Sophia menatap layar monitor di hadapannya dengan perasaan gugup dan haru. Gelombang hitam putih yang tampak di sana bergerak pelan, membentuk sosok mungil yang tengah tumbuh di dalam rahimnya. Perutnya kini sudah membesar, menginjak usia lima bulan lebih satu minggu. Di sampingnya, William duduk dengan ekspresi serius, namun kedua matanya berbinar dengan penuh perhatian. Tangan tuanya menggenggam tangan Sophia dengan hangat, memberikan dukungan tanpa kata. "Bayi Anda sudah berusia sekitar 21 minggu," ujar dokter sambil menggerakkan alat ultrasonografi di atas perut Sophia. "Dan … selamat, bayi ini berjenis kelamin perempuan." Sejenak, ruangan itu terasa begitu hening. Sophia terdiam. Perempuan … anak ini seorang anak perempuan … William yang sedari tadi fokus pada layar monitor tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Sorot matanya langsung tertuju pada gambar bayi mungil yang terlihat jelas di layar. Jantungnya berdegup kencang. "Perempuan?" suaranya sedikit bergetar. Dokter menganggu
Cahaya matahari siang menembus kaca jendela kamar, menerangi ruangan yang dipenuhi nuansa lembut dengan tirai putih yang berkibar tipis tertiup angin dari celah jendela yang sedikit terbuka. Di atas ranjang berukuran besar, Sophia masih berbaring, tubuhnya sedikit menyamping menghadap ke arah luar jendela. Dari sini, ia bisa melihat pemandangan taman yang luas, rerumputan hijau, serta bunga-bunga yang tertata rapi. Namun, pemandangan itu tak cukup membuat hatinya tenang. Pikiran Sophia masih melayang-layang ke kejadian kemarin di rumah sakit. Bayangan Daniel yang menggenggam tangan Laura, suara lembut pria itu saat meminta maaf, serta pelukan yang mereka bagi—semuanya seolah terpahat jelas di dalam benaknya. Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. "Nona Sophia?" Sebuah suara lembut terdengar dari balik pintu. Tak lama, seorang maid masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan perak berisi makanan. Gadis itu mengenakan seragam maid berwarna hitam dengan celemek putih yang ter
Tetesan air hujan mulai jatuh perlahan, membentuk pola-pola acak di jendela taksi. Sophia menyandarkan kepalanya, menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan langit kelabu yang tampak begitu suram, seperti mencerminkan perasaannya saat ini. Hari ini, ia memutuskan menemui Jane. Ia butuh seseorang untuk diajak bicara, seseorang yang bisa mengalihkan pikirannya meski hanya sebentar. Tapi di dalam taksi ini, sendirian dengan pikirannya sendiri, kesedihan yang sejak tadi ia tahan mulai menyelusup masuk, perlahan tapi pasti. Perasaannya masih campur aduk. Setelah melihat Daniel dan Laura di rumah sakit kemarin, hatinya seperti dihujani ribuan duri tajam. Kenyataan itu seperti tamparan yang mengingatkannya bahwa ia bukan siapa-siapa lagi bagi pria itu. Bahwa ia benar-benar sendirian sekarang. Ia mengusap perutnya dengan lembut. Ada kehidupan yang tumbuh di dalam sana. Putrinya. Bayinya yang bahkan belum lahir, tapi sudah harus menanggung kesedihan ibunya. "Apa yang harus kulakukan?"
Sophia menundukkan kepala, tatapannya kosong menatap cangkir kopi di hadapannya yang sejak tadi tak tersentuh. Uapnya mulai menghilang, sama seperti keberaniannya yang perlahan-lahan menguap. Jane masih menatapnya dengan sabar, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar. "Aku tidak tahu." Akhirnya Sophia berbisik, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan di luar jendela. "Kamu ingin pergi, tapi kamu tahu kamu tidak bisa, kan?" Jane menghela napas. "Sophia, bukan cuma kamu yang terikat dengan keluarga Williams. Anak dalam kandunganmu juga." Sophia menggigit bibirnya. Itu yang paling menyakitkan. Ia ingin pergi, ingin benar-benar menghapus Daniel dari pikirannya. Tapi bagaimana bisa? Setiap detik, setiap tendangan kecil di perutnya, semuanya mengingatkan bahwa ia membawa darah lelaki itu. "Aku hanya ingin bebas, Jane …," bisiknya, matanya mulai berkaca-kaca. "Tapi kebebasan macam apa yang kamu cari?" Jane menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Sophia dengan perhatian. "Kamu ingin
Jane duduk di salah satu meja kafe dekat jendela, jemarinya mengetuk-ngetuk gelas kopi yang mulai mendingin. Matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, berharap melihat sosok pria yang ditunggunya. Sudah hampir setengah jam berlalu, tapi Daniel belum juga datang. Mencoba menahan rasa kesal dan gugup yang semakin menjadi, Jane hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Sejak kemarin, ia sudah bertekad untuk memberitahu Daniel tentang kehamilan Sophia. Tapi jika pria itu tidak muncul, bagaimana ia bisa melakukannya? Ponselnya kembali menyala di meja. Dengan cepat, ia meraihnya, berharap itu pesan dari Daniel, tapi bukan. Hanya pemberitahuan dari media sosial. Jane menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Apa dia tidak akan datang? Matanya melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Jika Daniel tidak muncul dalam lima belas menit lagi, mungkin ia harus pergi. Tapi tepat saat ia hendak menyerah, suara bel pintu kafe berbunyi. Seorang pria berpostur te
Daniel membatu. Napasnya tercekat, udara di sekelilingnya menghilang begitu saja. Kata-kata Jane bergema di dalam kepalanya, berulang-ulang, memenuhi pikirannya dengan kemungkinan yang bahkan tak berani ia bayangkan sebelumnya. Anak itu ... anak yang dikandung Sophia ... adalah anaknya? Mata Daniel melebar, rahangnya menegang. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa Jane hanya mengada-ada. Tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang berbisik bahwa ini mungkin benar. Bahwa selama ini, ia hanya melihat apa yang ingin ia lihat—memilih percaya pada apa yang lebih mudah diterima daripada menghadapi kebenaran yang sebenarnya. "Kau bercanda, kan?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya. Jane tersenyum miring, tetapi ada kepedihan di matanya. "Apa aku terlihat sedang bercanda?" Daniel mengepalkan tangannya di atas meja, jemarinya bergetar. "Sophia tidak pernah mengatakan apa pun padaku ..." "Tentu saja dia tidak mengatakan apa-apa," potong Jane cepat. "Karena dia tahu k
Pagi ini, aroma teh melati menguar dari dapur. Sophia menuangkan air panas ke dalam cangkir porselen dengan hati-hati, memastikan suhu dan takarannya pas. Ia tak pernah menambahkan gula dalam teh William. Bukan karena lelaki itu tidak menyukainya, tetapi karena kebiasaan yang sudah tertanam bertahun-tahun—William selalu menikmati tehnya pahit, hanya dengan sedikit perasan lemon untuk memberikan rasa segar. Ia mengangkat cangkir itu perlahan, untuk segera membawanya ke ruang kerja William. "Nona, mengapa Anda tidak meminta maid saja untuk membuat teh?" suara Lewis, kepala pelayan keluarga, terdengar tegas. Sophia berhenti sejenak, menoleh ke arah pria paruh baya itu dengan senyum tipis. "Aku ingin membuatnya sendiri." "Tapi—" "Tidak apa-apa, Lewis," potong Sophia sebelum pria itu bisa menyelesaikan kalimatnya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa teh ini dibuat dengan tanganku sendiri." Lewis menatapnya beberapa saat, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi akhirnya ia hanya men
Saat langkah Sophia menaiki anak tangga, ia bisa merasakan detak jantungnya masih belum kembali normal. Perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya, udara di dalam rumah ini terasa lebih berat sejak Daniel datang. Tangannya mencengkeram pegangan tangga lebih kuat, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menghantam dadanya. Ia harus pergi dari sini, menjauh dari tatapan Daniel, menjauh dari segala kegelisahan yang baru saja ia rasakan. Namun, saat baru saja mencapai lantai atas, ia tak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak. Dari tempatnya berdiri, ia masih bisa mendengar samar suara William menyambut Daniel dan Laura di ruang kerja. "Nah, kalian akhirnya datang," suara William terdengar hangat. "Duduklah." "Maaf, Paman, kami sedikit terlambat," ujar Laura dengan nada lembutnya yang dibuat-buat. Sophia mengepalkan jemarinya tanpa sadar. Bahkan tanpa melihatnya pun, ia tahu Laura sedang bertingkah seolah menjadi tunangan sempurna bagi Daniel. Lalu, suara Daniel terdengar,
Suara jeritan Sophia menggema di seluruh lorong mansion Williams, Daniel yang mendengar itu langsung berlari secepat mungkin ke arah sumber suara. "Sophia!" Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah menimpa wanita itu. Saat ia tiba di tangga besar mansion, napasnya tertahan. Sophia tergeletak di anak tangga, tubuhnya setengah terduduk dengan tangan bertumpu pada salah satu undakan. Pakaiannya kusut, dan yang lebih mengejutkan—darah segar mengalir dari kakinya, sampai membentuk genangan merah di lantai marmer. Daniel berlari menuruni tangga. "Sophia!" Ia segera berjongkok di hadapan wanita itu, tangannya refleks menyentuh perut Sophia. Sophia mengangkat wajahnya yang pucat, matanya berkabut menahan sakit. "Daniel …" suaranya lemah, hampir tidak terdengar. Daniel melihat tangan Sophia juga berlumuran darah. "Apa yang terjadi?!" Sophia membuka mulut, seolah ingin menjawab, tapi sebelum satu kata pun keluar, kepalanya terkulai ke sa
Flash Back. Anne berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka, napasnya tertahan saat mendengar percakapan di dalam ruangan. Matanya menyipit tajam, memperhatikan setiap gerakan Sophia dan Daniel. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang aneh dengan kedekatan mereka. Tatapan penuh perhatian, sentuhan yang terlalu akrab—semuanya terasa lebih dari sekadar hubungan biasa. Dan kini, bukti itu ada di depan matanya. Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dari saku. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan membidik kamera ke arah Daniel yang tengah mengelus perut Sophia, wajahnya dipenuhi kelembutan. Klik. Satu foto berhasil ia abadikan. Anne menahan senyumnya. Ini akan sangat menarik. Tanpa ragu, ia mengetik pesan singkat di ponselnya sebelum mengunggah foto tersebut. "Kau harus melihat ini. Aku rasa kau akan sangat menyukainya." Tombol kirim ditekan, dan dalam hitungan detik, pesan itu terkirim ke Laura. Anne menatap layar ponselnya dengan penuh kepuasan. Ia tahu betul bagaimana L
Ruangan kerja Daniel yang berada di mansion Williams terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya lampu temaram menambah suasana nyaman di dalamnya. Di atas meja kerja, beberapa dokumen tersusun rapi, menunjukkan kesibukan Daniel akhir-akhir ini. Namun, saat ini, perhatiannya hanya terfokus pada satu hal—wanita yang tengah duduk di sofa, yang kini menjadi pusat dunianya. Sophia duduk dengan santai, tubuhnya sedikit bersandar ke belakang, satu tangannya mengelus lembut perutnya yang semakin membesar. Ada cahaya keibuan di wajahnya, sesuatu yang membuat Daniel tak bisa mengalihkan pandangan. Dengan langkah tenang, Daniel mendekat sambil membawa sesuatu di tangannya. Ia duduk di samping Sophia, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyerahkan benda itu. "Aku membeli ini untuk anak kita," katanya sambil menunjukkan sepasang sepatu bayi mungil berwarna pink. "Tapi aku tidak tahu apakah dia akan menyukainya." Mata Sophia melembut, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia menerima sepatu itu den
Benturan keras masih terasa di tubuh Daniel, napasnya sedikit tersengal saat kesadarannya perlahan pulih. Suara klakson mobil lain terdengar samar, diiringi teriakan beberapa orang yang bergegas mendekat ke arah mobilnya. Mobil yang menabraknya telah melaju pergi begitu saja, meninggalkan bekas tabrakan di bagian samping mobil Daniel. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, saat itu juga ketukan terdengar di jendela kaca mobilnya. Tok, tok, tok. "Pak, apa Anda baik-baik saja?" suara seorang pria terdengar khawatir dari balik kaca. Daniel mengerjapkan mata, masih sedikit pusing, lalu menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela. Udara malam yang dingin langsung menyapa wajahnya. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang sedikit serak. "Terima kasih." Pria yang mengetuk kaca tadi menghela napas lega. "Syukurlah. Saya melihat mobil itu menabrak Anda lalu kabur begitu saja. Haruskah saya menelepon polisi?" Daniel menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa mengur
"Terima kasih atas kerja sama Anda, Mr. Lancaster," ujar Daniel sambil menjabat tangan pria di hadapannya. Mr. Edward Lancaster, seorang investor ternama yang memiliki jaringan luas di sektor properti dan pembangunan, mengangguk dengan ekspresi puas. "Kau memiliki visi yang kuat, Mr. Williams. Aku suka cara berpikirmu," ujarnya. Saat ini, Daniel sedang berada di ruang pertemuan eksklusif di lantai tertinggi sebuah hotel bintang lima, menemui klien penting untuk mengamankan investasi di proyek lahan perbukitan barat. Kawasan itu telah lama menjadi target pengembangan, tetapi hanya sedikit investor yang berani mengambil risiko karena akses dan infrastruktur yang masih terbatas. Namun, Daniel bukan pria yang mudah menyerah. Sejak awal presentasi, ia telah menyiapkan setiap data dengan matang—rencana pembangunan, prospek keuntungan jangka panjang, hingga strategi pengembangan akses jalan yang akan meningkatkan nilai lahan tersebut secara signifikan. Salah satu poin utama yang berha
Daniel menghembuskan napas panjang saat langkahnya sampai di depan pintu apartemen. Hari ini begitu melelahkan, bukan karena pekerjaan, tetapi karena pikirannya yang terus dipenuhi oleh sosok Sophia. Ada banyak hal yang harus ia pikirkan, tetapi semua terasa begitu buntu. Dengan sedikit enggan, ia merogoh kunci dari saku celananya, memasukkannya ke dalam lubang kunci, lalu memutar kenop pintu. Begitu pintu terbuka, pemandangan yang sudah berkali-kali ia lihat kembali menyambutnya. Laura berdiri di ambang kamar, bersandar di dinding dengan pakaian minim yang jelas dirancang untuk menggoda. Sebuah lingerie sutra berwarna merah melekat di tubuhnya, memperlihatkan kulitnya yang mulus. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, beberapa helai jatuh ke bahunya dengan cara yang tampak natural, seolah tanpa usaha. Seharusnya pemandangan itu bisa menggoda siapa pun—tapi tidak bagi Daniel. "Welcome home, darling," suara Laura terdengar lembut, mengandung nada genit yang sudah sangat familiar di
Anne berdiri di ujung lorong, matanya menyipit penuh tanda tanya saat menatap ke arah ruang tengah. Di sana, Sophia duduk dengan tenang di atas sofa, jemarinya membalik lembar demi lembar majalah yang ada di pangkuannya. Tidak ada tanda-tanda kelemahan, tidak ada wajah pucat, tidak ada keluhan sakit. Seharusnya, Sophia sudah merasakan efeknya. Seharusnya, wanita itu sekarang sedang terbaring lemas, atau setidaknya menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan. Tapi nyatanya, dia masih baik-baik saja—seolah tidak terjadi apa pun. Anne menggigit bibirnya, pikirannya berputar cepat. Apa yang salah? Ia yakin benar telah memasukkan obat itu ke dalam susu Sophia. Maid yang bertugas mengantarkan susu itu juga tidak mencurigakan. Jadi kenapa Sophia masih sehat-sehat saja? Perasaan gelisah mulai merayapi dirinya. Jika rencananya gagal, maka artinya ia harus lebih berhati-hati. Tidak boleh ada yang tahu tentang ini. Terutama Laura. Wanita itu pasti akan sangat kecewa jika tahu bahwa upaya mereka t
Sophia menatap lelaki di hadapannya, mengenakan jaket hitam pekat yang membingkai tubuh tegapnya dengan sempurna. Wajahnya terlihat begitu tampan di bawah cahaya rembulan, sorot matanya tajam dan menenangkan. Meski sudah berumur tiga puluh tahun, pria itu tetap memiliki daya tarik luar biasa. Ketegasan di rahangnya, tatapan matanya yang dalam, dan caranya berdiri dengan percaya diri seakan menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang tidak mudah digoyahkan. Saat melihatnya, rasa takut yang tadi membekapnya perlahan mulai mereda. Tubuhnya yang gemetar sedikit demi sedikit merasa lebih tenang, seolah pria di depannya adalah perlindungan yang selama ini ia cari. Tanpa berpikir panjang, Sophia langsung memeluk lelaki itu dengan erat. "Daniel ..." bisiknya lemah, suara gemetar di antara napasnya yang masih tersengal. Daniel terkejut sejenak, tetapi tangannya segera membalas pelukan itu, menahan tubuh Sophia yang sedikit limbung. Ia bisa merasakan betapa dingin tubuh wanita itu, betapa
Sophia merasakan bulu kuduknya berdiri saat melihat wajah pucat Andrew. Pria itu jelas ketakutan. Siapa orang-orang yang ia maksud? Tiba-tiba, pintu bar terbuka kembali, dan seorang pria bertubuh tinggi dengan pakaian serba hitam melangkah masuk. Namun, yang membuat jantung Sophia berdetak lebih kencang bukan hanya posturnya yang mengintimidasi—melainkan topeng hitam yang menutupi separuh wajahnya. Pria itu melangkah mendekat dengan tatapan tajam. Sophia bisa merasakan aura mengancam yang menyelimuti ruangan, membuatnya secara refleks mundur selangkah. Andrew menggertakkan giginya. Ia menoleh pada Sophia dengan ekspresi serius. "Aku bilang pergi dari sini sekarang!" bisiknya tajam. Tapi Sophia tetap diam di tempatnya, hatinya berdebar kencang. Jika ia pergi sekarang, bisa saja Andrew tidak akan pernah mau bicara lagi. Ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk mengetahui siapa dalang di balik kecelakaan ayahnya. "Siapa dia?" bisik Sophia, matanya tetap mengawasi pria bertopeng y