Share

4. Hukuman

Fajar pikir gadis muda seperti Jiwa hanya pandai berpikir jangka pendek. Terbukti dari caranya membalas perselingkuhan. Menjadikan dirinya sebagai bahan balas dendam atas kelakuan sang putra menunjukkan betapa egoisnya gadis muda itu.

Ia pikir dengan menghilangkan jarak dirinya dengan Cecilia, Jiwa akan mengerti level dirinya. Namun, Fajar salah besar.

"Cuma mau nyapa doang, gitu aja galak." Jiwa semakin berjalan mendekat. Mengabaikan keberadaan Cecilia yang sejak tadi memperhatikan dirinya.

Tangan kanan Jiwa langsung menarik Fajar menjauh dari Cecilia. Membuat wanita dewasa itu terkejut dengan sikap Jiwa yang tidak tahu malu.

Jiwa hanya tersenyum tipis, terlau masa bodoh. Dia mendengar Fajar belum menikah, itu artinya Cecilia masih belum menjadi siapa-siapa. Bisa saja wanita itu hanya teman, dan kalau pun lebih dari itu Jiwa juga tidak peduli.

Tujuannya lebih penting dari apapun.

Fajar menarik tangannya dari genggaman Jiwa. Matanya memperhatikan sekitar, memastikan tidak ada yang sedang menyorot mereka bertiga.

"Kita sama-sama tamu di sini. Akan lebih baik kalau sama-sama menjaga sikap," kata Fajar dengan tegas.

"Siapa?" tanya Cecilia setelah beberapa menit diam.

Jiwa melihat wanita cantik itu. Anggun dan menawan adalah dua kata yang cukup menggambarkan bagaimana look seorang Cecilia malam ini. Terlihat menarik karena wanita itu juga dalam usia yang matang.

"Hai, Tante," sapa Jiwa kurang ajar.

Fajar menarik napas sebelum berlalu pergi. Tak ingin terlibat dalam permainan yang akan dimulai Jiwa.

Melihat sang target pergi, Jiwa menyusul. Cecilia yang memiliki niat sama seperti Jiwa langsung menahan diri. Urung mengikuti Fajar. Ia ingin tahu ada hubungan apa mereka berdua selama ini. Karena kalau tidak ada apa-apa, Fajar tak akan bersikap seperti itu.

Namun, baru kali ini juga Cecilia melihat seorang wanita yang dekat dengan Fajar. Pengacara sukses itu terkenal tak pernah menyukai wanita setelah kematian istrinya.

"Buru-buru banget, sih, jalannya," ujar Jiwa yang sudah berhasil menyusul.

Pengacara yang baru saja menyapa beberapa orang itu menoleh. Ternyata tidak peduli sekeras apa dia menjauh, Jiwa tetap akan mengikutinya. Gadis yang sungguh keras kepala.

"Pak Fajar kenal?" tanya seorang pria yang sepertinya usianya tak jauh dari Fajar.

Fajar menggeleng pelan, namun Jiwa malah mendekat. Merangkul lengan si pengacara dan mengelus pundaknya dengan lembut.

"Saya Jiwa, pacarnya Pak Fajar," katanya memperkenalkan diri.

Si pengacara itu melotot, tak terima dengan apa yang dikatakan Jiwa. Enak saja memperkenalkan diri seperti itu.

"Ucapan kamu membuat semua orang akan salah paham, cepat ralat," bisik Fajar pelan. Ia sangat geram dengan tingkah Jiwa yang selalu kelewat batas.

Beberapa orang yang berkumpul di sana memperhatikan Jiwa dan Fajar bergantian. Perbedaan usia di antara mereka berdua jelas mencolok. Siapa pun tahu kalau Fajar adalah duda yang sudah memiliki anak dewasa.

Mungkin Jiwa akan lebih cocok jika menjadi menantunya dari pada menjadi pacarnya.

"Oh, Pak Fajar ternyata ada wanita lain, toh. Kirain sama Mbak Cecilia si selebgram itu," komentar salah satu wanita. Jiwa tersenyum manis, mengangguk.

Jiwa jadi penasaran, apakah cewek tadi yang bernama Cecilia?

"Hidup emang nggak bisa diprediksi, Bu. Keliatannya deket sama siapa, eh, jadinya sama siapa," sahut Jiwa semakin mendalami perannya.

Fajar hanya diam, tidak mungkin dia langsung menarik Jiwa menjauh atau menyuruh gadis itu pergi.

Dia masih harus menjaga image.

"Itu di sana Mbak Cecil datang sama siapa? Kok sendirian begitu?" pertanyaan kembali muncul dan Jiwa kini melirik Cecilia yang curi-curi pandang ke arah sini.

Sebagai sesama perempuan, Jiwa jelas tahu kalau wanita itu menaruh perasaan pada Fajar.

"Dia datang sama saya. Mohon maaf saya harus pergi dulu," pamit Fajar dengan sopan. Ia memutar tubuh dan bersiap melangkah, Jiwa yang memegangi lengannya jelas ikut berbalik.

Bukan menghampiri Cecilia, Fajar justru menbawa Jiwa keluar dari ruangan. Mereka berjalan menuju samping rumah yang sepi, tepat di pinggir kolam renang.

Letaknya yang cukup jauh dari ruang acara membuat Fajar bisa mengekspresikan perasaannya.

"Apa-apaan tadi, hah?"

Fajar menarik tubuh Jiwa mendekat, menempel dengan tubuhnya yang masih bagus meski usia sudah berkepala empat. Sepertinya di tengah kesibukannya membela seorang klien, Fajar cukup rajin menjaga kebugaran tubuhnya.

"Saya peringatkan sekali lagi, jangan main-main dengan saya. Bocah seperti kamu sama sekali nggak membuat saya tertarik," desis Fajar menahan amarah.

Jiwa sudah sangat melewati batas, Fajar merasa terusik. Kedamaiannya diganggu.

"Terus gimana biar Pak Pengacara ini tertarik? Apa harus berdandan anggun, manis, dan menawan seperti Cecilia?" tanya Jiwa dengan berani.

Mungkin karena usianya masih sangat muda, gadis itu jadi meledak-ledak. Tindakannya sangat egois karena hanya mementingkan dirinya sendiri. Tapi, apapun itu Fajar tidak bisa lagi memberikan toleransi.

Apalagi alasan Jiwa mendekatinya jelas karena gadis itu ingin memanfaatkan dia.

"Apa kamu nggak berpikir kalau saya terima tawaran kamu, maka, hubungan saya dan Gibran juga akan terganggu?" Fajar menangkup wajah Jiwa dengan kedua tangan. Bukan cengkraman lembut, sentuhan tangannya terkesan mengancam.

"Jangan egois! Saya nggak mau orang luar mengacaukan hubungan keluarga kecil saya," lanjut Fajar.

Jiwa mengerjap, dia tidak berpikir sejauh itu. Tapi, benar kah dia egois? Memangnya sedekat apa hubungan ayah dan anak ini?

"Memangnya hubungan kalian baik-baik saja selama ini?" tanya Jiwa masih dengan keberanian yang ada. Gadis itu seakan tak memiliki ketakutan apapun.

Itu adalah pertanyaan yang simple, tapi, kenapa Fajar tidak bisa menjawabnya?

Apakah hubungannya dengan Gibran baik-baik saja? No, jawabannya adalah tidak.

Mereka ayah dan anak yang kaku. Gibran lebih dekat pada neneknya dibanding dirinya. Fajar yang sibuk tidak pernah ada waktu untuk mengobrol dengan putra satu-satunya.

Melihat keterdiaman Fajar, Jiwa langsung mendengus. Tangannya melepas cengkraman Fajar pada wajahnya.

"Di dunia ini tidak ada hubungan keluarga yang bahagia," lanjut Jiwa sembari menjauhkan tangan Fajar dari wajahnya. "Jadi, apa yang mau dipertahankan? Bahkan kalau bukan orang lain, orang dalam pasti akan menghancurkan hubungan keluarga yang sudah dibangun."

Jiwa mundur beberapa langkah. Kedua tangannya menyilang di depan dada sembari mata terus memperhatikan Fajar yang masih belum bersuara. Hembusan angin malam yang dingin menerpa kulit punggungnya yang terbuka. Jiwa mengumpat dalam hati, dia tidak akan lagi menuruti Stella kalau diminta memakai pakaian seperti ini.

"Keluarga bahagia itu memangnya yang seperti apa?" tanya Fajar. Lelaki itu berhasil menemukan kesadarannya kembali. "Dan kalau memang tidak bahagia, bukan berarti menghancurkan adalah jalan yang lebih baik."

Jiwa merasa tersentil dengan kalimat Fajar. Matanya menatap lurus dengan netra cokelat Fajar yang indah. Bahkan hanya disirami cahaya bulan saja, Fajar masih terlihat sangat tampan.

Lelaki itu maju secara perlahan. Memperhatikan penampilan Jiwa yang mampu membuat dadanya berdesir. Sejujurnya pertama kali melihat gadis muda ini tadi, Fajar sempat berpikir Jiwa gadis yang cantik dan elegan.

Jiwa menurunkan kedua tangan, kepalanya semakin mendongak menatap wajah Fajar yang datar. Jarak mereka yang sangat dekat membuat indra penciuman mereka bisa menghirup aroma masing-masing.

"Ini hukuman untuk kurang ajarmu hari ini."

Fajar meraih kedua lengan Jiwa, menarik tubuh wanita itu mendekat padanya, lalu tanpa aba-aba Fajar mendorong Jiwa ke kolam renang.

BYUR

Satu detik, dua detik, tiga detik, dan hingga detik ke lima Jiwa belum terlihat naik ke permukaan. Fajar menyipitkan mata, mulai ingin masuk ke dalam kolam. Tapi ternyata detik selanjutnya Jiwa menyembulkan kepalanya.

"Sialan! Dingin banget, bangkek!" teriak Jiwa mengeluarkan sumpah serapahnya. "Dasar pengacara gila!"

Fajar berdecih. "Untung bisa renang," katanya sebelum memilih menjauh. Meninggalkan Jiwa yang masih belum naik ke tepian kolam sendirian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status