Home / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 2 : Perpisahan yang Membekas

Share

Bab 2 : Perpisahan yang Membekas

Author: Vanilla_Nilla
last update Last Updated: 2025-01-24 16:54:19

Daniel Alexander Williams, pria berusia 30 tahun dengan aura kharismatik yang sulit diabaikan menatap pelayan bar itu dengan santai, seolah-olah kekacauan yang baru saja terjadi bukanlah masalah besar. Pria yang memiliki wajah tegas dengan rahang kuat, dan mata gelap yang selalu sulit ditebak, segera merogoh dompet kulit hitam dari sakunya, lalu menarik beberapa lembar uang tunai. Tanpa tergesa, ia menyerahkannya kepada pelayan. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan mengganti kerugiannya.”

Pelayan itu terlihat ragu, tapi akhirnya menerima uang tersebut. “Terima kasih, Tuan.” Ia membungkuk sedikit, kemudian pergi.

Sementara itu, Sophia berdiri terpaku. Tubuhnya ramping dengan gaun merah yang membungkusnya sempurna, menonjolkan kulitnya yang sehalus porselen. Matanya, yang biasanya lembut seperti cokelat hangat, kini menatap Daniel dengan sorot terluka. Jantungnya masih berdetak kencang, bukan karena kejadian barusan, tetapi karena intensitas Daniel yang selalu membuatnya sulit bernapas. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, tangan Daniel sudah melingkari pergelangan tangannya.

“Daniel, apa yang kamu lakukan?”

“Kita pergi dari sini.” Nada suara Daniel tidak memberi ruang untuk penolakan.

Ia menarik Sophia keluar dari bar, melewati kerumunan yang kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Sepatu hak tinggi Sophia mengetuk lantai kayu, melawan tarikannya, tetapi ia tahu itu sia-sia. Daniel tidak pernah membiarkan siapa pun menentangnya.

Begitu mereka tiba di luar, angin malam yang dingin menerpa wajah mereka. Sophia menggigil sedikit, tetapi ia terlalu marah untuk memedulikannya. “Lepaskan, Daniel!” serunya, mencoba menarik tangannya.

Daniel berhenti melangkah, tetapi tidak melepaskannya. Ia berbalik, menatap Sophia dengan mata gelap yang kini terlihat dingin dan tajam. “Kenapa? Apa kamu takut aku akan melakukan sesuatu?”

Sophia mendongak, menatap langsung mata pria itu. “Apa lagi yang kamu mau dariku, Daniel? Aku sudah cukup lelah dengan ini semua. Lepaskan aku!”

Daniel tertawa getir mendengar itu. “Lelah?” Suaranya tajam seperti belati.

Sophia memejamkan matanya sejenak, mengingat kembali lima tahun terakhir. Bagaimana ia jatuh cinta pada pria yang dulu terlihat begitu menjanjikan—pria dengan senyum menawan yang bisa membuat siapa pun lupa akan dunia. Tetapi semakin lama ia bersama Daniel, semakin ia menyadari bahwa cinta itu seperti penjara. Pria itu selalu dingin, tidak pernah benar-benar mencintainya dengan tulus.

“Tolong biarkan aku pergi, Daniel. Aku bukan boneka yang bisa kamu mainkan sesukamu. Aku lelah … lelah selalu menuruti semua tuntutanmu, lelah menghadapi sikap dinginmu yang tidak pernah berubah.”

“Jadi, kamu ingin memutuskan hubungan denganku hanya karena aku tidak memenuhi harapanmu?”

“Bukan karena itu. Aku ingin memutuskan hubungan ini karena aku sadar aku pantas mendapatkan yang lebih baik. Kamu tidak pernah menghargai apa pun yang aku lakukan, Daniel. Jadi, lebih baik kita akhiri semua ini.”

Daniel menatapnya lama, sebelum ia berkata, “Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Tapi ingat, Sophia, jika suatu saat kamu kembali menemuiku, aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi.”

Mencoba menahan rasa sakit yang menghujam hatinya. Sophia tahu ini akan sulit, tetapi ia harus melakukannya. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan menemuimu lagi, Daniel. Tidak kali ini.”

Sophia berbalik untuk pergi, tetapi sebelum melangkah lebih jauh, ia berhenti. Tanpa menoleh, ia berkata, “Apa kamu tidak akan menahanku?”

Daniel tersenyum, tetapi senyum itu lebih dingin dari angin malam. “Untuk apa aku menahanmu? Aku tahu kamu tidak akan pernah bisa hidup tanpaku.”

Ucapan itu menusuk Sophia, tetapi kali ini, ia tidak membiarkan dirinya jatuh. Ia memutar tubuhnya lagi menghadap Daniel, mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi. “Aku yang tidak bisa hidup tanpamu, atau kau yang tidak bisa hidup tanpaku?”

Daniel terdiam sesaat. Ia hanya menatap Sophia nanar. “Kita lihat saja nanti.”

Sophia menelan ludah, menahan rasa sakit di dadanya. “Baiklah, kita lihat saja nanti. Selamat tinggal, Daniel.”

Dengan langkah tegap, ia berjalan menuju taksi yang menunggunya di pinggir jalan.

Sementara Daniel tetap berdiri membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap ke arah taksi yang perlahan menghilang. Namun, di balik ekspresinya yang dingin, ada sesuatu yang bergemuruh di dalam dirinya—sesuatu yang tidak pernah ia akui bahkan kepada dirinya sendiri.

***

Langkah kaki Sophia terdengar berat saat ia memasuki rumah. Kunci pintu yang diputar dengan hati-hati seolah berusaha menyembunyikan kepulangannya. Namun, tidak cukup untuk menghindari tatapan kedua orang tuanya yang duduk di sofa ruang tamu. Lampu ruang tengah yang terang memperlihatkan raut serius Robert dan Rose, yang langsung mengalihkan perhatian dari koran dan televisi saat putri mereka muncul.

“Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang,” tanya Robert dengan tegas, khas seorang ayah yang tak mentolerir kesalahan.

Sophia terdiam sejenak, menggantungkan tas di gantungan dekat pintu. Napasnya masih terasa berat setelah perjalanan pulang.

“Jangan bilang kamu menemui lelaki itu lagi,” selidik Robert, kali ini dengan nada lebih tajam.

Sophia mengangkat wajahnya, menatap langsung ayahnya. “Iya, Ayah benar. Aku memang menemui dia.”

Mendengar itu, Robert menghempaskan koran yang dipegangnya ke meja. Bunyi keras koran menghantam permukaan kayu membuat ruangan terasa lebih sunyi. “Sudah berapa kali ayah katakan? Kamu tidak boleh menemui lelaki itu! Dia tidak baik untukmu, Sophia!”

“Tenang saja, Ayah,” jawab Sophia dengan napas berat. Matanya terlihat lelah, tetapi bibirnya melengkungkan senyum getir. “Ini terakhir kalinya aku menemui dia.”

“Apa maksudmu, Sophia?” Kali ini Rose yang berbicara.

Sophia tersenyum, tetapi senyumnya tidak mampu menyembunyikan luka yang mengendap di dalam hatinya. “Aku dan dia sudah berakhir.”

Mendengar itu, Robert menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa, lalu mengangguk puas. “Hm, baguslah. Akhirnya putriku sadar juga. Lelaki miskin seperti dia memang tidak pantas untukmu.”

Rose ikut menimpali, “Iya, ayahmu benar. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik.”

Namun, di balik wajah Sophia, sesuatu terlihat retak. Ia mengalihkan pandangannya sejenak, memandangi lantai rumah yang terasa lebih dingin dari biasanya.

“Jadi, bagaimana dengan perjodohan yang sudah ayah tawarkan untukmu, Sophia?” Robert berkata lagi ketika melihat anaknya terdiam.

Pertanyaan itu menghentikan napas Sophia. Ia mendongak, menatap ayahnya dengan mata lebar. Jantungnya berdegup kencang, seperti baru saja dihantam badai.

“Ayah bercanda, ‘kan?”

Robert menggeleng, matanya menatap putrinya dengan serius. “Ayah tidak bercanda. Calon pasanganmu sudah dipilih, dan dia jauh lebih baik daripada lelaki yang baru saja kamu tinggalkan.”

“Siapa?” Sophia bertanya dengan tajam.

Robert tersenyum, senyum kemenangan yang membuat Sophia merasa seperti pion dalam permainan catur. “Kamu akan tahu besok.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 119 : Tamat

    Mentari pagi menyelinap masuk dari sela-sela tirai putih di ruang tengah mansion William. Udara terasa berbeda. Lebih damai saat ini. Daniel berdiri di depan jendela besar yang menghadap taman belakang. Tangannya menggenggam secarik kertas—surat pengunduran diri sebagai direktur utama William Group. Ia menoleh saat suara langkah kaki mendekat. David muncul, mengenakan kemeja putih yang masih belum dirapikan. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh cahaya yang berbeda. "Kau yakin dengan keputusan ini, Paman?" tanya David pelan. Daniel menatap ke luar jendela sebentar sebelum menoleh kembali. "Aku lelah, David. Selama ini hidupku penuh kebisingan, persaingan, dan kehilangan. Aku butuh tempat yang sunyi … tempat di mana aku bisa bernapas tanpa harus memikirkan strategi bisnis atau pengkhianatan." David mengangguk pelan. "Lalu … Sophia?" "Sophia akan ikut denganku," jawab Daniel. "Kami belum tahu akan tinggal di mana. Tapi kami berencana menetap di desa kecil dekat danau

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 118 : Mendapat Balasan

    John meletakkan pulpen itu ke atas meja, napasnya teratur, tapi wajahnya terlihat tegang. Sophia menyuruhnya untuk mengambil pulpen tersebut, karena tak sengaja melihat pesan yang dikirim Anne pada David, sebab waktu itu David lagi pergi dan lupa membawa ponselnya, Sophia pun meminta tolong pada John. "Ini dia," ujar Daniel sambil menggenggam pulpen itu seolah sedang memegang kunci yang akan membuka semua kebusukan selama ini. Ia memutar-mutar bagian tengahnya, hingga sebuah celah kecil muncul. Di dalamnya tersembunyi sebuah microSD, hampir tak terlihat jika tak benar-benar diperhatikan. "Coba masukkan ke laptop," ujar Sophia cepat, tak bisa menyembunyikan ketegangan di suaranya. Daniel menurut. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan kartu memori ke adaptor lalu menyambungkannya ke laptop. Tak butuh waktu lama, sebuah folder terbuka dengan nama: TRUTH. Di dalamnya terdapat beberapa video, semua dinamai dengan tanggal dan lokasi. Daniel mengarahkan kursor ke file paling atas,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 117 : Kamera Pengawas

    Langkah Anne baru saja mencapai pintu utama saat itu juga, suara berat Edward terdengar dari belakangnya. "Mau ke mana kamu?" tanyanya dingin, nada curiga langsung terasa dari cara bicaranya. Anne menoleh pelan. Ia mencoba tetap tenang meskipun hatinya berdegup tak karuan. "Saya hanya ingin membeli beberapa sayuran, Tuan. Stok di dapur sudah menipis sejak kemarin." Edward menyipitkan mata, lalu melangkah mendekat. "Kamu sudah tahu, kan? Tidak ada satu orang pun yang boleh keluar masuk mansion ini tanpa seizinku." Anne menggenggam tali tas kecilnya erat. "Kalau saya tidak membeli bahan makanan, bagaimana orang-orang di mansion ini bisa makan, Tuan? Beberapa pelayan bahkan sudah mulai memasak seadanya." Edward terdiam sejenak, lalu mendesah panjang dengan nada malas. Ia tahu Anne tidak berbohong. Tapi ia juga tak sepenuhnya percaya padanya. "Baik, tapi kamu tidak akan pergi sendirian." Ia menoleh ke arah dua pria berseragam hitam yang berdiri tak jauh dari sana. "Kalian berdua,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 116 : Sebuah Rencana

    "Permisi, apa ada seseorang di sana?" Suara pria dari balik pintu terdengar, disertai ketukan yang kembali berulang. Nadanya terdengar sopan, namun cukup keras untuk membuat jantung mereka berempat berdegup kencang. Daniel mendekat perlahan, lalu membuka celah kecil pada pintu untuk memastikan siapa yang datang. Seorang pria berdiri di sana, mengenakan seragam pengantar makanan lengkap dengan tas besar di punggungnya. Daniel menarik napas lega. "Ternyata cuma kurir makanan," ujarnya sambil menoleh ke dalam. Mendengar itu, semua orang di dalam ruangan langsung menghela napas panjang. Ketegangan yang sempat mencekam pun perlahan mereda. Daniel membuka pintu dan menerima pesanan dari pria berseragam. Tak lama kemudian, mereka kembali duduk di ruang tengah, membiarkan aroma makanan yang baru datang itu memenuhi ruangan. Namun, tak satu pun dari mereka merasa lapar. Pikiran mereka hanya tertuju pada satu hal: bagaimana cara kembali ke mansion William tanpa diketahui Edward. "Kita t

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 115 : Surat Cerai

    Setelah diusir dari mansion William, Daniel dan David kini tinggal di sebuah apartemen sederhana milik Daniel. Sore ini, suasana ruang tamu dipenuhi ketegangan. Di atas meja kaca, sebuah amplop cokelat tergeletak di sana. David berdiri di hadapan Sophia yang duduk di sofa, tubuhnya tampak lelah, tapi ia mencoba untuk tetap tegar. David lalu menyerahkan amplop itu padanya. "Ini," ucapnya singkat. Sophia mengernyit, lalu mengambil amplop itu. "Apa ini?" tanyanya pelan. "Surat cerai," jawab David tanpa berusaha menutupi nada berat di balik ucapannya. Mata Sophia membulat. "Cerai?" David mengangguk. Perlahan, Sophia mengangkat wajahnya, menatap ke arah Daniel yang berdiri tak jauh dari mereka, lelaki itu bersandar di dinding dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya menyiratkan pertanyaan yang tak sempat diucapkan. "Kau tidak menyuruhnya melakukan ini ... kan?" Daniel tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Dia sendiri yang mem

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 114 : Kelicikan Edward

    Sophia akhirnya menatap David, matanya mulai memerah. "Kalau kau memang ingin membicarakan malam itu, mari kita bicarakan semuanya, David," ucapnya pelan namun terdengar jelas di ruangan yang hening itu. David mengernyit. "Apa maksudmu?" "Bukankah kau juga menghabiskan malam pertamamu ... bersama Anne?" Deg. Suasana sontak berubah. Anne yang duduk tak jauh dari David terlonjak, wajahnya seketika memucat. William yang sedari tadi hanya menjadi pendengar pun kini mendongak, matanya menatap cucunya dan Anne silih berganti. "Apa?" David nyaris berbisik, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sophia menghela napas dalam. "Jangan tanya padaku seolah kau korban satu-satunya. Kau meninggalkanku di kamar yang seharusnya menjadi awal rumah tangga kita, lalu pergi ke kamar Anne. Aku tidak bodoh, David. Seprei putih itu tidak berbohong." Anne membeku di tempat duduknya, wajahnya menunduk tak sanggup menatap siapa pun. David memandang ke arah Anne, matanya melebar. "A-An

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status