Share

5. Kapan Nikah?

"Hei si cupu."

Jiwa menoleh, lalu mengumpat dalam hati. Kenapa pula dia menoleh padahal cupu bukan lah namanya. Jiwa berniat melanjutkan langkah, mengabaikan Gibran yang terus meneriaki dirinya.

"Cupu! Hei, Jiwa! Jiwa, stop nggak lo."

Gadis itu berbalik, mengacungkan dua jari tengahnya pada Gibran yang langsung melotot kaget. Melihat mantan pacar di pagi hari bukan lah hal yang bagus, apalagi dia masih kesal dengan kelakuan Fajar semalam.

Seenak jidat mendorongnya ke kolam renang. Pengacara mana yang melakukan tindak kekerasan seperti itu? Beruntung Jiwa ini bisa renang, kalau tidak entah akan bagaimana nasibnya?

Jiwa mengusap hidungnya yang berair dengan tisu. Lagi-lagi mengumpat kesal dalam hati karena flu yang ia derita.

"Heh!"

Tubuh Jiwa hampir jatuh tersungkur karena dorongan Gibran dari belakang. Gadis itu menarik napas lalu menghembuskannya dengan pelan. Baru dia berbalik dan menatap datar pada Gibran.

"Apa-apaan tangan lo tadi, hah?"

Gibran berdecak. "Gitu aja baper lo," jawabnya malas.

Gibran menyipitkan mata, memajukan wajah ingin melihat Jiwa lebih dekat. Mantan pacarnya yang miskin sepertinya tidak secantik ini. Kulit putih mulus, hidung mancung, dengan bibir tipis yang manis. Jiwa tidak seperti biasanya.

Ada sedikit polesan yang menonjolkan bagian terbaik dari wajahnya yang biasanya polos tanpa apapun.

"Putus dari gue buat lo sefrustasi itu, ya? Sampek ngelakuin hal yang nggak lo suka?"

Jiwa menaikkan sebelah alisnya. Bingung selama beberapa detik. Namun langsung mendengus ketika tahu apa yang dimaksud oleh Gibran. Jiwa melihat Stella yang baru saja tiba dan sedang berjalan ke arahnya. Tangannya terangkat, melambai pada gadis blonde itu yang langsung berlari menuju Jiwa.

"Ngapain ada monyet di depan bidadari kayak lo, Wa?" ketus Stella ketika sudah berdiri di dekat Jiwa.

Sepertinya Gibran memang tak memiliki harga diri di depan dua gadis ini. Sejak tadi pemuda itu terus diumpati dan dihina secara terang-terangan.

"Gue mau di mana aja bukan urusan kalian. Suka-suka gue," balas Gibran tak kalah sewot. Tak mau kalah dari dua gadis yang kini menatap sengit padanya.

"Biasa, La. Si monyet lagi nyari pisang di sini, di wilayahnya kagak ada yang matang pisangnya," sahut Jiwa yang berhasil meledakkan tawa seorang Stella.

Gibran ternganga sampai tanpa sadar kedua gadis itu melewati dirinya begitu saja.

"Heh, sialan!" umpat Gibran tak kalah keras.

***

"Mama dengar semalam kamu membawa pacar kamu ke acara temen, ya?"

Fajar menghentikan niatanya yang akan menyuap nasi. Pria dewasa itu menoleh pada mamanya yang kini fokus melihat ke arahnya.

"Mama senang akhirnya kamu memiliki pacar. Jadi, kapan nikah?"

Lagi-lagi pertanyaan yang sama. Fajar sebenarnya sudah sangat lelah dengan pertanyaan ini. Dia sudah empat puluh dua tahun, delapan tahun lagi usianya sudah menginjak angka lima puluh. Wanita mana yang akan mau menikah dengannya?

Lagi pula, dirinya tidak ada niatan untuk menjalin hubungan dengan siapa pun. Terutama bocah seperti Jiwa yang seharian kemarin mengganggu dirinya.

"Nikahnya masih nanti-nanti, Ma. Baru juga ada hubungan."

Wanita berusia enam puluh lima tahun itu mengetuk meja dengan jarinya. "Kamu sudah empat puluh dua tahun, Jar. Main-main lagi itu sudah nggak pantes, mending langsung nikah aja."

"Ma, yang aku pacari itu masih muda. Lagian aku nggak mau buru-buru nikah, takut kalau akhirnya malah nggak cocok terus akhirnya cerai lagi. Jadi duda dua kali bukan cita-cita aku," balas Fajar masih santai.

Dia dipanggil pulang dengan alasan mau makan siang bersama, tak tahunya malah ditanya kapan nikah. Kalau tahu begini, seharusnya tadi dia mencari alasan untuk menghindar.

"Omong-omong, Mama tahu dari mana soal semalam? Ada mata-mata yang mama kirim buat aku?"

Nana, wanita paruh baya itu menyuap nasi dengan kesal. Meski sudah tua, tapi Nana masih sangat sehat untuk makan dan mandi sendiri dengan baik. Karena itu, dia menolak dengan tegas setiap kali Fajar mau mempekerjakan suster buat merawat.

"Mana bisa Mama mengirim mata-mata untuk pengacara handal seperti kamu?" Nana menatap serius pada putranya. "Jangan mikirin yang nggak penting kayak gitu. Pikir aja kamu nikah mau pakek adat apa."

Fajar terkejut dengan ucapan mamanya. Sepertinya Nana benar-benar berharap dia akan menikah. Padahal gadis yang mengaku pacarnya semalam pasti sekarang sedang membencinya.

"Bawa pacar kamu kemari."

"Hah?" Fajar berharap dia salah dengar.

Nana mengeluarkan sesuatu dari saku baju rajutnya. Menyodorkan selembar foto pada Fajar. "Ini kan pacar kamu? Bawa ke sini secepatnya atau mama yang akan datang ke rumahnya buat melamar sendiri."

Fajar bersandar lemah pada kursi. Seniat apa Nana menguntit dirinya sampai bisa mendapatkan foto dirinya dan Jiwa di rumah orang.

"Ma, please. Jangan kayak gini."

"Pokoknya bawa ke sini, Fajar. Jangan membantah Mama yang sudah tua ini."

Kalau sudah seperti ini, bagaimana caranya Fajar bisa menolak?

***

Jiwa menendang-nendang kecil angin yang ada di depannya. Dia sedang duduk di taman yang ada di perumahan tempatnya tinggal. Malas pulang ke rumah dengan cepat-cepat tapi Stella sedang tidak bisa diajak bermain.

Gadis itu menghela napas. Kesal bukan main karena gagal membalas dendam pada Gibran.

"Rupanya ada di sini? Saya nungguin dari tadi."

Sepasang sepatu kulit hitam mengkilap berhenti di depan Jiwa. Membuat gadis muda itu mendongak dengan perlahan sembari meperhatikan kaki panjang lelaki di depannya ini.

Setelan pakainnya rapi dan mahal, sangat kontras dengan pakaian Jiwa yang biasa saja. Kalau saja dia masih memakai pakaian yang ia pinjam dari Stella, mungkin akan serasi.

Jiwa hampir jatuh terjengkang ketika wajah Fajar Abichandra menunduk menatapnya.

"Ngagetin aja tuh muka," seru Jiwa setelah dirinya berhasil tenang. Tangannya mengelus dadanya yang masih sedikit berdebar. "Ngapain ada di sini?"

Fajar menenggelamkan kedua tangan dalam saku celana. Memperhatikan penampilan Jiwa yang sangat jauh berbeda dari kemarin. Kali ini gadis muda itu lebih cocok dengan usianya.

Polos dan terlihat bodoh.

"Masih mau ke rumah saya?"

Jiwa menaikkan sebelah alisnya. "What? Ngapain aku ke rumah Bapak? Ngapain, hah? Nggak penting sama sekali. Anda pikir situ siapa?"

"Jadi, sudah berubah pikiran untuk nggak balas dendam?" tanya Fajar lagi. Pria itu menyunggingkan senyum tipis melihat Jiwa yang mengerjap ragu.

"Ya, masih mau, sih. Apalagi tadi si cecunguk itu sialan banget tingkahnya," balas Jiwa kembali mengingat Gibran yang menyebalkan.

Fajar sontak menjitak kepala Jiwa. Enak saja anaknya dibilang cecunguk sialan.

"Jangan ngomong aneh-aneh tentang anak saya."

"Kalau nggak mau dibilang kayak gitu ya didik dengan benar, dong." Jiwa mendengus kesal. Lalu mengelap hidungnya yang masih saja berair. Padahal dia sudah meminum obat flu.

"Kamu mau bantu saya mendidik Gibran?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status