Tak ada jawaban pasti dari mulut Tuan Wilson. Sekali lagi pria tua itu, seperti memberi teka-teki baru pada Zea.Entah berapa banyak rahasia yang ada di keluarga itu. Terutama tentang hidup Leon yang mau tidak mau akan Zea tahu cepat atau lambat seiring berjalannya waktu.Kondisi Tuan Wilson yang kian memucat, tidak memungkinkan untuk berbicara lebih banyak pada Zea. Beruntung mobil medis yang beberapa saat lalu dihubungi oleh salah satu pelayan Tuan Wilson sigap datang ke rumah itu. Dua orang perawat pria yang datang pun, cekatan melakukan pertolongan pertama pada Tuan Wilson. Zea dan para pelayan yang sama sekali tidak mengerti tentang pekerjaan medis hanya bisa pasrah melihat kondisi Tuan Wilson yang memprihatinkan.Ada rasa kesal yang mendadak memenuhi kepala Zea, saat melihat kondisi Tuan Wilson. Terutama saat perawat mulai memakaikan selang infus dan juga alat bantu pernafasan pada pria tua yang seperti tidak berdaya itu.Di usia Tuan Wilson yang sekarang sudah memasuki masa pe
Mata Leon jelas terbelalak mendengar permintaan putranya yang menurutnya tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dirinya mencari ibu baru untuk Louis, sedangkan hatinya masih terpaku pada mantan istrinya.Louis yang biasanya selalu bersikap mandiri, bahkan tak segan merengek di depan ayahnya sendiri. Menarik-narik tangan Leon, agar mau mewujudkan keinginannya untuk memiliki ibu baru."Ayolah Ayah, aku ingin Ibu baru. Kenapa Ayah tidak mau mewujudkan keinginanku!" Renggek Louis layaknya anak kecil yang tengah menginginkan mainan baru.Tentu saja Leon bingung untuk memenuhi keinginan anaknya itu. Wajahnya bahkan mulai terlihat panik seketika. Pusing bagaimana harus menjelaskan pada Louis tentang sulitnya mencari ibu baru untuknya.Jangankan mencari istri, untuk dekat dengan Leon sebagai seorang kekasih saja pria itu kesulitan setengah mati. Apalagi harus mencari istri di waktu yang sesingkat ini.' Mustahil.' Ucap Leon dalam hati. Menatap lekat putranya sambil menghela nafas panjang."Louis
Alis Zea mengerut kencang. Menatap pantulan wajahnya yang sedang kesal di depan cermin toilet. Bisa-bisanya dia mengakui sebagai calon istri si brengsek Leon. Mengingat wajahnya saja rasanya Zea mual."Arghh! Jika bukan karena Ayahnya, aku juga tidak sudi berada disini bertemu dengannya. Dia pikir dia bisa merendahkan orang lain dengan uangnya. Dasar manusia angkuh!" Gerutu Zea acuh. Tak mempedulikan orang-orang lalu lalang di sekitarnya yang mungkin menganggapnya aneh.Tangan Zea cepat memutar kepala kran. Membasuh wajahnya dengan air yang langsung mendinginkan amarahnya. Paling tidak air itu bisa membuat mulutnya berhenti mengomel barang sejenak.Tanpa Zea sadari seorang wanita yang sejak tadi mengamati tingkahnya, perlahan berdiri di sebelah Zea. Menyodorkan sapu tangan berwarna merah muda ke hadapan Zea."Pakailah ini untuk mengeringkan wajahmu yang basah," ujar wanita itu dengan suara lembut. Tersenyum ramah pada Zea yang sedikit ragu untuk menerima pemberiannya.Mata Zea seperti
Wajah Zea sudah sangat memerah. Ingin rasanya ia menjerit sekencang mungkin, tapi semua itu terasa sia-sia. Lumatan ganas pria di depannya benar-benar membuatnya tak bisa menghindar. Bahkan untuk sekedar menghindar pun, rasanya itu seperti mustahil.Hanya air mata yang akhirnya mampu menyelamatkannya. Mengalir membasahi pipinya yang bersentuhan langsung dengan wajah seorang Leon.Pria yang masih bertindak brutal itu perlahan membuka matanya. Merasakan tetesan air yang mendadak melenyapkan nafsunya. Memundurkan wajahnya perlahan sembari melepaskan cengkraman tangannya yang sebelumnya mengekang kuat tangan Zea.Leon tidak tahu kenapa dia bisa senekat itu. Seolah menjilat ludahnya sendiri yang selama ini selalu menyebut Zea sebagai seorang gadis rendahan yang tak akan mungkin ia sentuh, bahkan seujung kukunya sekalipun."Maafkan aku, aku...." ujar Leon tak mampu melanjutkan ucapannya sendiri. Menatap Zea yang memilih membuang muka sambil menangis sedih.Sebagai seorang wanita Zea meras
"Aaaaasaaa!" jerit Zea sekeras mungkin. Memperlihatkan wajah syok saat bertemu penampakkan yang tak biasa itu.Tanpa Zea sadari, suara jeritan Zea yang melengking kencang itu menggema hingga ke setiap sudut sekolah. Membuat seisi penghuni sekolah ikut panik dan penasaran dengan apa terjadi.Beberapa murid yang berada dekat dengan ruang perpustakaan bahkan tanpa ragu berlari masuk ke ruangan itu. Meninggalkan pelajaran yang masih berlangsung tentunya.Tak berselang lama, sosok yang ada tepat di hadapan Zea itu mendadak tertawa terkekeh. Zea yang sebelumnya sudah siap berlari untuk kabur, malah menjadi ragu dengan suara tawa sosok yang dia kira hantu itu."Kau han-tu kan?" tanya Zea polos. Memperhatikan detail ujung kaki, hingga kepala pria di depannya itu. Membaca papan name tag milik si pria yang kelihatan asli. "Alan.""Hahaha mana ada hantu yang doyan salak. Dasar gadis bodoh," ucap pria itu sambil tertawa terpingkal-pingkal. Menertawai Zea yang langsung menelan ludah seketika.Akib
Tangan mungilnya sudah selesai mengenakan rok sekolah. Sigap beralih mengambil kemeja putih polos- menggantung di balik pintu lemari di depannya. Rutinitas yang hampir setiap hari Zea jalani seperti pelajar pada umumnya.Wajahnya yang terlihat malas tetap harus bergerak cepat jika tidak ingin namanya terpampang paling atas di mading sekolah sebagai siswa paling malas di SMA Garuda Perkasa.Kreet!Belum juga selesai Zea mengancingkan semua baju, pintu kamar mendadak terbuka perlahan. Mata gadis itu membulat lebar. Meremas kedua ujung kemeja atas yang belum sempat ia tautkan dengan tangan gemetar.Sesosok pria dengan wajah tanpa rasa bersalah menyeringai lebar ke arah Zea. Tatapannya terlihat picik. Menyembunyikan niatan kotor yang bahkan bisa terbaca jelas dari langkahnya yang mengendap-endap berusaha masuk kamar, seperti seorang penyusup."Selamat pagi sayang, bagaimana kabarmu, lama kita tidak bertemu ya?" Berbicara dengan suara sangat pelan. Menggeser tubuhnya perlahan agar bisa m
Suasana rumah menjadi kacau. Darah yang keluar dari tubuh Aron mulai merembes ke lantai. Tangan Lily bahkan sudah berubah warna merah karena tak henti mengguncang tubuh ayahnya."Apa yang terjadi? Kenapa... Oh Tuhan apa yang kalian lakukan pada Ayah kalian?" tanya Hera dengan wajah syok. Menjatuhkan tas jinjingnya yang berisi belanjaan dapur dengan spontan.Tak ada jawaban dari kedua putrinya. Keduanya memperlihatkan ekspresi bertolak belakang. Zea lebih seperti patung hidup yang tak henti memperlihatkan rasa bersalahnya.Meski syok Hera berusaha cepat mengendalikan diri. Secepat mungkin menekuk kedua lututnya ke hadapan tubuh suaminya yang tergeletak tak berdaya. Hera tidak tahu harus senang atau sedih melihat kondisi suaminya itu. Ada rasa yang aneh yang membuatnya tidak menggila seperti saat kehilangan suami pertamanya. Tidak ingin membuang waktu lebih lama. Hera cepat meraih telapak tangan kanan Aron untuk mencari detak nadinya."Ibu apa Ayah baik-baik saja? Apa dia mati?" tany
Hera berusaha sekuat tenaga untuk mencakar lengan Aron. Berusaha melepaskan diri dari maut yang Aron bawa lewat cekikannya.Hal yang lebih menyakitkan dari itu adalah tatapan tajam suaminya yang kini beralih menatap kedua putrinya. "Ja-ngan sa-ki-ti ke-dua a-nakku!" Pekik Hera di sisa nafasnya yang mulai terasa berat. Tak sanggup jika harus mati meninggalkan kedua putrinya di tangan bedebah seperti Aron.Lily yang melihat Hera di antara hidup dan mati tidak mau tinggal diam. Meminta Zea untuk kabur, "Pergilah, Zea. Selamatkan dirimu. Aku yang akan menyelamatkan Ibu," ucap Lily yakin,lalu dengan sekuat tenaga menyerang balik Aron."Ayah tolong lepaskan! Ibu bisa mati!" Jerit Lily tak kuasa menahan tangis. Memegangi tangan Aron berusaha melepaskan cengkraman yang membuat Hera mulai kehilangan kesadaran. Melihat Lily yang berusaha ingin menyelamatkan Zea, membuat amarah Aron kembali meledak. "Dasar anak tidak tidak tau diuntung! Kau sama bodohnya dengan Ibumu!"Brak!Dengan satu tang