Home / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 3 : Pertemuan Tak Terduga

Share

Bab 3 : Pertemuan Tak Terduga

Author: Vanilla_Nilla
last update Last Updated: 2025-01-24 17:00:50

Cermin besar di sudut kamar memantulkan bayangan Sophia yang tengah bersiap. Jemari rampingnya dengan cermat mengancingkan perhiasan sederhana di lehernya—sebuah kalung perak kecil dengan liontin berbentuk bunga yang pernah diberikan almarhum neneknya.

Gaun satin biru langit yang ia kenakan pas di tubuh, mengalir anggun hingga menutupi lutut. Rambut hitam yang biasanya tergerai, kali ini digulung ke atas dengan beberapa helaian dibiarkan jatuh.

Namun, matanya yang cokelat gelap menyiratkan kegelisahan. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Di seberang kamar, Rose berdiri dengan tangan terlipat di dada, mengamati putrinya yang tengah berdandan.

“Kamu terlihat cantik, Sophia.”

Sophia hanya mengangguk. “Apakah aku harus bertemu dengannya sekarang?”

Rose menghela napas. “Ini untuk masa depanmu, Sophia.”

Robert muncul di ambang pintu, mengenakan setelan jas hitam yang tidak terlalu sering ia pakai. “Waktunya berangkat,” katanya tegas. “Jangan membuat keluarga ini terlihat buruk di hadapan mereka.”

Sophia menahan komentar yang hampir meluncur dari bibirnya. Ia mengambil tas clutch kecilnya dan mengikuti kedua orang tuanya ke luar rumah.

Mobil hitam mengkilap milik Robert meluncur tenang di sepanjang jalan raya kota Austin yang mulai sepi. Di dalam mobil, suasana terasa berat. Sophia duduk di kursi belakang, memperhatikan bayangan gedung-gedung tinggi yang melesat di luar jendela. Tangannya menggenggam erat tas kecilnya, seolah itu bisa menenangkan degup jantungnya yang tidak beraturan.

Rose yang duduk di samping Robert di depan, sesekali melirik ke belakang, memastikan putrinya tetap tenang.

Sementara Robert hanya fokus pada kemudi. “Ingat, Sophia. Jangan menunjukkan sikap kasar. Orang yang akan kamu temui ini memiliki pengaruh besar. Jangan membuat malu keluarga kita.”

Sophia hanya mendesah pelan. Ia tidak membalas, tetapi pikirannya melayang jauh. Siapa lelaki yang akan ia temui? Dan mengapa semua ini terasa seperti hukuman?

Setelah beberapa menit, mobil berhenti di depan sebuah mansion megah. Bangunan itu berdiri menjulang dengan dinding putih berornamen klasik, lengkap dengan pilar-pilar besar di depan pintu masuknya. Di gerbang, tulisan ‘Williams Mansion’ terukir di atas papan emas besar yang berkilauan di bawah lampu malam.

Mata Sophia membelalak, sementara Rose menutup mulutnya, terkejut melihat kemewahan yang terpampang di depan mereka. Bahkan Robert, yang biasanya tenang, terlihat kehilangan kata-kata sejenak.

“Ini ... ini tempat mereka?” gumam Rose, suaranya hampir tak terdengar.

Robert hanya mengangguk, menarik napas dalam sebelum membuka pintu mobil. “Jaga sikap kalian. Kita di sini bukan sebagai tamu biasa.”

Sophia turun dari mobil dengan hati-hati, tumit tinggi sepatunya mengetuk pelan jalanan berlapis batu. Ia mendongak, menatap mansion itu sekali lagi. Jendela-jendela besar dengan tirai berat menjuntai indah.

Pintu besar terbuka, dan seorang pria tua berusia sekitar lima puluhan melangkah keluar. Penampilannya rapi dengan setelan jas abu-abu yang dipadukan dasi merah.

“Selamat malam, Tuan dan Nyonya,” sapanya sopan. “Saya Lewis, kepala pelayan keluarga Williams. Tuan besar sedang menunggu kalian di ruang utama. Silakan masuk.”

Rose mengangguk kikuk, sementara Robert menjawab dengan formalitas. “Terima kasih, Lewis.”

Sophia mengikuti mereka masuk, matanya terus memandang sekeliling. Interior mansion itu tidak kalah mengesankan. Lantai marmer yang berkilauan memantulkan lampu gantung kristal besar yang tergantung di langit-langit. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan klasik berbingkai emas, sementara karpet merah tebal membentang di sepanjang lorong menuju ruang utama.

Langkah kaki mereka terhenti di depan pintu ganda besar yang dijaga oleh dua pelayan lain. Lewis membuka pintu itu perlahan, sebuah ruang luas dengan sofa kulit mewah, perapian besar, dan meja panjang berisi minuman sudah terlihat jelas. Memperlihatkan seorang pria tua yang berjalan perlahan dengan tongkat kayu berukir di tangan kanannya.

Pria itu adalah William Arthur Williams, pemilik Williams Group, salah satu konglomerasi terbesar di negeri ini.

“Selamat malam, Tuan Robert, Nyonya Rose, dan tentu saja, Sophia.” William menyambut mereka.

Robert melangkah maju, membungkuk hormat sambil menjabat tangan William. “Selamat malam, Tuan William. Terima kasih telah menerima kami di rumah Anda yang indah.”

“Keluargaku telah menunggu untuk bertemu dengan kalian.” Tatapan William beralih ke Sophia, matanya mengamati gadis itu sejenak. “Kamu pasti Sophia.”

Sophia mengangguk sopan, meski hatinya berdegup kencang. “Selamat malam, Tuan William. Terima kasih telah mengundang kami.”

William tersenyum tipis, lalu melirik ke arah pintu. “David, Edward, masuklah.”

Suara langkah mendekat mengiringi dua pria yang masuk ke dalam ruangan. Yang pertama adalah seorang pria muda dengan postur tegap, mengenakan setelan navy blue yang terjahit sempurna. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas, alis hitam tebal, dan sepasang mata abu-abu dingin yang menatap Sophia sejenak sebelum beralih pada keluarganya.

“Ini David,” ujar William sambil memperkenalkan pemuda itu. “Cucuku, dan orang yang ingin aku perkenalkan kepada Sophia.”

David melangkah mendekat, mengulurkan tangan. “David,” sapanya.

Sophia menyambut uluran tangan itu dengan ragu-ragu. Jemarinya yang halus bersentuhan dengan tangan David yang dingin dan kokoh. “Senang bertemu dengan Anda,” balasnya.

David hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Namun, tatapannya yang tajam membuat Sophia merasa seolah ia tengah dinilai.

Di belakang David, seorang pria lain masuk, mengenakan setelan abu-abu yang lebih santai. Wajahnya menunjukkan usia yang sedikit lebih tua, mungkin sekitar akhir empat puluhan. Rambut cokelat gelapnya disisir dengan rapi, dan senyumnya sedikit lebih hangat dibandingkan David.

“Ini Edward,” lanjut William. “Anakku yang kedua.”

Edward melangkah maju, senyum ramah menghiasi wajahnya. “Selamat malam. Saya Edward, paman dari David.”

Rose dan Robert menyambut dengan sopan, sementara Sophia hanya mengangguk. Edward tampak lebih terbuka, berbeda dari kesan dingin yang ditampilkan David.

“Silakan duduk,” ujar William, mempersilakan mereka ke sofa mewah di tengah ruangan. Pelayan segera datang membawa minuman.

Saat semua sudah duduk, William mulai berbicara. “Sophia, aku tahu ini mendadak, tetapi aku yakin perjodohan ini adalah keputusan yang tepat. David adalah penerus Williams Group. Dia tidak hanya berbakat, tetapi juga pria yang bertanggung jawab.”

Sophia melirik David yang duduk di sebelahnya. Pria itu tetap diam, matanya fokus pada cangkir teh di tangannya. Hatinya sedikit gelisah, tetapi ia berusaha menjaga sikapnya.

“Saya dengar, Anda kehilangan orang tua Anda?” tanya Rose tiba-tiba.

David mengangguk perlahan. “Iya. Orang tua saya meninggal dalam kecelakaan lima tahun lalu.”

Ada keheningan sejenak di ruangan itu. Sophia dapat merasakan luka dalam yang masih tersisa di balik kata-kata David yang singkat.

Edward yang duduk di sisi lain, mencoba mencairkan suasana. “David memang kehilangan banyak hal, tetapi dia selalu kuat. Bahkan sekarang, dia sudah membawa banyak perubahan besar di perusahaan kami.”

William mengangguk setuju. “Dia adalah kebanggaanku.”

Percakapan mereka terhenti ketika Lewis, kepala pelayan mansion, mendekati William. Pria tua itu membungkuk hormat sebelum berbicara. “Permisi, Tuan.”

“Ada apa, Lewis?” tanya William, alisnya sedikit terangkat.

“Tuan muda keempat sudah kembali.”

Ruangan seketika hening. William menatap Lewis dengan tatapan yang sulit dipercaya. “Benarkah? Suruh dia masuk,” ujarnya, suaranya bergetar karena tak sabar. Pasalnya, sudah lima tahun anaknya itu pergi, dan sekarang akhirnya ia kembali lagi.

“Baik, Tuan,” jawab Lewis, membungkuk lagi sebelum bergegas meninggalkan ruangan.

Edward yang duduk di seberang William, terlihat jelas tidak senang. Rahangnya mengeras, dan ia bersandar dengan kasar ke sofa. “Apa dia benar-benar harus kembali sekarang?” gumam Edward dingin, meski cukup keras untuk didengar.

Tatapan William menyipit, memperingatkan Edward agar tidak bicara lebih jauh. Namun, ketegangan sudah menyebar ke seluruh ruangan.

Pintu ruang utama terbuka kembali, kali ini langkah kaki terdengar lebih berat. Sepatu pantofel menginjak lantai marmer dengan ritme yang stabil. Semua kepala berbalik serentak ke arah pria yang masuk.

Sophia terpaku. Napasnya tertahan ketika pandangannya beradu dengan netra pria itu. Waktu terasa berhenti sejenak, pikirannya melayang pada semua kenangan pahit yang ingin ia lupakan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 4 : Pertemuan yang Menghidupkan Luka Lama

    Semua mata di ruangan itu sontak tertuju ke arah pintu ketika suara langkah sepatu terdengar. Sosok seorang pria dengan wajah tampan dan aura dingin memasuki ruangan, menarik perhatian setiap orang yang hadir. Tubuhnya tegap, mengenakan setelan hitam yang membalut sempurna lekuk tubuhnya, membuatnya tampak berwibawa. Sophia terpaku di tempatnya, matanya membelalak saat menyadari siapa pria itu.Daniel.Napasnya tersengal. Pria yang berdiri di hadapannya kini bukan lagi Daniel yang ia kenal beberapa hari lalu. Pria ini tampak jauh lebih berkelas. Sophia meremas gaun di tangannya, mencoba menenangkan dirinya, tetapi dadanya sudah naik turun seiring dengan detak jantungnya yang semakin tak terkendali.“Akhirnya kamu kembali juga.” Edward menatap tajam ke arah Daniel, matanya dipenuhi dengan kebencian yang tak tersamarkan. Lima tahun anak haram itu pergi meninggalkan rumah, dan sekarang ia kembali lagi, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.Daniel menghentikan langkahnya tepat di teng

    Last Updated : 2025-01-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 5 : Di Antara Cinta dan Kekuasaan

    Daniel bergerak cepat. Dalam satu langkah sigap, ia menarik Sophia lebih dekat, membekap mulut gadis itu dengan bibirnya. Tubuh Sophia yang kecil bergetar hebat di bawah sentuhan itu, bukan karena kelembutan, tetapi karena rasa takut yang menjalari tubuhnya. Langkah kaki di luar semakin mendekat, disertai suara pintu yang berderit ketika terbuka. Daniel memutar tubuhnya sedikit, memposisikan mereka agar tersembunyi di balik salah satu lemari besar di sudut ruangan. Jarak antara keduanya begitu tipis, aroma tubuh Daniel yang khas bercampur dengan parfumnya memenuhi indera penciuman Sophia. Sosok Lewis, kepala pelayan mansion, muncul di ambang pintu. Ia melangkah masuk perlahan, pandangannya menyapu seluruh ruangan. “Siapa di sana?” Sophia hampir melompat mendengar suara itu, tetapi tangan Daniel yang besar dan kokoh memegang pinggangnya erat, menahannya agar tetap diam. Tubuhnya semakin gemetar, berharap Lewis tidak menemukan mereka. Lewis berjalan lebih jauh ke dalam ruangan, me

    Last Updated : 2025-01-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 6 : Takdir yang Mempermainkan

    “Wanita mana yang bisa menolak keponakanku ini?” Daniel berkata dengan santai. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat ruangan itu terasa lebih tegang. Percakapan langsung terhenti. Semua yang duduk di sofa menoleh ke arahnya, memperhatikan pria yang kini berdiri tegak di hadapan mereka. David, yang sejak tadi terlihat tenang, kini tampak lebih ceria. Sorot kebanggaan muncul di matanya saat mendengar pujian dari pamannya. “Paman, Paman terlalu berlebihan,” ucap David dengan sedikit tawa, meski ada rona malu di wajahnya. Daniel mengangkat alisnya sedikit, ekspresi santainya tak berubah. “Tidak, aku hanya mengatakan fakta,” balasnya tenang. “Di luar sana banyak wanita yang ingin memilikimu, David. Kau bukan hanya pekerja keras, tetapi juga kebanggaan keluarga kita.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel, tetapi matanya justru tertuju pada seseorang di hadapannya—Sophia. Gadis itu duduk dengan tubuh sedikit tegang, jemarinya meremas gaun di pangkuanny

    Last Updated : 2025-02-11
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 7 : Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

    Suara dentingan gelas dan alunan musik pelan memenuhi sudut bar yang remang-remang. Cahaya lampu temaram memantulkan kilau keemasan di permukaan minuman dalam gelas-gelas kristal yang berjajar rapi di meja bartender. Di salah satu sudut ruangan, dua wanita duduk berhadapan, dengan ekspresi yang kontras. Jane menatap Sophia lekat-lekat, matanya menyipit seakan mencoba memahami sesuatu yang sulit dicerna. Ia baru saja mendengar pengakuan mengejutkan dari sahabatnya, dan itu membuatnya nyaris tidak percaya.“Kau serius? Kau benar-benar menerima perjodohan ini?” Jane menatap sahabatnya dengan tajam, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. Ketika Sophia pertama kali memberitahunya tentang perjodohan itu, ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Rasa keterkejutan itu masih melekat, berputar dalam pikirannya seperti badai yang tak kunjung reda. Bagaimana mungkin Sophia setuju untuk menikah dengan pria lain? Selama ini, Jane tahu betul bahwa hati

    Last Updated : 2025-02-11
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 8 : Keinginan Terlarang Sophia

    Selepas kepergian Jane, Daniel tetap berdiri di tempatnya, menatap Sophia tanpa berkedip. Pandangannya begitu tajam, seolah mencoba menembus setiap lapisan pertahanan yang mungkin masih tersisa dalam diri wanita itu. Sophia yang biasanya selalu anggun dan berkelas, kini tampak begitu rapuh. Rambutnya tergerai berantakan, sebagian jatuh menutupi wajahnya yang pucat. Napasnya terdengar pelan, nyaris tak beraturan, sementara tangannya yang lemah masih mencengkeram gelas kosong di depannya. Aroma alkohol bercampur dengan parfumnya yang khas menyeruak ke udara, membuat Daniel mengerutkan kening. Baru kali ini ia melihat Sophia sepuruk ini. Lima tahun mereka bersama, dan tak sekalipun ia melihatnya kehilangan kendali seperti ini. Sophia selalu menjadi wanita yang kuat, yang selalu tersenyum meskipun hatinya terluka, yang selalu bangkit meskipun ia jatuh berkali-kali. Tapi malam ini, wanita itu tampak seperti seseorang yang telah kehilangan segalanya. Daniel menghela napas panjang, l

    Last Updated : 2025-02-12
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 9 : Badai Baru Saja Dimulai

    Udara malam ini terasa begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Namun, anehnya, butiran keringat seukuran biji jagung terus bermunculan di dahi Daniel, mengalir perlahan di sepanjang pelipisnya. Sejak tadi, ia menahan tubuhnya di atas wanita yang terbaring di bawahnya, matanya dipenuhi kilatan hasrat yang sulit dijelaskan. Jemarinya menjelajah dengan lembut, seolah ingin menghafal setiap lekuk yang telah begitu familiar baginya. Sophia selalu memiliki cara untuk membuatnya tenggelam, terperangkap dalam cinta yang tak berujung. Daniel telah bertemu banyak wanita—wajah-wajah cantik yang datang dan pergi dalam hidupnya—namun tidak ada satu pun yang mampu mengikatnya seperti Sophia. Ada sesuatu dalam diri wanita itu, sesuatu yang tak bisa ia temukan pada siapa pun. Bukan sekadar kecantikan atau kelembutan, tapi sebuah daya tarik yang membuatnya tak bisa berpaling, tak peduli seberapa jauh ia mencoba melangkah. Napasnya memburu, terengah-engah seiring dengan bahunya yang naik turun, m

    Last Updated : 2025-02-12
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 10 : Kepingan Ingatan

    “Auh ….” Sophia mengerjapkan matanya yang terasa berat. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah ribuan palu godam sedang menghantam tengkoraknya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang berdenyut, berharap rasa sakit itu segera mereda. Pandangan matanya masih buram saat ia mencoba menyapu ruangan di sekitarnya. Tempat ini asing—bukan kamarnya, bukan juga rumahnya. Langit-langit yang berbeda, aroma ruangan yang tidak familiar, serta kesunyian yang begitu menusuk membuat jantungnya mulai berdegup lebih cepat. “Aku di mana?” Pertanyaan itu bergema di kepalanya, memicu ketegangan yang merayap perlahan ke seluruh tubuh. Ia mengedarkan pandangan, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Namun, sebelum pikirannya sempat bekerja, sesuatu yang lebih mengejutkan membuat tubuhnya membeku. Selimut putih yang melingkupinya melorot sedikit, dan saat ia melihat ke bawah—astaga! Darahnya seolah berhenti mengalir. Napasnya tercekat. Ia ti

    Last Updated : 2025-02-13
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 11 : Bekas Kepemilikan

    Sophia keluar dari taksi yang membawanya pulang. Di dalam rumah, ia sudah memikirkan apa yang harus ia katakan pada orang tuanya. Alasan apa yang akan ia berikan, terutama pada ayahnya? Ia tidak mungkin mengungkapkan bahwa semalam ia bersama Daniel. Jika ayahnya tahu, Robert pasti akan marah besar. Namun, jelas Sophia tidak akan mengungkapkan kebenaran itu. Semalam, ia pamit pada ayahnya untuk pergi bersama Jane, dan mungkin alasan yang akan ia berikan sekarang adalah bahwa ia menginap di rumah Jane. Semoga saja ayahnya percaya dan tidak merasa curiga. Sesampainya di dalam rumah, Sophia melihat ayahnya, Robert, yang tengah duduk di kursi dekat jendela besar di ruang tamu. Tangannya memegang sebuah benda yang tampak sudah usang—sebuah jam antik yang diwariskan turun-temurun dalam keluarga mereka. Robert sedang dengan telaten mengelap permukaan kaca jam tersebut, tampak sangat fokus, seolah waktu di sekelilingnya tidak ada artinya. Jam itu adalah benda kesayangan Robert, hadiah da

    Last Updated : 2025-02-13

Latest chapter

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 98 : Kehilangan

    Suara jeritan Sophia menggema di seluruh lorong mansion Williams, Daniel yang mendengar itu langsung berlari secepat mungkin ke arah sumber suara. "Sophia!" Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah menimpa wanita itu. Saat ia tiba di tangga besar mansion, napasnya tertahan. Sophia tergeletak di anak tangga, tubuhnya setengah terduduk dengan tangan bertumpu pada salah satu undakan. Pakaiannya kusut, dan yang lebih mengejutkan—darah segar mengalir dari kakinya, sampai membentuk genangan merah di lantai marmer. Daniel berlari menuruni tangga. "Sophia!" Ia segera berjongkok di hadapan wanita itu, tangannya refleks menyentuh perut Sophia. Sophia mengangkat wajahnya yang pucat, matanya berkabut menahan sakit. "Daniel …" suaranya lemah, hampir tidak terdengar. Daniel melihat tangan Sophia juga berlumuran darah. "Apa yang terjadi?!" Sophia membuka mulut, seolah ingin menjawab, tapi sebelum satu kata pun keluar, kepalanya terkulai ke sa

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 97 : Alibi Sophia

    Flash Back. Anne berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka, napasnya tertahan saat mendengar percakapan di dalam ruangan. Matanya menyipit tajam, memperhatikan setiap gerakan Sophia dan Daniel. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang aneh dengan kedekatan mereka. Tatapan penuh perhatian, sentuhan yang terlalu akrab—semuanya terasa lebih dari sekadar hubungan biasa. Dan kini, bukti itu ada di depan matanya. Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dari saku. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan membidik kamera ke arah Daniel yang tengah mengelus perut Sophia, wajahnya dipenuhi kelembutan. Klik. Satu foto berhasil ia abadikan. Anne menahan senyumnya. Ini akan sangat menarik. Tanpa ragu, ia mengetik pesan singkat di ponselnya sebelum mengunggah foto tersebut. "Kau harus melihat ini. Aku rasa kau akan sangat menyukainya." Tombol kirim ditekan, dan dalam hitungan detik, pesan itu terkirim ke Laura. Anne menatap layar ponselnya dengan penuh kepuasan. Ia tahu betul bagaimana L

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 96 : Janji yang Terucap dalam Diam

    Ruangan kerja Daniel yang berada di mansion Williams terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya lampu temaram menambah suasana nyaman di dalamnya. Di atas meja kerja, beberapa dokumen tersusun rapi, menunjukkan kesibukan Daniel akhir-akhir ini. Namun, saat ini, perhatiannya hanya terfokus pada satu hal—wanita yang tengah duduk di sofa, yang kini menjadi pusat dunianya. Sophia duduk dengan santai, tubuhnya sedikit bersandar ke belakang, satu tangannya mengelus lembut perutnya yang semakin membesar. Ada cahaya keibuan di wajahnya, sesuatu yang membuat Daniel tak bisa mengalihkan pandangan. Dengan langkah tenang, Daniel mendekat sambil membawa sesuatu di tangannya. Ia duduk di samping Sophia, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyerahkan benda itu. "Aku membeli ini untuk anak kita," katanya sambil menunjukkan sepasang sepatu bayi mungil berwarna pink. "Tapi aku tidak tahu apakah dia akan menyukainya." Mata Sophia melembut, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia menerima sepatu itu den

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 95 : Tidak Asing

    Benturan keras masih terasa di tubuh Daniel, napasnya sedikit tersengal saat kesadarannya perlahan pulih. Suara klakson mobil lain terdengar samar, diiringi teriakan beberapa orang yang bergegas mendekat ke arah mobilnya. Mobil yang menabraknya telah melaju pergi begitu saja, meninggalkan bekas tabrakan di bagian samping mobil Daniel. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, saat itu juga ketukan terdengar di jendela kaca mobilnya. Tok, tok, tok. "Pak, apa Anda baik-baik saja?" suara seorang pria terdengar khawatir dari balik kaca. Daniel mengerjapkan mata, masih sedikit pusing, lalu menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela. Udara malam yang dingin langsung menyapa wajahnya. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang sedikit serak. "Terima kasih." Pria yang mengetuk kaca tadi menghela napas lega. "Syukurlah. Saya melihat mobil itu menabrak Anda lalu kabur begitu saja. Haruskah saya menelepon polisi?" Daniel menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa mengur

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 94 : Kesepakatan yang Menguntungkan

    "Terima kasih atas kerja sama Anda, Mr. Lancaster," ujar Daniel sambil menjabat tangan pria di hadapannya. Mr. Edward Lancaster, seorang investor ternama yang memiliki jaringan luas di sektor properti dan pembangunan, mengangguk dengan ekspresi puas. "Kau memiliki visi yang kuat, Mr. Williams. Aku suka cara berpikirmu," ujarnya. Saat ini, Daniel sedang berada di ruang pertemuan eksklusif di lantai tertinggi sebuah hotel bintang lima, menemui klien penting untuk mengamankan investasi di proyek lahan perbukitan barat. Kawasan itu telah lama menjadi target pengembangan, tetapi hanya sedikit investor yang berani mengambil risiko karena akses dan infrastruktur yang masih terbatas. Namun, Daniel bukan pria yang mudah menyerah. Sejak awal presentasi, ia telah menyiapkan setiap data dengan matang—rencana pembangunan, prospek keuntungan jangka panjang, hingga strategi pengembangan akses jalan yang akan meningkatkan nilai lahan tersebut secara signifikan. Salah satu poin utama yang berha

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 93 : Godaan yang Tak Diinginkan

    Daniel menghembuskan napas panjang saat langkahnya sampai di depan pintu apartemen. Hari ini begitu melelahkan, bukan karena pekerjaan, tetapi karena pikirannya yang terus dipenuhi oleh sosok Sophia. Ada banyak hal yang harus ia pikirkan, tetapi semua terasa begitu buntu. Dengan sedikit enggan, ia merogoh kunci dari saku celananya, memasukkannya ke dalam lubang kunci, lalu memutar kenop pintu. Begitu pintu terbuka, pemandangan yang sudah berkali-kali ia lihat kembali menyambutnya. Laura berdiri di ambang kamar, bersandar di dinding dengan pakaian minim yang jelas dirancang untuk menggoda. Sebuah lingerie sutra berwarna merah melekat di tubuhnya, memperlihatkan kulitnya yang mulus. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, beberapa helai jatuh ke bahunya dengan cara yang tampak natural, seolah tanpa usaha. Seharusnya pemandangan itu bisa menggoda siapa pun—tapi tidak bagi Daniel. "Welcome home, darling," suara Laura terdengar lembut, mengandung nada genit yang sudah sangat familiar di

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 92 : Luka Lain

    Anne berdiri di ujung lorong, matanya menyipit penuh tanda tanya saat menatap ke arah ruang tengah. Di sana, Sophia duduk dengan tenang di atas sofa, jemarinya membalik lembar demi lembar majalah yang ada di pangkuannya. Tidak ada tanda-tanda kelemahan, tidak ada wajah pucat, tidak ada keluhan sakit. Seharusnya, Sophia sudah merasakan efeknya. Seharusnya, wanita itu sekarang sedang terbaring lemas, atau setidaknya menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan. Tapi nyatanya, dia masih baik-baik saja—seolah tidak terjadi apa pun. Anne menggigit bibirnya, pikirannya berputar cepat. Apa yang salah? Ia yakin benar telah memasukkan obat itu ke dalam susu Sophia. Maid yang bertugas mengantarkan susu itu juga tidak mencurigakan. Jadi kenapa Sophia masih sehat-sehat saja? Perasaan gelisah mulai merayapi dirinya. Jika rencananya gagal, maka artinya ia harus lebih berhati-hati. Tidak boleh ada yang tahu tentang ini. Terutama Laura. Wanita itu pasti akan sangat kecewa jika tahu bahwa upaya mereka t

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 91 : Ketakutan yang Terlambat Disadari

    Sophia menatap lelaki di hadapannya, mengenakan jaket hitam pekat yang membingkai tubuh tegapnya dengan sempurna. Wajahnya terlihat begitu tampan di bawah cahaya rembulan, sorot matanya tajam dan menenangkan. Meski sudah berumur tiga puluh tahun, pria itu tetap memiliki daya tarik luar biasa. Ketegasan di rahangnya, tatapan matanya yang dalam, dan caranya berdiri dengan percaya diri seakan menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang tidak mudah digoyahkan. Saat melihatnya, rasa takut yang tadi membekapnya perlahan mulai mereda. Tubuhnya yang gemetar sedikit demi sedikit merasa lebih tenang, seolah pria di depannya adalah perlindungan yang selama ini ia cari. Tanpa berpikir panjang, Sophia langsung memeluk lelaki itu dengan erat. "Daniel ..." bisiknya lemah, suara gemetar di antara napasnya yang masih tersengal. Daniel terkejut sejenak, tetapi tangannya segera membalas pelukan itu, menahan tubuh Sophia yang sedikit limbung. Ia bisa merasakan betapa dingin tubuh wanita itu, betapa

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 90 : Rahasia yang Berbahaya

    Sophia merasakan bulu kuduknya berdiri saat melihat wajah pucat Andrew. Pria itu jelas ketakutan. Siapa orang-orang yang ia maksud? Tiba-tiba, pintu bar terbuka kembali, dan seorang pria bertubuh tinggi dengan pakaian serba hitam melangkah masuk. Namun, yang membuat jantung Sophia berdetak lebih kencang bukan hanya posturnya yang mengintimidasi—melainkan topeng hitam yang menutupi separuh wajahnya. Pria itu melangkah mendekat dengan tatapan tajam. Sophia bisa merasakan aura mengancam yang menyelimuti ruangan, membuatnya secara refleks mundur selangkah. Andrew menggertakkan giginya. Ia menoleh pada Sophia dengan ekspresi serius. "Aku bilang pergi dari sini sekarang!" bisiknya tajam. Tapi Sophia tetap diam di tempatnya, hatinya berdebar kencang. Jika ia pergi sekarang, bisa saja Andrew tidak akan pernah mau bicara lagi. Ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk mengetahui siapa dalang di balik kecelakaan ayahnya. "Siapa dia?" bisik Sophia, matanya tetap mengawasi pria bertopeng y

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status