Share

5. Kapan Nikah?

Penulis: Liliay
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-28 13:11:43

"Hei si cupu."

Jiwa menoleh, lalu mengumpat dalam hati. Kenapa pula dia menoleh padahal cupu bukan lah namanya. Jiwa berniat melanjutkan langkah, mengabaikan Gibran yang terus meneriaki dirinya.

"Cupu! Hei, Jiwa! Jiwa, stop nggak lo."

Gadis itu berbalik, mengacungkan dua jari tengahnya pada Gibran yang langsung melotot kaget. Melihat mantan pacar di pagi hari bukan lah hal yang bagus, apalagi dia masih kesal dengan kelakuan Fajar semalam.

Seenak jidat mendorongnya ke kolam renang. Pengacara mana yang melakukan tindak kekerasan seperti itu? Beruntung Jiwa ini bisa renang, kalau tidak entah akan bagaimana nasibnya?

Jiwa mengusap hidungnya yang berair dengan tisu. Lagi-lagi mengumpat kesal dalam hati karena flu yang ia derita.

"Heh!"

Tubuh Jiwa hampir jatuh tersungkur karena dorongan Gibran dari belakang. Gadis itu menarik napas lalu menghembuskannya dengan pelan. Baru dia berbalik dan menatap datar pada Gibran.

"Apa-apaan tangan lo tadi, hah?"

Gibran berdecak. "Gitu aja baper lo," jawabnya malas.

Gibran menyipitkan mata, memajukan wajah ingin melihat Jiwa lebih dekat. Mantan pacarnya yang miskin sepertinya tidak secantik ini. Kulit putih mulus, hidung mancung, dengan bibir tipis yang manis. Jiwa tidak seperti biasanya.

Ada sedikit polesan yang menonjolkan bagian terbaik dari wajahnya yang biasanya polos tanpa apapun.

"Putus dari gue buat lo sefrustasi itu, ya? Sampek ngelakuin hal yang nggak lo suka?"

Jiwa menaikkan sebelah alisnya. Bingung selama beberapa detik. Namun langsung mendengus ketika tahu apa yang dimaksud oleh Gibran. Jiwa melihat Stella yang baru saja tiba dan sedang berjalan ke arahnya. Tangannya terangkat, melambai pada gadis blonde itu yang langsung berlari menuju Jiwa.

"Ngapain ada monyet di depan bidadari kayak lo, Wa?" ketus Stella ketika sudah berdiri di dekat Jiwa.

Sepertinya Gibran memang tak memiliki harga diri di depan dua gadis ini. Sejak tadi pemuda itu terus diumpati dan dihina secara terang-terangan.

"Gue mau di mana aja bukan urusan kalian. Suka-suka gue," balas Gibran tak kalah sewot. Tak mau kalah dari dua gadis yang kini menatap sengit padanya.

"Biasa, La. Si monyet lagi nyari pisang di sini, di wilayahnya kagak ada yang matang pisangnya," sahut Jiwa yang berhasil meledakkan tawa seorang Stella.

Gibran ternganga sampai tanpa sadar kedua gadis itu melewati dirinya begitu saja.

"Heh, sialan!" umpat Gibran tak kalah keras.

***

"Mama dengar semalam kamu membawa pacar kamu ke acara temen, ya?"

Fajar menghentikan niatanya yang akan menyuap nasi. Pria dewasa itu menoleh pada mamanya yang kini fokus melihat ke arahnya.

"Mama senang akhirnya kamu memiliki pacar. Jadi, kapan nikah?"

Lagi-lagi pertanyaan yang sama. Fajar sebenarnya sudah sangat lelah dengan pertanyaan ini. Dia sudah empat puluh dua tahun, delapan tahun lagi usianya sudah menginjak angka lima puluh. Wanita mana yang akan mau menikah dengannya?

Lagi pula, dirinya tidak ada niatan untuk menjalin hubungan dengan siapa pun. Terutama bocah seperti Jiwa yang seharian kemarin mengganggu dirinya.

"Nikahnya masih nanti-nanti, Ma. Baru juga ada hubungan."

Wanita berusia enam puluh lima tahun itu mengetuk meja dengan jarinya. "Kamu sudah empat puluh dua tahun, Jar. Main-main lagi itu sudah nggak pantes, mending langsung nikah aja."

"Ma, yang aku pacari itu masih muda. Lagian aku nggak mau buru-buru nikah, takut kalau akhirnya malah nggak cocok terus akhirnya cerai lagi. Jadi duda dua kali bukan cita-cita aku," balas Fajar masih santai.

Dia dipanggil pulang dengan alasan mau makan siang bersama, tak tahunya malah ditanya kapan nikah. Kalau tahu begini, seharusnya tadi dia mencari alasan untuk menghindar.

"Omong-omong, Mama tahu dari mana soal semalam? Ada mata-mata yang mama kirim buat aku?"

Nana, wanita paruh baya itu menyuap nasi dengan kesal. Meski sudah tua, tapi Nana masih sangat sehat untuk makan dan mandi sendiri dengan baik. Karena itu, dia menolak dengan tegas setiap kali Fajar mau mempekerjakan suster buat merawat.

"Mana bisa Mama mengirim mata-mata untuk pengacara handal seperti kamu?" Nana menatap serius pada putranya. "Jangan mikirin yang nggak penting kayak gitu. Pikir aja kamu nikah mau pakek adat apa."

Fajar terkejut dengan ucapan mamanya. Sepertinya Nana benar-benar berharap dia akan menikah. Padahal gadis yang mengaku pacarnya semalam pasti sekarang sedang membencinya.

"Bawa pacar kamu kemari."

"Hah?" Fajar berharap dia salah dengar.

Nana mengeluarkan sesuatu dari saku baju rajutnya. Menyodorkan selembar foto pada Fajar. "Ini kan pacar kamu? Bawa ke sini secepatnya atau mama yang akan datang ke rumahnya buat melamar sendiri."

Fajar bersandar lemah pada kursi. Seniat apa Nana menguntit dirinya sampai bisa mendapatkan foto dirinya dan Jiwa di rumah orang.

"Ma, please. Jangan kayak gini."

"Pokoknya bawa ke sini, Fajar. Jangan membantah Mama yang sudah tua ini."

Kalau sudah seperti ini, bagaimana caranya Fajar bisa menolak?

***

Jiwa menendang-nendang kecil angin yang ada di depannya. Dia sedang duduk di taman yang ada di perumahan tempatnya tinggal. Malas pulang ke rumah dengan cepat-cepat tapi Stella sedang tidak bisa diajak bermain.

Gadis itu menghela napas. Kesal bukan main karena gagal membalas dendam pada Gibran.

"Rupanya ada di sini? Saya nungguin dari tadi."

Sepasang sepatu kulit hitam mengkilap berhenti di depan Jiwa. Membuat gadis muda itu mendongak dengan perlahan sembari meperhatikan kaki panjang lelaki di depannya ini.

Setelan pakainnya rapi dan mahal, sangat kontras dengan pakaian Jiwa yang biasa saja. Kalau saja dia masih memakai pakaian yang ia pinjam dari Stella, mungkin akan serasi.

Jiwa hampir jatuh terjengkang ketika wajah Fajar Abichandra menunduk menatapnya.

"Ngagetin aja tuh muka," seru Jiwa setelah dirinya berhasil tenang. Tangannya mengelus dadanya yang masih sedikit berdebar. "Ngapain ada di sini?"

Fajar menenggelamkan kedua tangan dalam saku celana. Memperhatikan penampilan Jiwa yang sangat jauh berbeda dari kemarin. Kali ini gadis muda itu lebih cocok dengan usianya.

Polos dan terlihat bodoh.

"Masih mau ke rumah saya?"

Jiwa menaikkan sebelah alisnya. "What? Ngapain aku ke rumah Bapak? Ngapain, hah? Nggak penting sama sekali. Anda pikir situ siapa?"

"Jadi, sudah berubah pikiran untuk nggak balas dendam?" tanya Fajar lagi. Pria itu menyunggingkan senyum tipis melihat Jiwa yang mengerjap ragu.

"Ya, masih mau, sih. Apalagi tadi si cecunguk itu sialan banget tingkahnya," balas Jiwa kembali mengingat Gibran yang menyebalkan.

Fajar sontak menjitak kepala Jiwa. Enak saja anaknya dibilang cecunguk sialan.

"Jangan ngomong aneh-aneh tentang anak saya."

"Kalau nggak mau dibilang kayak gitu ya didik dengan benar, dong." Jiwa mendengus kesal. Lalu mengelap hidungnya yang masih saja berair. Padahal dia sudah meminum obat flu.

"Kamu mau bantu saya mendidik Gibran?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   25. Kissing

    Meski terbesit rasa ragu dalam dirinya, Fajar memilih untuk tidak membuang kesempatan ini. Ada wanita muda yang dengan rela mempersilakan dirinya untuk dinikmati olehnya, mana mungkin Fajar menolak. Terlebih lagi mereka sudah menikah sekarang. Maka dengan kesadaran penuh, tangan Fajar mulai merangkak naik menyentuh leher Jiwa. Ibu jarinya bergerak meraih dagu si wanita agar mendongak. "Tutup matamu sekarang." Jiwa meneguk ludah sebelum menutup mata. Detik berikutnya ia bisa merasakan tekstur kenyal dan hangat menempel pada bibirnya. Itu adalah bibir milik Fajar. Jiwa sadar dirinya lah yang memprovokasi dan memberikan ijin, tapi kini malah dia yang tidak bisa mengendalikan jantungnya. Terlebih ketika Fajar mulai menyesap bibir bawahnya, memberikan isapan kuat dan menggigit kecil, meminta Jiwa untuk membuka mulutnya. Memberikan ruang pada Fajar untuk melesak masuk, mengeksplor setiap inci mulut basah dan hangat milik Jiwa. Sungguh, ini adalah pertama kalinya bagi Jiwa merasakan c

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   24. Pria yang bertanggung jawab

    "Aw!" pekik Fajar ketika merasa kakinya di tendang. "Sakit.""Salah siapa mesum?" sewot Jiwa. Kedua tangannya masih menahan gaun pengantin yang ia kenakan agar tidak melorot. "Sana keluar. Aku mau mandi!" Fajar berdecak. "Nggak usah kamu suruh juga saya mau keluar," kata Fajar sambil mengusap kakinya yang masih sakit. Tidak ia sangka kalau gadis sekecil Jiwa memiliki kekuatan yang lumayan. Begitu Fajar sudah keluar dari kamar mandi, Jiwa langsung menghela napas lega. Ia berbalik menghadap cermin, membiarkan gaunnya jatuh ke lantai begitu saja. Jiwa menatap wajahnya dalam diam. Sekarang ia benar-benar sudah menjadi istri orang dan seharunya sudah siap dengan hubungan orang dewasa. Namun, Fajar yang berubah-ubah terus membuatnya kebingungan. "Dia itu sebenarnya benci aku apa engga, sih," gumam Jiwa. .Masih beberapa menit yang lalu Fajar terlihat tidak tertarik dengan dirinya, tapi mengapa baru saja Fajar menggodanya?Apa karena iseng? Ah, Jiwa tidak tahu. Lebih baik dia mendinginka

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   23. Macam-macam

    “Haduh, capek banget,” keluh Jiwa begitu sudah memasuki kamar hotel yang telah disiapkan oleh Nana. Dia berniat untuk langsung tidur karena terlalu lelah tapi baru saja masuk satu langkah ke dalam kamar, Jiwa terdiam dengan wajah melongo. Terkejut melihat dekorasi kamar mewah yang romantis. Sangat romantis malah.Taburan bunga mawar merah berbentuk hati terpampang nyata di atas ranjang. Aroma lilin yang wangi dan menenangkan memasuki indra penciuman Jiwa. Gadis itu mengerjapkan mata tak percaya. Ia melangkah masuk lebih ke dalam, semakin takjub ketika melihat hidangan makan malam di balkon. “Wah, aku nggak ngebayangin kalau bakalan jadi kayak gini kamarnya.”Fajar yang baru saja memasuki kamar sama sekali tidak terkejut. Wajahnya hanya datar menatap seluruh kamar yang didekorasi layaknya ruangan khusus yang sangat roamntis dan intim untuk pengantin baru. Ia sudah menduga kalau Mamanya akan melakukan hal seperti ini. Walau begitu Fajar tetap saja tidak menyangka kalau dekorasinya akan

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   22. Bukan Mimpi

    Jiwa menjatuhkan pandangannya pada jari manis yang sudah terisi cincin. Rasanya masih tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah menikah dengan Fajar, Papa dari mantan pacarnya sendiri. Meski begitu rasa bahagia tetap menyeruak masuk dalam hatinya. Ia senang karena sekarang bisa bebas dari keluarganya yang toxic. "Hai." Jiwa mendongak ketika mendengar suara merdu yang menyapa. Cecilia dengan gaun berwarna putih datang menghampiri Jiwa yang duduk sendirian di pelaminan. Membuat si pengantin wanita tersenyum sinis. 'Kentara sekali kalau sedang cemburu' batin Jiwa. Wanita yang sudah menyandang status sebagai istri Fajar itu tidak bodoh. Dia tahu kalau Cecilia sengaja ingin menarik perhatian juga, mungkin mau menunjukkan pada Jiwa kalau dia juga menarik. Tapi sayangnya Jiwa justru kasihan dengan Cecilia. "Anaknya Tante, ya?" Jiwa menunjuk satu anak perempuan yang digandeng Cecilia. "Iya." "Cantik. Mana papanya?" tanya Jiwa kurang ajar. Sengaja agar membuat Cecilia semakin kesal denga

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   21. Whatever, Dude.

    Jiwa tersenyum tipis ketika Fajar menarik kursi untuknya. Ucapan terima kasih keluar diiringi senyum yang dia buat semanis mungkin. Dan Fajar hanya melihat sekilas sebelum menjatuhkan bokongnya di kursi depan Jiwa. Keduanya memutuskan untuk makan malam di restoran cepat saji MickyD. Yang mana sama sekali tidak ada romantis-romantisnya seperti yang Jiwa katakan pada Cecilia. Tapi sebenarnya sih Jiwa tak masalah. Karena dia juga tidak berharap Fajar yang cuek menjadi sangat romantis. Jiwa membuka mulutnya, ingin berbicara, tapi langsung mengatupkan bibir kembali ketika melihat Fajar membalas pesan. "Mau makan sama calon istri kok masih sempet balesin chat," gerutu Jiwa. Tak menyembunyikan kekesalannya. Sengaja. Agar Fajar tak lagi fokus pada benda pipih di tangan dan mengabaikannya. "Kan belum sampai," balas Fajar membela diri. Namun, sedetik setelah Fajar mengatakannya datang seorang pramusaji yang membawa satu nampan berisi pesanan mereka berdua. Fajar pun langsung memasukkan pons

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   20. Kesalnya Jiwa

    Jiwa yang sedang berbaring dengan tenang di ranjang jadi menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara Fajar. Wanita itu langsung mendekati pintu, menempelkan telinganya agar bisa mendengar pembicaraan macam apa yang sedang dilakukan calon suaminya. "Sial, itu Cecilia," gerutu Jiwa kesal. Ia menegakkan tubuhnya. "Padahal Fajar sudah bilang akan menikah tapi dia masih aja." Sebelum ini Jiwa sangat yakin kalau dirinya bukan tipe wanita pecemburu, tapi entah kenapa sekarang rasanya kesal mengetahui hubungan Cecilia dan Fajar yang ternyata lebih dari teman. Sekarang Jiwa harus apa? Semakin dia mendengar suara Cecilia semakin meluap rasa kesalnya. Jiwa mengangkat ponselnya, melihat pantulan wajahnya yang masih segar dan manis. Jiwa juga menunduk merapikan pakaiannya agar tidak terkesan wanita berantakan. Lalu, dengan pelan dia membuka pintu. Bersandar dengan keren sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Wow, keras kepala sekali tante yang satu ini," cibirnya. Kalimatnya memuat J

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status