Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
Panasnya matahari tidak menghalangi Anike yang baru pulang dari tempatnya bekerja untuk menuju wedding organizer yang dipilih calon suaminya. Namun, pegawai itu justru meliriknya sekilas saja sebelum akhirnya membalas singkat, “Hai.” Anike terdiam mendapati sikapnya tak seramah seperti saat pertama kali Anike dan Indra datang ke sana. Namun, Anike tak mau ambil pusing. Mungkin, perempuan di depannya ini sedang ada masalah. “Oh, iya. Saya sedang menunggu Indra datang ke mari. Bagaimana kalau kita ngobrol dulu sebentar tentang–” “–Maaf, Mbak Anike. Mbak sudah menyalahi perjanjian,” sela sang pegawai . “Maksudnya?” tanya Anike tak mengerti. “Bukankah kami sudah menekankan agar Mbak Anike membayar sebesar 50% di awal sebagai DP, tapi kenapa Mbak tidak juga melunasinya?” Nada bicaranya terkesan malas. Mendengar itu, Anike sontak mengernyitkan kening. “Tidak mungkin, Mbak. Saya sudah mengirimkan uang kepada Indra untuk dibayarkan kepada pihak WO. Jumlahnya sesuai dengan pihak WO mint
Keesokan harinya, setelah perut kenyang dan merapikan diri, Anike bersiap mendatangi alamat perusahaan yang dia dapatkan dari situs lowongan kerja.Namun, baru saja Anike membuka pintu rumah kakaknya, seorang pria bertubuh tegap sudah berdiri di hadapannya."Cari siapa, ya?" tanyanya ragu."Tiara-nya, ada?""Oh, ada." Anike membuka mulut, hendak meneriakkan nama sang kakak. Akan tetapi, segera dia urungkan ketika Tiara lebih dulu muncul."Pagi amat, Gam?" sapa Tiara sangat lembut. Anike sampai merinding melihat betapa bedanya sikap sang kakak dari yang selama ini ia tahu. Pasalnya, sejauh yang dia tahu, Tiara tak pernah berdekatan dengan pria manapun."Oh, iya. Kenalkan, ini adikku, Anike." Tiara tiba-tiba menyuruh Anike bersalaman dengan kekasihnya itu, “Dek, ini pacar Teteh. Gama namanya.”"Salam kenal, adik kakak sama-sama cantik, ya," sanjung pria itu basa-basi."Bedanya dia pengangguran, sedangkan aku tidak," ketus sang kakak."Pengangguran? Wah, kebetulan ini! Kudengar, bos besa
"Ko-kopi, Tuan?" tanya Anike sambil menelaah kembali kalimat pria tampan di hadapannya itu. "Ya, seperti yang kau dengar tadi," jawab Carlen Meier acuh tak acuh. Pria itu bahkan sudah kembali serius membaca berkas-berkas yang ada di tangannya. "Apakah ini bagian dari wawancara?" tanya Anike lagi. Sejurus kemudian, Carlen meletakkan kertas-kertas ke atas meja. Ia lalu menatap Anike dingin. "Kau ingin pekerjaan atau tidak?" "Tentu saja, Tuan." "Kalau begitu, buatkan aku kopi." "Apakah membuat kopi dengan jenis pekerjaan yang akan saya tekuni nanti, Tuan?" cicit Anike kebingungan. "Anggap saja itu adalah caraku melihat apakah kau sanggup bekerja atau tidak." "Baiklah." Anike mengangguk ragu. Dia berbalik dan berjalan meninggalkan ruang kerja. Akan tetapi, sesampainya di ambang pintu, Anike teringat sesuatu. Wanita itu sontak berbalik menghadap Carlen. "Maaf, Tuan ... kalau boleh tahu, dapurnya di sebelah mana?" "Tanyakan pada asistenku yang membawamu tadi," timpal Carlen dingin
Anike membelalakkan mata tak percaya, setelah mendengar ucapan Carlen. “Lima ratus juta?”Gadis itu limbung dan bergerak mundur. Anike bahkan berpikir ia akan pingsan. Sayangnya, ia masih mampu berdiri. “Apa bisa dikurangi, Tuan? Ini sudah masuk Bulan Februari. Bulan penuh cinta,” ucap Anike mengiba.Di sisi lain, ia sedang mencari ide agar dapat melarikan diri dari sana.Carlen berdecak malas. “Persetan dengan bulan penuh cinta! Itu tak ada hubungannya dengan ganti rugi yang harus kau bayar!”“Tapi, lima ratus juta terlalu besar. Rumah dan tanah orang tuaku saja tidak sampai segitu jika dijual,” sahut Anike memasang raut penuh keresahan.“Aku tidak peduli. Bagaimanapun caranya, kau harus mengganti atas kerugian yang dirimu timbulkan, Nona,” tegas Carlen dingin. Tak lupa, ia memberi tatapan tajam.Anike terpaku beberapa saat.Dia tak mungkin meminta bantuan lagi kepada Tiara. Jika sampai sang kakak mengetahui bahwa dirinya kembali terjerumus dalam masalah besar karena kecerobohannya,
Anike seketika merasa merinding. Namun, ia tak punya pilihan lain.“Boleh aku tahu penawaran apa, Tuan?” Anike memberanikan diri untuk bertanya. Dia harus siap dengan jawaban yang akan didapatnya.“Kau bisa terbebas dari jerat hukum, jika dirimu bersedia menikah kontrak denganku,” jawab Carlen, yang seketika membuat seluruh tulang dalam tubuh Anike seakan menjadi lembek.“Menikah kontrak?” ulang Anike pelan dengan nada tak percaya. Sepasang bola mata gadis asal Bandung tersebut bergerak tak beraturan. “Kenapa harus menikah kontrak?” tanyanya polos.“Kenapa? Bukankah itu jauh lebih baik jika dibandingkan dengan memakai jasa wanita panggilan,” ujar Carlen penuh cibiran.“Ya, Tuhan! Aku bukan wanita seperti itu!” Kekuatan Anike yang tadi sempat lenyap, tiba-tiba kembali setelah mendengar ucapan Carlen yang terkesan merendahkannya.“Terserah kau,” balas Carlen enteng, “aku hanya memberikan penawaran yang menurutku paling ringan untukmu.”Anike terdiam. Dia meremas bagian bawah blouse keme