Daniel menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, membiarkan kulitnya terbuka pada udara dingin ruangan. Pandangannya jatuh pada mangkuk bubur yang masih mengepulkan uap tipis di atas nakas. Ia meraih mangkuk itu, jemarinya melingkari sisi keramik yang masih hangat. Ia beralih ke sisi tempat tidur, menarik kursi mendekat sebelum duduk. Matanya mengamati sosok di depannya—wajah pucat itu, bibir kering yang sedikit terbuka, serta napas yang terdengar lemah. Bahkan tanpa menyentuhnya, ia bisa merasakan betapa rapuhnya perempuan ini sekarang. "Sophia," panggilnya lembut. Ia menyendok bubur ke dalam sendok dan meniupnya perlahan. "Makanlah. Kamu butuh tenaga agar cepat sembuh." Perempuan itu menggeleng pelan, matanya tak sekalipun bertemu dengan milik Daniel. "Aku tidak berselera." Suaranya nyaris tak terdengar, begitu pelan hingga hampir menyatu dengan keheningan di antara mereka. Daniel menatapnya, rahangnya mengencang. Ia meletakkan sendok ke dalam mangkuk, lalu menghela napas ber
Daniel menghapus air mata yang jatuh di pelupuk mata Sophia dengan pelan. Ibu jarinya menyapu pipi wanita itu dengan hati-hatian, ia takut menyakiti Sophia lebih jauh. Manik mata mereka beradu. Namun, Sophia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak sanggup menatap Daniel lama-lama. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, hm?" suara Daniel terdengar rendah. Sophia mencoba tersenyum, tetapi yang terbentuk di bibirnya hanya lengkungan samar yang menyakitkan. Hatinya terasa begitu sesak, dipenuhi oleh pertanyaan yang sejak dulu selalu ia pendam. Apakah semua ini hanya perasaannya sendiri? Apakah selama lima tahun terakhir, hanya ia yang jatuh cinta tanpa pernah benar-benar dicintai? Kenangan itu menyeruak, membawanya kembali ke masa lalu. Ia mengingat bagaimana ia selalu menunggu Daniel mengatakan cinta padanya. Lima tahun mereka bersama, melewati begitu banyak kebersamaan—dari momen sederhana hingga kebahagiaan yang seharusnya sempurna. Tapi selama itu juga, tidak sekalipun Daniel meng
Laura menatap layar ponselnya dengan kesal. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Daniel, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Jemarinya mengetuk meja dengan tidak sabar, matanya menatap layar yang kembali menampilkan panggilan tak terjawab. "Kenapa sih, Daniel?!" gerutunya, lalu melempar ponselnya ke sofa dengan kasar. Saat itu juga, Anne melangkah masuk dan langsung menangkap ekspresi kesal di wajah Laura. Ia mendekati wanita itu dengan alis sedikit berkerut. "Kau kenapa?" tanyanya ingin tahu. Laura mendesah frustrasi, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Aku sudah menelepon Daniel berkali-kali, tapi dia sama sekali tidak mengangkat panggilanku. Aku tidak tahu dia sedang di mana dan apa yang sedang dia lakukan." Anne menatapnya dengan sorot mata penuh pertimbangan, lalu duduk di samping Laura. Ia menghela napas pelan sebelum akhirnya berkata, "Aku sendiri tidak tahu mengapa Daniel begitu khawatir terhadap Sophia. Apalagi sejak dulu, aku selalu merasa ada sesuatu di ant
Mansion William sore ini terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya matahari yang mulai meredup menyorot jendela-jendela besar, memberi kesan nyaman di dalam rumah megah itu. Saat mobil yang membawa Sophia dan David berhenti di depan pintu utama, seorang pelayan dengan sigap membukakan pintu mobil untuk mereka. Sophia melangkah turun dengan hati-hati. Tubuhnya masih terasa sedikit lemah, tapi setidaknya lebih baik dibandingkan saat ia pingsan beberapa hari lalu. Pandangannya langsung menangkap sosok William yang berdiri di depan pintu, menatapnya dengan perhatian. "Sophia, bagaimana keadaanmu?" suara berat William terdengar hangat, membuat hati Sophia sedikit tenang. Ia tersenyum, berusaha meyakinkan pria tua itu. "Aku baik-baik saja, Kakek. Dokter bilang aku hanya sedikit demam." William mengangguk, meski garis khawatir di wajahnya belum sepenuhnya hilang. "Kamu harus banyak istirahat, jangan terlalu capek, apalagi sekarang kamu sedang hamil. Kamu harus menjaga kesehatanmu, menge
Maid berjalan dengan hati-hati menyusuri koridor menuju kamar Sophia. Di atas nampan yang ia bawa, cangkir porselen berisi susu hangat bergoyang sedikit, tetapi tetap berada dalam keseimbangan. Aroma lembutnya menyebar di udara, menciptakan rasa nyaman. Setibanya di depan kamar, maid mengetuk pintu dengan sopan. "Nyonya Sophia, ini saya. Saya membawakan susu untuk Anda." Tak ada jawaban langsung. Maid menunggu beberapa detik sebelum kembali mengetuk, kali ini sedikit lebih keras. Barulah terdengar suara pelan dari dalam. "Masuklah." Dengan lembut, maid mendorong pintu dan melangkah masuk. Sophia sedang duduk di tempat tidur, bersandar pada bantal tebal. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat, tetapi ia sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya. "Terima kasih," kata Sophia lemah, mencoba tersenyum saat melihat maid itu mendekat. "Susu hangatnya baru saja dibuat, Nyonya. Minumlah selagi masih hangat," ujar maid sambil meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur
"Sophia, kau kenapa?" Suara Daniel terdengar panik saat melihat wajah Sophia yang tiba-tiba menegang, tangannya mencengkeram perut seperti menahan sakit. Sophia mencoba menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri, meskipun rasa mulas yang menusuk itu membuatnya sulit untuk berbicara dengan normal. "Aku … tidak apa-apa. Perutku hanya sedikit mulas saja." Daniel menatapnya dengan ragu, jelas tidak percaya dengan jawaban itu. "Jangan memaksakan diri." Dengan lembut, ia membantunya untuk berbaring di tempat tidur. Tangan hangatnya menopang bahu Sophia, lalu membenarkan bantal di belakang kepalanya agar lebih nyaman. Tatapannya tetap terfokus pada wajahnya, seolah-olah memastikan bahwa Sophia benar-benar baik-baik saja. "Seharusnya kau lebih banyak istirahat," gumamnya pelan. Sophia hanya mengangguk lemah. Namun, detik berikutnya, ia tersentak pelan saat merasakan sesuatu. Sebuah sentuhan lembut di perutnya. Daniel, tanpa ragu, meletakkan tangannya di atas perut Sophia. Telapak tan
Malam ini, Sophia duduk di sebuah kafe kecil. Ia menggenggam cangkir kopinya, tetapi bahkan kehangatannya tidak mampu meredakan kegelisahannya. Sejak menerima telepon dari John, ia tidak bisa berpikir jernih. Malam ini, ia akan mengetahui siapa yang telah menabrak ayahnya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Tak lama kemudian, John duduk di depannya, meletakkan sebuah amplop cokelat di atas meja. Ekspresinya serius, membuat Sophia semakin gelisah. "Aku sudah menemukan orangnya," ucap John tanpa basa-basi. Jantung Sophia berdegup semakin kencang. "Siapa dia?" tanyanya dengan suara bergetar. John menghela napas sebelum mendorong amplop itu ke arahnya. "Dia seorang sopir truk. Sudah bekerja di perusahaan konstruksi selama dua tahun terakhir." Tangan Sophia sedikit gemetar saat mengambil amplop itu. Ia membuka segelnya dengan hati-hati, menarik selembar kertas berisi foto seseorang. Matanya langsung terpaku pada wajah di dalam foto itu. "Laki-laki ini ..." bisiknya. J
Sophia merasakan bulu kuduknya berdiri saat melihat wajah pucat Andrew. Pria itu jelas ketakutan. Siapa orang-orang yang ia maksud? Tiba-tiba, pintu bar terbuka kembali, dan seorang pria bertubuh tinggi dengan pakaian serba hitam melangkah masuk. Namun, yang membuat jantung Sophia berdetak lebih kencang bukan hanya posturnya yang mengintimidasi—melainkan topeng hitam yang menutupi separuh wajahnya. Pria itu melangkah mendekat dengan tatapan tajam. Sophia bisa merasakan aura mengancam yang menyelimuti ruangan, membuatnya secara refleks mundur selangkah. Andrew menggertakkan giginya. Ia menoleh pada Sophia dengan ekspresi serius. "Aku bilang pergi dari sini sekarang!" bisiknya tajam. Tapi Sophia tetap diam di tempatnya, hatinya berdebar kencang. Jika ia pergi sekarang, bisa saja Andrew tidak akan pernah mau bicara lagi. Ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk mengetahui siapa dalang di balik kecelakaan ayahnya. "Siapa dia?" bisik Sophia, matanya tetap mengawasi pria bertopeng y
Langkah kaki William terdengar pelan namun berat saat ia keluar dari ruang rumah sakit. Pundaknya sedikit membungkuk, dan tongkat yang biasa ia genggam dengan tenang kini terasa seperti beban tambahan yang tak bisa ia lepaskan. Lewis, ketua pelayan setia yang sejak dulu menemani kehidupan keluarga Williams, menyambutnya dengan sorot mata penuh tanya. "Tuan, bagaimana dengan keadaan Nyonya Sophia?" tanyanya hati-hati, menjaga nada suaranya agar tak terdengar terlalu mendesak. Namun William hanya menggeleng pelan. Tak sepatah kata pun keluar selain bisikan lirih, "Kita kembali saja ke mansion." "Baik, Tuan," jawab Lewis dengan anggukan sopan sebelum ia berjalan cepat ke arah mobil, membuka pintu belakang dan membantu William masuk dengan penuh kehati-hatian. Mobil melaju pelan meninggalkan gedung rumah sakit, membawa keheningan yang begitu pekat di dalam kabin. William menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang lewat bagai bayangan tak bermakna. Namun pi
Kelopak mata Sophia bergerak perlahan, seakan berusaha keluar dari kegelapan yang menyelimutinya. Napasnya masih lemah saat akhirnya matanya terbuka lebar. Pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya menangkap sosok yang duduk di samping ranjangnya. "Daniel ...," gumamnya lemah. Mendengar namanya dipanggil, Daniel yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya langsung tersentak. Dengan cepat, ia menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya. Ia tak ingin Sophia melihatnya dalam keadaan seperti ini. "Kau sudah bangun," suaranya terdengar serak, tapi ia tetap berusaha terdengar tenang. Sophia mengerjapkan matanya, mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, ada sesuatu yang aneh. Daniel tampak berbeda. Wajahnya pucat, matanya memerah seolah telah menahan tangis terlalu lama. "Kenapa kamu menangis?" Ini pertama kalinya Sophia melihat Daniel dalam keadaan seperti ini—terlihat begitu hancur, begitu rapuh. Daniel menggeleng pelan. "Tidak apa-apa," jawabnya, meski jelas sekali itu bohong.
"Tidak mungkin ... Ini semua tidak mungkin ...." Mata David menatap kosong ke lantai rumah sakit, sementara pikirannya berputar tak karuan. Ia tidak pernah menginginkan kehamilan Sophia sejak awal. Ia menolak dengan keras, menuduh anak itu bukan miliknya. Tapi seiring waktu, perlahan ia mulai menerimanya—terutama setelah William menjanjikan saham sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Namun sekarang, semuanya sia-sia. David mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Rencana yang sudah ia susun dengan matang kini berantakan begitu saja. Ia tak tahu harus merasa sedih, kecewa, atau marah. Yang pasti, sesuatu di dalam dirinya terasa kosong. Tatapannya kemudian beralih ke arah pintu ruang perawatan yang masih tertutup rapat. Di balik pintu itu, Sophia masih berjuang dengan kondisinya yang belum stabil. Ia mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, pikirannya kacau. Apakah ini hukuman untuknya karena sejak awal menolak anak itu? Atau
Suara jeritan Sophia menggema di seluruh lorong mansion Williams, Daniel yang mendengar itu langsung berlari secepat mungkin ke arah sumber suara. "Sophia!" Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah menimpa wanita itu. Saat ia tiba di tangga besar mansion, napasnya tertahan. Sophia tergeletak di anak tangga, tubuhnya setengah terduduk dengan tangan bertumpu pada salah satu undakan. Pakaiannya kusut, dan yang lebih mengejutkan—darah segar mengalir dari kakinya, sampai membentuk genangan merah di lantai marmer. Daniel berlari menuruni tangga. "Sophia!" Ia segera berjongkok di hadapan wanita itu, tangannya refleks menyentuh perut Sophia. Sophia mengangkat wajahnya yang pucat, matanya berkabut menahan sakit. "Daniel …" suaranya lemah, hampir tidak terdengar. Daniel melihat tangan Sophia juga berlumuran darah. "Apa yang terjadi?!" Sophia membuka mulut, seolah ingin menjawab, tapi sebelum satu kata pun keluar, kepalanya terkulai ke sa
Flash Back. Anne berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka, napasnya tertahan saat mendengar percakapan di dalam ruangan. Matanya menyipit tajam, memperhatikan setiap gerakan Sophia dan Daniel. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang aneh dengan kedekatan mereka. Tatapan penuh perhatian, sentuhan yang terlalu akrab—semuanya terasa lebih dari sekadar hubungan biasa. Dan kini, bukti itu ada di depan matanya. Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dari saku. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan membidik kamera ke arah Daniel yang tengah mengelus perut Sophia, wajahnya dipenuhi kelembutan. Klik. Satu foto berhasil ia abadikan. Anne menahan senyumnya. Ini akan sangat menarik. Tanpa ragu, ia mengetik pesan singkat di ponselnya sebelum mengunggah foto tersebut. "Kau harus melihat ini. Aku rasa kau akan sangat menyukainya." Tombol kirim ditekan, dan dalam hitungan detik, pesan itu terkirim ke Laura. Anne menatap layar ponselnya dengan penuh kepuasan. Ia tahu betul bagaimana L
Ruangan kerja Daniel yang berada di mansion Williams terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya lampu temaram menambah suasana nyaman di dalamnya. Di atas meja kerja, beberapa dokumen tersusun rapi, menunjukkan kesibukan Daniel akhir-akhir ini. Namun, saat ini, perhatiannya hanya terfokus pada satu hal—wanita yang tengah duduk di sofa, yang kini menjadi pusat dunianya. Sophia duduk dengan santai, tubuhnya sedikit bersandar ke belakang, satu tangannya mengelus lembut perutnya yang semakin membesar. Ada cahaya keibuan di wajahnya, sesuatu yang membuat Daniel tak bisa mengalihkan pandangan. Dengan langkah tenang, Daniel mendekat sambil membawa sesuatu di tangannya. Ia duduk di samping Sophia, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyerahkan benda itu. "Aku membeli ini untuk anak kita," katanya sambil menunjukkan sepasang sepatu bayi mungil berwarna pink. "Tapi aku tidak tahu apakah dia akan menyukainya." Mata Sophia melembut, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia menerima sepatu itu den
Benturan keras masih terasa di tubuh Daniel, napasnya sedikit tersengal saat kesadarannya perlahan pulih. Suara klakson mobil lain terdengar samar, diiringi teriakan beberapa orang yang bergegas mendekat ke arah mobilnya. Mobil yang menabraknya telah melaju pergi begitu saja, meninggalkan bekas tabrakan di bagian samping mobil Daniel. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, saat itu juga ketukan terdengar di jendela kaca mobilnya. Tok, tok, tok. "Pak, apa Anda baik-baik saja?" suara seorang pria terdengar khawatir dari balik kaca. Daniel mengerjapkan mata, masih sedikit pusing, lalu menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela. Udara malam yang dingin langsung menyapa wajahnya. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang sedikit serak. "Terima kasih." Pria yang mengetuk kaca tadi menghela napas lega. "Syukurlah. Saya melihat mobil itu menabrak Anda lalu kabur begitu saja. Haruskah saya menelepon polisi?" Daniel menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa mengur
"Terima kasih atas kerja sama Anda, Mr. Lancaster," ujar Daniel sambil menjabat tangan pria di hadapannya. Mr. Edward Lancaster, seorang investor ternama yang memiliki jaringan luas di sektor properti dan pembangunan, mengangguk dengan ekspresi puas. "Kau memiliki visi yang kuat, Mr. Williams. Aku suka cara berpikirmu," ujarnya. Saat ini, Daniel sedang berada di ruang pertemuan eksklusif di lantai tertinggi sebuah hotel bintang lima, menemui klien penting untuk mengamankan investasi di proyek lahan perbukitan barat. Kawasan itu telah lama menjadi target pengembangan, tetapi hanya sedikit investor yang berani mengambil risiko karena akses dan infrastruktur yang masih terbatas. Namun, Daniel bukan pria yang mudah menyerah. Sejak awal presentasi, ia telah menyiapkan setiap data dengan matang—rencana pembangunan, prospek keuntungan jangka panjang, hingga strategi pengembangan akses jalan yang akan meningkatkan nilai lahan tersebut secara signifikan. Salah satu poin utama yang berha
Daniel menghembuskan napas panjang saat langkahnya sampai di depan pintu apartemen. Hari ini begitu melelahkan, bukan karena pekerjaan, tetapi karena pikirannya yang terus dipenuhi oleh sosok Sophia. Ada banyak hal yang harus ia pikirkan, tetapi semua terasa begitu buntu. Dengan sedikit enggan, ia merogoh kunci dari saku celananya, memasukkannya ke dalam lubang kunci, lalu memutar kenop pintu. Begitu pintu terbuka, pemandangan yang sudah berkali-kali ia lihat kembali menyambutnya. Laura berdiri di ambang kamar, bersandar di dinding dengan pakaian minim yang jelas dirancang untuk menggoda. Sebuah lingerie sutra berwarna merah melekat di tubuhnya, memperlihatkan kulitnya yang mulus. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, beberapa helai jatuh ke bahunya dengan cara yang tampak natural, seolah tanpa usaha. Seharusnya pemandangan itu bisa menggoda siapa pun—tapi tidak bagi Daniel. "Welcome home, darling," suara Laura terdengar lembut, mengandung nada genit yang sudah sangat familiar di