Beranda / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 3 : Pertemuan Tak Terduga

Share

Bab 3 : Pertemuan Tak Terduga

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-24 17:00:50

Cermin besar di sudut kamar memantulkan bayangan Sophia yang tengah bersiap. Jemari rampingnya dengan cermat mengancingkan perhiasan sederhana di lehernya—sebuah kalung perak kecil dengan liontin berbentuk bunga yang pernah diberikan almarhum neneknya.

Gaun satin biru langit yang ia kenakan pas di tubuh, mengalir anggun hingga menutupi lutut. Rambut hitam yang biasanya tergerai, kali ini digulung ke atas dengan beberapa helaian dibiarkan jatuh.

Namun, matanya yang cokelat gelap menyiratkan kegelisahan. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Di seberang kamar, Rose berdiri dengan tangan terlipat di dada, mengamati putrinya yang tengah berdandan.

“Kamu terlihat cantik, Sophia.”

Sophia hanya mengangguk. “Apakah aku harus bertemu dengannya sekarang?”

Rose menghela napas. “Ini untuk masa depanmu, Sophia.”

Robert muncul di ambang pintu, mengenakan setelan jas hitam yang tidak terlalu sering ia pakai. “Waktunya berangkat,” katanya tegas. “Jangan membuat keluarga ini terlihat buruk di hadapan mereka.”

Sophia menahan komentar yang hampir meluncur dari bibirnya. Ia mengambil tas clutch kecilnya dan mengikuti kedua orang tuanya ke luar rumah.

Mobil hitam mengkilap milik Robert meluncur tenang di sepanjang jalan raya kota Austin yang mulai sepi. Di dalam mobil, suasana terasa berat. Sophia duduk di kursi belakang, memperhatikan bayangan gedung-gedung tinggi yang melesat di luar jendela. Tangannya menggenggam erat tas kecilnya, seolah itu bisa menenangkan degup jantungnya yang tidak beraturan.

Rose yang duduk di samping Robert di depan, sesekali melirik ke belakang, memastikan putrinya tetap tenang.

Sementara Robert hanya fokus pada kemudi. “Ingat, Sophia. Jangan menunjukkan sikap kasar. Orang yang akan kamu temui ini memiliki pengaruh besar. Jangan membuat malu keluarga kita.”

Sophia hanya mendesah pelan. Ia tidak membalas, tetapi pikirannya melayang jauh. Siapa lelaki yang akan ia temui? Dan mengapa semua ini terasa seperti hukuman?

Setelah beberapa menit, mobil berhenti di depan sebuah mansion megah. Bangunan itu berdiri menjulang dengan dinding putih berornamen klasik, lengkap dengan pilar-pilar besar di depan pintu masuknya. Di gerbang, tulisan ‘Williams Mansion’ terukir di atas papan emas besar yang berkilauan di bawah lampu malam.

Mata Sophia membelalak, sementara Rose menutup mulutnya, terkejut melihat kemewahan yang terpampang di depan mereka. Bahkan Robert, yang biasanya tenang, terlihat kehilangan kata-kata sejenak.

“Ini ... ini tempat mereka?” gumam Rose, suaranya hampir tak terdengar.

Robert hanya mengangguk, menarik napas dalam sebelum membuka pintu mobil. “Jaga sikap kalian. Kita di sini bukan sebagai tamu biasa.”

Sophia turun dari mobil dengan hati-hati, tumit tinggi sepatunya mengetuk pelan jalanan berlapis batu. Ia mendongak, menatap mansion itu sekali lagi. Jendela-jendela besar dengan tirai berat menjuntai indah.

Pintu besar terbuka, dan seorang pria tua berusia sekitar lima puluhan melangkah keluar. Penampilannya rapi dengan setelan jas abu-abu yang dipadukan dasi merah.

“Selamat malam, Tuan dan Nyonya,” sapanya sopan. “Saya Lewis, kepala pelayan keluarga Williams. Tuan besar sedang menunggu kalian di ruang utama. Silakan masuk.”

Rose mengangguk kikuk, sementara Robert menjawab dengan formalitas. “Terima kasih, Lewis.”

Sophia mengikuti mereka masuk, matanya terus memandang sekeliling. Interior mansion itu tidak kalah mengesankan. Lantai marmer yang berkilauan memantulkan lampu gantung kristal besar yang tergantung di langit-langit. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan klasik berbingkai emas, sementara karpet merah tebal membentang di sepanjang lorong menuju ruang utama.

Langkah kaki mereka terhenti di depan pintu ganda besar yang dijaga oleh dua pelayan lain. Lewis membuka pintu itu perlahan, sebuah ruang luas dengan sofa kulit mewah, perapian besar, dan meja panjang berisi minuman sudah terlihat jelas. Memperlihatkan seorang pria tua yang berjalan perlahan dengan tongkat kayu berukir di tangan kanannya.

Pria itu adalah William Arthur Williams, pemilik Williams Group, salah satu konglomerasi terbesar di negeri ini.

“Selamat malam, Tuan Robert, Nyonya Rose, dan tentu saja, Sophia.” William menyambut mereka.

Robert melangkah maju, membungkuk hormat sambil menjabat tangan William. “Selamat malam, Tuan William. Terima kasih telah menerima kami di rumah Anda yang indah.”

“Keluargaku telah menunggu untuk bertemu dengan kalian.” Tatapan William beralih ke Sophia, matanya mengamati gadis itu sejenak. “Kamu pasti Sophia.”

Sophia mengangguk sopan, meski hatinya berdegup kencang. “Selamat malam, Tuan William. Terima kasih telah mengundang kami.”

William tersenyum tipis, lalu melirik ke arah pintu. “David, Edward, masuklah.”

Suara langkah mendekat mengiringi dua pria yang masuk ke dalam ruangan. Yang pertama adalah seorang pria muda dengan postur tegap, mengenakan setelan navy blue yang terjahit sempurna. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas, alis hitam tebal, dan sepasang mata abu-abu dingin yang menatap Sophia sejenak sebelum beralih pada keluarganya.

“Ini David,” ujar William sambil memperkenalkan pemuda itu. “Cucuku, dan orang yang ingin aku perkenalkan kepada Sophia.”

David melangkah mendekat, mengulurkan tangan. “David,” sapanya.

Sophia menyambut uluran tangan itu dengan ragu-ragu. Jemarinya yang halus bersentuhan dengan tangan David yang dingin dan kokoh. “Senang bertemu dengan Anda,” balasnya.

David hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Namun, tatapannya yang tajam membuat Sophia merasa seolah ia tengah dinilai.

Di belakang David, seorang pria lain masuk, mengenakan setelan abu-abu yang lebih santai. Wajahnya menunjukkan usia yang sedikit lebih tua, mungkin sekitar akhir empat puluhan. Rambut cokelat gelapnya disisir dengan rapi, dan senyumnya sedikit lebih hangat dibandingkan David.

“Ini Edward,” lanjut William. “Anakku yang kedua.”

Edward melangkah maju, senyum ramah menghiasi wajahnya. “Selamat malam. Saya Edward, paman dari David.”

Rose dan Robert menyambut dengan sopan, sementara Sophia hanya mengangguk. Edward tampak lebih terbuka, berbeda dari kesan dingin yang ditampilkan David.

“Silakan duduk,” ujar William, mempersilakan mereka ke sofa mewah di tengah ruangan. Pelayan segera datang membawa minuman.

Saat semua sudah duduk, William mulai berbicara. “Sophia, aku tahu ini mendadak, tetapi aku yakin perjodohan ini adalah keputusan yang tepat. David adalah penerus Williams Group. Dia tidak hanya berbakat, tetapi juga pria yang bertanggung jawab.”

Sophia melirik David yang duduk di sebelahnya. Pria itu tetap diam, matanya fokus pada cangkir teh di tangannya. Hatinya sedikit gelisah, tetapi ia berusaha menjaga sikapnya.

“Saya dengar, Anda kehilangan orang tua Anda?” tanya Rose tiba-tiba.

David mengangguk perlahan. “Iya. Orang tua saya meninggal dalam kecelakaan lima tahun lalu.”

Ada keheningan sejenak di ruangan itu. Sophia dapat merasakan luka dalam yang masih tersisa di balik kata-kata David yang singkat.

Edward yang duduk di sisi lain, mencoba mencairkan suasana. “David memang kehilangan banyak hal, tetapi dia selalu kuat. Bahkan sekarang, dia sudah membawa banyak perubahan besar di perusahaan kami.”

William mengangguk setuju. “Dia adalah kebanggaanku.”

Percakapan mereka terhenti ketika Lewis, kepala pelayan mansion, mendekati William. Pria tua itu membungkuk hormat sebelum berbicara. “Permisi, Tuan.”

“Ada apa, Lewis?” tanya William, alisnya sedikit terangkat.

“Tuan muda keempat sudah kembali.”

Ruangan seketika hening. William menatap Lewis dengan tatapan yang sulit dipercaya. “Benarkah? Suruh dia masuk,” ujarnya, suaranya bergetar karena tak sabar. Pasalnya, sudah lima tahun anaknya itu pergi, dan sekarang akhirnya ia kembali lagi.

“Baik, Tuan,” jawab Lewis, membungkuk lagi sebelum bergegas meninggalkan ruangan.

Edward yang duduk di seberang William, terlihat jelas tidak senang. Rahangnya mengeras, dan ia bersandar dengan kasar ke sofa. “Apa dia benar-benar harus kembali sekarang?” gumam Edward dingin, meski cukup keras untuk didengar.

Tatapan William menyipit, memperingatkan Edward agar tidak bicara lebih jauh. Namun, ketegangan sudah menyebar ke seluruh ruangan.

Pintu ruang utama terbuka kembali, kali ini langkah kaki terdengar lebih berat. Sepatu pantofel menginjak lantai marmer dengan ritme yang stabil. Semua kepala berbalik serentak ke arah pria yang masuk.

Sophia terpaku. Napasnya tertahan ketika pandangannya beradu dengan netra pria itu. Waktu terasa berhenti sejenak, pikirannya melayang pada semua kenangan pahit yang ingin ia lupakan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 119 : Tamat

    Mentari pagi menyelinap masuk dari sela-sela tirai putih di ruang tengah mansion William. Udara terasa berbeda. Lebih damai saat ini. Daniel berdiri di depan jendela besar yang menghadap taman belakang. Tangannya menggenggam secarik kertas—surat pengunduran diri sebagai direktur utama William Group. Ia menoleh saat suara langkah kaki mendekat. David muncul, mengenakan kemeja putih yang masih belum dirapikan. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh cahaya yang berbeda. "Kau yakin dengan keputusan ini, Paman?" tanya David pelan. Daniel menatap ke luar jendela sebentar sebelum menoleh kembali. "Aku lelah, David. Selama ini hidupku penuh kebisingan, persaingan, dan kehilangan. Aku butuh tempat yang sunyi … tempat di mana aku bisa bernapas tanpa harus memikirkan strategi bisnis atau pengkhianatan." David mengangguk pelan. "Lalu … Sophia?" "Sophia akan ikut denganku," jawab Daniel. "Kami belum tahu akan tinggal di mana. Tapi kami berencana menetap di desa kecil dekat danau

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 118 : Mendapat Balasan

    John meletakkan pulpen itu ke atas meja, napasnya teratur, tapi wajahnya terlihat tegang. Sophia menyuruhnya untuk mengambil pulpen tersebut, karena tak sengaja melihat pesan yang dikirim Anne pada David, sebab waktu itu David lagi pergi dan lupa membawa ponselnya, Sophia pun meminta tolong pada John. "Ini dia," ujar Daniel sambil menggenggam pulpen itu seolah sedang memegang kunci yang akan membuka semua kebusukan selama ini. Ia memutar-mutar bagian tengahnya, hingga sebuah celah kecil muncul. Di dalamnya tersembunyi sebuah microSD, hampir tak terlihat jika tak benar-benar diperhatikan. "Coba masukkan ke laptop," ujar Sophia cepat, tak bisa menyembunyikan ketegangan di suaranya. Daniel menurut. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan kartu memori ke adaptor lalu menyambungkannya ke laptop. Tak butuh waktu lama, sebuah folder terbuka dengan nama: TRUTH. Di dalamnya terdapat beberapa video, semua dinamai dengan tanggal dan lokasi. Daniel mengarahkan kursor ke file paling atas,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 117 : Kamera Pengawas

    Langkah Anne baru saja mencapai pintu utama saat itu juga, suara berat Edward terdengar dari belakangnya. "Mau ke mana kamu?" tanyanya dingin, nada curiga langsung terasa dari cara bicaranya. Anne menoleh pelan. Ia mencoba tetap tenang meskipun hatinya berdegup tak karuan. "Saya hanya ingin membeli beberapa sayuran, Tuan. Stok di dapur sudah menipis sejak kemarin." Edward menyipitkan mata, lalu melangkah mendekat. "Kamu sudah tahu, kan? Tidak ada satu orang pun yang boleh keluar masuk mansion ini tanpa seizinku." Anne menggenggam tali tas kecilnya erat. "Kalau saya tidak membeli bahan makanan, bagaimana orang-orang di mansion ini bisa makan, Tuan? Beberapa pelayan bahkan sudah mulai memasak seadanya." Edward terdiam sejenak, lalu mendesah panjang dengan nada malas. Ia tahu Anne tidak berbohong. Tapi ia juga tak sepenuhnya percaya padanya. "Baik, tapi kamu tidak akan pergi sendirian." Ia menoleh ke arah dua pria berseragam hitam yang berdiri tak jauh dari sana. "Kalian berdua,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 116 : Sebuah Rencana

    "Permisi, apa ada seseorang di sana?" Suara pria dari balik pintu terdengar, disertai ketukan yang kembali berulang. Nadanya terdengar sopan, namun cukup keras untuk membuat jantung mereka berempat berdegup kencang. Daniel mendekat perlahan, lalu membuka celah kecil pada pintu untuk memastikan siapa yang datang. Seorang pria berdiri di sana, mengenakan seragam pengantar makanan lengkap dengan tas besar di punggungnya. Daniel menarik napas lega. "Ternyata cuma kurir makanan," ujarnya sambil menoleh ke dalam. Mendengar itu, semua orang di dalam ruangan langsung menghela napas panjang. Ketegangan yang sempat mencekam pun perlahan mereda. Daniel membuka pintu dan menerima pesanan dari pria berseragam. Tak lama kemudian, mereka kembali duduk di ruang tengah, membiarkan aroma makanan yang baru datang itu memenuhi ruangan. Namun, tak satu pun dari mereka merasa lapar. Pikiran mereka hanya tertuju pada satu hal: bagaimana cara kembali ke mansion William tanpa diketahui Edward. "Kita t

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 115 : Surat Cerai

    Setelah diusir dari mansion William, Daniel dan David kini tinggal di sebuah apartemen sederhana milik Daniel. Sore ini, suasana ruang tamu dipenuhi ketegangan. Di atas meja kaca, sebuah amplop cokelat tergeletak di sana. David berdiri di hadapan Sophia yang duduk di sofa, tubuhnya tampak lelah, tapi ia mencoba untuk tetap tegar. David lalu menyerahkan amplop itu padanya. "Ini," ucapnya singkat. Sophia mengernyit, lalu mengambil amplop itu. "Apa ini?" tanyanya pelan. "Surat cerai," jawab David tanpa berusaha menutupi nada berat di balik ucapannya. Mata Sophia membulat. "Cerai?" David mengangguk. Perlahan, Sophia mengangkat wajahnya, menatap ke arah Daniel yang berdiri tak jauh dari mereka, lelaki itu bersandar di dinding dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya menyiratkan pertanyaan yang tak sempat diucapkan. "Kau tidak menyuruhnya melakukan ini ... kan?" Daniel tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Dia sendiri yang mem

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 114 : Kelicikan Edward

    Sophia akhirnya menatap David, matanya mulai memerah. "Kalau kau memang ingin membicarakan malam itu, mari kita bicarakan semuanya, David," ucapnya pelan namun terdengar jelas di ruangan yang hening itu. David mengernyit. "Apa maksudmu?" "Bukankah kau juga menghabiskan malam pertamamu ... bersama Anne?" Deg. Suasana sontak berubah. Anne yang duduk tak jauh dari David terlonjak, wajahnya seketika memucat. William yang sedari tadi hanya menjadi pendengar pun kini mendongak, matanya menatap cucunya dan Anne silih berganti. "Apa?" David nyaris berbisik, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sophia menghela napas dalam. "Jangan tanya padaku seolah kau korban satu-satunya. Kau meninggalkanku di kamar yang seharusnya menjadi awal rumah tangga kita, lalu pergi ke kamar Anne. Aku tidak bodoh, David. Seprei putih itu tidak berbohong." Anne membeku di tempat duduknya, wajahnya menunduk tak sanggup menatap siapa pun. David memandang ke arah Anne, matanya melebar. "A-An

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status