Share

04. CEO Dignity

"Aku berangkat dulu ya." Edwin berpamitan setelah menghabiskan lebih dari separuh menu makan siangnya.

Rieka dengan siaga membantu pria tiga puluh tahun itu untuk berjalan. Dia memegangi lengan suaminya erat-erat. Karena merasa masih terlalu berbahaya bagi Edwin untuk menuruni tangga sendirian, takut tiba-tiba oleng dan terjatuh.

"Iya take care, jangan memaksakan diri. Obatnya juga nanti jangan lupa diminum." Rieka meraih tangan kanan Edwin dan menciumnya.

'Kok rasanya masih tidak rela melepas kepergian Mas Edwin, ya?' batin Rieka sambil menyerahkan drug box berisi obat sang suami ke saku jasnya.

Edwin hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia menepuk ringan puncak kepala Rieka sebelum akhirnya memasuki mobil yang sudah menantinya di depan teras. Kemudian mobil BMW hitam yang dikemudikan Hasan itu langsung melaju begitu Edwin memasukinya.

Edwin menghubungi Joko saat mobil yang dikemudikan oleh Hasan, supir pribadinya sudah hampir tiba di kawasan Wijaya Bisnis Park. Edwin meminta mereka untuk menjemputnya di lobi kantor. Sementara untuk Heni, Edwin meminta wanita itu untuk menunggunya di ruangan pertemuan mini.

'Sebenarnya apa yang telah terjadi?' Edwin membatin geram.

Dia ingin mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi dengan jelas. Sebelum menghadiri rapat dewan direksi yang sedang berlangsung di ruang pertemuan besar nanti. Ingin tahu secara detail apa yang sebenarnya telah terjadi di perusahaan mereka selama dirinya absen beberapa hari.

Joko ternyata sudah mendapatkan panggilan telpon dari Rieka bahkan sebelum Edwin mengirimkan pesan untuknya. Nyonya muda Wijaya itu, meminta tolong kepada Joko untuk menjemput Edwin di lobi kantor. Untuk membantu bos-nya berjalan sampai ke ruangan rapat di lantai tiga.

'Sepertinya Bu Rieka takut kalau Pak Edwin tiba-tiba pusing atau oleng dengan kondisinya saat ini.' Joko memahami kekhawatiran Rieka.

Bahkan lebih jauh Rieka juga mengatakan kepada Joko tentang obat untuk Edwin. Yang sudah dia siapkan di drug box dalam saku jas atasannya. Dokter cantik itu meminta pula kepada Joko untuk mengingatkan Edwin agar tidak lupa meminum obat itu secepatnya, sebelum jam dua siang.

'Detail sekali, Rieka memberikan instruksinya.' Joko terkagum dengan cara bicara Rieka yang detail kalau menyangkut masalah kesehatan suaminya.

'Benar-benar istri yang sangat baik, pengertian dan perhatian. Beruntung sekali Pak Edwin mempunyai istri seperti Bu Rieka ini, paket komplit beneran.' Batin Joko mau tak mau menjadi iri dan ingin mempunyai istri seperti Rieka.

Saat mobil BMW Edwin tiba di drop off poin lobi kantor, Joko langsung membukakan pintu mobil untuk bosnya itu. Dia sedikit kaget melihat wajah Edwin yang pucat dan gestur tubuhnya yang terlihat tidak sehat. Tidak setegap, sekokoh dan secerah biasanya kesannya.

"Sepertinya anda masih belum sembuh ya, Pak Bos?" Joko membatin dalam hati.

Joko pun membantu Edwin berjalan dengan memegangi sebelah lengannya dengan hati-hati. Edwin tidak menolak, tahu diri sepertinya akan keadaan tubuhnya. Padahal dalam keadaan sehat, mana mau Edwin dipegang-pegang oleh Joko seperti itu.

Joko membawa dan mengarahkan Edwin ke ruangan pertemuan mini tepat di sebelah ruang rapat. Di mana Heni sudah menunggu mereka disana. Bambang membantu mendudukkan Edwin di salah satu kursi berlengan yang mengelilingi meja pertemuan.

"Bagaimana situasinya?" tanya Edwin langsung to the point.

"Rapat sudah berlangsung, dan masih ribut pak. Tak ada yang berani mengambil keputusan." Heni menjelaskan.

"Jelaskan garis besar masalahnya," pinta Edwin pada Heni. Sengaja memilih Heni untuk bercerita daripada Bambang karena, yah begitu deh. Tambah pusing nanti nanti kalau Joko yang cerita.

"Masih berkaitan dengan skandal besar yang menerpa Wismail Group. Dimana tiba-tiba tersebar di berbagai media foto-foto tidak senonoh Kika Wismail yang merupakan figure penting di perusahaan itu. Masalah ini sudah dibereskan oleh Pak Irza dengan konferensi pers serta mengerahkan 'anjing penjaga' untuk membersihkan semua kekacauan di sosial media. Bahkan pelaku juga sudah tertangkap." Heni mulai menjelaskan duduk persoalannya.

"Ini masalah nama baik, citra perusahaan serta kepercayaan. Memang masalah sudah dibereskan dan semua yang harus dilakukan sudah dilakukan. Tetapi tetap saja untuk masalah seperti ini membutuhkan waktu untuk bisa mereda, tidak bisa instan. Time Will heal." Heni berhenti sebentar.

"Seperti kita tahu, Wismail merupakan salah satu founder dan pemegang saham cukup besar dari Wijaya Bisnis Park kita. Sehingga goncangnya Wismail Group secara otomatis akan mempengaruhi centra bisnis kita juga. Semua perusahaan lain yg dibawah naungan Wijaya Bisnis Park mau tak mau ikut goncang. Dan dampak yang tidak bisa dihindari adalah penurunan nilai saham kita secara signifikan."

"Bagi perusahaan besar seperti Wijaya mungkin tidak begitu terasa dampak dari peristiwa ini. Tapi untuk perusahaan kecil lainnya tentu sangat berpengaruh. Akibatnya, beberapa perusahaan yang berada di naungan kita ingin mencabut sahamnya dari Wijaya Bisnis Park. Sebagian lain meminta Wismail mundur dari posisi pemegang saham kita."

"Untuk menghadapi Krisis ini, para pemegang saham sepakat mengadakan rapat hari ini. Inti dari rapat adalah kita harus bisa memutuskan langkah apa yang harus diambil, Pak." Heni mengakhiri penjelasannya.

"Ok, I got it." Edwin mengerti apa yang dijelaskan oleh Heni dengan sangat gamblang.

Sangat jelas di kepala Edwin apa yang sedang terjadi serta segala kemungkinan dan tindakan yang harus diambil olehnya nanti. Edwin tahu bener Irza, pimpinan Wismail Grup ini pria yang seperti apa. Dan Edwin percaya seratus persen bahwa sahabatnya itu pasti mampu membereskan segala kekacauan dalam perusahaannya dengan baik.

Edwin beranjak perlahan dari duduknya, berjalan santai ke ruangan rapat yang ada di sebelah ruangannya sebelumnya. Dengan Joko dan Heni, kedua asisten pribadinya yang mengikuti dibelakang langkah.

Suasana gaduh yang terjadi di dalam ruangan rapat langsung sunyi seketika saat Edwin memasuki ruangan. Kesunyian terus berlanjut sampai Edwin mengambil tempat duduk di kursi pimpinan rapat, sejajar dengan kursi kelima pemegang saham tertinggi lainnya yang turut hadir disana.

Maheswara Hartanto dari Hartanto Group, Tyo Sampoerna dari Sampoerna Group, Ceicillia Tang dari Ciputra Group, Nick Marcus dari MarcusGo Group serta yang terakhir tentu saja Irza Wismail dari Wismail Group, yang menjadi topik bahasan rapat kali ini.

Kelima pimpinan Group raksasa itu kompak memberikan senyuman di bibirnya menyambut kedatangan Edwin. Senyum kelegaan yang jelas tersungging di wajah mereka.

"Pimpinan rapat saya ambil alih." Edwin berkata dengan suara setegas mungkin. Setegas dan selantang yang dia bisa dengan keadaan tubuhya sekarang tentu saja.

"Silahkan perwakilan dari setiap perusahaan untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing." Edwin mempersilahkan belasan pimpinan perusahaan untuk bergantian berbicara atas nama perusahaannya.

Satu persatu direktur perusahaan itu berbicara dan berpendapat. Sebagian besar meminta keadilan atas kerugian yang menimpa perusahaan mereka. Sebagian lain malah menyalahkan Wismail Group yang dinilai lalai dan tidak bisa menjaga nama baik.

'Dasar perusahaan kelas teri, rugi dikit nyari kambing hitam buat dijadikan alibi.' Edwin mengumpat dalam hatinya dengan kesal.

Sebagai seorang CEO handal dari perusahaan raksasa, Edwin tahu benar bahwa semua ini hanya masalah persaingan bisnis. Karena jelas banyak pihak yang ingin menjatuhkan Wismail. Dan Edwin sama sekali tidak gentar hanya karena masalah kecil begini. Karena Edwin percaya Irza, sebagai pimpinan Wismail Group pasti bisa mengatasi semuanya.

"Terima kasih atas semua pendapat dan saran dari anda sekalian," ujar Edwin mengakhiri sesi mengemukakan pendapat setelah seluruh perwakilan perusahaan mendapat giliran bicaranya.

"Setelah mendengar semuanya dan dengan segala pertimbangan, saya memutuskan bahwa cabang perusahaan Wismail akan tetap berada dalam naungan Wijaya Bisnis Park. Dan tentu saja dengan segala hak dan kedudukannya." Edwin membuat keputusan.

Semua hadirin langsung terdiam seketika untuk beberapa saat mendengar ucapan Edwin. Tak mengira bahwa Pimpinan Wijaya Group masih berpihak pada Wismail Group setelah bahkan sebagian besar suara menolaknya.

"Saya sangat menghargai semua pendapat dan masukan anda semua. Tetapi saya telah mantap dengan keputusan saya sendiri."

"Bagi yang tidak setuju dengan keputusan saya atau berniat untuk mencabut sahamnya dari Wijaya Bisnis Park silahkan pergi dan berurusan dengan sekretaris saya." Edwin semakin memperjelas keputusan mutlaknya.

Seluruh ruangan langsung gaduh mendengar keputusan Edwin. Berbagai protes dilontarkan, berbagai pendapat mulai dari yang sopan sampai yang kasar. Suasana yang semakin runyam, memanas dan bikin pusing saja.

Tapi Edwin sama sekali tidak perduli. Biar saja dirinya dibilang gila dan serampangan dalam mengambil keputusan. Biar saja orang berkata apa tenang dirinya. Karena memang begitulah kenyataannya.

Justru karena kegilaannya ini Wijaya Bisnis Park berhasil didirikan. Siapa yang membantu Edwin waktu itu? Saat sebagian orang mencemooh ide dan gagasan nekatnya? Tentu saja para rekan dan sahabat yang sama gilanya. Dan Irza Wismail adalah salah satu dari sedikit rekan gilanya itu.

Jadi sekarang, disaat Irza sedang dalam masalah seperti ini mana mungkin Edwin akan melepaskan tangan rekannya itu. Justru Edwin akan mendukung dan membantu sebisanya. Karena kepercayaan yang telah terbentuk diantara dirinya dan Irza sudah sangat erat.

'Bodoh amat dengan para pemegang saham kecil-kecil yang sok berkuasa. Mereka yang hanya numpang tenar dan mendompleng nama Wijaya Bisnis Park.'

Mau pergi? Silahkan saja, Edwin pasti dapat mendapatkan ganti mereka tanpa susah payah. Tapi untuk mendapatkan rekan dengan kapasitas seperti seorang Irza Wismail? Tak akan bisa.

'One loyal friend is worth more than a thousand fake ones.'

Suasana semakin gaduh tanpa bisa terkendali. Berbagai protes dari segala pihak bersautan dari segala penjuru.

Kepala Edwin menjadi semakin pusing dibuatnya. Edwin sedikit panik menyadari keadaan tubuhnya yang mulai memburuk, bahkan dapat dirasakan suhu tubuhnya mulai meningkat dan keringat dingin mulai terasa di sekujur tubuhnya. Tidak nyaman.

Edwin membulatkan tekad untuk dapat bertahan mengikuti jalannya rapat. Mencoba bertahan untuk tetap duduk tegak di kurisnya, sampai nanti dirinya memberikan keputusan akhir dan mengakhiri rapat hari ini.

'Gawat, aku harus bertahan sedikit lagi. Gak lucu kalau harus mundur atau terlihat lemah setelah langkah yang kutempuh barusan.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status