"Aku berangkat dulu ya." Edwin berpamitan setelah menghabiskan lebih dari separuh menu makan siangnya.
Rieka dengan siaga membantu pria tiga puluh tahun itu untuk berjalan. Dia memegangi lengan suaminya erat-erat. Karena merasa masih terlalu berbahaya bagi Edwin untuk menuruni tangga sendirian, takut tiba-tiba oleng dan terjatuh."Iya take care, jangan memaksakan diri. Obatnya juga nanti jangan lupa diminum." Rieka meraih tangan kanan Edwin dan menciumnya.'Kok rasanya masih tidak rela melepas kepergian Mas Edwin, ya?' batin Rieka sambil menyerahkan drug box berisi obat sang suami ke saku jasnya.Edwin hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia menepuk ringan puncak kepala Rieka sebelum akhirnya memasuki mobil yang sudah menantinya di depan teras. Kemudian mobil BMW hitam yang dikemudikan Hasan itu langsung melaju begitu Edwin memasukinya.Edwin menghubungi Joko saat mobil yang dikemudikan oleh Hasan, supir pribadinya sudah hampir tiba di kawasan Wijaya Bisnis Park. Edwin meminta mereka untuk menjemputnya di lobi kantor. Sementara untuk Heni, Edwin meminta wanita itu untuk menunggunya di ruangan pertemuan mini.'Sebenarnya apa yang telah terjadi?' Edwin membatin geram.Dia ingin mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi dengan jelas. Sebelum menghadiri rapat dewan direksi yang sedang berlangsung di ruang pertemuan besar nanti. Ingin tahu secara detail apa yang sebenarnya telah terjadi di perusahaan mereka selama dirinya absen beberapa hari.Joko ternyata sudah mendapatkan panggilan telpon dari Rieka bahkan sebelum Edwin mengirimkan pesan untuknya. Nyonya muda Wijaya itu, meminta tolong kepada Joko untuk menjemput Edwin di lobi kantor. Untuk membantu bos-nya berjalan sampai ke ruangan rapat di lantai tiga.'Sepertinya Bu Rieka takut kalau Pak Edwin tiba-tiba pusing atau oleng dengan kondisinya saat ini.' Joko memahami kekhawatiran Rieka.Bahkan lebih jauh Rieka juga mengatakan kepada Joko tentang obat untuk Edwin. Yang sudah dia siapkan di drug box dalam saku jas atasannya. Dokter cantik itu meminta pula kepada Joko untuk mengingatkan Edwin agar tidak lupa meminum obat itu secepatnya, sebelum jam dua siang.'Detail sekali, Rieka memberikan instruksinya.' Joko terkagum dengan cara bicara Rieka yang detail kalau menyangkut masalah kesehatan suaminya.'Benar-benar istri yang sangat baik, pengertian dan perhatian. Beruntung sekali Pak Edwin mempunyai istri seperti Bu Rieka ini, paket komplit beneran.' Batin Joko mau tak mau menjadi iri dan ingin mempunyai istri seperti Rieka.Saat mobil BMW Edwin tiba di drop off poin lobi kantor, Joko langsung membukakan pintu mobil untuk bosnya itu. Dia sedikit kaget melihat wajah Edwin yang pucat dan gestur tubuhnya yang terlihat tidak sehat. Tidak setegap, sekokoh dan secerah biasanya kesannya."Sepertinya anda masih belum sembuh ya, Pak Bos?" Joko membatin dalam hati.Joko pun membantu Edwin berjalan dengan memegangi sebelah lengannya dengan hati-hati. Edwin tidak menolak, tahu diri sepertinya akan keadaan tubuhnya. Padahal dalam keadaan sehat, mana mau Edwin dipegang-pegang oleh Joko seperti itu.Joko membawa dan mengarahkan Edwin ke ruangan pertemuan mini tepat di sebelah ruang rapat. Di mana Heni sudah menunggu mereka disana. Bambang membantu mendudukkan Edwin di salah satu kursi berlengan yang mengelilingi meja pertemuan."Bagaimana situasinya?" tanya Edwin langsung to the point."Rapat sudah berlangsung, dan masih ribut pak. Tak ada yang berani mengambil keputusan." Heni menjelaskan."Jelaskan garis besar masalahnya," pinta Edwin pada Heni. Sengaja memilih Heni untuk bercerita daripada Bambang karena, yah begitu deh. Tambah pusing nanti nanti kalau Joko yang cerita."Masih berkaitan dengan skandal besar yang menerpa Wismail Group. Dimana tiba-tiba tersebar di berbagai media foto-foto tidak senonoh Kika Wismail yang merupakan figure penting di perusahaan itu. Masalah ini sudah dibereskan oleh Pak Irza dengan konferensi pers serta mengerahkan 'anjing penjaga' untuk membersihkan semua kekacauan di sosial media. Bahkan pelaku juga sudah tertangkap." Heni mulai menjelaskan duduk persoalannya."Ini masalah nama baik, citra perusahaan serta kepercayaan. Memang masalah sudah dibereskan dan semua yang harus dilakukan sudah dilakukan. Tetapi tetap saja untuk masalah seperti ini membutuhkan waktu untuk bisa mereda, tidak bisa instan. Time Will heal." Heni berhenti sebentar."Seperti kita tahu, Wismail merupakan salah satu founder dan pemegang saham cukup besar dari Wijaya Bisnis Park kita. Sehingga goncangnya Wismail Group secara otomatis akan mempengaruhi centra bisnis kita juga. Semua perusahaan lain yg dibawah naungan Wijaya Bisnis Park mau tak mau ikut goncang. Dan dampak yang tidak bisa dihindari adalah penurunan nilai saham kita secara signifikan.""Bagi perusahaan besar seperti Wijaya mungkin tidak begitu terasa dampak dari peristiwa ini. Tapi untuk perusahaan kecil lainnya tentu sangat berpengaruh. Akibatnya, beberapa perusahaan yang berada di naungan kita ingin mencabut sahamnya dari Wijaya Bisnis Park. Sebagian lain meminta Wismail mundur dari posisi pemegang saham kita.""Untuk menghadapi Krisis ini, para pemegang saham sepakat mengadakan rapat hari ini. Inti dari rapat adalah kita harus bisa memutuskan langkah apa yang harus diambil, Pak." Heni mengakhiri penjelasannya."Ok, I got it." Edwin mengerti apa yang dijelaskan oleh Heni dengan sangat gamblang.Sangat jelas di kepala Edwin apa yang sedang terjadi serta segala kemungkinan dan tindakan yang harus diambil olehnya nanti. Edwin tahu bener Irza, pimpinan Wismail Grup ini pria yang seperti apa. Dan Edwin percaya seratus persen bahwa sahabatnya itu pasti mampu membereskan segala kekacauan dalam perusahaannya dengan baik.Edwin beranjak perlahan dari duduknya, berjalan santai ke ruangan rapat yang ada di sebelah ruangannya sebelumnya. Dengan Joko dan Heni, kedua asisten pribadinya yang mengikuti dibelakang langkah.Suasana gaduh yang terjadi di dalam ruangan rapat langsung sunyi seketika saat Edwin memasuki ruangan. Kesunyian terus berlanjut sampai Edwin mengambil tempat duduk di kursi pimpinan rapat, sejajar dengan kursi kelima pemegang saham tertinggi lainnya yang turut hadir disana.Maheswara Hartanto dari Hartanto Group, Tyo Sampoerna dari Sampoerna Group, Ceicillia Tang dari Ciputra Group, Nick Marcus dari MarcusGo Group serta yang terakhir tentu saja Irza Wismail dari Wismail Group, yang menjadi topik bahasan rapat kali ini.Kelima pimpinan Group raksasa itu kompak memberikan senyuman di bibirnya menyambut kedatangan Edwin. Senyum kelegaan yang jelas tersungging di wajah mereka."Pimpinan rapat saya ambil alih." Edwin berkata dengan suara setegas mungkin. Setegas dan selantang yang dia bisa dengan keadaan tubuhya sekarang tentu saja."Silahkan perwakilan dari setiap perusahaan untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing." Edwin mempersilahkan belasan pimpinan perusahaan untuk bergantian berbicara atas nama perusahaannya.Satu persatu direktur perusahaan itu berbicara dan berpendapat. Sebagian besar meminta keadilan atas kerugian yang menimpa perusahaan mereka. Sebagian lain malah menyalahkan Wismail Group yang dinilai lalai dan tidak bisa menjaga nama baik.'Dasar perusahaan kelas teri, rugi dikit nyari kambing hitam buat dijadikan alibi.' Edwin mengumpat dalam hatinya dengan kesal.Sebagai seorang CEO handal dari perusahaan raksasa, Edwin tahu benar bahwa semua ini hanya masalah persaingan bisnis. Karena jelas banyak pihak yang ingin menjatuhkan Wismail. Dan Edwin sama sekali tidak gentar hanya karena masalah kecil begini. Karena Edwin percaya Irza, sebagai pimpinan Wismail Group pasti bisa mengatasi semuanya."Terima kasih atas semua pendapat dan saran dari anda sekalian," ujar Edwin mengakhiri sesi mengemukakan pendapat setelah seluruh perwakilan perusahaan mendapat giliran bicaranya."Setelah mendengar semuanya dan dengan segala pertimbangan, saya memutuskan bahwa cabang perusahaan Wismail akan tetap berada dalam naungan Wijaya Bisnis Park. Dan tentu saja dengan segala hak dan kedudukannya." Edwin membuat keputusan.Semua hadirin langsung terdiam seketika untuk beberapa saat mendengar ucapan Edwin. Tak mengira bahwa Pimpinan Wijaya Group masih berpihak pada Wismail Group setelah bahkan sebagian besar suara menolaknya."Saya sangat menghargai semua pendapat dan masukan anda semua. Tetapi saya telah mantap dengan keputusan saya sendiri.""Bagi yang tidak setuju dengan keputusan saya atau berniat untuk mencabut sahamnya dari Wijaya Bisnis Park silahkan pergi dan berurusan dengan sekretaris saya." Edwin semakin memperjelas keputusan mutlaknya.Seluruh ruangan langsung gaduh mendengar keputusan Edwin. Berbagai protes dilontarkan, berbagai pendapat mulai dari yang sopan sampai yang kasar. Suasana yang semakin runyam, memanas dan bikin pusing saja.Tapi Edwin sama sekali tidak perduli. Biar saja dirinya dibilang gila dan serampangan dalam mengambil keputusan. Biar saja orang berkata apa tenang dirinya. Karena memang begitulah kenyataannya.Justru karena kegilaannya ini Wijaya Bisnis Park berhasil didirikan. Siapa yang membantu Edwin waktu itu? Saat sebagian orang mencemooh ide dan gagasan nekatnya? Tentu saja para rekan dan sahabat yang sama gilanya. Dan Irza Wismail adalah salah satu dari sedikit rekan gilanya itu.Jadi sekarang, disaat Irza sedang dalam masalah seperti ini mana mungkin Edwin akan melepaskan tangan rekannya itu. Justru Edwin akan mendukung dan membantu sebisanya. Karena kepercayaan yang telah terbentuk diantara dirinya dan Irza sudah sangat erat.'Bodoh amat dengan para pemegang saham kecil-kecil yang sok berkuasa. Mereka yang hanya numpang tenar dan mendompleng nama Wijaya Bisnis Park.'Mau pergi? Silahkan saja, Edwin pasti dapat mendapatkan ganti mereka tanpa susah payah. Tapi untuk mendapatkan rekan dengan kapasitas seperti seorang Irza Wismail? Tak akan bisa.'One loyal friend is worth more than a thousand fake ones.'Suasana semakin gaduh tanpa bisa terkendali. Berbagai protes dari segala pihak bersautan dari segala penjuru.Kepala Edwin menjadi semakin pusing dibuatnya. Edwin sedikit panik menyadari keadaan tubuhnya yang mulai memburuk, bahkan dapat dirasakan suhu tubuhnya mulai meningkat dan keringat dingin mulai terasa di sekujur tubuhnya. Tidak nyaman.Edwin membulatkan tekad untuk dapat bertahan mengikuti jalannya rapat. Mencoba bertahan untuk tetap duduk tegak di kurisnya, sampai nanti dirinya memberikan keputusan akhir dan mengakhiri rapat hari ini.'Gawat, aku harus bertahan sedikit lagi. Gak lucu kalau harus mundur atau terlihat lemah setelah langkah yang kutempuh barusan.'Edwin membulatkan tekad untuk dapat bertahan mengikuti jalannya rapat. Mencoba bertahan untuk tetap duduk tegak di kurisnya, sampai nanti dirinya memberikan keputusan akhir dan mengakhiri rapat hari ini. Irza tercengang mendengar keputusan Edwin yang sepertinya sudah bulat. Keputusan yang sangat berani. Irza merasa terharu atas kepercayaan yang diberikan Edwin padanya dan kepada perusahaannya. Benar dugaannya bahwa Edwin ini tipe teman sejati yang dapat dipercaya dan diandalkan. Tak akan pernah mungkin untuk mengkhianati dirinya. Sekali lagi Irza mengamati wajah Edwin, sahabatnya itu lekat-lekat. Wajah Edwin terlihat pucat, lemah dan sedikit gelisah. Jauh berbeda dari wajah dingin, tenang, penuh wibawa yang biasa diperlihatkan olehnya. Memang Irza sudah mendengar bahwa Edwin sedang sakit bahkan beberapa hari terakhir tidak datang ke kantor. Gosip lebih jauh mengatakan Edwin terpaksa membatalkan honeymoon yang telah dijadwalkan selama seminggu penuh setelah dirinya menikah. Kenapa
Rieka melirik jam dinding di atas kulkas dapur. Sudah lebih dari jam enam sore. Kok mas Edwin masih belum pulang aja ya? Apa rapatnya molor? Apa terjadi perdebatan sengit dan alot selama rapat berlangsung?Rieka sama sekali tak bisa tenang sepanjang siang dan sorenya. Tentu saja kepikiran dengan keadaan Edwin, suaminya di sana. Seharusnya aku ikut saja tadi ya? Tapi kok kayak tidak pada tempatnya untuk hadir. Gak etis rasanya bagi Edwin bawa-bawa istri saat sedang urusan resmi begini.Apa mas Edwin baik-baik saja ya? Apa dia tidak lupa meminum obatnya? Apa dia kuat duduk lama untuk menghadiri rapat yang molor dengan segala tekanannya? Apa dia gak pusing mendengar suara-suara yang pastinya bising? Gimana kalau tiba-tiba dia kumat lemesnya dan ngedrop lagi tekanan darahnya?'Kamu pasti baik-baik saja kan mas Edwin?'Rieka mencoba menghalau kecemasannya sendiri.Kegalauan Rieka terus berlanjut sampai pada sesi memasak sorenya. Rieka memang seng
"Iya...ini aku, mas Edwin." Ujar Rieka menyakinkan Edwin akan kehadirannya sambil meraih sebelah tangan Edwin. Menggenggam erat jemari suaminya itu, seakan tak ingin melepasnya lagi, "Are you OK?"Edwin hanya membalas dengan senyuman dan anggukan ringan. Seneng banget rasanya Rieka ada disini untuknya. Rasanya sudah kangen aja pengen ketemu istrinya itu, pengen peluk-peluk dan cium-cium sampai puas.Perlahan Edwin bangkit dari posisi berbaringnya. Duduk bersandar di sandaran ranjang. "Jam berapa ini?" tanya Edwin kehilangan orientasi waktu."Sudah hampir jam 8 malam," jawab Rieka."Sudah malam ternyata," Edwin tak mengira dirinya bisa tertidur selama itu di sini. Tapi setelah tidurnya tadi keadaan tubuhnya sekarang terasa jauh lebih mendingan. Lebih segar dan tidak lemes lagi tentunya."Tadi kayaknya ada seseorang yang bilang bakal langsung pulang secepatnya begitu rapat berakhir?" Rieka mulai menyindir Edwin."Maaf ya honey, aku te
Keesokan harinya Rieka terbangun dengan sedikit kebingungan karena mendapati suasana kamar terasa yang asing baginya. Dimana ini? Rieka mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Nuansa hitam putih untuk seluruh barang dan perabotan, monochrome.Oiya ini kan kamar pribadi mas Edwin di kantornya. Akhirnya Rieka dapat mengingat tempatnya berada saat ini. Kemarin malam memang mereka berdua menginap di kamar ini. Karena hari sudah malam dan keadaan Edwin juga belum memungkinkan untuk perjalanan pulang dan berpindah lokasi. Masih suka tiba-tiba lemes aja dia.Rieka kembali mengedarkan pandangannya, didapatinya ranjangnya kosong. Edwin sudah tidak ada di atas ranjang. Sudah bangun duluan rupanya dia. tapi kemana mas Edwin kok tahu-tahu sudah ngilang?"Hubby? Kamu dimana?" Tanya Rieka sambil bangkit dari ranjangnya. Tak ada jawaban dari Edwin untuk pertanyaan Rieka.Rieka mencari-cari ke segala penjuru kamar sampai ke
"Hubby...cobain deh kue kering bikinanku. Tadi aku praktek baking di kelas memasak," Rieka menghampiri Edwin yang sedang duduk selonjoran di ranjangnya sambil memegang dan berkutat dengan tab-nya. Yah memang Edwin bilang gak bakal kerja lagi dan mengambil cuti. Tapi nyatanya dia masih saja kebanyakan urusan. Kalau begini si namanya work from home kan? Tapi masih mending lah daripada suaminya itu harus berangkat ke kantor sampai kolaps lagi. Rieka membawa sepiring kue kering bikinannya sendiri yang baru matang. Fresh from the oven. Dan Rieka langsung menyodorkannya kue bikinanya pada Edwin. Senyam senyum kegirangan meJokgakan hasil karyanya. "Taaaraaa ini dia..." ujar Rieka dramatis. "Mana coba liat?" Edwin meletakkan tab-nya begitu saja di kasur. Saking penasaran ingin tahu kayak apa bentuk dan rasa cookies bikinan Rieka. "Ini gambar apa?" Edwin mengerutkan kening melihat bentukan aneh cookies bikinan Rieka. Kaya astronot mini lengkap dengan baju hazmat dan helmnya, tapi kecil dan
Irza mau tak mau jadi mesam mesem melihat drama keluarga Pradana barusan. Drama yang penuh dengan adegan panas membara. Entah mana yang lebih panas antara adegan mesra Edwin-Rieka tadi atau adegan gunung berapi meletus Edwin-Joko. Kini perhatian Edwin sepenuhnya dihadapkan pada Irza yang sejak tadi berdiam diri menunggu giliran disapa. “Sorry lho Za, kamu jadi harus berada dan melihat situasi yang nggak mengenakkan begitu.” Edwin berkata dengan canggung. Tangannya menggaruk belakang kepalanya sebagai wujud setengah frustasi. Gimana gak frustasi kalau sudah ada yang berdiri tegak tapi harus dirobohkan lagi? Tapi bukan keberanaran lho ya. “It's okay. Setiap rumah tangga memang punya masalahnya sendiri-sendiri.” Jawab Irza sambil mendekati ranjang Edwin dan meletakkan buket buah-buahan yang dibawanya sebagai buah tangan di meja yang ada di samping ranjang. “Gimana kondisimu?” tanya Irza prihatin. Masih ingat benar keadaan Edwin yang tiba-tiba ngedrop kemarin sore. Tapi kalau melihat k
Keesokan harinya Wijaya mansion kembali kedatangan tamu, kali ini Heny dan Dimas yang datang berkunjung. Ngapain mereka datang di jam kerja begini? Sudah jelas bukan untuk sekedar main kan? Pasti lagi-lagi urusan pekerjaan. Kedua pegawai kepercayaan Edwin itu langsung menghampiri Rieka dan Edwin yang sedang bersantai di ruang tengah begitu Bi Ijah mempersilahkan mereka. "Selama siang Pak Edwin dan Bu Rieka." Heny menyapa. "Halo Nyonya Bos, makin cantik aja." Dimas sengaja tidak menyapa Edwin tapi malah menggoda Rieka. Dan sesuai dugaannya si nyonya Bos langsung tersipu malu mendengar godanya, gemesin banget deh. "Ger? Cari mati lu?" hEdwink Edwin geram mendengar Dimas terang-terangan menggoda Rieka. "Ampun, Pak. Saya cuma ingin menikmati pemandangan surgawi dari wajah cantik Nyonya Bos saja." Dimas makin keasikan melancarkan jurus gombalan maut. Rieka sekali lagi hanya bisa tersipu malu tanpa sanggup menjawab, mengalihkan wajahnya yang sudah merah padam dari pandangan Dimas. "Ya
Tiga hari kemudian Rieka sudah mulai bekerja kembali karena Edwin yang sudah sembuh total. Edwin juga sudah mulai masuk kerja lagi meski Rieka masih melarangnya untuk lembur atau terlalu capek-capek. Sementara Rieka tentu saja bekerja di poli penyakit dalam RS. Hartanto Medika seperti biasanya.Rieka sudah kangen banget rasanya untuk praktek dan bertemu dengan pasien-pasiennya kembali. Mendiagnosa, mengobati penyakit, memberikan advice serta edukasi kepada pasien-pasiennya. Mengamalkan ilmunya, ilmu yang bermanfaat bagi orang lain. Yang pastinya akan bernilai sedekah dan mendatangkan keberkahan."Jadi saya cuma sakit darah tinggi saja kan dok? Sudah biasa kalau begitu." Pasien terakhir Rieka hari ini melakukan konsultasi."Lho darah tinggi itu juga berbahaya lho, Pa." Seorang pemuda yang menemani si pasien ikut berkomentar. Dari penampilan rapinya, sepertinya dari golongan Sultan dia.Rieka sudah tak heran lagi dengan pasien VVIP kelas sultan. Memang targ