, aku menyerahkan formulir pendaftaran y
Haruskah aku merasa terkejut? Di antara keempat mantan istri pria itu, hanya kamar Erish Amerilliana Roshan, mantan istri ketiga pria itu yang tewas bunuh diri, yang masih tetap dibiarkan ada di dalam mansion. Bahkan tetap terawat seperti sedia kala, seakan mereka berpikir jika suatu hari nanti Erish akan kembali. Setelah mendengar kisah singkat bunga Iris di taman, aku meminta Windi mengantarku ke kamar Erish. Tentu saja itu bukan hal yang mudah. Namun akhirnya, aku berada di tempat itu sekarang. Seperti kamar-kamar lain di rumah ini, kamar Erish adalah kamar mewah bernuansa violet. Jika tidak mengetahui kabar kematian Erish, aku pasti berpikir jika kamar itu masih digunakan. Semuanya terlihat bersih, bahkan bunga yang berada di dalam vas masih begitu segar. Seseorang pasti baru menempatkannya pagi ini. “Nona Minna…” Windi memanggil cemas saat aku melangkah masuk ke dalam kamar itu. Rasanya dingin dan kosong, seakan menyimpan begitu banyak kisah yang terkunci rapat. Windi b
“Sialan. Sepertinya aku harus mendisiplinkan semua orang di rumah ini,” geram pria itu kesal. “Bagaimana mungkin mereka tidak bisa menjaga seorang anak kecil seperti ini saja?”Aku melirik dengan mata yang sembab. Apa ia harus berbicara seperti itu di depan wajahku?Namun, walau terus memaki, ia tetap duduk bersamaku di kursi taman. Membiarkanku terus menggenggam ujung lengan kemejanya tanpa berkomentar.Ia bahkan memakaikan jasnya ke bahuku dengan benar.Kedua tanganku terkepal erat. Meski kami berada sangat dekat, tapi entah mengapa kecemasan di hatiku tak kunjung terurai.Aku takut ini hanya sebuah mimpi.Dan saat terbangun, ia akan menghilang lagi.Bukankah itu sangat konyol? Bagaimana mungkin aku memiliki perasaan seperti ini kepada pria itu.“Kau juga! harusnya kau menggunakan pakaian yang lebih tebal kalau keluar rumah! Kau bisa meminta Helga menyiapkannya!” hardiknya kesal. “Sebenarnya apa yang dikerjakan pelayan kecil yang selalu ada di sampingmu itu?! Apa dia tidak bisa menj
“Nona sangat tidak sopan! Seharusnya Nona menjelaskan dengan lebih rinci!” ujar Joachim berapi-api.Aku melotot. Mana kutahu pikiran mereka akan melenceng sejauh itu hanya karena aku mengatakan kata ‘kamar’.Padahal aku hanya ingin memastikan keamanan pria itu. Aku ingat, kamarnya berisi berbagai alat kedokteran yang canggih.Tentu saja melakukan percobaan ini akan jauh lebih aman di kamar yang dipenuhi alat-alat medis, dibandingkan di ruang kerjanya.“Jangan bilang kalian ini single dari lahir?”“Ehm! Itu cukup kasar, Nona Minna.” Dokter Fabian berdeham pelan.Namun aku bisa melihat wajahnya sedikit memerah karena malu.Kutatap semua wajah di ruangan itu dengan pandangan tak percaya. Bagaimana mungkin mereka semua, orang-orang yang paling kompeten seperti ini ternyata orang yang tidak pernah berhubungan dengan wanita manapun.“Saya terlalu sibuk belajar, Nona.” Dokter Fabian berdalih serius sambil memperbaiki letak kacamatanya yang tidak salah.Oke, itu sedikit masuk akal.“Sa… saya
Oke.Harus kuakui, ini memang sudah mulai berlebihan.Kecuali ketika pergi ke kamar mandi, pria itu akan terus menggenggam tanganku.Sejujurnya, ini mulai terasa menyeramkan. Ia seperti pria paruh baya yang memiliki fetish kepada tangan seorang gadis. “Ehm,” dehamku pelan. “Ini sudah malam,” kataku sambil melirik jam dinding.Rembulan juga sudah tergantung sempurna di langit gelap. Bukankah sudah waktunya semua mahluk hidup untuk memejamkan mata dan beristirahat?“Ya, aku tau.”Kalau begitu mengapa ia masih di sini? Ia bahkan membawa laptop dan lusinan pekerjaannya ke kamarku. Untung saja ia tidak membawa serta Joachim, Dokter Fabian dan dua bodyguardnya, kalau tidak mungkin kepalaku benar-benar akan meledak sekarang.Oke, biar kutambahkan penilaianku tentang pria ini.Dia benar-benar orang yang gila kerja! Setiap detik, setiap saat, ia bekerja seperti bernapas!Aku yang melihatnya saja sudah luar biasa mual. Namun bisa-bisanya pria ini tidak terlihat lelah sama sekali. Apa ia tidak