Beranda / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 1 : Bara di Balik Pengkhianatan

Share

Menjadi Istri Keponakan sang Mantan
Menjadi Istri Keponakan sang Mantan
Penulis: Vanilla_Nilla

Bab 1 : Bara di Balik Pengkhianatan

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-24 16:48:47

“Berani-beraninya kau mengkhianatiku, Daniel. Kau pikir kau bisa bersenang-senang bersama mereka tanpa peduli perasaanku.”

Sophia Gabriella berdiri di pintu masuk bar, tubuhnya kaku seperti patung. Sepasang matanya yang biasanya hangat, kini memancarkan api amarah yang membara.

Pemandangan di depannya mengiris hatinya tanpa ampun. Daniel, lelaki yang selama ini ia cintai, terlihat begitu nyaman dikelilingi oleh wanita-wanita yang tertawa riang di sampingnya.

Namun, yang lebih menyakitkan bagi Sophia adalah cara wanita-wanita itu memperlakukan Daniel. Mereka duduk terlalu dekat, tubuh mereka seolah sengaja bersentuhan dengan Daniel setiap kali mereka bergerak. Salah satu dari mereka, perlahan menyentuh lengan Daniel, jari-jarinya yang lentik bermain di sepanjang otot-otot Daniel yang terlihat di balik lengan kemeja yang tergulung.

Daniel tidak menepis sentuhan itu. Sebaliknya, ia tetap tenang, bahkan menoleh sedikit untuk membalas candaan mereka. Jelas terlihat, ia menikmati perhatian yang diberikan oleh wanita-wanita itu, tanpa mempedulikan bahwa ada seseorang yang hatinya sedang hancur berkeping-keping di pintu masuk bar.

Dengan langkah tegas, Sophia berjalan melewati kerumunan. Sepatunya yang berhak tinggi menghasilkan bunyi tegas di lantai kayu. Beberapa pasang mata kini mengarah padanya. Namun, perhatian itu tidak membuatnya gentar. Sophia berhenti tepat di depan meja Daniel.

Daniel mendongak perlahan, menatap wanita yang ada di hadapannya. Tidak ada rasa bersalah di matanya sedikit pun. “Sophia.”

Nama itu meluncur dari bibirnya, begitu ringan, seolah ia tidak tahu badai yang telah menumpuk di hati wanita itu.

Sophia tidak menjawab. Ia melepas jaket kulit hitam yang melekat di tubuhnya, memperlihatkan gaun merah yang pas di tubuhnya. Sekilas, ia sama seperti wanita-wanita yang ada di bar itu. Tanpa meminta izin, ia meraih gelas minuman di atas meja Daniel, lalu meneguknya hingga tandas. Cairan itu membakar tenggorokannya, tetapi ia tidak peduli.

Ia meletakkan gelas itu dengan keras ke meja. “Apa aku tidak pernah cukup untukmu?” Suaranya tenang, tapi ada bara api di setiap katanya.

Daniel mengangkat satu alis. “Apa yang kamu bicarakan, Sophia?”

Sophia mendekat, matanya menatap tajam seperti belati. Tangannya meraih kerah kemeja Daniel, menariknya hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. “Aku sudah memberikan semuanya untukmu, Daniel. Waktuku, perasaanku, hidupku. Tapi kau? Kau bahkan tidak bisa menghargai hubungan ini!”

Wajah Daniel tetap tenang, meski ada kilatan emosi singkat di matanya. “Aku tidak pernah memintamu melakukan semua itu,” balasnya dengan suara rendah. “Kamu yang memilih untuk bertahan.”

Kata-kata itu menghantam Sophia seperti gelombang dingin. Apakah bertahan di sisi Daniel adalah salahnya?

Selama lima tahun terakhir, Sophia yang selalu berusaha menjaga hubungan ini tetap bertahan. Ia yang selalu meminta maaf, bahkan ketika bukan ia yang bersalah. Dengan sabar, Sophia selalu menunggu Daniel untuk berubah, berharap suatu hari pria itu akan mencintainya dengan tulus seperti ia mencintai Daniel. Tapi selama itu pula, Sophia yang harus menelan pahitnya kenyataan bahwa perasaannya tidak pernah benar-benar dibalas.

“Coba katakan padaku. Apa kurangku selama ini? Apa aku kurang baik untukmu? Apa aku kurang sabar menghadapi sikapmu yang selalu dingin padaku?”

Perasaan itu datang lagi—sensasi sesak yang seolah menekan dada Sophia. Ia mencoba menahan air mata, tapi semakin berusaha, semakin sulit baginya untuk bernapas. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Lima tahun ia menekan dirinya sendiri demi Daniel, menahan kecewa demi hubungan yang hanya ia perjuangkan sendirian.

“Apa kamu benar-benar tidak pernah peduli padaku? Aku sudah memberikan segalanya, Daniel. Segalanya ....”

Mata Daniel sedikit menyipit, tapi ia tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya mengangkat gelasnya lagi, menyesap cairan yang ada di dalamnya, seolah-olah ucapan Sophia hanya angin lalu yang tidak layak mendapatkan perhatiannya.

“Lihat aku!” bentak Sophia. “Lihat aku, Daniel! Jangan terus berpura-pura seperti aku tidak ada di sini!”

Bar seketika terasa lebih sunyi, atau mungkin hanya perasaan Sophia yang terlalu terfokus pada pria di depannya. Ia tidak peduli dengan mata-mata yang mulai melirik ke arah mereka. Malu? Tidak ada rasa itu lagi. Yang tersisa hanyalah keinginan untuk mendapat jawaban, sebuah pengakuan, apa pun yang bisa membuktikan bahwa ia tidak salah memilih pria ini.

Namun Daniel tetap dingin. Ia akhirnya meletakan gelasnya ke meja, lalu berkata, “Apa lagi yang kamu inginkan dariku, Sophia?”

Pertanyaan itu membuat Sophia kehilangan kata-kata. Apa lagi? Apakah Daniel tidak tahu? Atau, lebih tepatnya, apakah ia tidak peduli? Hati Sophia serasa diremas, sakitnya begitu nyata hingga ia ingin menjerit. Tapi ia tahu, jeritannya tidak akan mengubah apa pun.

“Kalau kamu merasa lelah, kamu tahu pintu keluar ada di sana.” Jari Daniel menunjuk ke arah pintu bar tanpa menoleh. “Aku tidak pernah memaksamu untuk bertahan.”

Sophia terdiam. Pernyataan itu seperti belati yang menusuk tepat ke jantungnya. Selama ini, ia mencoba menenangkan dirinya dengan berpikir bahwa Daniel butuh waktu. Bahwa pria ini mencintainya, hanya saja tidak tahu bagaimana caranya menunjukkan. Tapi sekarang, di bawah lampu bar yang suram, kebenaran itu menyakitkan—Daniel tidak pernah benar-benar peduli.

Lima tahun ia bertahan, lima tahun ia mengorbankan dirinya, hanya untuk mendengar bahwa ia bisa pergi kapan saja.

Udara di sekitar mereka terasa menyesakkan. Sophia menatap Daniel, mencoba menemukan sesuatu di matanya—penyesalan, kehangatan, atau setidaknya setitik rasa cinta. Tapi yang ia lihat hanyalah kekosongan. Pria itu tidak berubah, dan mungkin tidak akan pernah berubah.

Sambil menahan napas, Sophia menarik dirinya mundur perlahan. “Aku bodoh. Bodoh karena berharap kamu bisa berubah.”

Daniel tidak merespons. Ia hanya meneguk minuman terakhirnya sebelum kembali bersandar di kursi, seolah-olah momen itu sama sekali tidak penting baginya.

Sophia tahu, saat itu juga, bahwa ia harus pergi. Bukan karena Daniel memintanya, tetapi karena ia akhirnya sadar, ia tidak pantas diperlakukan seperti ini.

“Baiklah, jika kamu ingin aku pergi, aku akan pergi.”

Daniel mengangkat alis, bibirnya melengkung membentuk senyum sinis yang membuat Sophia semakin terluka. “Kamu selalu mengatakan itu, tapi nyatanya, kamu selalu kembali padaku.”

“Kali ini aku benar-benar lelah. Kamu bebas sekarang. Kamu bebas melakukan apa saja yang kamu inginkan. Aku tidak akan melarangmu lagi. Aku tidak akan mencari atau mengganggumu lagi. Tenang saja, Daniel, kamu tidak akan menemukanku di sudut mana pun.”

Daniel menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, seperti seorang raja yang sedang menilai bawahannya. Wajahnya tampak tanpa cela—hidung mancung sempurna, rahang tegas yang membuatnya terlihat begitu maskulin. Namun, yang paling mencolok adalah matanya—tajam seperti elang yang mengintai mangsanya, seolah mampu membaca setiap pikiran Sophia.

Ia memiringkan kepala sedikit, memindai Sophia dari kepala hingga ujung kaki, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Mau coba lari dariku?”

Lelaki itu segera berdiri. Sosoknya yang tinggi dan tegap membuat siapa pun yang melihatnya sulit mengalihkan pandangan. Ia melangkah maju perlahan, memperkecil jarak di antara mereka. “Sejauh apa pun kamu lari. Aku pasti akan menemukanmu.”

Sophia berjalan mundur setiap kali Daniel melangkah maju. Jarak di antara mereka semakin berkurang, hingga Sophia merasa sudut pandangnya hanya dipenuhi oleh sosok pria itu. Namun, tanpa ia sadari, langkah mundurnya terhenti ketika tubuhnya menabrak seorang bartender yang sedang membawa minuman.

Sophia tersentak kaget. “Hh, hah ….”

Praang!

Gelas-gelas di atas nampan itu jatuh berserakan, suara kaca pecah bergema di antara dentuman musik bar. Cairan berwarna-warni membasahi lantai dan sepatu Sophia, membuat suasana di sekitar mereka sejenak teralihkan.

Sang bartender mengumpat pelan sambil jongkok untuk membersihkan kekacauan itu, sementara Sophia berbalik cepat, wajahnya memerah karena malu. Namun, sebelum ia sempat meminta maaf, Daniel sudah lebih dulu berbicara.

“Tsk, lihat apa yang kamu lakukan?” ucapnya datar, tapi bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang membuat Sophia semakin merasa terkunci di dalam permainan pria itu. “Bahkan saat mencoba menjauh dariku, kamu tetap membuat kekacauan.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 119 : Tamat

    Mentari pagi menyelinap masuk dari sela-sela tirai putih di ruang tengah mansion William. Udara terasa berbeda. Lebih damai saat ini. Daniel berdiri di depan jendela besar yang menghadap taman belakang. Tangannya menggenggam secarik kertas—surat pengunduran diri sebagai direktur utama William Group. Ia menoleh saat suara langkah kaki mendekat. David muncul, mengenakan kemeja putih yang masih belum dirapikan. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh cahaya yang berbeda. "Kau yakin dengan keputusan ini, Paman?" tanya David pelan. Daniel menatap ke luar jendela sebentar sebelum menoleh kembali. "Aku lelah, David. Selama ini hidupku penuh kebisingan, persaingan, dan kehilangan. Aku butuh tempat yang sunyi … tempat di mana aku bisa bernapas tanpa harus memikirkan strategi bisnis atau pengkhianatan." David mengangguk pelan. "Lalu … Sophia?" "Sophia akan ikut denganku," jawab Daniel. "Kami belum tahu akan tinggal di mana. Tapi kami berencana menetap di desa kecil dekat danau

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 118 : Mendapat Balasan

    John meletakkan pulpen itu ke atas meja, napasnya teratur, tapi wajahnya terlihat tegang. Sophia menyuruhnya untuk mengambil pulpen tersebut, karena tak sengaja melihat pesan yang dikirim Anne pada David, sebab waktu itu David lagi pergi dan lupa membawa ponselnya, Sophia pun meminta tolong pada John. "Ini dia," ujar Daniel sambil menggenggam pulpen itu seolah sedang memegang kunci yang akan membuka semua kebusukan selama ini. Ia memutar-mutar bagian tengahnya, hingga sebuah celah kecil muncul. Di dalamnya tersembunyi sebuah microSD, hampir tak terlihat jika tak benar-benar diperhatikan. "Coba masukkan ke laptop," ujar Sophia cepat, tak bisa menyembunyikan ketegangan di suaranya. Daniel menurut. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan kartu memori ke adaptor lalu menyambungkannya ke laptop. Tak butuh waktu lama, sebuah folder terbuka dengan nama: TRUTH. Di dalamnya terdapat beberapa video, semua dinamai dengan tanggal dan lokasi. Daniel mengarahkan kursor ke file paling atas,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 117 : Kamera Pengawas

    Langkah Anne baru saja mencapai pintu utama saat itu juga, suara berat Edward terdengar dari belakangnya. "Mau ke mana kamu?" tanyanya dingin, nada curiga langsung terasa dari cara bicaranya. Anne menoleh pelan. Ia mencoba tetap tenang meskipun hatinya berdegup tak karuan. "Saya hanya ingin membeli beberapa sayuran, Tuan. Stok di dapur sudah menipis sejak kemarin." Edward menyipitkan mata, lalu melangkah mendekat. "Kamu sudah tahu, kan? Tidak ada satu orang pun yang boleh keluar masuk mansion ini tanpa seizinku." Anne menggenggam tali tas kecilnya erat. "Kalau saya tidak membeli bahan makanan, bagaimana orang-orang di mansion ini bisa makan, Tuan? Beberapa pelayan bahkan sudah mulai memasak seadanya." Edward terdiam sejenak, lalu mendesah panjang dengan nada malas. Ia tahu Anne tidak berbohong. Tapi ia juga tak sepenuhnya percaya padanya. "Baik, tapi kamu tidak akan pergi sendirian." Ia menoleh ke arah dua pria berseragam hitam yang berdiri tak jauh dari sana. "Kalian berdua,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 116 : Sebuah Rencana

    "Permisi, apa ada seseorang di sana?" Suara pria dari balik pintu terdengar, disertai ketukan yang kembali berulang. Nadanya terdengar sopan, namun cukup keras untuk membuat jantung mereka berempat berdegup kencang. Daniel mendekat perlahan, lalu membuka celah kecil pada pintu untuk memastikan siapa yang datang. Seorang pria berdiri di sana, mengenakan seragam pengantar makanan lengkap dengan tas besar di punggungnya. Daniel menarik napas lega. "Ternyata cuma kurir makanan," ujarnya sambil menoleh ke dalam. Mendengar itu, semua orang di dalam ruangan langsung menghela napas panjang. Ketegangan yang sempat mencekam pun perlahan mereda. Daniel membuka pintu dan menerima pesanan dari pria berseragam. Tak lama kemudian, mereka kembali duduk di ruang tengah, membiarkan aroma makanan yang baru datang itu memenuhi ruangan. Namun, tak satu pun dari mereka merasa lapar. Pikiran mereka hanya tertuju pada satu hal: bagaimana cara kembali ke mansion William tanpa diketahui Edward. "Kita t

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 115 : Surat Cerai

    Setelah diusir dari mansion William, Daniel dan David kini tinggal di sebuah apartemen sederhana milik Daniel. Sore ini, suasana ruang tamu dipenuhi ketegangan. Di atas meja kaca, sebuah amplop cokelat tergeletak di sana. David berdiri di hadapan Sophia yang duduk di sofa, tubuhnya tampak lelah, tapi ia mencoba untuk tetap tegar. David lalu menyerahkan amplop itu padanya. "Ini," ucapnya singkat. Sophia mengernyit, lalu mengambil amplop itu. "Apa ini?" tanyanya pelan. "Surat cerai," jawab David tanpa berusaha menutupi nada berat di balik ucapannya. Mata Sophia membulat. "Cerai?" David mengangguk. Perlahan, Sophia mengangkat wajahnya, menatap ke arah Daniel yang berdiri tak jauh dari mereka, lelaki itu bersandar di dinding dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya menyiratkan pertanyaan yang tak sempat diucapkan. "Kau tidak menyuruhnya melakukan ini ... kan?" Daniel tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Dia sendiri yang mem

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 114 : Kelicikan Edward

    Sophia akhirnya menatap David, matanya mulai memerah. "Kalau kau memang ingin membicarakan malam itu, mari kita bicarakan semuanya, David," ucapnya pelan namun terdengar jelas di ruangan yang hening itu. David mengernyit. "Apa maksudmu?" "Bukankah kau juga menghabiskan malam pertamamu ... bersama Anne?" Deg. Suasana sontak berubah. Anne yang duduk tak jauh dari David terlonjak, wajahnya seketika memucat. William yang sedari tadi hanya menjadi pendengar pun kini mendongak, matanya menatap cucunya dan Anne silih berganti. "Apa?" David nyaris berbisik, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sophia menghela napas dalam. "Jangan tanya padaku seolah kau korban satu-satunya. Kau meninggalkanku di kamar yang seharusnya menjadi awal rumah tangga kita, lalu pergi ke kamar Anne. Aku tidak bodoh, David. Seprei putih itu tidak berbohong." Anne membeku di tempat duduknya, wajahnya menunduk tak sanggup menatap siapa pun. David memandang ke arah Anne, matanya melebar. "A-An

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status