Tak terasa, waktu semakin cepat berlalu. Saat ini, usia kandungan Olivia sudah sembilan bulan. Dan menurut perkiraan Dokter Kandungan, bayi-bayi itu akan lahir sekitar satu minggu lagi. Olivia yang sudah sulit berjalan dan bernapas, karena besarnya perut yang berisi dua bayi itu, tak bisa melakukan aktifitas apapun lagi. Tristan dengan sabar dan tulus merawat Olivia.
Para tetangga juga sangat baik pada mereka. Tinggal di sebuah desa terpencil, memang membosankan. Tapi di sini Olivia merasa sangat nyaman dan tenang. Itu juga bagus untuk masa-masa kehamilannya. Penduduk desa sangat ramah dan sopan. Mereka sering mengunjungi Olivia saat Tristan sudah berangkat Dinas.
Takut jika Olivia sendirian di rumah dan terjadi apa-apa, tapi tidak ada yang mengetahuinya. Jadi para tetangga sering sekali berkunjung secara bergantian. Mereka juga membawakan makanan yang memang sengaja dibuatkan untuk menambah asupan gizi Olivia selama masa mengandung. Sikap warga yang baik dan ramah p
Setelah seminggu pasca melahirkan, Olivia sudah bisa menggendong dan menyusui bayi-bayinya. Meski ASI-nya tak pernah cukup untuk si kembar yang ternyata sangat lahap dan ingin terus menyusu. Akhirnya, Olivia menyerah pada niatnya yang ingin memberikan full ASI pada si kembar sampai usia enam bulan. Atas saran Bibi Ane dan juga Tristan, juga memikirkan kesehatan bayi-bayinya, Olivia memberikan susu formula sebagai asupan tambahan selain ASI. Setelah Tristan berangkat ke klinik, Bibi Ane akan datang untuk membantu Olivia merawat bayinya. Bibi Ane sudah seperti Ibunya sendiri, Olivia bebas mengatakan dan mencurahkan apa saja pada Bibi Ane. Begitu pula dengan Bibi Ane, ia merasa bahagia bisa dekat dengan Olivia dan di izinkan untuk turut merawat bayi mungil itu. "Zack, sambung dengan susu formula saja ya, Nak. Adikmu juga ingin ASI Mami. Kalian harus saling berbagi." ucap Olivia pada bayi laki-laki dalam dekapannya itu. Olivia melepaskan pagutan gus
Sementara itu Albert, menatap semua wanita yang di jumpainya dengan kebencian. Ia menganggap tak ada wanita yang tulus di dunia ini. Semuanya hanya mengejar harta dan tahta. Kekejamannya pun semakin bertambah, ia menjadi pria yang lebih kejam dan menakutkan dari sebelumnya. Bahkan, wanita yang berbicara dengannya harus berjarak tiga meter darinya. Jika berani melewati batas, maka bersiap lah menjadi gembel di jalanan. Albert melakukan semua itu, karena sebenarnya dia marah pada dirinya sendiri. Ia menyesal telah membiarkan Olivia pergi dari hidupnya. Bahkan, ia tak mencegah sama sekali saat Olivia meninggalkan mansion-nya malam itu. Sejak hari itu, Albert menjadi semakin dingin dan kaku pada siapa pun. Para pelayan di mansion menatap iba pada majikannya itu. Ia tau, sebenarnya Albert sangat merindukan Olivia. Tapi, ia menutupi semua itu dengan sikap angkuh, arrogant dan kekejamannya. Gengsi masih terlalu melekat pada dirinya. "Jane, dimana Darwin? Ken
Tiga tahun berlalu. Olivia sedang menyuapi sepasang bocah kembar itu makan siang, saat Tristan datang dengan wajah yang tak bersahabat. "Wah... Lihat itu Papi sudah pulang." seru si kembar. "Tumben, kau pulang untuk makan siang!" Olivia tersenyum menatap Tristan. "Iya.. ada sesuatu yang harus kau tau, Olive!" wajah Tristan ragu dan pucat, tak seperti biasanya. "Katakan!" Pinta Olivia singkat. "Ibumu... Ibumu baru saja meninggal." baru saja kalimat itu keluar dari rongga mulut Tristan, piring yang di pegang Olivia terlepas dari tangannya begitu saja. Menimbulkan suara pecahan kaca yang nyaring. "I-Ibuku? Kau bilang Ibuku meninggal?" tanya Olivia mengulangi perkataan Tristan. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa yang baru saja di dengarnya adalah hal lain. Namun, sebuah anggukan kepala dari Tristan berhasil membuat butiran bening jatuh bebas dari kelopak matanya. Olivia terduduk lemas. Si kembar menatap pada Ibunya yang tak pernah t
Setelah selesai berkemas dan berpamitan pada Bibi Ane, mereka memulai perjalanan. Untuk mempersingkat waktu di perjalanan, Tristan memilih untuk mengendarai mobil saja dan melewati tol. Karena, jika harus menggunakan pesawat akan memakan waktu yang lama dengan segala prosedurnya. Mungkin berbeda, jika Tristan adalah seorang CEO yang kaya dan terkenal seperti Albert. Segalanya akan mudah dan cepat bagi pria arrogant itu. Di dalam perjalanan, tiba-tiba Olivia bertanya dengan nada heran sekaligus penasaran, "Tristan, apa boleh aku bertanya sesuatu padamu?" "Ya, katakan saja." jawab Tristan masih dengan keadaan fokus mengemudi mobilnya. "Darimana kau tau, kabar tentang Ibuku meninggal dunia? Bukan kah selama ini kita tidak memiliki satu pun kontak informasi tentang keluargaku di sana?" "Ah, ya. Aku lupa memberitahumu, aku mendapat kabar itu dari salah seorang Dokter di Rumah Sakit Pusat. Tadi saat kami melakukan meeting, pembahasan tentang penyakit
Keesokan harinya, jenazah Clara sudah masuk ke dalam mobil Ambulance yang akan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir. Diiringi oleh isak tangis keluarga dan kerabat dekat. Begitu pun dengan Olivia, matanya sudah bengkak karena menangis tak henti sejak semalam. Ia masih tak menyangka, secepat ini Clara meninggalkannya. Mobil Tristan mengiringi Ambulance dari belakang. Di dalamnya ada Willson yang duduk di samping Tristan. Di belakang mereka, ada Olivia dan si kembar, Zacky dan Zahra. Suasana berkabung terasa sangat menyayat hati. Semua berpakaian serba hitam. Pemakaman berjalan dengan sangat hikmat. Para pelayat satu persatu berangsur pulang. Kini hanya tertinggal Willson dan Olivia, beserta Tristan dan juga si kembar. Olivia masih menangis pilu, sambil memeluk batu nisan bertuliskan nama Ibunya itu. Rasanya, belum puas ia bermanja dan memberikan kebahagiaan pada Ibunya itu. Tapi kini harus menghadapi kenyataan bahwa Clara telah tiada. Pergi
Sesampainya di Kantor, Albert kembali memikirkan perkataan Mike saat di perjalanan tadi. Mike tidak mungkin asal bicara. Jika Mike mengatakan bocah laki-laki itu mirip dengannya, pasti itu memang karena ada hal yang sangat mendukung. Sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, Albert mencoba mengingat kembali wajah anak laki-laki yang menatapnya tajam dan penuh tantangan tadi."Hah, lucu sekali anak itu. Dia sama sekali tidak takut padaku? Dan, yang satu lagi sangat manis. Kenapa aku seolah merasa kerinduan pada mereka? Padahal, tadi itu adalah pertemuan pertamaku dengan bocah-bocah itu,' ucap Albert dalam hatinya.Albert masih membayangkan wajah-wajah lucu dan menggemaskan si kembar.'Tidak, mana mungkin mereka adalah anakku. Mereka pasti Adik dan Kakak. Dan itu pasti anak mereka, karena mereka hidup bersama selama beberapa tahun belakangan ini.' bathin-nya lagi penuh dengan rasa amarah.Bukannya Albert tak tau dimana Olivia tinggal selama ini, tapi
Malam ini, Olivia diminta oleh Willson untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Tuan Liam. Sebenarnya, Olivia enggan untuk pergi. Karena mereka baru saja berduka atas kepergian Clara. Namun, Willson memohon pada Olivia untuk dapat mewakilinya. Kesehatan Willson juga akhir-akhir ini kurang baik. Kesehatannya mulai menurun sejak fokus merawat Clara dalam masa-masa sakitnya kemarin. Bahkan, Perusahaan pun sudah terbengkalai. "Pergilah, Nak. Hanya kau satu-satunya harapanku saat ini. Aku tidak mungkin lagi mengurus semuanya, usiaku sudah senja. Sudah waktunya aku istirahat dari segala urusan pekerjaan." ucap Willson dengan suara lirih. "Tapi, Yah. Aku sedang tidak ingin kemana-mana. Tristan juga pasti sedang melepas rindu dengan keluarganya." jawab Olivia malas. "Keluarga Tuan Liam sudah banyak membantu kita di masa lampau. Rasanya tidak baik jika kita mengabaikan undangan dari keluarga mereka." "Mereka tentu paham, kita sedang dalam suas
Saat tiba di gedung mewah tempat perayaan hari jadi itu berlangsung, Olivia sudah sedikit terlambat. Dengan langkah besar ia mencoba setengah berlari memasuki aula pesta. Tepat saat ia masuk, keadaan sedang hening karena Tuan Liam baru saja akan memotong kue ulang tahunnya. Semua mata memandang pada Olivia. Para lelaki menatap dengan tatapan terpesona dan tak sedikit yang berhasrat dan berhalusinasi bisa membawa tubuh indah itu ke dalam pelukannya. Sementara, para wanita menatap dengan rasa iri dan was-was, takut pasangannya tergoda dan berpaling darinya. Di antara kerumunan itu, ada sepasang mata yang terbakar api cemburu tengah menatapnya dalam. Lucy. Wanita itu menatap Olivia dengan tatapan tak suka, mungkin lebih tepatnya benci. Karena, sejak ia masuk tadi, mata Albert tak berkedip memandang ke arahnya. Sementara di samping pria angkuh itu, Lucy sudah berdiri dan berusaha menggoda cukup lama dengan penampilannya yang cukup seksi malam ini. "Wah, Nona. Kau