Share

03. Mainan Favorit

"Hubby? Kamu ngapain?" tanya Rieka kaget menerima pelukan erat Edwin pada tubuhnya. Bahkan suaminya itu semakin membenamkan kepalan ke leher ceruk dan tengkukknya.

"Cari kehangatan," jawab Edwin dengan nada santai.Sambil terus menempelkan tubuh ke tubuh Rieka.

"Cari kehangatan apaan sih?" Rieka tak habis pikir dengan tingkah manja Edwin kali ini.

"Aduuuh, tanganmu kemana itu, Mas?" protes Rieka saat merasakan kedua tangan Edwin mulai menyelinap masuk ke dalam pakaiannya. Membelai lembut kulit tubuhnya yang sensitif.

Edwin tak menjawab protes yang dilancarkan Rieka, malah melanjutkan gerakan tangannya dengan lebih agresif. Bahkan kedua telapak tangan Edwin sudah mencapai undergarment Rieka dan menyingkapnya. Menyentuh benda yang sejak awal tersembunyi di sana.

"Aaaah Mas Edwin nakal!" Rieka tersentak kaget saat tangan Edwin menyentuh bagian depan tubuhnya yang menojol.

"Aku kangen sama asetku, El." Edwin bergumam tanpa memperdulikan protes dari Rieka.

Edwin malah semakin mempererat pelukannya pada tubuh sang istri. Membuat tubuh mereka berdua semakin menempel satu sama lainnya tanpa ada jarak sejengkal pun.

Kedua tangan Edwin juga turut aktif bergerak dan bermain-main dengan aset favoritnya di tubuh Rieka. Benda kenyal yang begitu enak dan terasa sangat pas digenggaman tangannya. Kedua gundukan empuk bagaikan bakpao daging yang menggugah selera.

"Mas Edwin ... Please stop ... Aaaah geli!" Rieka tak dapat menahan diri untuk mendesah tertahan. Tubuhnya sudah menggeliat kegelian karena sentuhan lembut Edwin di bagian-bagian rahasianya. Yah, tubuh Rieka memang sangat sensitif dan mudah geli.

"Heeem jangan ganggu, aku lagi asik mainan ... " Ujar Edwin dengan nada tak punya dosa.

Edwin terus saja menciumi dan menikmati aroma tubuh Rieka yang sangat wangi baginya. Rasanya kepala bagian atas dan bawah sudah overexited dibuatnya. Membuat suhu tubuhnya semakin memanas. Kalau saja keadaan tubuh Edwin sedang tidak selemah sekarang ini, pasti sudah langsung diterkamnya istrinya itu.

'Sabar dulu deh cuma sampai mainan aja kali ini, putusnya menahan diri.'

"Mainan? Enak aja asetku dibilang mainan." Rieka mengumpat, memberontak dan berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Edwin. Tapi tetap saja dirinya tak dapat berkutik untuk melepaskan tubuhnya dari pelukan erat dan beban berat tubuh Edwin.

"Kan memang milikku! Ini mainan favoritku!" Edwin sedikit menarik dan meremas lebih keras bagian puncak dari aset yang katanya miliknya. Seolah pria itu ingin menegaskan kepemilikan mutlak atas kedua aset berharga kesukaannya.

"Aaaaah aduh ... Sakit, Mas." Rieka merintih ringan tak tertahankan lagi.

Rasa sakit memang menghampirinya untuk sesaat, tapi selanjutnya entah mengapa Rieka dapat merasakan suhu tubuhnya mulai memanas dan napasnya tak teratur.

'Kenapa ini? Kenapa rasanya ada yang aneh dengan tubuhku? Rasa yang menyenangkan.'

"Itu tadi sakit? Maaf ya, Honey." Edwin lebih memperlembut gerakannya tangannya untuk terus bermain-main di sekitaran aset Rieka.

Rieka hanya sanggup mendesah perlahan sebagai jawaban. Pasrah saja membiarkan Edwin terus bermain dengan aset favorit di tubuhnya. Berusaha menahan dan meredakan gejolak serta debaran di dada akibat lonjakan hormon oxitoxyn yang membuatnya tak bisa berpikir jernih.

Pikiran Rieka seakan melayang-layang, terbang ke langit tingkat tujuh demi menikmati setiap belaian lembut Edwin kepadanya. Sentuhan yang sungguh sangat menggairahkan.

Tak lama kemudian pelukan dan dekapan Edwin pada tubuh Rieka terasa semakin melonggar. Bahkan genggaman tangan Edwin pada kedua aset berharga Rieka juga mulai terlepas begitu saja. Ditambah pula dengkuran halus yang mulai terdengar di belakang Rieka.

"Sssssshhhhh ... Ssshhhh."

"Rupanya kamu sudah mulai terlelap, Mas? Mungkin karena obatnya sudah mulai bereaksi." Rieka tersenyum lega menyadari kenyataan Edwin sudah mulai tertidur.

Dia merasa lega karena aksi nakal suaminya tidak berlanjut lebih jauh lagi. Namun entah kenapa ada sedikit kecewa juga di dadanya.

'Tunggu-tunggu, kok jadi mikir ke situ?'

'Aarrgggg aku mungkin sudah gila!'

Rieka menunggu beberapa saat dengan tetap terdiam, tidak bergerak dari posisinya. Menunggu sampai Edwin sudah benar-benar pulas tidurnya.

Setelah cukup lama, Rieka beranjak perlahan dari dekapan Edwin. Sebisa mungkin dia tidak menggangu suaminya yang sedang tertidur.

Rieka mengamati sejenak wajah tidur Edwin setelah berhasil melepaskan diri. Wajah tidur Edwin yang terlihatbegitu menggemaskan, membuatnya tak tahan untuk mendaratkan ciuman ringan di sebelah pipi suaminya itu.

"Get well soon, Hubby. Kamu cepet sembuh dan jangan sakit-sakit lagi ya," bisik Rieka perlahan. Rieka beranjak dari ranjang dan meninggalkan Edwin untuk beristirahat di kamar mereka.

***

Rieka kembali membawa nampan bekas sarapan Edwin ke dapur di lantai bawah. Sengaja meletakkan di sink serta mencucinya disana dengan tangannya sendiri.

"Nyonya Rieka, taruh saja disana nanti saya yang cuci." Ujar Ijah panik, merasa tak enak melihat majikannya mencuci piring.

"Gak pa-pa Bi, aku sudah biasa cuci piring kok." Rieka tak keberatan sedikit membantu pekerjaan di rumahnya sendiri.

"Jangan Nyonya, nanti kami yang dimarahin Bu Kartika kalau ketahuan." Ijah sebagai kepala pelayan tidak ingin membuat majikannya kerepotan. Buat apa ada tiga orang pelayan di rumah ini kalau nyonya mereka harus ikut mengotori kedua tangannya sendiri?

"Udah gak pa-pa." Rieka meyakinkan Ijah.

"Oiya nanti untuk makan siang mas Edwin gak usah bubur lagi. Buatkan nasi tim halus aja. Untuk kuahnya dia minta soto ayam tadi. Tapi jangan banyak-banyak kaldunya buat gak eneg." Lanjut Rieka memberikan perintah.

"Baik nyonya," Ijah menurut tanpa banyak bertanya lagi. Wanita paruh baya itu sudah hafal bagaimana rasa soto yang disukai Edwin.

Selanjutnya Rieka menghabiskan waktu paginya dengan kelas memasak. Yah benar kelas memasak, kelas yang sama sekali tak pernah terbayangkan akan diikuti oleh Rieka. Sejak kejadian tragedi honeymoon yang menghebohkan, mama Kartika menjadi sangat berhati-hati tentang menu makanan Edwin.

Untuk memastikan benar-benar apa saja yang dimakan oleh putranya dan kandungan gizinya. Seakan tak ingin kejadian mengerikan yang nyaris mencelakakan Edwin terulang lagi. Beliau bahkan memanggilkan chef profesional dari Hotel berbintang lima untuk memberikan kelas memasak pada Rieka.

"Kalau kamu sendiri yang membuatnya, Edwin pasti tak akan keberatan untuk membawanya ke kantor. Siapa yang akan nolak 'bekal cinta' bikinan istrinya?"

Perkataan mama Kartika masih terngiang jelas di benak Rieka. Bahwa dia harus bisa membuatkan makanan atau bekal untuk Edwin.

"Yah mungkin mama benar, aku harus bisa memasak!" Rieka pun membulatkan tekadnya. Untuk mengikuti kelas itu. Jauh dari lubuk hatinya, Rieka juga ingin bisa memasak untuk Edwin.

Mempersembahkan masakan rasa cinta untuk suaminya itu. Tapi nyatanya tak semudah itu ferguso, dua hari ini kelas memasak berlangsung dan sepertinya skill masak Rieka tetap begitu-begitu saja. Yah mungkin masih perlu banyak latihan.

Tepat tengah hari Rieka sudah mempersiapkan semangkuk soto ayam dan nasi tim di atas sebuah nampan untuk Edwin. Masakan siapa? Tentu saja masakan Bi Ijah. Hasil masakan Rieka selama kelas memasak masih belum layak disajikan untuk tuan besar Wijaya.

'Kasihan Mas Edwin kalau harus memakan masakanku yang belum jelas arah rasanya kemana, gak ngalor dan gak ngidul.' Rieka terkikik geli mengingat betapa parah hasil masakan buatannya sendiri.

Rieka membawa makanan itu ke lantai dua, menuju ke kamar utama mereka. Betapa kagetnya Rieka saat mendapati Edwin sudah tidak ada di ranjangnya.

'Mas Edwin ke mana? Apa dia udah bangun?' Rieka meletakkan makanan di atas nampan itu di meja, kemudian berkeliling kamar mencari-cari sosok Edwin berada.

Dokter spesialis penyakit dalam itu emakin kaget lagi saat mendapati Edwin sedang dalam proses berpakaian. Pria itu sedang mengancingkan kemejanya, work suit yang biasa dia pakai untuk bekerja.

"Hubby? Kamu mau ke mana?" tanya Rieka menyelidik kepada sang suami.

"Ke kantor sebentar, Honey." Edwin menjawab.

"Gak boleh! Kamu belum sembuh, Mas!"

Edwin tidak menjawab, hanya meneruskan kegiatannya untuk memakai sandang di tubuhnya.

"Suruh saja anak buahmu ke sini kalau ada urusannya mendesak. Kamu gak perlu datang langsung ke kantor." Rieka lanjut berkata karena Edwin tidak memberikan jawaban kepadanya.

"Mau ngantor? Dengan tubuhmu yang masih selemah itu? Gak boleh!"

"Honey, kali ini beneran mendesak banget. Aku cuma datang rapat sebentar terus pulang lagi nanti." Edwin berusaha meyakinkan Rieka untuk tidak khawatir.

"Ngapain aja si kerjanya Joko, Rita dan anak buah Mas Edwin lainnya? Sudah tahu bosnya sakit kok masih disuruh kerja saja?" Rieka sudah ngomel-ngomel saking kesalnya.

"Mereka sudah keteteran selama beberapa hari ini aku absen. Masalah penurunan nilai saham perusahaan belum kelar, bahkan makin parah. Nasib ribuan karyawan Wijaya Grup sedang dipertaruhkan, Rik."

"Jadi aku harus pergi." Edwin menjelaskan alasannya bersikeras pergi.

Pria itu mengambil sebuah dasi dan jas dari lemari. Kemudian berkutat memasang jas serta dasi di leher kemejanya.

"Kenapa gak kasih instruksi dari sini saja? Kan bisa by phone atau online?" Rieka menghampiri suaminya itu. Membantu untuk memasangkan dan merapikan dasi serta jas Edwin.

"Gak bisa. Aku cuma perlu hadir saja di sana, memberi keputusan. Kalau bukan aku yang memerintah langsung gak bakal dituruti oleh semua devisi." Edwin menjelaskan peranan pentingnya sebagai seorang pemimpin.

"Yaudah nanti langsung pulang ya setelah urusan selesai, jangan memaksakan diri." Rieka menepuk ringan dada Edwin setelah memastikan kerapiannya. Masih tak rela rasanya untuk melepas kepergian Edwin.

"Oke, Honey." Edwin mengecup ringan kening Rieka sebagai ucapan terimakasih atas sifat pengertian istrinya itu.

"Makan siang dan minum obatnya dulu ya sebelum berangkat," Rieka menunjuk menu makan siang yang tadi diletakkannya di meja.

Edwin menurut saja menghampiri sofa dan menikmati menu makan siangnya. "Obatnya dibungkus aja, Honey. Nanti aku minum setelah rapat, biar gak ngantuk." Ujar Edwin sambil terus mengunyah.

"Iya, jangan sampai lupa lho ya." Rieka mempersiapkan satu dosis minum obat Edwin dalam drug box mini.

"Aku suruh supir siapin mobil buat nganter juga," Rieka mengirimkan pesan ke pak Hasan, salah satu supir yang stand by di Wijaya Mansion ini.

Edwin hanya mengangguk menanggapi. Senang dengan pelayanan dari Rieka yang sangat memuaskan baginya. Sementara itu Rieka masih tidak tenang untuk melepas kepergian Edwin.

'Apa dia akan baik-baik saja?'

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
edwin bahagia punya istri dokter cantik dan perhatian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status