Home / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 64 : Persiapan Pertunangan

Share

Bab 64 : Persiapan Pertunangan

Author: Vanilla_Nilla
last update Last Updated: 2025-03-22 21:22:43

Sophia menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Tulisan kecil di bawah nama Daniel masih sama—Daniel sedang mengetik ...

Sudah lebih dari satu menit, tapi pesan itu tak kunjung terkirim.

Apa yang sedang ia ketik? Kenapa butuh waktu selama ini?

Jantung Sophia berdegup semakin kencang, seperti hendak meledak. Setiap detik yang berlalu terasa begitu menyiksa.

Matanya menelusuri layar, berharap sesuatu muncul. Tapi yang ada hanya tulisan kecil itu, seolah-olah Daniel tengah ragu.

Lalu tiba-tiba …

Tulisan itu menghilang.

Sophia menahan napas.

Ia menunggu.

Namun tak ada pesan yang masuk.

Hening.

Jari-jarinya mencengkeram ponsel lebih erat, perasaan gelisah merayapi hatinya. Apakah Daniel berubah pikiran? Apakah ia memilih untuk tidak membalas? Atau … apakah ia sedang menyusun kata-kata yang lebih menyakitkan?

Detik berlalu. Menit berlalu.

Tetap tidak ada balasan.

Sophia menggigit bibirnya, menatap layar dengan tatapan kosong. Sebuah perasaan tak enak mulai menjalar dalam diriny
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 107 : Keputusan William

    Dengan langkah berat, Daniel keluar dari ruang kerja sang ayah. Di tangannya tergenggam erat tiket dan dokumen perjalanan yang baru saja diberikan William. Ia menatap kertas-kertas itu dengan perasaan campur aduk—ada kecewa, ada marah, namun yang paling dominan adalah ketidakpercayaan. Ia tak menyangka. Ia benar-benar tak menyangka bahwa keputusan ayahnya bukanlah kemarahan atau hukuman langsung … melainkan menyuruhnya pergi jauh, ke luar negeri. Kepercayaan, begitu William menyebutnya. Tapi di mata Daniel, ini tak ubahnya pengasingan halus—cara ayahnya menyingkirkannya dari semua kekacauan yang telah terjadi di rumah ini. Langkahnya menuruni anak tangga terasa lebih berat dari biasanya. Setiap derap seolah menggemakan perasaan sesak dalam dadanya. Ia melangkah keluar menuju taman belakang, berharap udara segar bisa menenangkan gejolak yang mengaduk-aduk pikirannya. London … Ia menatap langit yang mulai menguning ditimpa matahari senja. Pergi ke luar negeri di saat seperti ini, d

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 106 : Pengasingan

    "Kenapa kau diam, Sophia?" Tatapan mata William menusuk, berusaha mencari kejujuran di balik wajah cucu menantunya itu. "Apakah … sampai saat ini dia masih ada dalam hatimu?" Suasana kamar menjadi sunyi. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar, menggema pelan seiring detak jantung Sophia yang makin tak menentu. Perlahan, Sophia mengangkat pandangannya. Mata mereka bertemu. Ada kegelisahan di matanya, juga luka yang belum sembuh. "Kakek …" "Jujur saja, Sophia. Kakek tidak akan marah. Aku hanya ingin tahu isi hatimu yang sebenarnya." "Aku hanya ingin membahagiakan orang tuaku, Kakek ..." Sophia menunduk, menatap ujung jemarinya yang saling menggenggam erat di atas pangkuan. William memandang cucu menantunya itu lama. Ada getir yang terasa merambat di dadanya. Ia menarik napas dalam, lalu menyandarkan tubuhnya lebih nyaman pada bantal tebal di belakang punggung. "Membahagiakan orang tuamu …" ulangnya pelan, seolah menimbang-nimbang kalimat itu. "Tapi ... bagaimana dengan

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 105 : Kebijakan William

    Brak! Vas bunga di sudut ruangan pecah berkeping-keping menghantam lantai apartemen Daniel. Laura berdiri dengan napas tersengal, rambutnya berantakan, matanya memerah karena amarah yang menumpuk. "Dia perempuan murahan! Dasar perusak segalanya!" teriaknya sambil menyapu meja kecil di ruang tamu, menjatuhkan bingkai foto dan buku-buku yang berserakan ke lantai. Ia meraih bantal sofa dan melemparkannya ke dinding, tapi amarah dalam dadanya tak juga surut. Ingatan akan pengakuan cinta Daniel di meja makan membuat hatinya terbakar. Cinta itu bukan untuknya, tapi untuk Sophia—wanita yang dulu bahkan bukan siapa-siapa di mata mereka. Laura berjalan mondar-mandir seperti orang kesetanan. Tangannya mengepal, bibirnya bergetar menahan emosi yang nyaris membuatnya gila. "Aku sudah melakukan segalanya demi kamu, Daniel! Aku bahkan bertahan dengan semua penghinaan demi jadi istrimu!" isaknya, namun dengan cepat air matanya berubah jadi tatapan dingin. Ia lalu meraih ponselnya, jari-jariny

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 104 : Penolakan

    "Kenapa buru-buru sekali, Ayah?" Ekspresi Daniel begitu terkejut. Matanya menatap langsung ke arah William, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. William mengangkat alisnya sedikit, lalu menghela napas pelan. "Buru-buru? Aku rasa tidak," jawabnya tenang. "Bukankah sudah lama aku mencari tanggal yang pas untuk pernikahan kalian?" Suasana kembali hening sejenak. William melanjutkan, suaranya lirih, tapi ada ketegasan dalam setiap katanya. "Sejak beberapa bulan lalu, aku sudah memikirkan ini. Menyatukan kalian berdua bukan keputusan sesaat, Daniel. Aku mengenal Laura sejak kecil, dan kupikir—setelah semua yang terjadi—sudah saatnya keluarga kita mengikat hubungan ini secara resmi. Lagipula, kita tidak bisa terus menunggu tanpa kepastian, bukan?" Ia menoleh sekilas ke arah Laura yang langsung tersenyum dan menunduk sopan. Di sisi lain, Sophia terlihat berusaha menyembunyikan wajahnya di balik rambut yang jatuh ke pipinya, sementara Daniel menggertakkan rahangnya pelan, mas

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 103 : Dibalik Luka

    "Kau …" Rose menunjuk Daniel dengan mata yang membara. "Apa yang sudah kau lakukan pada anakku?! Apa kau lupa bahwa dia sudah menikah dengan David? Lalu kenapa … kenapa kau masih saja mendekatinya?!" Suaranya menggema di ruangan itu, penuh kemarahan yang bercampur kekecewaan. Napasnya terengah, menahan emosi yang sudah di ambang batas. Namun Daniel tetap berdiri tegak, tak gentar sedikit pun oleh tatapan tajam wanita itu. "Aku tidak pernah lupa," jawab Daniel dengan tenang. "Aku tahu dia istri David … tapi kau juga harus tahu satu hal—pernikahan itu bukan karena cinta. Sophia tak pernah menginginkan pernikahan itu. Dia dijebak dalam permainan yang kalian ciptakan." "Jangan membalikkan fakta!" seru Rose. "Kami hanya ingin yang terbaik untuknya!" "Yang terbaik?" Daniel tersenyum sinis. "Kau pikir memaksa putrimu menikah dengan lelaki yang tidak dia cintai itu yang terbaik? Kau pikir merampas kebahagiaannya demi reputasi keluarga adalah keputusan bijak?" Rose terdiam sejenak, dad

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 102 : Kemarahan Rose

    William duduk di kursi kamarnya, lampu meja menyala redup, menimbulkan bayangan panjang di dinding. Tangannya menggenggam erat amplop yang baru saja ia terima. Amplop itu tampak biasa saja, tapi ia tahu—tidak ada yang benar-benar biasa bila menyangkut keluarganya. Dengan perlahan, ia membuka segel merah tua di ujung amplop. Di dalamnya ada beberapa lembar foto yang langsung membuat napasnya tercekat. Foto pertama, menampilkan Daniel dan Sophia duduk berdampingan di sebuah kafe kecil. Senyum mereka lepas, begitu alami. Lalu foto kedua, saat mereka berpegangan tangan di tepi pantai. Foto ketiga, Daniel sedang memeluk Sophia dari belakang, sambil mencium pelipisnya. Hati William mulai berdegup kencang. Ia membalik beberapa foto lainnya—semuanya menunjukkan kedekatan mereka. Kemudian, ia menemukan selembar surat yang ditulis tangan. Tulisannya rapi, namun terlihat lama. Mungkin surat itu ditulis bertahun-tahun lalu. "Untuk siapa pun yang membacanya, jika kau menemukan surat ini, mung

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 101 : Kekacauan William

    Langkah kaki William terdengar pelan namun berat saat ia keluar dari ruang rumah sakit. Pundaknya sedikit membungkuk, dan tongkat yang biasa ia genggam dengan tenang kini terasa seperti beban tambahan yang tak bisa ia lepaskan. Lewis, ketua pelayan setia yang sejak dulu menemani kehidupan keluarga Williams, menyambutnya dengan sorot mata penuh tanya. "Tuan, bagaimana dengan keadaan Nyonya Sophia?" tanyanya hati-hati, menjaga nada suaranya agar tak terdengar terlalu mendesak. Namun William hanya menggeleng pelan. Tak sepatah kata pun keluar selain bisikan lirih, "Kita kembali saja ke mansion." "Baik, Tuan," jawab Lewis dengan anggukan sopan sebelum ia berjalan cepat ke arah mobil, membuka pintu belakang dan membantu William masuk dengan penuh kehati-hatian. Mobil melaju pelan meninggalkan gedung rumah sakit, membawa keheningan yang begitu pekat di dalam kabin. William menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang lewat bagai bayangan tak bermakna. Namun pi

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 100 : Kenyataan Pahit

    Kelopak mata Sophia bergerak perlahan, seakan berusaha keluar dari kegelapan yang menyelimutinya. Napasnya masih lemah saat akhirnya matanya terbuka lebar. Pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya menangkap sosok yang duduk di samping ranjangnya. "Daniel ...," gumamnya lemah. Mendengar namanya dipanggil, Daniel yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya langsung tersentak. Dengan cepat, ia menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya. Ia tak ingin Sophia melihatnya dalam keadaan seperti ini. "Kau sudah bangun," suaranya terdengar serak, tapi ia tetap berusaha terdengar tenang. Sophia mengerjapkan matanya, mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, ada sesuatu yang aneh. Daniel tampak berbeda. Wajahnya pucat, matanya memerah seolah telah menahan tangis terlalu lama. "Kenapa kamu menangis?" Ini pertama kalinya Sophia melihat Daniel dalam keadaan seperti ini—terlihat begitu hancur, begitu rapuh. Daniel menggeleng pelan. "Tidak apa-apa," jawabnya, meski jelas sekali itu bohong.

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 99 : Kepingan Hati

    "Tidak mungkin ... Ini semua tidak mungkin ...." Mata David menatap kosong ke lantai rumah sakit, sementara pikirannya berputar tak karuan. Ia tidak pernah menginginkan kehamilan Sophia sejak awal. Ia menolak dengan keras, menuduh anak itu bukan miliknya. Tapi seiring waktu, perlahan ia mulai menerimanya—terutama setelah William menjanjikan saham sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Namun sekarang, semuanya sia-sia. David mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Rencana yang sudah ia susun dengan matang kini berantakan begitu saja. Ia tak tahu harus merasa sedih, kecewa, atau marah. Yang pasti, sesuatu di dalam dirinya terasa kosong. Tatapannya kemudian beralih ke arah pintu ruang perawatan yang masih tertutup rapat. Di balik pintu itu, Sophia masih berjuang dengan kondisinya yang belum stabil. Ia mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, pikirannya kacau. Apakah ini hukuman untuknya karena sejak awal menolak anak itu? Atau

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status