Daniel baru saja membuka pintu apartemennya, saat itu juga, pemandangan di depannya membuat alisnya bertaut tajam. Ruangan itu berantakan, seperti baru saja diamuk badai. Sofa yang biasanya rapi kini bantal-bantalnya berserakan di lantai, benda-benda jatuh berantakan di ruang tamu, dan dapur terlihat kacau dengan peralatan makan yang tidak pada tempatnya. Rahangnya mengeras. Ia melangkah masuk dengan tatapan tajam menyapu sekeliling ruangan sebelum akhirnya mendengar suara sobekan kain dari dalam kamarnya. Langkahnya terhenti sejenak. Dengan cepat, ia berjalan menuju kamar dan begitu pintu terbuka, matanya langsung menangkap sosok Laura yang sedang duduk di lantai dengan gunting di tangannya. Beberapa potongan kain berserakan di sekelilingnya, sementara lemari pakaiannya tampak terbuka dan isinya terhambur ke mana-mana. "Laura, apa yang kau lakukan?" Suara Daniel terdengar dingin. Laura mendongak dengan wajah memerah karena marah. Ia lalu berdiri saat melihat Daniel sudah pu
Sophia menatap layar monitor di hadapannya dengan perasaan gugup dan haru. Gelombang hitam putih yang tampak di sana bergerak pelan, membentuk sosok mungil yang tengah tumbuh di dalam rahimnya. Perutnya kini sudah membesar, menginjak usia lima bulan lebih satu minggu. Di sampingnya, William duduk dengan ekspresi serius, namun kedua matanya berbinar dengan penuh perhatian. Tangan tuanya menggenggam tangan Sophia dengan hangat, memberikan dukungan tanpa kata. "Bayi Anda sudah berusia sekitar 21 minggu," ujar dokter sambil menggerakkan alat ultrasonografi di atas perut Sophia. "Dan … selamat, bayi ini berjenis kelamin perempuan." Sejenak, ruangan itu terasa begitu hening. Sophia terdiam. Perempuan … anak ini seorang anak perempuan … William yang sedari tadi fokus pada layar monitor tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Sorot matanya langsung tertuju pada gambar bayi mungil yang terlihat jelas di layar. Jantungnya berdegup kencang. "Perempuan?" suaranya sedikit bergetar. Dokter menganggu
Cahaya matahari siang menembus kaca jendela kamar, menerangi ruangan yang dipenuhi nuansa lembut dengan tirai putih yang berkibar tipis tertiup angin dari celah jendela yang sedikit terbuka. Di atas ranjang berukuran besar, Sophia masih berbaring, tubuhnya sedikit menyamping menghadap ke arah luar jendela. Dari sini, ia bisa melihat pemandangan taman yang luas, rerumputan hijau, serta bunga-bunga yang tertata rapi. Namun, pemandangan itu tak cukup membuat hatinya tenang. Pikiran Sophia masih melayang-layang ke kejadian kemarin di rumah sakit. Bayangan Daniel yang menggenggam tangan Laura, suara lembut pria itu saat meminta maaf, serta pelukan yang mereka bagi—semuanya seolah terpahat jelas di dalam benaknya. Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. "Nona Sophia?" Sebuah suara lembut terdengar dari balik pintu. Tak lama, seorang maid masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan perak berisi makanan. Gadis itu mengenakan seragam maid berwarna hitam dengan celemek putih yang ter
Tetesan air hujan mulai jatuh perlahan, membentuk pola-pola acak di jendela taksi. Sophia menyandarkan kepalanya, menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan langit kelabu yang tampak begitu suram, seperti mencerminkan perasaannya saat ini. Hari ini, ia memutuskan menemui Jane. Ia butuh seseorang untuk diajak bicara, seseorang yang bisa mengalihkan pikirannya meski hanya sebentar. Tapi di dalam taksi ini, sendirian dengan pikirannya sendiri, kesedihan yang sejak tadi ia tahan mulai menyelusup masuk, perlahan tapi pasti. Perasaannya masih campur aduk. Setelah melihat Daniel dan Laura di rumah sakit kemarin, hatinya seperti dihujani ribuan duri tajam. Kenyataan itu seperti tamparan yang mengingatkannya bahwa ia bukan siapa-siapa lagi bagi pria itu. Bahwa ia benar-benar sendirian sekarang. Ia mengusap perutnya dengan lembut. Ada kehidupan yang tumbuh di dalam sana. Putrinya. Bayinya yang bahkan belum lahir, tapi sudah harus menanggung kesedihan ibunya. "Apa yang harus kulakukan?"
Sophia menundukkan kepala, tatapannya kosong menatap cangkir kopi di hadapannya yang sejak tadi tak tersentuh. Uapnya mulai menghilang, sama seperti keberaniannya yang perlahan-lahan menguap. Jane masih menatapnya dengan sabar, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar. "Aku tidak tahu." Akhirnya Sophia berbisik, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan di luar jendela. "Kamu ingin pergi, tapi kamu tahu kamu tidak bisa, kan?" Jane menghela napas. "Sophia, bukan cuma kamu yang terikat dengan keluarga Williams. Anak dalam kandunganmu juga." Sophia menggigit bibirnya. Itu yang paling menyakitkan. Ia ingin pergi, ingin benar-benar menghapus Daniel dari pikirannya. Tapi bagaimana bisa? Setiap detik, setiap tendangan kecil di perutnya, semuanya mengingatkan bahwa ia membawa darah lelaki itu. "Aku hanya ingin bebas, Jane …," bisiknya, matanya mulai berkaca-kaca. "Tapi kebebasan macam apa yang kamu cari?" Jane menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Sophia dengan perhatian. "Kamu ingin
Jane duduk di salah satu meja kafe dekat jendela, jemarinya mengetuk-ngetuk gelas kopi yang mulai mendingin. Matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, berharap melihat sosok pria yang ditunggunya. Sudah hampir setengah jam berlalu, tapi Daniel belum juga datang. Mencoba menahan rasa kesal dan gugup yang semakin menjadi, Jane hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Sejak kemarin, ia sudah bertekad untuk memberitahu Daniel tentang kehamilan Sophia. Tapi jika pria itu tidak muncul, bagaimana ia bisa melakukannya? Ponselnya kembali menyala di meja. Dengan cepat, ia meraihnya, berharap itu pesan dari Daniel, tapi bukan. Hanya pemberitahuan dari media sosial. Jane menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Apa dia tidak akan datang? Matanya melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Jika Daniel tidak muncul dalam lima belas menit lagi, mungkin ia harus pergi. Tapi tepat saat ia hendak menyerah, suara bel pintu kafe berbunyi. Seorang pria berpostur te
Daniel membatu. Napasnya tercekat, udara di sekelilingnya menghilang begitu saja. Kata-kata Jane bergema di dalam kepalanya, berulang-ulang, memenuhi pikirannya dengan kemungkinan yang bahkan tak berani ia bayangkan sebelumnya. Anak itu ... anak yang dikandung Sophia ... adalah anaknya? Mata Daniel melebar, rahangnya menegang. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa Jane hanya mengada-ada. Tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang berbisik bahwa ini mungkin benar. Bahwa selama ini, ia hanya melihat apa yang ingin ia lihat—memilih percaya pada apa yang lebih mudah diterima daripada menghadapi kebenaran yang sebenarnya. "Kau bercanda, kan?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya. Jane tersenyum miring, tetapi ada kepedihan di matanya. "Apa aku terlihat sedang bercanda?" Daniel mengepalkan tangannya di atas meja, jemarinya bergetar. "Sophia tidak pernah mengatakan apa pun padaku ..." "Tentu saja dia tidak mengatakan apa-apa," potong Jane cepat. "Karena dia tahu k
Pagi ini, aroma teh melati menguar dari dapur. Sophia menuangkan air panas ke dalam cangkir porselen dengan hati-hati, memastikan suhu dan takarannya pas. Ia tak pernah menambahkan gula dalam teh William. Bukan karena lelaki itu tidak menyukainya, tetapi karena kebiasaan yang sudah tertanam bertahun-tahun—William selalu menikmati tehnya pahit, hanya dengan sedikit perasan lemon untuk memberikan rasa segar. Ia mengangkat cangkir itu perlahan, untuk segera membawanya ke ruang kerja William. "Nona, mengapa Anda tidak meminta maid saja untuk membuat teh?" suara Lewis, kepala pelayan keluarga, terdengar tegas. Sophia berhenti sejenak, menoleh ke arah pria paruh baya itu dengan senyum tipis. "Aku ingin membuatnya sendiri." "Tapi—" "Tidak apa-apa, Lewis," potong Sophia sebelum pria itu bisa menyelesaikan kalimatnya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa teh ini dibuat dengan tanganku sendiri." Lewis menatapnya beberapa saat, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi akhirnya ia hanya men
William duduk di kursi kamarnya, lampu meja menyala redup, menimbulkan bayangan panjang di dinding. Tangannya menggenggam erat amplop yang baru saja ia terima. Amplop itu tampak biasa saja, tapi ia tahu—tidak ada yang benar-benar biasa bila menyangkut keluarganya. Dengan perlahan, ia membuka segel merah tua di ujung amplop. Di dalamnya ada beberapa lembar foto yang langsung membuat napasnya tercekat. Foto pertama, menampilkan Daniel dan Sophia duduk berdampingan di sebuah kafe kecil. Senyum mereka lepas, begitu alami. Lalu foto kedua, saat mereka berpegangan tangan di tepi pantai. Foto ketiga, Daniel sedang memeluk Sophia dari belakang, sambil mencium pelipisnya. Hati William mulai berdegup kencang. Ia membalik beberapa foto lainnya—semuanya menunjukkan kedekatan mereka. Kemudian, ia menemukan selembar surat yang ditulis tangan. Tulisannya rapi, namun terlihat lama. Mungkin surat itu ditulis bertahun-tahun lalu. "Untuk siapa pun yang membacanya, jika kau menemukan surat ini, mung
Langkah kaki William terdengar pelan namun berat saat ia keluar dari ruang rumah sakit. Pundaknya sedikit membungkuk, dan tongkat yang biasa ia genggam dengan tenang kini terasa seperti beban tambahan yang tak bisa ia lepaskan. Lewis, ketua pelayan setia yang sejak dulu menemani kehidupan keluarga Williams, menyambutnya dengan sorot mata penuh tanya. "Tuan, bagaimana dengan keadaan Nyonya Sophia?" tanyanya hati-hati, menjaga nada suaranya agar tak terdengar terlalu mendesak. Namun William hanya menggeleng pelan. Tak sepatah kata pun keluar selain bisikan lirih, "Kita kembali saja ke mansion." "Baik, Tuan," jawab Lewis dengan anggukan sopan sebelum ia berjalan cepat ke arah mobil, membuka pintu belakang dan membantu William masuk dengan penuh kehati-hatian. Mobil melaju pelan meninggalkan gedung rumah sakit, membawa keheningan yang begitu pekat di dalam kabin. William menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang lewat bagai bayangan tak bermakna. Namun pi
Kelopak mata Sophia bergerak perlahan, seakan berusaha keluar dari kegelapan yang menyelimutinya. Napasnya masih lemah saat akhirnya matanya terbuka lebar. Pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya menangkap sosok yang duduk di samping ranjangnya. "Daniel ...," gumamnya lemah. Mendengar namanya dipanggil, Daniel yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya langsung tersentak. Dengan cepat, ia menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya. Ia tak ingin Sophia melihatnya dalam keadaan seperti ini. "Kau sudah bangun," suaranya terdengar serak, tapi ia tetap berusaha terdengar tenang. Sophia mengerjapkan matanya, mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, ada sesuatu yang aneh. Daniel tampak berbeda. Wajahnya pucat, matanya memerah seolah telah menahan tangis terlalu lama. "Kenapa kamu menangis?" Ini pertama kalinya Sophia melihat Daniel dalam keadaan seperti ini—terlihat begitu hancur, begitu rapuh. Daniel menggeleng pelan. "Tidak apa-apa," jawabnya, meski jelas sekali itu bohong.
"Tidak mungkin ... Ini semua tidak mungkin ...." Mata David menatap kosong ke lantai rumah sakit, sementara pikirannya berputar tak karuan. Ia tidak pernah menginginkan kehamilan Sophia sejak awal. Ia menolak dengan keras, menuduh anak itu bukan miliknya. Tapi seiring waktu, perlahan ia mulai menerimanya—terutama setelah William menjanjikan saham sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Namun sekarang, semuanya sia-sia. David mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Rencana yang sudah ia susun dengan matang kini berantakan begitu saja. Ia tak tahu harus merasa sedih, kecewa, atau marah. Yang pasti, sesuatu di dalam dirinya terasa kosong. Tatapannya kemudian beralih ke arah pintu ruang perawatan yang masih tertutup rapat. Di balik pintu itu, Sophia masih berjuang dengan kondisinya yang belum stabil. Ia mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, pikirannya kacau. Apakah ini hukuman untuknya karena sejak awal menolak anak itu? Atau
Suara jeritan Sophia menggema di seluruh lorong mansion Williams, Daniel yang mendengar itu langsung berlari secepat mungkin ke arah sumber suara. "Sophia!" Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah menimpa wanita itu. Saat ia tiba di tangga besar mansion, napasnya tertahan. Sophia tergeletak di anak tangga, tubuhnya setengah terduduk dengan tangan bertumpu pada salah satu undakan. Pakaiannya kusut, dan yang lebih mengejutkan—darah segar mengalir dari kakinya, sampai membentuk genangan merah di lantai marmer. Daniel berlari menuruni tangga. "Sophia!" Ia segera berjongkok di hadapan wanita itu, tangannya refleks menyentuh perut Sophia. Sophia mengangkat wajahnya yang pucat, matanya berkabut menahan sakit. "Daniel …" suaranya lemah, hampir tidak terdengar. Daniel melihat tangan Sophia juga berlumuran darah. "Apa yang terjadi?!" Sophia membuka mulut, seolah ingin menjawab, tapi sebelum satu kata pun keluar, kepalanya terkulai ke sa
Flash Back. Anne berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka, napasnya tertahan saat mendengar percakapan di dalam ruangan. Matanya menyipit tajam, memperhatikan setiap gerakan Sophia dan Daniel. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang aneh dengan kedekatan mereka. Tatapan penuh perhatian, sentuhan yang terlalu akrab—semuanya terasa lebih dari sekadar hubungan biasa. Dan kini, bukti itu ada di depan matanya. Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dari saku. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan membidik kamera ke arah Daniel yang tengah mengelus perut Sophia, wajahnya dipenuhi kelembutan. Klik. Satu foto berhasil ia abadikan. Anne menahan senyumnya. Ini akan sangat menarik. Tanpa ragu, ia mengetik pesan singkat di ponselnya sebelum mengunggah foto tersebut. "Kau harus melihat ini. Aku rasa kau akan sangat menyukainya." Tombol kirim ditekan, dan dalam hitungan detik, pesan itu terkirim ke Laura. Anne menatap layar ponselnya dengan penuh kepuasan. Ia tahu betul bagaimana L
Ruangan kerja Daniel yang berada di mansion Williams terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya lampu temaram menambah suasana nyaman di dalamnya. Di atas meja kerja, beberapa dokumen tersusun rapi, menunjukkan kesibukan Daniel akhir-akhir ini. Namun, saat ini, perhatiannya hanya terfokus pada satu hal—wanita yang tengah duduk di sofa, yang kini menjadi pusat dunianya. Sophia duduk dengan santai, tubuhnya sedikit bersandar ke belakang, satu tangannya mengelus lembut perutnya yang semakin membesar. Ada cahaya keibuan di wajahnya, sesuatu yang membuat Daniel tak bisa mengalihkan pandangan. Dengan langkah tenang, Daniel mendekat sambil membawa sesuatu di tangannya. Ia duduk di samping Sophia, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyerahkan benda itu. "Aku membeli ini untuk anak kita," katanya sambil menunjukkan sepasang sepatu bayi mungil berwarna pink. "Tapi aku tidak tahu apakah dia akan menyukainya." Mata Sophia melembut, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia menerima sepatu itu den
Benturan keras masih terasa di tubuh Daniel, napasnya sedikit tersengal saat kesadarannya perlahan pulih. Suara klakson mobil lain terdengar samar, diiringi teriakan beberapa orang yang bergegas mendekat ke arah mobilnya. Mobil yang menabraknya telah melaju pergi begitu saja, meninggalkan bekas tabrakan di bagian samping mobil Daniel. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, saat itu juga ketukan terdengar di jendela kaca mobilnya. Tok, tok, tok. "Pak, apa Anda baik-baik saja?" suara seorang pria terdengar khawatir dari balik kaca. Daniel mengerjapkan mata, masih sedikit pusing, lalu menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela. Udara malam yang dingin langsung menyapa wajahnya. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang sedikit serak. "Terima kasih." Pria yang mengetuk kaca tadi menghela napas lega. "Syukurlah. Saya melihat mobil itu menabrak Anda lalu kabur begitu saja. Haruskah saya menelepon polisi?" Daniel menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa mengur
"Terima kasih atas kerja sama Anda, Mr. Lancaster," ujar Daniel sambil menjabat tangan pria di hadapannya. Mr. Edward Lancaster, seorang investor ternama yang memiliki jaringan luas di sektor properti dan pembangunan, mengangguk dengan ekspresi puas. "Kau memiliki visi yang kuat, Mr. Williams. Aku suka cara berpikirmu," ujarnya. Saat ini, Daniel sedang berada di ruang pertemuan eksklusif di lantai tertinggi sebuah hotel bintang lima, menemui klien penting untuk mengamankan investasi di proyek lahan perbukitan barat. Kawasan itu telah lama menjadi target pengembangan, tetapi hanya sedikit investor yang berani mengambil risiko karena akses dan infrastruktur yang masih terbatas. Namun, Daniel bukan pria yang mudah menyerah. Sejak awal presentasi, ia telah menyiapkan setiap data dengan matang—rencana pembangunan, prospek keuntungan jangka panjang, hingga strategi pengembangan akses jalan yang akan meningkatkan nilai lahan tersebut secara signifikan. Salah satu poin utama yang berha