"Hubby? Kamu ngapain?" tanya Rieka kaget menerima pelukan erat Edwin pada tubuhnya. Bahkan suaminya itu semakin membenamkan kepalan ke leher ceruk dan tengkukknya.
"Cari kehangatan," jawab Edwin dengan nada santai.Sambil terus menempelkan tubuh ke tubuh Rieka."Cari kehangatan apaan sih?" Rieka tak habis pikir dengan tingkah manja Edwin kali ini."Aduuuh, tanganmu kemana itu, Mas?" protes Rieka saat merasakan kedua tangan Edwin mulai menyelinap masuk ke dalam pakaiannya. Membelai lembut kulit tubuhnya yang sensitif.Edwin tak menjawab protes yang dilancarkan Rieka, malah melanjutkan gerakan tangannya dengan lebih agresif. Bahkan kedua telapak tangan Edwin sudah mencapai undergarment Rieka dan menyingkapnya. Menyentuh benda yang sejak awal tersembunyi di sana."Aaaah Mas Edwin nakal!" Rieka tersentak kaget saat tangan Edwin menyentuh bagian depan tubuhnya yang menojol."Aku kangen sama asetku, El." Edwin bergumam tanpa memperdulikan protes dari Rieka.Edwin malah semakin mempererat pelukannya pada tubuh sang istri. Membuat tubuh mereka berdua semakin menempel satu sama lainnya tanpa ada jarak sejengkal pun.Kedua tangan Edwin juga turut aktif bergerak dan bermain-main dengan aset favoritnya di tubuh Rieka. Benda kenyal yang begitu enak dan terasa sangat pas digenggaman tangannya. Kedua gundukan empuk bagaikan bakpao daging yang menggugah selera."Mas Edwin ... Please stop ... Aaaah geli!" Rieka tak dapat menahan diri untuk mendesah tertahan. Tubuhnya sudah menggeliat kegelian karena sentuhan lembut Edwin di bagian-bagian rahasianya. Yah, tubuh Rieka memang sangat sensitif dan mudah geli."Heeem jangan ganggu, aku lagi asik mainan ... " Ujar Edwin dengan nada tak punya dosa.Edwin terus saja menciumi dan menikmati aroma tubuh Rieka yang sangat wangi baginya. Rasanya kepala bagian atas dan bawah sudah overexited dibuatnya. Membuat suhu tubuhnya semakin memanas. Kalau saja keadaan tubuh Edwin sedang tidak selemah sekarang ini, pasti sudah langsung diterkamnya istrinya itu.'Sabar dulu deh cuma sampai mainan aja kali ini, putusnya menahan diri.'"Mainan? Enak aja asetku dibilang mainan." Rieka mengumpat, memberontak dan berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Edwin. Tapi tetap saja dirinya tak dapat berkutik untuk melepaskan tubuhnya dari pelukan erat dan beban berat tubuh Edwin."Kan memang milikku! Ini mainan favoritku!" Edwin sedikit menarik dan meremas lebih keras bagian puncak dari aset yang katanya miliknya. Seolah pria itu ingin menegaskan kepemilikan mutlak atas kedua aset berharga kesukaannya."Aaaaah aduh ... Sakit, Mas." Rieka merintih ringan tak tertahankan lagi.Rasa sakit memang menghampirinya untuk sesaat, tapi selanjutnya entah mengapa Rieka dapat merasakan suhu tubuhnya mulai memanas dan napasnya tak teratur.'Kenapa ini? Kenapa rasanya ada yang aneh dengan tubuhku? Rasa yang menyenangkan.'"Itu tadi sakit? Maaf ya, Honey." Edwin lebih memperlembut gerakannya tangannya untuk terus bermain-main di sekitaran aset Rieka.Rieka hanya sanggup mendesah perlahan sebagai jawaban. Pasrah saja membiarkan Edwin terus bermain dengan aset favorit di tubuhnya. Berusaha menahan dan meredakan gejolak serta debaran di dada akibat lonjakan hormon oxitoxyn yang membuatnya tak bisa berpikir jernih.Pikiran Rieka seakan melayang-layang, terbang ke langit tingkat tujuh demi menikmati setiap belaian lembut Edwin kepadanya. Sentuhan yang sungguh sangat menggairahkan.Tak lama kemudian pelukan dan dekapan Edwin pada tubuh Rieka terasa semakin melonggar. Bahkan genggaman tangan Edwin pada kedua aset berharga Rieka juga mulai terlepas begitu saja. Ditambah pula dengkuran halus yang mulai terdengar di belakang Rieka."Sssssshhhhh ... Ssshhhh.""Rupanya kamu sudah mulai terlelap, Mas? Mungkin karena obatnya sudah mulai bereaksi." Rieka tersenyum lega menyadari kenyataan Edwin sudah mulai tertidur.Dia merasa lega karena aksi nakal suaminya tidak berlanjut lebih jauh lagi. Namun entah kenapa ada sedikit kecewa juga di dadanya.'Tunggu-tunggu, kok jadi mikir ke situ?''Aarrgggg aku mungkin sudah gila!'Rieka menunggu beberapa saat dengan tetap terdiam, tidak bergerak dari posisinya. Menunggu sampai Edwin sudah benar-benar pulas tidurnya.Setelah cukup lama, Rieka beranjak perlahan dari dekapan Edwin. Sebisa mungkin dia tidak menggangu suaminya yang sedang tertidur.Rieka mengamati sejenak wajah tidur Edwin setelah berhasil melepaskan diri. Wajah tidur Edwin yang terlihatbegitu menggemaskan, membuatnya tak tahan untuk mendaratkan ciuman ringan di sebelah pipi suaminya itu."Get well soon, Hubby. Kamu cepet sembuh dan jangan sakit-sakit lagi ya," bisik Rieka perlahan. Rieka beranjak dari ranjang dan meninggalkan Edwin untuk beristirahat di kamar mereka.***Rieka kembali membawa nampan bekas sarapan Edwin ke dapur di lantai bawah. Sengaja meletakkan di sink serta mencucinya disana dengan tangannya sendiri."Nyonya Rieka, taruh saja disana nanti saya yang cuci." Ujar Ijah panik, merasa tak enak melihat majikannya mencuci piring."Gak pa-pa Bi, aku sudah biasa cuci piring kok." Rieka tak keberatan sedikit membantu pekerjaan di rumahnya sendiri."Jangan Nyonya, nanti kami yang dimarahin Bu Kartika kalau ketahuan." Ijah sebagai kepala pelayan tidak ingin membuat majikannya kerepotan. Buat apa ada tiga orang pelayan di rumah ini kalau nyonya mereka harus ikut mengotori kedua tangannya sendiri?"Udah gak pa-pa." Rieka meyakinkan Ijah."Oiya nanti untuk makan siang mas Edwin gak usah bubur lagi. Buatkan nasi tim halus aja. Untuk kuahnya dia minta soto ayam tadi. Tapi jangan banyak-banyak kaldunya buat gak eneg." Lanjut Rieka memberikan perintah."Baik nyonya," Ijah menurut tanpa banyak bertanya lagi. Wanita paruh baya itu sudah hafal bagaimana rasa soto yang disukai Edwin.Selanjutnya Rieka menghabiskan waktu paginya dengan kelas memasak. Yah benar kelas memasak, kelas yang sama sekali tak pernah terbayangkan akan diikuti oleh Rieka. Sejak kejadian tragedi honeymoon yang menghebohkan, mama Kartika menjadi sangat berhati-hati tentang menu makanan Edwin.Untuk memastikan benar-benar apa saja yang dimakan oleh putranya dan kandungan gizinya. Seakan tak ingin kejadian mengerikan yang nyaris mencelakakan Edwin terulang lagi. Beliau bahkan memanggilkan chef profesional dari Hotel berbintang lima untuk memberikan kelas memasak pada Rieka."Kalau kamu sendiri yang membuatnya, Edwin pasti tak akan keberatan untuk membawanya ke kantor. Siapa yang akan nolak 'bekal cinta' bikinan istrinya?"Perkataan mama Kartika masih terngiang jelas di benak Rieka. Bahwa dia harus bisa membuatkan makanan atau bekal untuk Edwin."Yah mungkin mama benar, aku harus bisa memasak!" Rieka pun membulatkan tekadnya. Untuk mengikuti kelas itu. Jauh dari lubuk hatinya, Rieka juga ingin bisa memasak untuk Edwin.Mempersembahkan masakan rasa cinta untuk suaminya itu. Tapi nyatanya tak semudah itu ferguso, dua hari ini kelas memasak berlangsung dan sepertinya skill masak Rieka tetap begitu-begitu saja. Yah mungkin masih perlu banyak latihan.Tepat tengah hari Rieka sudah mempersiapkan semangkuk soto ayam dan nasi tim di atas sebuah nampan untuk Edwin. Masakan siapa? Tentu saja masakan Bi Ijah. Hasil masakan Rieka selama kelas memasak masih belum layak disajikan untuk tuan besar Wijaya.'Kasihan Mas Edwin kalau harus memakan masakanku yang belum jelas arah rasanya kemana, gak ngalor dan gak ngidul.' Rieka terkikik geli mengingat betapa parah hasil masakan buatannya sendiri.Rieka membawa makanan itu ke lantai dua, menuju ke kamar utama mereka. Betapa kagetnya Rieka saat mendapati Edwin sudah tidak ada di ranjangnya.'Mas Edwin ke mana? Apa dia udah bangun?' Rieka meletakkan makanan di atas nampan itu di meja, kemudian berkeliling kamar mencari-cari sosok Edwin berada.Dokter spesialis penyakit dalam itu emakin kaget lagi saat mendapati Edwin sedang dalam proses berpakaian. Pria itu sedang mengancingkan kemejanya, work suit yang biasa dia pakai untuk bekerja."Hubby? Kamu mau ke mana?" tanya Rieka menyelidik kepada sang suami."Ke kantor sebentar, Honey." Edwin menjawab."Gak boleh! Kamu belum sembuh, Mas!"Edwin tidak menjawab, hanya meneruskan kegiatannya untuk memakai sandang di tubuhnya."Suruh saja anak buahmu ke sini kalau ada urusannya mendesak. Kamu gak perlu datang langsung ke kantor." Rieka lanjut berkata karena Edwin tidak memberikan jawaban kepadanya."Mau ngantor? Dengan tubuhmu yang masih selemah itu? Gak boleh!""Honey, kali ini beneran mendesak banget. Aku cuma datang rapat sebentar terus pulang lagi nanti." Edwin berusaha meyakinkan Rieka untuk tidak khawatir."Ngapain aja si kerjanya Joko, Rita dan anak buah Mas Edwin lainnya? Sudah tahu bosnya sakit kok masih disuruh kerja saja?" Rieka sudah ngomel-ngomel saking kesalnya."Mereka sudah keteteran selama beberapa hari ini aku absen. Masalah penurunan nilai saham perusahaan belum kelar, bahkan makin parah. Nasib ribuan karyawan Wijaya Grup sedang dipertaruhkan, Rik.""Jadi aku harus pergi." Edwin menjelaskan alasannya bersikeras pergi.Pria itu mengambil sebuah dasi dan jas dari lemari. Kemudian berkutat memasang jas serta dasi di leher kemejanya."Kenapa gak kasih instruksi dari sini saja? Kan bisa by phone atau online?" Rieka menghampiri suaminya itu. Membantu untuk memasangkan dan merapikan dasi serta jas Edwin."Gak bisa. Aku cuma perlu hadir saja di sana, memberi keputusan. Kalau bukan aku yang memerintah langsung gak bakal dituruti oleh semua devisi." Edwin menjelaskan peranan pentingnya sebagai seorang pemimpin."Yaudah nanti langsung pulang ya setelah urusan selesai, jangan memaksakan diri." Rieka menepuk ringan dada Edwin setelah memastikan kerapiannya. Masih tak rela rasanya untuk melepas kepergian Edwin."Oke, Honey." Edwin mengecup ringan kening Rieka sebagai ucapan terimakasih atas sifat pengertian istrinya itu."Makan siang dan minum obatnya dulu ya sebelum berangkat," Rieka menunjuk menu makan siang yang tadi diletakkannya di meja.Edwin menurut saja menghampiri sofa dan menikmati menu makan siangnya. "Obatnya dibungkus aja, Honey. Nanti aku minum setelah rapat, biar gak ngantuk." Ujar Edwin sambil terus mengunyah."Iya, jangan sampai lupa lho ya." Rieka mempersiapkan satu dosis minum obat Edwin dalam drug box mini."Aku suruh supir siapin mobil buat nganter juga," Rieka mengirimkan pesan ke pak Hasan, salah satu supir yang stand by di Wijaya Mansion ini.Edwin hanya mengangguk menanggapi. Senang dengan pelayanan dari Rieka yang sangat memuaskan baginya. Sementara itu Rieka masih tidak tenang untuk melepas kepergian Edwin.'Apa dia akan baik-baik saja?'"Aku berangkat dulu ya." Edwin berpamitan setelah menghabiskan lebih dari separuh menu makan siangnya. Rieka dengan siaga membantu pria tiga puluh tahun itu untuk berjalan. Dia memegangi lengan suaminya erat-erat. Karena merasa masih terlalu berbahaya bagi Edwin untuk menuruni tangga sendirian, takut tiba-tiba oleng dan terjatuh."Iya take care, jangan memaksakan diri. Obatnya juga nanti jangan lupa diminum." Rieka meraih tangan kanan Edwin dan menciumnya.'Kok rasanya masih tidak rela melepas kepergian Mas Edwin, ya?' batin Rieka sambil menyerahkan drug box berisi obat sang suami ke saku jasnya.Edwin hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia menepuk ringan puncak kepala Rieka sebelum akhirnya memasuki mobil yang sudah menantinya di depan teras. Kemudian mobil BMW hitam yang dikemudikan Hasan itu langsung melaju begitu Edwin memasukinya.Edwin menghubungi Joko saat mobil yang dikemudikan oleh Hasan, supir pribadinya sudah hampir tiba di kawasan Wijaya Bisnis Park. Edwin meminta mereka u
Edwin membulatkan tekad untuk dapat bertahan mengikuti jalannya rapat. Mencoba bertahan untuk tetap duduk tegak di kurisnya, sampai nanti dirinya memberikan keputusan akhir dan mengakhiri rapat hari ini. Irza tercengang mendengar keputusan Edwin yang sepertinya sudah bulat. Keputusan yang sangat berani. Irza merasa terharu atas kepercayaan yang diberikan Edwin padanya dan kepada perusahaannya. Benar dugaannya bahwa Edwin ini tipe teman sejati yang dapat dipercaya dan diandalkan. Tak akan pernah mungkin untuk mengkhianati dirinya. Sekali lagi Irza mengamati wajah Edwin, sahabatnya itu lekat-lekat. Wajah Edwin terlihat pucat, lemah dan sedikit gelisah. Jauh berbeda dari wajah dingin, tenang, penuh wibawa yang biasa diperlihatkan olehnya. Memang Irza sudah mendengar bahwa Edwin sedang sakit bahkan beberapa hari terakhir tidak datang ke kantor. Gosip lebih jauh mengatakan Edwin terpaksa membatalkan honeymoon yang telah dijadwalkan selama seminggu penuh setelah dirinya menikah. Kenapa
Rieka melirik jam dinding di atas kulkas dapur. Sudah lebih dari jam enam sore. Kok mas Edwin masih belum pulang aja ya? Apa rapatnya molor? Apa terjadi perdebatan sengit dan alot selama rapat berlangsung?Rieka sama sekali tak bisa tenang sepanjang siang dan sorenya. Tentu saja kepikiran dengan keadaan Edwin, suaminya di sana. Seharusnya aku ikut saja tadi ya? Tapi kok kayak tidak pada tempatnya untuk hadir. Gak etis rasanya bagi Edwin bawa-bawa istri saat sedang urusan resmi begini.Apa mas Edwin baik-baik saja ya? Apa dia tidak lupa meminum obatnya? Apa dia kuat duduk lama untuk menghadiri rapat yang molor dengan segala tekanannya? Apa dia gak pusing mendengar suara-suara yang pastinya bising? Gimana kalau tiba-tiba dia kumat lemesnya dan ngedrop lagi tekanan darahnya?'Kamu pasti baik-baik saja kan mas Edwin?'Rieka mencoba menghalau kecemasannya sendiri.Kegalauan Rieka terus berlanjut sampai pada sesi memasak sorenya. Rieka memang seng
"Iya...ini aku, mas Edwin." Ujar Rieka menyakinkan Edwin akan kehadirannya sambil meraih sebelah tangan Edwin. Menggenggam erat jemari suaminya itu, seakan tak ingin melepasnya lagi, "Are you OK?"Edwin hanya membalas dengan senyuman dan anggukan ringan. Seneng banget rasanya Rieka ada disini untuknya. Rasanya sudah kangen aja pengen ketemu istrinya itu, pengen peluk-peluk dan cium-cium sampai puas.Perlahan Edwin bangkit dari posisi berbaringnya. Duduk bersandar di sandaran ranjang. "Jam berapa ini?" tanya Edwin kehilangan orientasi waktu."Sudah hampir jam 8 malam," jawab Rieka."Sudah malam ternyata," Edwin tak mengira dirinya bisa tertidur selama itu di sini. Tapi setelah tidurnya tadi keadaan tubuhnya sekarang terasa jauh lebih mendingan. Lebih segar dan tidak lemes lagi tentunya."Tadi kayaknya ada seseorang yang bilang bakal langsung pulang secepatnya begitu rapat berakhir?" Rieka mulai menyindir Edwin."Maaf ya honey, aku te
Keesokan harinya Rieka terbangun dengan sedikit kebingungan karena mendapati suasana kamar terasa yang asing baginya. Dimana ini? Rieka mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Nuansa hitam putih untuk seluruh barang dan perabotan, monochrome.Oiya ini kan kamar pribadi mas Edwin di kantornya. Akhirnya Rieka dapat mengingat tempatnya berada saat ini. Kemarin malam memang mereka berdua menginap di kamar ini. Karena hari sudah malam dan keadaan Edwin juga belum memungkinkan untuk perjalanan pulang dan berpindah lokasi. Masih suka tiba-tiba lemes aja dia.Rieka kembali mengedarkan pandangannya, didapatinya ranjangnya kosong. Edwin sudah tidak ada di atas ranjang. Sudah bangun duluan rupanya dia. tapi kemana mas Edwin kok tahu-tahu sudah ngilang?"Hubby? Kamu dimana?" Tanya Rieka sambil bangkit dari ranjangnya. Tak ada jawaban dari Edwin untuk pertanyaan Rieka.Rieka mencari-cari ke segala penjuru kamar sampai ke
"Hubby...cobain deh kue kering bikinanku. Tadi aku praktek baking di kelas memasak," Rieka menghampiri Edwin yang sedang duduk selonjoran di ranjangnya sambil memegang dan berkutat dengan tab-nya. Yah memang Edwin bilang gak bakal kerja lagi dan mengambil cuti. Tapi nyatanya dia masih saja kebanyakan urusan. Kalau begini si namanya work from home kan? Tapi masih mending lah daripada suaminya itu harus berangkat ke kantor sampai kolaps lagi. Rieka membawa sepiring kue kering bikinannya sendiri yang baru matang. Fresh from the oven. Dan Rieka langsung menyodorkannya kue bikinanya pada Edwin. Senyam senyum kegirangan meJokgakan hasil karyanya. "Taaaraaa ini dia..." ujar Rieka dramatis. "Mana coba liat?" Edwin meletakkan tab-nya begitu saja di kasur. Saking penasaran ingin tahu kayak apa bentuk dan rasa cookies bikinan Rieka. "Ini gambar apa?" Edwin mengerutkan kening melihat bentukan aneh cookies bikinan Rieka. Kaya astronot mini lengkap dengan baju hazmat dan helmnya, tapi kecil dan
Irza mau tak mau jadi mesam mesem melihat drama keluarga Pradana barusan. Drama yang penuh dengan adegan panas membara. Entah mana yang lebih panas antara adegan mesra Edwin-Rieka tadi atau adegan gunung berapi meletus Edwin-Joko. Kini perhatian Edwin sepenuhnya dihadapkan pada Irza yang sejak tadi berdiam diri menunggu giliran disapa. “Sorry lho Za, kamu jadi harus berada dan melihat situasi yang nggak mengenakkan begitu.” Edwin berkata dengan canggung. Tangannya menggaruk belakang kepalanya sebagai wujud setengah frustasi. Gimana gak frustasi kalau sudah ada yang berdiri tegak tapi harus dirobohkan lagi? Tapi bukan keberanaran lho ya. “It's okay. Setiap rumah tangga memang punya masalahnya sendiri-sendiri.” Jawab Irza sambil mendekati ranjang Edwin dan meletakkan buket buah-buahan yang dibawanya sebagai buah tangan di meja yang ada di samping ranjang. “Gimana kondisimu?” tanya Irza prihatin. Masih ingat benar keadaan Edwin yang tiba-tiba ngedrop kemarin sore. Tapi kalau melihat k
Keesokan harinya Wijaya mansion kembali kedatangan tamu, kali ini Heny dan Dimas yang datang berkunjung. Ngapain mereka datang di jam kerja begini? Sudah jelas bukan untuk sekedar main kan? Pasti lagi-lagi urusan pekerjaan. Kedua pegawai kepercayaan Edwin itu langsung menghampiri Rieka dan Edwin yang sedang bersantai di ruang tengah begitu Bi Ijah mempersilahkan mereka. "Selama siang Pak Edwin dan Bu Rieka." Heny menyapa. "Halo Nyonya Bos, makin cantik aja." Dimas sengaja tidak menyapa Edwin tapi malah menggoda Rieka. Dan sesuai dugaannya si nyonya Bos langsung tersipu malu mendengar godanya, gemesin banget deh. "Ger? Cari mati lu?" hEdwink Edwin geram mendengar Dimas terang-terangan menggoda Rieka. "Ampun, Pak. Saya cuma ingin menikmati pemandangan surgawi dari wajah cantik Nyonya Bos saja." Dimas makin keasikan melancarkan jurus gombalan maut. Rieka sekali lagi hanya bisa tersipu malu tanpa sanggup menjawab, mengalihkan wajahnya yang sudah merah padam dari pandangan Dimas. "Ya