Share

6. Selamat Datang, Gibran

"Mendidik Gibran?" ulang Jiwa dengan satu alis terangkat. "Menurut Bapak, anak setan itu bisa dididik?"

Fajar menahan napas beberapa detik. Anak setan? Kalau begitu, dia juga setan? Gibran kan anaknya. Fajar berdecak sebal, bisa-bisanya gadis muda itu dengan santai mencaci maki seorang putra di depan bapaknya.

Sopan santun anak muda jaman sekarang perlu diperbaiki.

"Lupakan. Bukannya tambah bener malah makin mirip iblis nanti kalau kamu ikutan didik," kata Fajar ketus. Dia sampai lupa tujuannya kemari karena ucapan Jiwa selalu berhasil membuatnya kesal.

Fajar jadi menyesal karena membiarkan mamanya tahu semua kegiatannya. Kalau saja dia jauh lebih berhati-hati, mungkin sekarang dia tidak harus membawa Jiwa ke rumahnya. Mamanya yang ngebet sekali ingin melihat dia menikah sangat merepotkan.

Jiwa berdiri, kedua tangannya menyentuh ujung tali tas backpack yang ia kenakan. Matanya menyorot sengit pada Fajar yang masih saja datar. Lelaki tua itu benar-benar mirip Gibran, hanya saja lebih tampan. Fajar jauh lebih matang.

Kalau gantengnya Gibran itu kayak tengil, wajah Fajar justru tampan yang dewasa. Sangat matang, sexy, dan panas.

"Jadi gimana? Mau dateng ke rumah saya?" ulang Fajar. Sadar kalau sejak tadi Jiwa tidak begitu fokus mendengarkannya. Lelaki itu maju satu langkah, membuat jarak keduanya tak begitu jauh.

Puncak kepala Jiwa hanya sampai pada dagunya. Cukup tinggi, pikir Fajar.

Jiwa memundurkan tubuhnya, tak bisa dekat-dekat dengan Fajar karena ini lingkungan rumahnya. Bisa digorok dia kalau sampai ketahuan dekat dengan lelaki oleh orang tuanya.

"Mau aja," jawab Jiwa lantang. Wajahnya mendongak, menatap Fajar dengan mata sedikit menyipit. "Sekarang?"

Ini adalah kesempatan bagus. Dia bisa membuat Gibran kena serangan jantung kalau sampai dia menggandeng ayahnya.

"Iya, sekarang." Fajar melihat penampilan Jiwa keseluruhan sekali lagi. "Karena ini mau ketemu sama mama saya, kamu nggak bisa pakek pakaian kayak gini."

Jiwa menunduk, melihat pakaiannya yang normal-normal saja. Masih sopan.

"Kenapa? Ini bagus, kok. Sopan juga," jawab Jiwa. Dalam hati bertanya-tanya, kenapa ia harus bertemu dengan mamanya Fajar. Tapi dia enggan bertanya. Tidak masalah harus bertemu dengan siapa dulu, yang penting adalah dia bisa membuat Gibran menangis pilu nanti.

"Terlalu muda," sahut Fajar. Lelaki itu menarik tangan Jiwa, membawa tubuh mungil si gadis dua puluh satu tahun itu masuk ke dalam mobil. "Kita ganti baju kamu dulu sebelum ke rumah."

Jiwa diam saja selama di mobil. Matanya melihat ke luar, menatap mobil yang juga berlalu lalang. Gadis itu agak gugup berada sedekat ini dengan Fajar. Juga takut bercampur penasaran ketika nanti harus bertemu dengan Gibran.

Pacar tiga bulannya itu, kira-kira akan memberikan reaksi seperti apa? Terkejut? Marah? Atau apa? Jiwa penasaran sampai ia jadi bengong sendiri. Ia bahkan tak sadar mobil sudah berhenti kalau saja Fajar tidak menjambak kecil rambutnya.

"Ngelamunin apa? Ayo keluar."

Jiwa mengikuti tubuh tegap Fajar memasuki salah satu butik ternama. Jiwa mengetahui butik itu dari Stella. Teman kaya rayanya itu mengatakan kalau dia sering mampir ke butik yang terkenal sangat eksklusif ini.

Hanya orang kaya saja yang diizinkan memakai baju keluaran butik ini.

"Pak Fajar? Lama nggak ketemu," seru salah satu wanita. Dilihat dari penampilannya yang dewasa, sepertinya wanita itu hanya beberapa tahun lebih muda dari Fajar.

"Saya lagi nyari baju untuk gadis ini." Fajar menunjuk Jiwa dengan gerakan kepalanya. "Buat penampilannya menjadi sedikit lebih dewasa."

Wanita cantik tanpa keriput itu langsung menghampiri Jiwa. "Mari, Nona."

Jiwa mengikuti ke mana wanita itu pergi, sementara Fajar memilih duduk dengan tenang di atas sofa. Matanya menatap salah satu gaun cantik warna merah menyala yang dipasang di manekin. Mungkin kalau Jiwa memakai gaun itu akan cantik sekali.

Fajar menepuk pelan satu pipinya. Apa-apaan dia. Kenapa jadi memikirkan gadis kecil itu.

"Pak Fajar baru pertama kali ini gandeng cewek ke sini," ujar Maria, desainer utama sekaligus pemilik butik tersebut. Karena Fajar termasuk VVIP, maka, dia sendiri yang memoles wajah Jiwa.

Jiwa menatap Maria dari pantulan cermin. "Perasaan tadi saya masuknya nggak digandeng."

Maria menatap Jiwa, agak terkejut karena gadis muda itu bukan tipe anak kalem dan penurut seperti kelihatannya. Kemudian, demi menjaga profesionalitasnya, Maria kembali menawarkan senyum semanis madu. Jiwa masih muda dan mudah meledak-ledak rupanya.

"Yah, pokoknya baru kali ini beliau bawa perempuan. Biasanya nggak pernah, saya sampek kasihan ngelihatnya. Padahal masih ganteng gitu, mapan juga, nggak mungkin nggak ada perempuan yang nggak mau."

Maria bekerja dengan cepat meski mulutnya terus berbicara. Wanita dewasa itu meminta Jiwa untuk memejamkan mata, karena selanjutnya eye shadow harus dipoleskan di kelopak matanya. Jiwa menurut saja biar cepat selesai.

"Ibu kenal dekat dengan Pak Fajar? Kok kayaknya tahu banget," tanya Jiwa mulai penasaran. Mendengar kalimat Maria sebelumnya dia jadi sedikit tertarik dengan Fajar.

Meski sudah cukup tua dan seorang duda, tapi Jiwa yakin kalau pria itu pasti masih banyak diincar wanita. Cecilia contohnya. Janda satu anak yang dibawa ke acara keluarga Stella kemarin.

"Kenal dekat sih, nggak. Tapi kebanyakan customer saya yang lain sering gosipin Pak Fajar. Beliau kalau datang ke sini nggak terlalu sering, palingan kalau ngantar ibunya. Seringnya saya yang diminta ke rumah kalau Nyonya Nana mau pesen baju."

Jiwa membuka matanya perlahan. "Cecilia gimana? Pernah denger namanya, nggak?"

Masa bodoh kalau dia sudah terlihat seperti remaja labil yang sedang stalking sekarang. Sudah kepalang tanggung, dia terlanjur penasaran.

Maria diam selama beberapa detik. Mulai menata rambut halus milik Jiwa.

"Cecilia si selebgram itu ya?"

Jiwa mengangguk meski tak tahu selebgram dengan konten seperti apa si Cecilia itu. Sepertinya dia harus cari tahu nanti.

"Kalau berdasarkan gosip yang saya denger, sih, mereka deket banget. Lengket, kemana-mana sering bareng. Tapi kalau saya mikirnya sih cuma sebatas temen aja. Cecilia juga sering belanja ke sini, tapi nggak pernah tuh sama Pak Fajar," jawab Maria.

Jiwa tersenyum tipis. Rupanya Fajar dan Cecilia hanya sebatas teman saja. Tidak seperti kelihatannya yang mesra, Fajar hanya memperlakukan Cecilia dengan baik. Jiwa jadi merasa lega, meski bingung juga kenapa dia bisa merasakan kelegaan itu.

Fajar menutup mulutnya yang menguap. Yang tidak dia suka dari menunggu wanita dandan ya begini. Lama dan wasting time banget. Fajar mengangkat tangan, melirik jam. Kalau bukan karena Nana, dia ogah membuang waktu seperti ini.

"Sudah selesai, Pak."

Suara Maria membuat Fajar mendongak. Menatap seorang wanita cantik di sebelah sang desainer. Jiwa sudah cantik dan terlihat lebih dewasa dari usianya. Meski begitu, gadis muda itu sangat cantik dan menawan.

Dress biru selutut membuat si gadis terlihat anggun, make up agak bold terlihat oke juga.

"Oke. Kirim tagihannya ke saya nanti. Terima kasih, Maria."

Jiwa menatap takjub rumah mewah Fajar Abhicandra. Halaman luas, rumah besar, dan perabotan juga terlihat mahal semua. Jiwa berdecak. Ini jauh lebih bagus dari pada rumah Stella.

"Gila, gue pikir rumah Stella sudah bagus banget," bisiknya pelan. "Ternyata Gibran hidup jauh lebih nyaman selama ini."

Fajar melirik Jiwa yang masih mengangumi rumahnya. Lelaki itu menarik pinggang Jiwa agar lebih dekat dengannya. Menimbulkan sedikit pekikan dari gadis itu yang kaget.

"Ngapain?" bisik Jiwa. "Nggak perlu kayak gini."

"Kita akan ketemu mama saya yang mengira kita sepasang kekasih. Jadi harus nempel biar nggak ketahuan bohongnya."

Jiwa mengerjapkan mata. Bingung dengan satu hal. "Sepasang kekasih? Kenapa kita dikira begitu?"

Fajar menatap datar gadis muda cerewet dalam genggamannya ini. "Salahmu ngapain kemarin ngaku jadi pacar saya."

"Tapi.... "

"Oh, kalian sudah datang?"

Jiwa dan Fajar kompak menatap ke depan. Melihat Nana yang tersenyum lebar menghampiri. Jiwa mengerjapkan mata, kagum dengan sosok Nana yang masih cantik. Padahal dia yakin wanita itu sudah tidak lagi muda.

Kalau saja dia masih bersama Gibran, wanita itu pasti akan dia panggil dengan sebutan nenek. Tapi, karena posisinya di sebelah Fajar, tidak mungkin kan dia begitu?

"Ha-halo, Tante." Jiwa mengulurkan tangan. Ingin mencium tangan Nana sebagai bentuk kesopanan. Tapi justru wanita itu mengabaikan tangannya yang terulur.

"Kamu cantik banget," ucap Nana sembari memeluk tubuh Jiwa dengan hangat. Wanita itu memeluk Jiwa sedikit lama. "Mama seneng banget Fajar akhirnya beneran punya cewek."

Fajar memutar bola mata malas. "Ma, lepasin Jiwanya. Kasihan, sesak nanti dia."

Nana melepas pelukan dengan bingung. "Lepasin Jiwanya? Maksudnya kamu suruh mama mati?"

Jiwa merapatkan bibir menahan tawa. Namanya memang unik. Kadang bisa membuat orang salah paham seperti Nana. Ia bahkan bisa melihat Fajar yang mati kutu, bingung harus menjawab apa.

"Nama saya Jiwa, Tante." Akhirnya Jiwa yang mengalah. Gadis muda itu tersenyum tipis. Dalam hati berharap kalau wajahnya tidak terlihat aneh sekarang.

"Oh, jadi nama kamu Jiwa." Nana mengangguk-anggukan kepalanya. Sementara Fajar menatap mamanya dengan datar. Hebat sekali acting skill mamanya ini. Perasaan Nana sudah tahu nama Jiwa, kenapa harus pura-pura tidak tahu?

"Omah, i'm home."

Ketiga orang itu menatap pintu rumah dengan kompak. Melihat kedatangan Gibran yang baru saja pulang. Jiwa mengangkat alis dengan senyum tipis menyeringai.

Here we go.

"Oh, kamu pulang di waktu yang pas, Gibran," ujar Nana dengan wajah sumringah.

"Selamat datang, Gibran," kata Jiwa dengan anggun.

Gibran menghentikan langkah. Menatap Jiwa dengan wajah tercengang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
bang.amsir
Pulang ketemu mantan pacar, calon istri... Pulang ketemu mantan pacar, calon mama tiri ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status