"Maksud Tante, aku akan jadi istri kedua?" tanya seorang gadis bernama Maura dengan nada kaget.
"Iya. Tapi, Tante percaya kamu dan itu sebabnya Tante memohon sama kamu untuk mau menerima tawaran ini. Tante akan bantu biaya pengobatan ibu kamu sampai selesai, Mau. Tante janji sama kamu!" desak wanita paruh baya di depan Maura saat ini.
Saat ini, Maura sedang duduk di dalam sebuah ruangan yang terbilang sangat mewah di sebuah perusahaan. Dia berhadapan langsung dengan pemilik perusahaan yang tak lain adalah Wulan. Seorang wanita yang sebulan lalu dia tolong di rumah sakit.
Maura yang saat itu sedang menjenguk ibunya, melihat Wulan hampir pingsan di tangga. Untung dengan cepat tangan Maura menyambar tubuh wanita itu dan menariknya hingga mereka berdua jatuh di lantai.
Andai Maura tidak bergerak cepat, bisa dipastikan saat itu juga Wulan sudah jatuh terguling-guling di tangga darurat yang akan dilewatinya untuk turun. Wulan menjalani pemeriksaan rahasia dan tidak ingin diketahui oleh publik. Sehingga dia keluar masuk melalui tangga darurat yang memungkinkan semakin sedikit orang yang melihatnya di rumah sakit.
Maura terdiam dan tampak berpikir panjang mendengar ucapan dan desakan Wulan. Bukan sekali ini saja Wulan memintanya untuk menjadi istri anak semata wayangnya itu. Namun, baru kali ini Maura tahu bahwa Gani yang selalu disebut Wulan itu ternyata sudah menikah.
"Aku nggak tau harus jawab apa untuk saat ini, Tan. Sungguh, aku sendiri juga bingung dan aku nggak yakin ibuku setuju dengan semua ini." Maura berkata dengan perasaan dilemanya yang tinggi.
"Tante tau semua ini memang sulit untuk diterima dan dijalani, tapi Tante nggak ada pilihan lain lagi sekarang. Hanya kamu satu-satunya harapan Tante, Maura."
"Aku bahkan belum kenal dan belum pernah ketemu sama anak Tante. Gimana kalau nanti dia sendiri yang menolak pernikahan ini?" tanya Maura dengan galau.
"Tante bisa pastikan kalau Gani akan menerima kamu. Dia nggak akan membantah ucapan Tante sama sekali, karena dia sepertinya juga udah mulai lelah dengan rumah tangganya yang sekarang."
"Istri pertama mas Gani itu gimana, Tan? Dia pasti nggak akan setuju suaminya menikah lagi!" ucap Maura lagi yang masih didera kebimbangan dan dilema tingkat tinggi.
Bagaimanpun juga, hal ini bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan dengan cepat. Tidak bisa langsung berkata iya atau tidak. Di sisi lain, Maura memang sedang membutuhkan biaya yang cukup besar untuk pengobatan ibunya.
Di sisi lain, Maura yang tidak tega melihat Wulan terus memohon padanya, lantas menyerah dan pasrah. Dia tidak tega melihat Wulan sedih dan menderita di akhir usianya. Wulan menderita sakit parah dan hanya Maura saja yang tahu bahwa usianya sudah tidak lama lagi.
"Gimana, Mau? Kamu harus kasih Tante jawaban sekarang, Nak. Tante nggak bisa menemukan gadis yang baik dan tulus lagi selain kamu. Sejujurnya, Tante nggak bisa percaya Gani bersama istrinya setelah nanti meninggal," ungkap Wulan dengan suara bergetar dan membuat Maura ikut terharu.
"Tante, jangan bilang begitu. Tante pasti sembuh ... dan aku ...." Maura yang dihadapkan dengan dilema yang luar biasa, akhirnya dengan berat hati mengatakan, "Akan mencoba untuk memenuhi keinginan Tante."
Maura keluar dari ruangan Wulan setelah pembicaraan mereka siang ini mencapai kesepakatan seperti yang diinginkan oleh Wulan. Namun, sesungguhnya hati Maura masih sangat ragu dan takut menjadi duri dalam pernikahan seorang perempuan yang sudah pasti mencintai suaminya. Dia juga pasti tak ingin jika dimadu hanya karena belum bisa memberikan keturunan.
Maura masuk ke dalam lift dan menekan tombol G yang artinya dia akan langsung ke loby. Di dalam lift, Maura terus memikirkan keputusannya itu apakah sudah benar atau salah.
“Gimana kalau nanti ibuk nggak setuju dengan keputusanku ini? Aku juga nggak pernah berpikir akan menjadi istri kedua,” gumam Maura pada dirinya sendiri.
“Biasanya, istri kedua selalu dicap sebagai pelakor dan aku takut hal itu justru semakin mempengaruhi kesehatan ibuk. Tapi ... aku bisa apa? Ibuk butuh biaya cepat untuk operasi kangkernya dan tante Wulan satu-satunya yang bisa membantuku meski syarat yang diberikan terasa terlalu berat dan membuatku nggak berdaya!” ungkap Maura dan pintu lift terbuka.
Gadis itu masih dengan pemikirannya sendiri melangkahkan kaki keluar dari dalam lift, berjalan di koridor perusahaan yang sangat besar dan terkenal itu tanpa memperhatikan orang di depannya.
Sebuah benturan terasa mengenai kepalanya dan saat ini Maura sadar sudah menabrak seseorang di depannya. Melihat pria yang berdiri di depannya dengan tatapan dingin dan juga sedikit kesal, dia langsung mundur beberapa langkah dengan rasa takut dan juga gugup.
“Ma-maaf, Pak. Saya nggak sengaja nabrak Bapak. Sekali lagi saya minta maaf,” ucap Maura dengan sungguh-sungguh dan menundukkan kepalanya.
Dia bahkan tak berani menatap pria tampan berkacamata itu terlalu lama. Dia sangat takut dimarahi atau dicaci maki di depan orang banyak seperti saat sekarang ini.
“Lain kali, jangan melamun saat berjalan!” balas pria itu dengan nada dingin tapi terasa begitu menakutkan bagi Maura.
“Iya, Pak. Sekali lagi saya minta maaf atas kecerobohan saya.”
“Minggir!” titah pria itu dan membuat Maura terpelongo.
“Apa maksudnya, Pak?” tanya Maura dengan polosnya pula.
“Kamu tuli? Saya bilang, minggir! Saya mau jalan lurus ke depan!” jawab pria berkacamata dengan tampilan sangat formal itu kepada Maura dengan tegas.
Maura yang gugup langsung saja bergeser ke samping saat mendengar jawaban dari pria itu. Dia tidak ingin mengambil resiko atau mencari masalah lagi saat ini. Pria itu mulai berjalan lagi setelah Maura menepi dari tempatnya berdiri tadi.
“Apa susahnya dia jalan belok sedikit ke samping? Memangnya, jalan harus lurus ke depan begitu? Sombong banget sih jadi orang,” gerutu Maura saat dia baru saja melangkahkan kakinya untuk melanjutkan jalan.
“Selamat siang, Pak Gani.”
“Silakan masuk duluan, Pak Gani.”
Saat Maura baru berjalan, dia dengan jelas mendengar beberapa orang menyapa dengan menyebut nama Gani. Maura menghentikan langkahnya dan mengedarkan pandangan ke depan. Dia mencari seseorang yang baru datang dan disapa oleh pegawai dengan sebuatan pak Gani itu.
Maura bahkan memutar tubuhnya dan hanya melihat pria berkacamata yang ditabraknya tadi baru saja masuk ke dalam lift seorang diri, sementara banyak orang yang berdiri di luar, sepertinya tak ingin satu lift dengan lelaki itu.
“Nggak ada siapapun yang baru datang di sini. Jadi penasaran yang mana mas Gani itu!” lirih Maura lagi dan melanjutkan jalannya.
“Eh, tapi ... apa mungkin yang aku tabrak tadi itu ... dia mas Gani?” tanya Maura pada dirinya sendiri saat baru saja terpikirkan dengan semua hal tadi, dan seketika wajahnya memucat.
“Apa salahnya kalau aku ngomong seperti itu ke dia, Mas? Biar dia tau posisinya seperti apa dan selama dia pergi, kamu nggak menunggu dia sama sekali.”“Kamu udah berbohong dan membuat aku buruk di mata Maura!”“Mas! Memangnya kamu mau dia berpikir selama dia pergi dengan selingkuhannya itu, kamu nggak bahagia dan nggak bisa move on dari dia? Sementara, dia sama laki-laki itu hidup bahagia sampai punya anak.”Mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Sarah, tentu saja Gani merasa bahwa semua itu ada benarnya juga. Gani tidak ingin terlihat sebagai lelaki yang patah hati di hadapan Maura. Sementara dia bahagia dengan lelaki lain di hidupnya.Sarah tahu bahwa dalam hatinya, Gani membenarkan yang baru saja dia katakan. Tidak sulit untuk menebak jalan pikiran Gani saat ini. Hanya saja, Sarah tidak mau terlalu menggebu gebu dan terlihat konyol di depan Gani.Saat ini, yang perlu dia lakukan adalah mengambil kembali kepercayaan Gani dan merusak pikirannya tentang Maura. Sarah har
“Mas Gani nggak usah jadi mempertanyakan hal itu. Sekarang yang dibahas adalah tentang mba Sarah dan pil yang waktu itu ada di kamarnya. Aku udah simpan dan aku udah bawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Hasilnya ... itu adalah pil KB dosis tinggi.”Maura menjelaskan hal yang sebenarnya dan sudah terpendam sangat lama di hatinya. Kertas hasil pemeriksaan obat itu pun masih tersimpan dengan baik di antara barang-barang berharga Maura.Hal itu karena Maura yakin suatu saat nanti dia akan membutuhkan kertas dari dokter yang sudah diterimanya dua tahun silam itu.“Jangan percaya sama ucapan dia, Mas. Bisa aja dia bohong sama kamu, Mas. Kita nggak tau obat apa yang dia ambil dari kamar aku dan obat apa pula yang dia bawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Orang kalau udah memang niatnya buruk, sampai kapan pun akan tetap buruk, Mas.” Sarah dengan cepat menjabarkan hal itu seperti sedang mencari pembelaan diri dengan menydutkan Maura.Maura menyunggingkan senyuman sinisnya pada Sarah. “Kalau Mb
Aku sangat bisa, Mas. Aku masih menyimpan hasil laporan tentang obat itu. Aku masuk ke kamar saat itu dan kamu tau juga kan, Mas? Kamu yang suruh aku tutup pintu kamar kamu dan mba Sarah? Itu waktu mama masuk rumah sakit dan kalian berdua menemani mama di sana. Aku sendirian di rumah dan kita berbalas pesan.”Memori ingatan Gani kembali mengilas masa lalu yang memang masih terpatri dalam otaknya. Dia ingat saat itu di mana Maura terpaksa pulang ke rumah dan sendirian di rumah. Hal itu dia lakukan agar Sarah tidak terus-terusan menyakiti hati Maura.“Ya. Aku sangat ingat dan masih terekam jelas dalam otakku,” jawab Gani singkat.“Kamu pasti juga masih ingat waktu kamu suruh aku mengambil dua butir obat yang berserakan di atas kasur kamu dan mba Sarah?” tanya Maura sekali lagi.Gani semakin teringat dengan hari itu dan dia memang meminta Maura untuk mengambil dua butir obat itu. Maura mengadukan padanya bahwa di kamar itu berserakan banyak sekali obat yang tidak tahu obat apa.Sebagai
“Apa maksud kamu, Mau?” tanya Gani yang kini mengguncang bahu Maura.Hal itu tentu saja membuat Melody menjadi terkejut dan takut. Bayi perempuan yang lucu itu langsung menangis sambil memeluk erat tubuh Maura. Maura tidak tega mendengar buah hatinya menangis ketakutan seperti itu.“Apa yang kamu lakukan, Mas? Kamu membuat Melody menjadi takut!” ucap Maura dan menepis tangan Gani dengan kasar.“Sayang ... nggak apa-apa, Sayang. Mami di sini, Nak. Nggak usah takut lagi, ya.” Maura berusaha menenangkan Melody dan hal itu membuat Gani tercengang.Jiwa keibuan jelas terlihat dari raut wajah Maura dan Sarah juga sedikit terkesip. Dia bahkan tidak pernah berkata selembut dan semanis itu kepada Kesya. Walaupuan Kesya terlahir dari rahimnya, akan tetapi dia sama sekali tidak pernah menyayangi Kesya seperti yang baru saja ditampilkan Maura kepada putrinya – Melody.Tangisan itu mereda dan Maura merasa lega secara bersamaan. Namun, sorot matanya jelas menatap ke arah Gani dengan tajam. Dia tida
“Jo-Jonathan? Siapa yang kamu maksud, Mas? Aku nggak tau sama sekali!” ucap Sarah gugup dan panik ketika nama Jonathan disebut oleh Gani.“Jangan bersandiwara lagi di depanku, Sarah. Aku bukan laki-laki bodoh yang bisa kamu tipu dan kamu bodohi terus,” ungkap Gani yang berusaha menahan amarahnya karena mengingat ini adalah rumah sakit dan tidak boleh ada kebisingan di sini.“Mas! Jangan bicara sembarangan kalau nggak ada bukti. Apa kamu pernah liat aku dekat sama pria lain selama ini, Mas? Kamu tau dengan jelas siapa-siapa aja teman aku kan?”“Aku nggak pernah tau siapa aja yang kamu simpan dan bohongi dari aku.”“Siapa yang udah mencuci otak kamu, Mas? Sepertinya ... semenjak kedatangan Maura dalam rumah tangga kita, kamu terlalu banyak berubah.”“Jangan sebut lagi nama wanita itu di sini. Dia nggak ada hubungannya sama sekali dengan yang aku bicarakan saat ini dengan kamu, Sarah!”“Tapi, memang dia yang membuat kamu berubah, Mas. Kamu jadi nggak percaya sama aku dan cinta kamu ke ak
Gani tidak bisa tenang dengan ucapan yang dilontarkan oleh Wulan tadi. Belum sempat wanita itu menjawab pertanyaan Gani, kondisinya kembali drop dan tak sadarkan diri hingga saat ini. Sedangkan Gani masih saja penasaran dengan kata-kata yang tadi dikatakan oleh Wulan kepadanya.“Kenapa tadi mama ngomong gitu? Apa mungkin memang, anak itu adalah anakku?” tanya Gani di dalam hatinya sambil terus duduk dan menunggu dokter selesai memeriksa Wulan di dalam ruangan.“Nggak. Itu nggak mungkin terjadi dan sepertinya memang nggak mungkin benar. dia udah pergi saat itu dan aku tau dia nggak hamil saat pergi. Usia anak itu memang pas seperti dia yang waktu itu baru menikah sama aku. Jadi, ada kemungkinan dia hamil sebelum menikah sama aku kan?” tanya Gani lagi seorang diri dan seperti sedang berbicara pada lantai keramik rumah sakit.“Tapi ... anak itu punya beberapa kesamaan sama aku. Dari mata dan hidungnya, itu mirip aku. Bibirnya mirip sama Maura, dan senyumannya sama persis dengan Maura. ba