Suara langkah kaki terdengar tergesa-gesa di sepanjang koridor, diikuti oleh suara pintu ruang tamu yang terbuka kasar. "Sophia!" Suara berat itu menggema di seluruh ruangan, menusuk keheningan yang sebelumnya hanya diisi oleh dentingan cangkir porselen. Sophia yang tengah berdiri di dekat sofa sontak menoleh. Ia baru saja hendak menuang teh ke dalam cangkir ketika suara itu menyambar perhatian. Matanya menangkap sosok David yang berdiri di ambang pintu—rahangnya mengatup keras, napasnya memburu, dan tatapannya membara. Dada Sophia mencelos. "David? Ada apa?" Namun, sebelum ia sempat memproses apa yang sedang terjadi, sebuah tamparan mendarat keras di pipinya. PLAK! Dunia terasa berhenti. Semua terjadi begitu cepat—kepalanya terpelanting ke samping, suara tamparan itu masih menggema di telinganya, dan rasa panas yang perih menjalar di pipinya. Tangan Sophia terangkat refleks, menyentuh kulitnya yang berdenyut. Matanya melebar tidak percaya. "Kau … menamparku?"
Sophia melangkah keluar dari rumah sakit, udara sore menyapu wajahnya dengan lembut. Baru saja ia hendak melanjutkan langkah, suara deru mobil yang melintas di hadapannya membuatnya berhenti. Sebuah mobil hitam berkilau berhenti di tepi jalan, dan kaca jendelanya perlahan turun, memperlihatkan sosok pria yang duduk di dalamnya. John. Pria itu menatapnya dengan serius. "Sophia." Sophia mengernyit, sedikit terkejut dengan kedatangan lelaki itu. "John?" "Masuklah." Sophia menatap pria itu sesaat, seperti mempertimbangkan sesuatu, sebelum akhirnya mengangguk dan melangkah masuk ke dalam mobil. Ia menoleh ke arah John yang kini tengah fokus mengemudi. "Ada apa, John? Tumben sekali kau menjemputku seperti ini." John tetap menatap ke depan, menyusuri jalanan kota dengan kecepatan stabil. "Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu." Dahi Sophia berkerut. "Siapa?" John akhirnya melirik sekilas, seolah mengukur reaksi Sophia sebelum menjawab, "Siapa lagi kalau bukan Dani
"Kurang ajar! Berani-beraninya dia menamparmu?" Daniel menggeram. Mendengar umpatan Daniel, Sophia mengerutkan kening. Ada sesuatu yang aneh dalam reaksinya kali ini. Apakah Daniel benar-benar marah hanya karena David telah menamparnya? Bukankah selama ini dia selalu bersikap dingin dan tak acuh terhadap urusannya? Merasa penasaran, Sophia mengangkat tangannya dan menyentuh kening pria itu. Tapi suhu tubuhnya terasa normal, tak ada tanda-tanda demam. "Kau ... kau marah pada David?" tanyanya, matanya menatap Daniel dengan bingung. Daniel mengencangkan rahangnya. Ia melepaskan tangannya dari pinggang Sophia dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencoba menyembunyikan sesuatu. "Kenapa dia bisa menamparmu?" tanyanya, suaranya lebih tenang, tapi tetap terdengar dingin. Sophia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Anne memberitahu David bahwa aku mempermalukannya di depanmu. Jadi, dia tiba-tiba datang dan menamparku begitu saja." Daniel menoleh cepat, tatapan
Gaun malam berwarna hitam dengan detail manik-manik halus tergeletak di atas ranjang. Sophia menatapnya tanpa banyak ekspresi, tangannya sibuk menyisir rambut panjangnya yang terurai. Malam ini adalah pesta ulang tahun William. Pesta besar yang akan diadakan di hotel mewah milik keluarga Williams. Ia baru saja hendak mengenakan anting saat pintu kamarnya terbuka begitu saja. Sosok seorang wanita berusia sekitar lima puluhan melangkah masuk dengan percaya diri, seolah kamar ini adalah miliknya sendiri. Rose. Wanita itu mengenakan gaun hijau zamrud dengan perhiasan mencolok di pergelangan tangan dan lehernya. Tatapannya langsung menyapu seluruh ruangan dengan cepat—ranjang berukir mewah, lampu gantung kristal, lemari pakaian besar yang terbuat dari kayu mahal. Segala kemewahan yang dulu hanya bisa ia impikan. Senyuman puas tersungging di wajahnya. "Kau beruntung, Sophia," ucapnya sambil berjalan lebih dalam, jemarinya dengan ringan menyentuh ukiran kayu di ujung ranjang. "Li
"Kau tidak perlu melakukannya." Sophia langsung menegakkan tubuhnya, seolah tarikan gravitasi yang sebelumnya menahannya hilang begitu saja. Napasnya tercekat, matanya melebar saat mengenali sosok pria yang baru saja berbicara. Pria itu adalah Daniel. Ia berdiri di ambang pintu, mengenakan tuxedo yang rapi dengan kemeja putih bersih di baliknya. Cahaya lampu mengguratkan kilau di rambut hitamnya yang tertata sempurna. Sorot matanya tajam, saat ia melangkah mendekati mereka. Melihat itu, Anne menegang. "T-Tuan Daniel …" gumamnya, segera menundukkan kepala, ekspresi angkuhnya menghilang seketika. Ia tidak menyangka bahwa Daniel masih ada di mansion. Ia pikir semua orang sudah pergi ke hotel untuk perayaan ulang tahun Williams. Tepat sudah berada di dekat mereka, Daniel menghentikan langkahnya, tatapannya menusuk langsung ke arah Anne. "Apa kau tidak bisa menjaga sikapmu?" Anne menelan ludah. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Bahkan untuk menatap mata taj
Sosok wanita bertubuh langsing melangkah dengan anggun menuju di mana tempat William dan keluarganya sedang berada. Semua orang menatap kagum ke arah wanita itu, penampilannya malam ini begitu mempesona. Rambut pirangnya disanggul rapi, beberapa helai dibiarkan jatuh di sekitar wajahnya. Gaun merah yang membalut tubuhnya begitu sempurna, mengikuti setiap lekuk tubuhnya tanpa berlebihan. Sementara leher jenjangnya dihiasi kalung berlian yang berkilau setiap kali ia bergerak. Wanita itu melangkah dengan percaya diri. Sepatu hak tinggi yang berkilauan muncul sesekali dari balik gaunnya, menyempurnakan keseluruhan penampilannya yang membuat semua mata enggan berpaling. Wanita itu adalah Laura James, putri sulung James, seorang pengusaha ternama di kota ini. Namun, bukan hanya status keluarganya yang membuat namanya dikenal, tetapi juga hubungannya dengan seseorang di ruangan ini. Mantan kekasih Daniel. Lebih tepatnya, cinta pertama Daniel. Daniel berdiri mematung, matanya
Daniel dan Laura berdiri berhadapan di sebuah ruangan yang sepi. Suara bising dari pesta ulang tahun William terasa jauh, seakan hanya ada mereka berdua di dunia ini. Laura menggigit bibirnya, matanya menatap Daniel dengan ragu. "Daniel … aku minta maaf." "Untuk apa?" "Aku tahu aku salah telah meninggalkanmu dulu." Sebuah senyum sinis terukir di wajah Daniel. "Lima tahun kau pergi tanpa kabar, dan sekarang kau kembali hanya dengan maaf?" Laura mengepalkan tangannya, ia tahu ia salah karena telah meninggalkan Daniel begitu saja. "Aku pergi bukan tanpa alasan, Daniel. Aku harus melakukannya." Daniel menatapnya tajam. "Harus? Kenapa? Apa karena ada pria lain?" Laura cepat-cepat menggeleng. "Bukan. Bukan seperti itu." Ia mengalihkan pandangannya, berusaha meredam gejolak dalam dadanya. Lalu, dengan suara yang hampir bergetar, Laura berkata, "Aku mengidap penyakit jantung bawaan sejak kecil, Daniel." Daniel terdiam. "Saat itu dokter memberitahuku bahwa usiaku mungkin
Daniel mengernyit, rasa gelisah tiba-tiba menyelinap ke dalam hatinya. Entah kenapa, melihat punggung Sophia yang menghilang di balik pintu membuat dadanya terasa sesak. "Lepaskan, Laura," ucapnya tiba-tiba. Laura yang masih memeluknya dari belakang sedikit tersentak. "Daniel?" "Aku bilang, lepaskan." Kali ini suara Daniel terdengar lebih tegas. Laura terdiam sejenak, sebelum akhirnya perlahan melonggarkan pelukannya. Sementara itu, Daniel segera berbalik, menatap Laura beberapa detik sebelum akhirnya ia berkata kembali, "Kau bilang aku masih mencintaimu, tapi sejujurnya aku bahkan tak tahu apa yang kurasakan sekarang." Daniel mengusap wajahnya kasar, berusaha mencoba menahan sesak yang ada di dalam dadanya, ia menghela napas berat, kemudian berkata lagi, "Lima tahun bukan waktu yang singkat, Laura. Aku sudah terlalu lama belajar hidup tanpamu." Sepasang mata Laura berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Namun, ia mencoba untuk berkata meski terasa sesak. "Jadi … maksudmu?" "A
Suara jeritan Sophia menggema di seluruh lorong mansion Williams, Daniel yang mendengar itu langsung berlari secepat mungkin ke arah sumber suara. "Sophia!" Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah menimpa wanita itu. Saat ia tiba di tangga besar mansion, napasnya tertahan. Sophia tergeletak di anak tangga, tubuhnya setengah terduduk dengan tangan bertumpu pada salah satu undakan. Pakaiannya kusut, dan yang lebih mengejutkan—darah segar mengalir dari kakinya, sampai membentuk genangan merah di lantai marmer. Daniel berlari menuruni tangga. "Sophia!" Ia segera berjongkok di hadapan wanita itu, tangannya refleks menyentuh perut Sophia. Sophia mengangkat wajahnya yang pucat, matanya berkabut menahan sakit. "Daniel …" suaranya lemah, hampir tidak terdengar. Daniel melihat tangan Sophia juga berlumuran darah. "Apa yang terjadi?!" Sophia membuka mulut, seolah ingin menjawab, tapi sebelum satu kata pun keluar, kepalanya terkulai ke sa
Flash Back. Anne berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka, napasnya tertahan saat mendengar percakapan di dalam ruangan. Matanya menyipit tajam, memperhatikan setiap gerakan Sophia dan Daniel. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang aneh dengan kedekatan mereka. Tatapan penuh perhatian, sentuhan yang terlalu akrab—semuanya terasa lebih dari sekadar hubungan biasa. Dan kini, bukti itu ada di depan matanya. Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dari saku. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan membidik kamera ke arah Daniel yang tengah mengelus perut Sophia, wajahnya dipenuhi kelembutan. Klik. Satu foto berhasil ia abadikan. Anne menahan senyumnya. Ini akan sangat menarik. Tanpa ragu, ia mengetik pesan singkat di ponselnya sebelum mengunggah foto tersebut. "Kau harus melihat ini. Aku rasa kau akan sangat menyukainya." Tombol kirim ditekan, dan dalam hitungan detik, pesan itu terkirim ke Laura. Anne menatap layar ponselnya dengan penuh kepuasan. Ia tahu betul bagaimana L
Ruangan kerja Daniel yang berada di mansion Williams terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya lampu temaram menambah suasana nyaman di dalamnya. Di atas meja kerja, beberapa dokumen tersusun rapi, menunjukkan kesibukan Daniel akhir-akhir ini. Namun, saat ini, perhatiannya hanya terfokus pada satu hal—wanita yang tengah duduk di sofa, yang kini menjadi pusat dunianya. Sophia duduk dengan santai, tubuhnya sedikit bersandar ke belakang, satu tangannya mengelus lembut perutnya yang semakin membesar. Ada cahaya keibuan di wajahnya, sesuatu yang membuat Daniel tak bisa mengalihkan pandangan. Dengan langkah tenang, Daniel mendekat sambil membawa sesuatu di tangannya. Ia duduk di samping Sophia, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyerahkan benda itu. "Aku membeli ini untuk anak kita," katanya sambil menunjukkan sepasang sepatu bayi mungil berwarna pink. "Tapi aku tidak tahu apakah dia akan menyukainya." Mata Sophia melembut, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia menerima sepatu itu den
Benturan keras masih terasa di tubuh Daniel, napasnya sedikit tersengal saat kesadarannya perlahan pulih. Suara klakson mobil lain terdengar samar, diiringi teriakan beberapa orang yang bergegas mendekat ke arah mobilnya. Mobil yang menabraknya telah melaju pergi begitu saja, meninggalkan bekas tabrakan di bagian samping mobil Daniel. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, saat itu juga ketukan terdengar di jendela kaca mobilnya. Tok, tok, tok. "Pak, apa Anda baik-baik saja?" suara seorang pria terdengar khawatir dari balik kaca. Daniel mengerjapkan mata, masih sedikit pusing, lalu menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela. Udara malam yang dingin langsung menyapa wajahnya. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang sedikit serak. "Terima kasih." Pria yang mengetuk kaca tadi menghela napas lega. "Syukurlah. Saya melihat mobil itu menabrak Anda lalu kabur begitu saja. Haruskah saya menelepon polisi?" Daniel menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa mengur
"Terima kasih atas kerja sama Anda, Mr. Lancaster," ujar Daniel sambil menjabat tangan pria di hadapannya. Mr. Edward Lancaster, seorang investor ternama yang memiliki jaringan luas di sektor properti dan pembangunan, mengangguk dengan ekspresi puas. "Kau memiliki visi yang kuat, Mr. Williams. Aku suka cara berpikirmu," ujarnya. Saat ini, Daniel sedang berada di ruang pertemuan eksklusif di lantai tertinggi sebuah hotel bintang lima, menemui klien penting untuk mengamankan investasi di proyek lahan perbukitan barat. Kawasan itu telah lama menjadi target pengembangan, tetapi hanya sedikit investor yang berani mengambil risiko karena akses dan infrastruktur yang masih terbatas. Namun, Daniel bukan pria yang mudah menyerah. Sejak awal presentasi, ia telah menyiapkan setiap data dengan matang—rencana pembangunan, prospek keuntungan jangka panjang, hingga strategi pengembangan akses jalan yang akan meningkatkan nilai lahan tersebut secara signifikan. Salah satu poin utama yang berha
Daniel menghembuskan napas panjang saat langkahnya sampai di depan pintu apartemen. Hari ini begitu melelahkan, bukan karena pekerjaan, tetapi karena pikirannya yang terus dipenuhi oleh sosok Sophia. Ada banyak hal yang harus ia pikirkan, tetapi semua terasa begitu buntu. Dengan sedikit enggan, ia merogoh kunci dari saku celananya, memasukkannya ke dalam lubang kunci, lalu memutar kenop pintu. Begitu pintu terbuka, pemandangan yang sudah berkali-kali ia lihat kembali menyambutnya. Laura berdiri di ambang kamar, bersandar di dinding dengan pakaian minim yang jelas dirancang untuk menggoda. Sebuah lingerie sutra berwarna merah melekat di tubuhnya, memperlihatkan kulitnya yang mulus. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, beberapa helai jatuh ke bahunya dengan cara yang tampak natural, seolah tanpa usaha. Seharusnya pemandangan itu bisa menggoda siapa pun—tapi tidak bagi Daniel. "Welcome home, darling," suara Laura terdengar lembut, mengandung nada genit yang sudah sangat familiar di
Anne berdiri di ujung lorong, matanya menyipit penuh tanda tanya saat menatap ke arah ruang tengah. Di sana, Sophia duduk dengan tenang di atas sofa, jemarinya membalik lembar demi lembar majalah yang ada di pangkuannya. Tidak ada tanda-tanda kelemahan, tidak ada wajah pucat, tidak ada keluhan sakit. Seharusnya, Sophia sudah merasakan efeknya. Seharusnya, wanita itu sekarang sedang terbaring lemas, atau setidaknya menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan. Tapi nyatanya, dia masih baik-baik saja—seolah tidak terjadi apa pun. Anne menggigit bibirnya, pikirannya berputar cepat. Apa yang salah? Ia yakin benar telah memasukkan obat itu ke dalam susu Sophia. Maid yang bertugas mengantarkan susu itu juga tidak mencurigakan. Jadi kenapa Sophia masih sehat-sehat saja? Perasaan gelisah mulai merayapi dirinya. Jika rencananya gagal, maka artinya ia harus lebih berhati-hati. Tidak boleh ada yang tahu tentang ini. Terutama Laura. Wanita itu pasti akan sangat kecewa jika tahu bahwa upaya mereka t
Sophia menatap lelaki di hadapannya, mengenakan jaket hitam pekat yang membingkai tubuh tegapnya dengan sempurna. Wajahnya terlihat begitu tampan di bawah cahaya rembulan, sorot matanya tajam dan menenangkan. Meski sudah berumur tiga puluh tahun, pria itu tetap memiliki daya tarik luar biasa. Ketegasan di rahangnya, tatapan matanya yang dalam, dan caranya berdiri dengan percaya diri seakan menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang tidak mudah digoyahkan. Saat melihatnya, rasa takut yang tadi membekapnya perlahan mulai mereda. Tubuhnya yang gemetar sedikit demi sedikit merasa lebih tenang, seolah pria di depannya adalah perlindungan yang selama ini ia cari. Tanpa berpikir panjang, Sophia langsung memeluk lelaki itu dengan erat. "Daniel ..." bisiknya lemah, suara gemetar di antara napasnya yang masih tersengal. Daniel terkejut sejenak, tetapi tangannya segera membalas pelukan itu, menahan tubuh Sophia yang sedikit limbung. Ia bisa merasakan betapa dingin tubuh wanita itu, betapa
Sophia merasakan bulu kuduknya berdiri saat melihat wajah pucat Andrew. Pria itu jelas ketakutan. Siapa orang-orang yang ia maksud? Tiba-tiba, pintu bar terbuka kembali, dan seorang pria bertubuh tinggi dengan pakaian serba hitam melangkah masuk. Namun, yang membuat jantung Sophia berdetak lebih kencang bukan hanya posturnya yang mengintimidasi—melainkan topeng hitam yang menutupi separuh wajahnya. Pria itu melangkah mendekat dengan tatapan tajam. Sophia bisa merasakan aura mengancam yang menyelimuti ruangan, membuatnya secara refleks mundur selangkah. Andrew menggertakkan giginya. Ia menoleh pada Sophia dengan ekspresi serius. "Aku bilang pergi dari sini sekarang!" bisiknya tajam. Tapi Sophia tetap diam di tempatnya, hatinya berdebar kencang. Jika ia pergi sekarang, bisa saja Andrew tidak akan pernah mau bicara lagi. Ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk mengetahui siapa dalang di balik kecelakaan ayahnya. "Siapa dia?" bisik Sophia, matanya tetap mengawasi pria bertopeng y