"Mendidik Gibran?" ulang Jiwa dengan satu alis terangkat. "Menurut Bapak, anak setan itu bisa dididik?" Fajar menahan napas beberapa detik. Anak setan? Kalau begitu, dia juga setan? Gibran kan anaknya. Fajar berdecak sebal, bisa-bisanya gadis muda itu dengan santai mencaci maki seorang putra di depan bapaknya. Sopan santun anak muda jaman sekarang perlu diperbaiki. "Lupakan. Bukannya tambah bener malah makin mirip iblis nanti kalau kamu ikutan didik," kata Fajar ketus. Dia sampai lupa tujuannya kemari karena ucapan Jiwa selalu berhasil membuatnya kesal. Fajar jadi menyesal karena membiarkan mamanya tahu semua kegiatannya. Kalau saja dia jauh lebih berhati-hati, mungkin sekarang dia tidak harus membawa Jiwa ke rumahnya. Mamanya yang ngebet sekali ingin melihat dia menikah sangat merepotkan. Jiwa berdiri, kedua tangannya menyentuh ujung tali tas backpack yang ia kenakan. Matanya menyorot sengit pada Fajar yang masih saja datar. Lelaki tua itu benar-benar mirip Gibran, hanya saja le
Nana merentangkan tangan, menyambut cucu kesayangannya dalam pelukan. Sesuatu yang selalu Nana lakukan jika dia melihat Gibran baru pulang. Gibran juga senang-senang saja berpelukan dengan Nana, tapi kali ini tubuhnya terasa kaku. Lelaki muda itu tidak membalas pelukan Omah kesayangannya. Matanya masih fokus menatap Jiwa yang dengan santai membalas netranya dengan angkuh. Gibran juga menatap papanya yang hanya diam seperti biasa. Konspirasi macam apa yang sedang terjadi di rumahnya sekarang? "Kebetulan banget kamu pulang. Tuh, Papa kamu akhirnya punya pacar," kata Nana menunjuk Jiwa dengan dagunya. "Pacar?" ulang Gibran dengan terkejut. Ia pikir dirinya salah dengar, tapi anggukan Nana berhasil membuat jantung Gibran berdebar. "Selamat malam, Gibran," sapa Jiwa. Wajahnya santai seolah bertemu dengan Gibran bukanlah hal besar. Jiwa bersikap biasa saja, seakan dia memang benar kekasih Fajar. Melihat ekspresi tercengang, tak percaya, dan juga kesal di wajah Gibran membuat Jiwa senang
"Terima kasih untuk makan malamnya, Tante. Saya pamit pulang dulu," kata Jiwa dengan sopan. Matanya melirik kecil pada Gibran yang berdecih. Mungkin pemuda itu muak dengan tingkahnya yang sok manis. Bodoamat. Jiwa tidak peduli."Mama. Panggilnya mama aja," ucap Nana. Wanita paruh baya itu maju meraih tangan Jiwa. Menggenggamnya dengan lembut. Jiwa jadi merasa bersalah karena membuat wanita di depannya ini menjadi berharap padanya. "Kamu yang sering main ke sini, ya. Mama kesepian. Fajar sama Gibran suka sibuk sendiri, pulangnya malem-malem mereka," ucap Nana penuh harap. Ia sangat menyukai calon menantunya itu. Fajar menjilat bibirnya, tak tahan dengan interaksi Nana dan Jiwa yang semakin akrab. Bisa-bisa pernikahan tak bisa terelakkan kalau hubungan mereka sedekat ini. "Boleh, Ma. Nanti aku minta Fajar jemput kalau mau ke sini," jawab Jiwa dengan semangat. Sebenarnya geli juga memanggil ayah mantan pacarnya hanya dengan nama. Tapi akan lebih menggelikan kalau dia memanggil Fajar d
"Hanya dibawa?" sentak Ayah tiri Jiwa dengan keras. "Beli aja sekalian. Dia sudah nggak ada gunanya buat kami."Jiwa menggigit bibir bawahnya dengan kuat, geram dengan apa yang sudah dia dengar. Begitu pun dengan Fajar, pria dewasa itu merasakan gemuruh amarah dalam dadanya. Bagaimana bisa seorang anak diperlakukan sekejam ini?Fajar menatap wajah Jiwa beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas pendek. "Saya akan menikahi Jiwa." Kalimat Fajar berhasil membuat Jiwa mendongak, menatap wajah tegas dan dingin Fajar yang serius. "Me-menikah?" tanya ibu Jiwa yang akhirnya bersuara. "Jiwa masih muda. Dia masih kuliah, bagaimana bisa menikah?""Berapa maharnya?" tanya ayah Jiwa dengan excited. Wajahnya bungah karena beban keluarganya akan berkurang dan dia akan mendapatkan sesuatu dari pria di depannya.Meski merasa pria yang akan menikahi Jiwa terlalu tua bagi anak gadis itu, tapi ayah tiri Jiwa tidak peduli. Yang lebih penting adalah seberapa besar mahar yang akan dia terima."Mahar ad
Setelah kejadian malam itu, Fajar dan Jiwa tidak bertemu lagi selama dua hari. Gibran juga tidak terlihat di kampus, tapi hal itu juga wajar karena Jiwa dan Gibran berada di gedung yang berbeda. Pemuda itu pasti juga sedang tidak ingin bertemu dengan Jiwa setelah mengetahui hubungannya dengan ayahnya. Jiwa juga belum pulang ke rumah. Biasanya setelah pertengkaran dengan orang tuanya, Jiwa baru pulang satu minggu kemudian. Tapi anehnya, baru dua hari ibunya sudah mengirimi dia pesan. Bukan menanyakan kabar atau bertanya kapan dia akan pulang. Ibu yang melahirkannya itu justru menanyakan Fajar. Jiwa tersenyum miring melihat layar ponsel. Mana mungkin ibunya peduli dengan kondisinya, sudah pasti uang adalah yang utama. Saat ini orang tuanya pasti sedang memikirkan bagaiamana caranya memeras Fajar seperti mereka memeras Stella. Kadang Jiwa sampai merasa malu pada sahabatnya itu, Stella yang berniat membantu hidupnya malah diperas habis-habisan oleh ibu kandung dan ayah tirinya. "Jangan
Menghadapi anak muda yang masih belum dewasa bukanlah keahlian Fajar. Ia tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan mereka yang masih perlu banyak belajar. Karena itu dia tidak tahu bagaimana membuat Jiwa kembali bertingkah normal. Gadis muda itu setia bungkam sejak pertanyaan terakhirnya di mobil tadi. "Saya serius mau menikahi kamu," kata Fajar setelah selesai menelan suapan terakhir. Ia memandang Jiwa yang masih sibuk mengunyah sate di depannya. "Saya nggak ngabari karena ngira kamu masih butuh waktu." Fajar masih terus mengatakan kalimatnya meski Jiwa tidak menggubris. "Menikah bukan hal yang mudah. Apalagi ini pertama kalinya buat kamu, pasti semakin nggak gampang."Jiwa menggebrak meja dengan kesal. Ia sudah tak peduli jika berpasang-pasang mata memperhatikan tempatnya dan Fajar. "Bapak ini mau ngomong apa sebenarnya? Langsung ke intinya aja," kata Jiwa tak sabar. Dia nggak suka sesuatu yang bertele-tele seperti kalimat Fajar. "Padahal pengacara, tapi kalau ngomong nggak
Jiwa menatap penuh angkuh pada Gibran yang masih diam. Seratus persen dia yakin kalau pemuda itu tak akan mau melakukannya. Harga dirinya yang tinggi membuat Gibran enggan mengatakan maaf. Bahkan ketika masih memiliki hubungan dengannya saja, Gibran dengan egonya tak pernah merasa bersalah. "Gila lo?" tanya Gibran dengan suara dalam dan dingin. Jiwa mengangkat sebelah alisnya. Gibran mirip sekali dengan Fajar kalau sedang seperti ini. "Lo tau gue gila ngapain masih nyari masalah sama gue?" Jiwa tersenyum miring. Maju dua langkah sampai membuat dirinya dan Gibran tak berjarak. Jari telunjuknya menunjuk dada kiri Gibran berulang kali. "Mending lo diem dan jangan pernah ganggu gue lagi." Jiwa mendongak untuk menatap wajah Gibran yang menunduk. Tatapan mereka bertemu dengan sorot arti yang berbeda. "Jaga sikap mulai sekarang, Nak." Gibran mengepalkan tangan kuat. Lalu menarik rambut Jiwa tanpa ampun. Tidak peduli sekarang dia menjadi seorang pengecut ataupun pecundang yang sedang berb
Jiwa bisa mendengarnya. Ia mendengar dengan jelas kalimat kurang ajar yang keluar dari bibir busuk sang ayah tiri. Satu miliar? Hah! Jiwa yakin Fajar mampu memberikan uang sebanyak itu. Hanya saja Jiwa berharap pengacara itu tidak melakukannya. Memangnya Jiwa barang yang bisa dipakai sesuka hati setelah dibeli? Gadis itu melirik ibunya yang cuma diam, padahal dia yakin kalau beliau pasti juga Mendengarnya. Jiwa menghela napas pelan, tatapannya tanpa sengaja bertabrakan dengan Gibran. Melihat senyum miring di wajah manis itu membuat Jiwa yakin sekali kalau Gibran pasti juga mendengar yang dikatakan ayah tirinya. Rasanya ruang tamu yang sudah sempit itu semakin sesak karena amarah Jiwa mulai menguasi hatinya. "Saya akan memberikan mahar yang sesuai dan pantas untuk Jiwa," jawab Fajar dengan tenang. Ekspresinya masih terlihat ramah, tidak marah sama sekali. Justru ayah tiri Jiwa yang bersadar pada kursi dengan wajah kecewa. "Anda pasti tahu kalau mahar adalah hak seorang istri. B