Share

4. Hukuman

Penulis: Liliay
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-28 13:10:50

Fajar pikir gadis muda seperti Jiwa hanya pandai berpikir jangka pendek. Terbukti dari caranya membalas perselingkuhan. Menjadikan dirinya sebagai bahan balas dendam atas kelakuan sang putra menunjukkan betapa egoisnya gadis muda itu.

Ia pikir dengan menghilangkan jarak dirinya dengan Cecilia, Jiwa akan mengerti level dirinya. Namun, Fajar salah besar.

"Cuma mau nyapa doang, gitu aja galak." Jiwa semakin berjalan mendekat. Mengabaikan keberadaan Cecilia yang sejak tadi memperhatikan dirinya.

Tangan kanan Jiwa langsung menarik Fajar menjauh dari Cecilia. Membuat wanita dewasa itu terkejut dengan sikap Jiwa yang tidak tahu malu.

Jiwa hanya tersenyum tipis, terlau masa bodoh. Dia mendengar Fajar belum menikah, itu artinya Cecilia masih belum menjadi siapa-siapa. Bisa saja wanita itu hanya teman, dan kalau pun lebih dari itu Jiwa juga tidak peduli.

Tujuannya lebih penting dari apapun.

Fajar menarik tangannya dari genggaman Jiwa. Matanya memperhatikan sekitar, memastikan tidak ada yang sedang menyorot mereka bertiga.

"Kita sama-sama tamu di sini. Akan lebih baik kalau sama-sama menjaga sikap," kata Fajar dengan tegas.

"Siapa?" tanya Cecilia setelah beberapa menit diam.

Jiwa melihat wanita cantik itu. Anggun dan menawan adalah dua kata yang cukup menggambarkan bagaimana look seorang Cecilia malam ini. Terlihat menarik karena wanita itu juga dalam usia yang matang.

"Hai, Tante," sapa Jiwa kurang ajar.

Fajar menarik napas sebelum berlalu pergi. Tak ingin terlibat dalam permainan yang akan dimulai Jiwa.

Melihat sang target pergi, Jiwa menyusul. Cecilia yang memiliki niat sama seperti Jiwa langsung menahan diri. Urung mengikuti Fajar. Ia ingin tahu ada hubungan apa mereka berdua selama ini. Karena kalau tidak ada apa-apa, Fajar tak akan bersikap seperti itu.

Namun, baru kali ini juga Cecilia melihat seorang wanita yang dekat dengan Fajar. Pengacara sukses itu terkenal tak pernah menyukai wanita setelah kematian istrinya.

"Buru-buru banget, sih, jalannya," ujar Jiwa yang sudah berhasil menyusul.

Pengacara yang baru saja menyapa beberapa orang itu menoleh. Ternyata tidak peduli sekeras apa dia menjauh, Jiwa tetap akan mengikutinya. Gadis yang sungguh keras kepala.

"Pak Fajar kenal?" tanya seorang pria yang sepertinya usianya tak jauh dari Fajar.

Fajar menggeleng pelan, namun Jiwa malah mendekat. Merangkul lengan si pengacara dan mengelus pundaknya dengan lembut.

"Saya Jiwa, pacarnya Pak Fajar," katanya memperkenalkan diri.

Si pengacara itu melotot, tak terima dengan apa yang dikatakan Jiwa. Enak saja memperkenalkan diri seperti itu.

"Ucapan kamu membuat semua orang akan salah paham, cepat ralat," bisik Fajar pelan. Ia sangat geram dengan tingkah Jiwa yang selalu kelewat batas.

Beberapa orang yang berkumpul di sana memperhatikan Jiwa dan Fajar bergantian. Perbedaan usia di antara mereka berdua jelas mencolok. Siapa pun tahu kalau Fajar adalah duda yang sudah memiliki anak dewasa.

Mungkin Jiwa akan lebih cocok jika menjadi menantunya dari pada menjadi pacarnya.

"Oh, Pak Fajar ternyata ada wanita lain, toh. Kirain sama Mbak Cecilia si selebgram itu," komentar salah satu wanita. Jiwa tersenyum manis, mengangguk.

Jiwa jadi penasaran, apakah cewek tadi yang bernama Cecilia?

"Hidup emang nggak bisa diprediksi, Bu. Keliatannya deket sama siapa, eh, jadinya sama siapa," sahut Jiwa semakin mendalami perannya.

Fajar hanya diam, tidak mungkin dia langsung menarik Jiwa menjauh atau menyuruh gadis itu pergi.

Dia masih harus menjaga image.

"Itu di sana Mbak Cecil datang sama siapa? Kok sendirian begitu?" pertanyaan kembali muncul dan Jiwa kini melirik Cecilia yang curi-curi pandang ke arah sini.

Sebagai sesama perempuan, Jiwa jelas tahu kalau wanita itu menaruh perasaan pada Fajar.

"Dia datang sama saya. Mohon maaf saya harus pergi dulu," pamit Fajar dengan sopan. Ia memutar tubuh dan bersiap melangkah, Jiwa yang memegangi lengannya jelas ikut berbalik.

Bukan menghampiri Cecilia, Fajar justru menbawa Jiwa keluar dari ruangan. Mereka berjalan menuju samping rumah yang sepi, tepat di pinggir kolam renang.

Letaknya yang cukup jauh dari ruang acara membuat Fajar bisa mengekspresikan perasaannya.

"Apa-apaan tadi, hah?"

Fajar menarik tubuh Jiwa mendekat, menempel dengan tubuhnya yang masih bagus meski usia sudah berkepala empat. Sepertinya di tengah kesibukannya membela seorang klien, Fajar cukup rajin menjaga kebugaran tubuhnya.

"Saya peringatkan sekali lagi, jangan main-main dengan saya. Bocah seperti kamu sama sekali nggak membuat saya tertarik," desis Fajar menahan amarah.

Jiwa sudah sangat melewati batas, Fajar merasa terusik. Kedamaiannya diganggu.

"Terus gimana biar Pak Pengacara ini tertarik? Apa harus berdandan anggun, manis, dan menawan seperti Cecilia?" tanya Jiwa dengan berani.

Mungkin karena usianya masih sangat muda, gadis itu jadi meledak-ledak. Tindakannya sangat egois karena hanya mementingkan dirinya sendiri. Tapi, apapun itu Fajar tidak bisa lagi memberikan toleransi.

Apalagi alasan Jiwa mendekatinya jelas karena gadis itu ingin memanfaatkan dia.

"Apa kamu nggak berpikir kalau saya terima tawaran kamu, maka, hubungan saya dan Gibran juga akan terganggu?" Fajar menangkup wajah Jiwa dengan kedua tangan. Bukan cengkraman lembut, sentuhan tangannya terkesan mengancam.

"Jangan egois! Saya nggak mau orang luar mengacaukan hubungan keluarga kecil saya," lanjut Fajar.

Jiwa mengerjap, dia tidak berpikir sejauh itu. Tapi, benar kah dia egois? Memangnya sedekat apa hubungan ayah dan anak ini?

"Memangnya hubungan kalian baik-baik saja selama ini?" tanya Jiwa masih dengan keberanian yang ada. Gadis itu seakan tak memiliki ketakutan apapun.

Itu adalah pertanyaan yang simple, tapi, kenapa Fajar tidak bisa menjawabnya?

Apakah hubungannya dengan Gibran baik-baik saja? No, jawabannya adalah tidak.

Mereka ayah dan anak yang kaku. Gibran lebih dekat pada neneknya dibanding dirinya. Fajar yang sibuk tidak pernah ada waktu untuk mengobrol dengan putra satu-satunya.

Melihat keterdiaman Fajar, Jiwa langsung mendengus. Tangannya melepas cengkraman Fajar pada wajahnya.

"Di dunia ini tidak ada hubungan keluarga yang bahagia," lanjut Jiwa sembari menjauhkan tangan Fajar dari wajahnya. "Jadi, apa yang mau dipertahankan? Bahkan kalau bukan orang lain, orang dalam pasti akan menghancurkan hubungan keluarga yang sudah dibangun."

Jiwa mundur beberapa langkah. Kedua tangannya menyilang di depan dada sembari mata terus memperhatikan Fajar yang masih belum bersuara. Hembusan angin malam yang dingin menerpa kulit punggungnya yang terbuka. Jiwa mengumpat dalam hati, dia tidak akan lagi menuruti Stella kalau diminta memakai pakaian seperti ini.

"Keluarga bahagia itu memangnya yang seperti apa?" tanya Fajar. Lelaki itu berhasil menemukan kesadarannya kembali. "Dan kalau memang tidak bahagia, bukan berarti menghancurkan adalah jalan yang lebih baik."

Jiwa merasa tersentil dengan kalimat Fajar. Matanya menatap lurus dengan netra cokelat Fajar yang indah. Bahkan hanya disirami cahaya bulan saja, Fajar masih terlihat sangat tampan.

Lelaki itu maju secara perlahan. Memperhatikan penampilan Jiwa yang mampu membuat dadanya berdesir. Sejujurnya pertama kali melihat gadis muda ini tadi, Fajar sempat berpikir Jiwa gadis yang cantik dan elegan.

Jiwa menurunkan kedua tangan, kepalanya semakin mendongak menatap wajah Fajar yang datar. Jarak mereka yang sangat dekat membuat indra penciuman mereka bisa menghirup aroma masing-masing.

"Ini hukuman untuk kurang ajarmu hari ini."

Fajar meraih kedua lengan Jiwa, menarik tubuh wanita itu mendekat padanya, lalu tanpa aba-aba Fajar mendorong Jiwa ke kolam renang.

BYUR

Satu detik, dua detik, tiga detik, dan hingga detik ke lima Jiwa belum terlihat naik ke permukaan. Fajar menyipitkan mata, mulai ingin masuk ke dalam kolam. Tapi ternyata detik selanjutnya Jiwa menyembulkan kepalanya.

"Sialan! Dingin banget, bangkek!" teriak Jiwa mengeluarkan sumpah serapahnya. "Dasar pengacara gila!"

Fajar berdecih. "Untung bisa renang," katanya sebelum memilih menjauh. Meninggalkan Jiwa yang masih belum naik ke tepian kolam sendirian.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   25. Kissing

    Meski terbesit rasa ragu dalam dirinya, Fajar memilih untuk tidak membuang kesempatan ini. Ada wanita muda yang dengan rela mempersilakan dirinya untuk dinikmati olehnya, mana mungkin Fajar menolak. Terlebih lagi mereka sudah menikah sekarang. Maka dengan kesadaran penuh, tangan Fajar mulai merangkak naik menyentuh leher Jiwa. Ibu jarinya bergerak meraih dagu si wanita agar mendongak. "Tutup matamu sekarang." Jiwa meneguk ludah sebelum menutup mata. Detik berikutnya ia bisa merasakan tekstur kenyal dan hangat menempel pada bibirnya. Itu adalah bibir milik Fajar. Jiwa sadar dirinya lah yang memprovokasi dan memberikan ijin, tapi kini malah dia yang tidak bisa mengendalikan jantungnya. Terlebih ketika Fajar mulai menyesap bibir bawahnya, memberikan isapan kuat dan menggigit kecil, meminta Jiwa untuk membuka mulutnya. Memberikan ruang pada Fajar untuk melesak masuk, mengeksplor setiap inci mulut basah dan hangat milik Jiwa. Sungguh, ini adalah pertama kalinya bagi Jiwa merasakan c

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   24. Pria yang bertanggung jawab

    "Aw!" pekik Fajar ketika merasa kakinya di tendang. "Sakit.""Salah siapa mesum?" sewot Jiwa. Kedua tangannya masih menahan gaun pengantin yang ia kenakan agar tidak melorot. "Sana keluar. Aku mau mandi!" Fajar berdecak. "Nggak usah kamu suruh juga saya mau keluar," kata Fajar sambil mengusap kakinya yang masih sakit. Tidak ia sangka kalau gadis sekecil Jiwa memiliki kekuatan yang lumayan. Begitu Fajar sudah keluar dari kamar mandi, Jiwa langsung menghela napas lega. Ia berbalik menghadap cermin, membiarkan gaunnya jatuh ke lantai begitu saja. Jiwa menatap wajahnya dalam diam. Sekarang ia benar-benar sudah menjadi istri orang dan seharunya sudah siap dengan hubungan orang dewasa. Namun, Fajar yang berubah-ubah terus membuatnya kebingungan. "Dia itu sebenarnya benci aku apa engga, sih," gumam Jiwa. .Masih beberapa menit yang lalu Fajar terlihat tidak tertarik dengan dirinya, tapi mengapa baru saja Fajar menggodanya?Apa karena iseng? Ah, Jiwa tidak tahu. Lebih baik dia mendinginka

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   23. Macam-macam

    “Haduh, capek banget,” keluh Jiwa begitu sudah memasuki kamar hotel yang telah disiapkan oleh Nana. Dia berniat untuk langsung tidur karena terlalu lelah tapi baru saja masuk satu langkah ke dalam kamar, Jiwa terdiam dengan wajah melongo. Terkejut melihat dekorasi kamar mewah yang romantis. Sangat romantis malah.Taburan bunga mawar merah berbentuk hati terpampang nyata di atas ranjang. Aroma lilin yang wangi dan menenangkan memasuki indra penciuman Jiwa. Gadis itu mengerjapkan mata tak percaya. Ia melangkah masuk lebih ke dalam, semakin takjub ketika melihat hidangan makan malam di balkon. “Wah, aku nggak ngebayangin kalau bakalan jadi kayak gini kamarnya.”Fajar yang baru saja memasuki kamar sama sekali tidak terkejut. Wajahnya hanya datar menatap seluruh kamar yang didekorasi layaknya ruangan khusus yang sangat roamntis dan intim untuk pengantin baru. Ia sudah menduga kalau Mamanya akan melakukan hal seperti ini. Walau begitu Fajar tetap saja tidak menyangka kalau dekorasinya akan

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   22. Bukan Mimpi

    Jiwa menjatuhkan pandangannya pada jari manis yang sudah terisi cincin. Rasanya masih tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah menikah dengan Fajar, Papa dari mantan pacarnya sendiri. Meski begitu rasa bahagia tetap menyeruak masuk dalam hatinya. Ia senang karena sekarang bisa bebas dari keluarganya yang toxic. "Hai." Jiwa mendongak ketika mendengar suara merdu yang menyapa. Cecilia dengan gaun berwarna putih datang menghampiri Jiwa yang duduk sendirian di pelaminan. Membuat si pengantin wanita tersenyum sinis. 'Kentara sekali kalau sedang cemburu' batin Jiwa. Wanita yang sudah menyandang status sebagai istri Fajar itu tidak bodoh. Dia tahu kalau Cecilia sengaja ingin menarik perhatian juga, mungkin mau menunjukkan pada Jiwa kalau dia juga menarik. Tapi sayangnya Jiwa justru kasihan dengan Cecilia. "Anaknya Tante, ya?" Jiwa menunjuk satu anak perempuan yang digandeng Cecilia. "Iya." "Cantik. Mana papanya?" tanya Jiwa kurang ajar. Sengaja agar membuat Cecilia semakin kesal denga

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   21. Whatever, Dude.

    Jiwa tersenyum tipis ketika Fajar menarik kursi untuknya. Ucapan terima kasih keluar diiringi senyum yang dia buat semanis mungkin. Dan Fajar hanya melihat sekilas sebelum menjatuhkan bokongnya di kursi depan Jiwa. Keduanya memutuskan untuk makan malam di restoran cepat saji MickyD. Yang mana sama sekali tidak ada romantis-romantisnya seperti yang Jiwa katakan pada Cecilia. Tapi sebenarnya sih Jiwa tak masalah. Karena dia juga tidak berharap Fajar yang cuek menjadi sangat romantis. Jiwa membuka mulutnya, ingin berbicara, tapi langsung mengatupkan bibir kembali ketika melihat Fajar membalas pesan. "Mau makan sama calon istri kok masih sempet balesin chat," gerutu Jiwa. Tak menyembunyikan kekesalannya. Sengaja. Agar Fajar tak lagi fokus pada benda pipih di tangan dan mengabaikannya. "Kan belum sampai," balas Fajar membela diri. Namun, sedetik setelah Fajar mengatakannya datang seorang pramusaji yang membawa satu nampan berisi pesanan mereka berdua. Fajar pun langsung memasukkan pons

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   20. Kesalnya Jiwa

    Jiwa yang sedang berbaring dengan tenang di ranjang jadi menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara Fajar. Wanita itu langsung mendekati pintu, menempelkan telinganya agar bisa mendengar pembicaraan macam apa yang sedang dilakukan calon suaminya. "Sial, itu Cecilia," gerutu Jiwa kesal. Ia menegakkan tubuhnya. "Padahal Fajar sudah bilang akan menikah tapi dia masih aja." Sebelum ini Jiwa sangat yakin kalau dirinya bukan tipe wanita pecemburu, tapi entah kenapa sekarang rasanya kesal mengetahui hubungan Cecilia dan Fajar yang ternyata lebih dari teman. Sekarang Jiwa harus apa? Semakin dia mendengar suara Cecilia semakin meluap rasa kesalnya. Jiwa mengangkat ponselnya, melihat pantulan wajahnya yang masih segar dan manis. Jiwa juga menunduk merapikan pakaiannya agar tidak terkesan wanita berantakan. Lalu, dengan pelan dia membuka pintu. Bersandar dengan keren sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Wow, keras kepala sekali tante yang satu ini," cibirnya. Kalimatnya memuat J

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   19. Keras Kepala

    Jiwa berdiri di depan meja kerja Fajar, kedua tangannya saling bertaut di belakang tubuh dengan tatapan lurus memperhatikan sang calon suami. Garis senyum manis di wajah Jiwa masih belum menghilang sejak ia diperbolehkan Fajar ikut dengannya. Padahal andai tadi ditolak pun Jiwa tidak masalah. "Apa Bapak akan lama?" Jiwa berjalan semakin dekat, menumpukan kedua tangan di atas meja kerja Fajar. "Saya nggak nyangka bakalan berada di rungan ini lagi tanpa pengusiran." Wanita muda itu terkikik, teringat dengan hal konyol yang sempat ia lakukan. Sementara Fajar mendengus dan berdiri dari kursinya. Di tangan kanannya sudah ada berkas yang sejak tadi ia cari. "Kamu tunggu di sini, saya nggak akan lama." Jiwa mengangguk dan menunjukkan ibu jarinya sebagai tanda menurut. "Oke, semangat kerjanya ya, Fajar," goda Jiwa, sengaja menyebut nama pria itu. Sedangkan yang digoda hanya diam dengan wajah datar dan tatapan lurus seolah ingin mencabik tubuh Jiwa. Namun tak berselang lama, karena detik

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   18. Ikut Calon Suami

    "Pria memang lebih mempesona ketika sedang menyetir," ucap Jiwa penuh kekaguman. Sejak memasuki mobil mewah keluaran Inggris milik Fajar, Jiwa tak berhenti mengutarakan kalimat pujian. "Bapak selalu buat aku kagum dan terpesona." Fajar melirik sekilas lalu menghela napas remeh. "Nggak pegel dari tadi kayak gitu terus?" Bukannya menatap jalanan di luar sana, Jiwa justru sedikit memutar tubuh untuk menatap Fajar dengan mata berbinar. Persis seperti anak kecil yang mendapatkan permen manis. Namun, itu justru membuat Fajar merasa risih sampai rasanya ingin mengantar Jiwa pulang saja. "Pegel mah bukan apa-apa, yang penting bisa lihat wajah ganteng Bapak." Jiwa memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak. "Dulu aku pikir Gibran cowok paling ganteng tiada tanding, tapi ternyata Bapaknya juauuuuuh lebih menggetarkan hati." Jiwa menyentuh dadanya dengan kedua tangan, bersandar dengan lemas seolah baru saja mengalami serangan jantung. Ia pikir kalau saja Fajar tidak menjadi pengacara, pr

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   17. So Hot

    Jiwa menarik tangannya dan mundur dua langkah. Matanya berpaling, berusaha menghindari tatapan Fajar yang begitu dalam dan serius. Jiwa bisa merasakan betapa kerasnya jantung Fajar berdetak. Dan ia jadi merasa gugup mengetahui itu. "Namanya orang hidup ya pasti jantungnya akan berdebar. Bapak ini bagaimana, sih," ketus Jiwa, berusaha tak terlihat terpengaruh dengan apa yang dilakukan Fajar. "Ini sudah malam, aku mau pulang." Setelah mengatakan itu, Jiwa melewati Fajar dan keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Selalu seperti ini. Entah kenapa, Fajar selalu berhasil membuat jantungnya seperti hampir meledak. Laki-laki itu selalu mengatakan sesuatu yang tak terduga. "Gue nih orangnya lemah, gitu aja udah baper," gerutu Jiwa kesal. Ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa seakan sedang dikejar sesuatu. "Jiwa, sudah mau pulang?" Suara Nana yang bertanya menghentikan langkah kaki wanita dua puluh satu tahun itu. Nana yang memang sengaja sedang menunggu Jiwa berdiri dari sofa ruang tenga

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status