Jam tujuh malam, semua orang sudah hadir di meja makan. Albert, Olivia, Willson dan Clara. Untuk pertama kalinya mereka makan malam pada satu meja yang sama.
"Ayah, bagaimana perkembangan perusahaan saat ini?" Olivia bergelayut manja di tangan Ayahnya.
"Duduk lah dengan benar! Kau sudah menjadi seorang isteri saat ini, jaga perilakumu di depan Tuan Muda Albert." tegur Willson pada Olivia. Namun gadis itu malah memanyunkan bibirnya.
"Tidak apa-apa, Ayah mertua." sahut Albert santai lalu mengambil gelas susunya.
Panggilan Albert yang akrab padanya, tentu saja membuat Willson sedikit takjub. Namun dengan pengalamannya menghadapi sikap Albert, ia berusaha bersikap normal dan menutupi kegugupannya.
"Terima kasih, Nak Albert. Berkat sokongan dana dan bantuan investor darimu, perusahaanku kini sudah kembali bangkit. Bahkan ini jauh lebih baik dari yang pernah aku bayangkan sebelumnya." Willson mengucapkan rasa terima kasih dengan tulus.
Setelah makan malam dan bincang-bincang santai itu di akhiri, Albert dan Olivia pamit untuk kembali ke mansion. Willson dan Clara menatap kepergian putrinya hingga menghilang di pekatnya kabut malam. Mereka bahagia, karena Olivia dan Albert saling mencintai pada akhirnya. Saat sampai di mansion, Albert melihat Olivia sudah tertidur di kursinya. Albert menyentuh tangan Olivia berniat untuk membangunkannya, namun seketika ada perasaan tak tega dalam hatinya. Kemudian Albert berpikir untuk menggendong tubuh istrinya saja ke dalam mansion. Tenaga Albert tak perlu di ragukan lagi, tak ada guratan lelah meski ia menaiki anak tangga sambil membopong tubuh Olivia. 'Kenapa aku merasa tubuhnya semakin berat di bandingkan dengan terakhir kali aku mengangkatnya?' ucap Albert dalam hatinya. Sampai di kamar, Albert menurunkan Olivia dengan pelan dan sangat hati-hati. Takut menganggu tidur indah wanita yang kini telah berhasil membuatnya jatuh cinta. Wanita ya
Selesai mengikuti kelas terakhirnya siang ini, Olivia yang sudah di jemput oleh Mike menuju sebuah resto seafood ternama. Raut wajah bahagia tak dapat ia sembunyikan. Mike memperhatikan wajah Nyonya rumahnya dengan seksama. 'Aku yakin, Nona ini sudah membuka hatinya untuk Tuan Muda. Semoga mereka selalu bahagia.' ucap Mike saat melihat Olivia sangat antusias berdiri di baris antrian kasir. Selesai membayar pesanannya, Olivia segera meminta Mike menuju kantor Albert. Dia mengabari Albert bahwa dirinya sudah dalam perjalanan. Albert yang menerima pesan dari Olivia, lantas tersenyum bahagia memandangi layar ponselnya. Membuat Lucy langsung bisa menebak pengirim pesan itu. "Tuan, sepertinya anda sangat bahagia siang ini." ucapan Lucy berhasil membuat Albert sedikit membanggakan Olivia. "Tentu, isteriku akan datang ke sini dan kami akan makan bersama. Tolong, jangan ada yang mengangguku saat kami sedang berdua nanti." jawab Albert tegas. "B
Saat Olivia mengangkat wajahnya, ia membuat gerakan terkejut yang dibuat-buat. Olivia menutup mulutnya dengan telapak tangan, lalu membulatkan matanya. "Ya ampun, maaf! Aku tidak tau kalau suamiku sedang ada tamu." Olivia memasang wajah polosnya. Tentu saja hal itu membuat Albert merasa lucu, namun ia berusaha menahan tawanya. "Suamimu? Albert maksudmu? Dia suamiku, aku wanita pertama yang dia nikahi!" Hardik Monic geram. "Sayang, benarkah dia isterimu?" Olivia melirik Albert dengan tatapan imut, jelas sekali ia berusaha mempermainkan Monica kali ini. "Sampai saat ini, ya." Jawab Albert singkat, padat dan jelas. "Ya Tuhan, kenapa kau tak mengundangnya saat kita menikah, Sayang? Ayo kita berkenalan, Kakak. Apa boleh aku memanggilmu Kakak? Tentu saja, karena kita ini sama-sama isteri Al." Olivia tersenyum dan mengulurkan tangannya. Terang saja, perkataan itu membuat Monic semakin marah. Karena Albert hanya diam saat Olivia menyebut
Waktu terlalu cepat berlalu, seminggu sudah sejak kejadian panas di ruangan kerja Albert itu. Kini, hubungan Albert dan Olivia semakin dekat. Olivia bahkan tak segan-segan untuk bermanja dan merengek pada Albert. Olivia sudah lebih terbuka pada suaminya itu, dan mulai menunjukkan sifat aslinya. Meski ia bisa dibilang tomboy, tapi Olivia tetap lah gadis manja yang suka merengek dan merajuk. Seperti pagi ini, sebelum berangkat ke tempat kesibukannya masing-masing, Albert ke kantor dan Olivia ke kampus. Olivia merajuk karena tidak di izinkan untuk mengikuti kegiatan akhir kampusnya, yaitu berkemah di sekitar laut yang terletak tidak jauh dari kaki Gunung Heart. Alasan Albert cukup klasik, ia tak ingin terjadi apa-apa pada Olivia saat berkemah nanti. Karena perkemahan itu memakan waktu dua hari. "Apa dia tidak pernah muda? Apa dia tidak pernah kuliah? Aku heran, bagaimana dulu menghabiskan waktunya bersama teman-temannya. Aku hanya minta izin untuk berkemah, bisa-bisanya
Siang ini, Olivia sudah berada di tepi laut bersama dengan rekan-rekannya. Mereka sedang bersiap-siap mendirikan tenda. Saling berbagi tugas antara pria dan wanita, dan saat ini Olivia kebagian tugas untuk menyiapkan makan malam untuk anggota teamnya. Dalam acara yang di adakan kampus kali ini, ada lima team yang turun langsung ke lapangan. Masing-masing team memiliki sepuluh anggota di dalamnya. Olivia sedang menyiapkan bahan-bahan masakan dibantu oleh seorang teman wanitanya bernama Gladis. Sebenarnya Olivia lebih suka memasak sendiri, tapi karena Gladis terus memaksa ingin membantu terpaksa Olivia mengiyakan. Dari pada ia di cap sebagai orang yang tidak bersosialisasi, mau tak mau Olivia mencoba bersikap ramah. "Olive, ini sayurnya udah aku iris-iris." Gladis menyodorkan irisan kangkung dalam sebuah panci kecil. "Eh, em iyaaa... Terima kasih." Jawab Olivia gugup. Karena Olivia teringat tentang hubungan Gladis dan Tristan dulu. Tristan dan Gladis dulu adala
"Eh, iya..." Jawab Olivia singkat dengan senyum yang canggung, lalu memalingkan muka. Dan memain-mainkan makanan di dalam piringnya dengan sendok. "Kenapa kalian jadi canggung dan kaku begitu? Apa ada masalah?" Tanya Gladis pura-pura tak memahami suasana saat ini. "Tidak, kami... Kami biasa saja. Betulkan Liv?" Tanya Tristan pada Oliva dengan nada yang terdengar jelas kecanggungannya. "I-iya..." Lagi, Olivia hanya menjawab singkat. "Jangan canggung-canggung, kalian kan pasangan serasi di Kampus kita. Karena itu, anak-anak mengusulkan nama kalian sebagai pemain gitar dan pembaca puisi cinta malam ini." Kata Gladis, membuat Tristan dan Olivia serentak kembali saling berpandangan. "Ih, kalian ini kenapa? Seperti ada yang aneh. Biasanya kalian selalu romantis dan mesra. Sekarang, kalian terlihat seperti orang yang baru saja putus cinta. Hahaha..." Tawa Gladis pecah, seiring dengan kepalsuan sikapnya di depan Tristan. Gladis sengaja m
Sesamapainya di mansion, Albert terlihat tak tenang. Ia berjalan mondar mandir di dalam ruang kerjanya. Mike yang memperhatikan gelagat majikannya itu merasa iba sekaligus lucu. Iba karena, Mike tau bagaimana rasanya saat ini membayangkan orang yang dicintai sedang bersama pria lain. Dan lucu karena, baru sekali ini Mike melihat Albert bertingkah layaknya anak remaja yang dimabuk cinta. Mike terus memperhatikan gerak-gerik Albert. Terkadang ia meletakkan tangannya di pinggang, terkadang ia duduk di kursinya. Berdiri dan mondar mandir lagi. Terakhir, Mike kaget saat Albert menggosok kasar kepalanya dan berteriak keras. "Oliviaaaa..." teriak Albert frustasi. "Tuan, apa sebaiknya saya jemput Nona Muda saja?" saran Mike pada Albert. "Kau benar! Cepat kau jemput gadis kecil itu dan bawa dia kembali ke mansion ini!" titah Albert pada Mike dengan tegas. "Baik, Tuan. Aku akan berangkat sekarang." jawab Mike pamit undur diri. Albert menat
Di sekitaran pantai, penuh dengan tenda-tenda mahasiswa dari berbagai Universitas Negri maupun Swasta. Karena memang, acara kali ini adalah gabungan antar beberapa kampus dalam menjalin silaturahmi dan saling mendukung kegiatan ekstrakurikuler. Sampai tengah hari, para mahasiswa masih tampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Jika sesuai dengan yang direncanakan sejak awal, perkemahan akan di lanjutkan malam ini. Dan akan pulang pada esok pagi. Olivia dan Gladis tampak keluar bersamaan dari dalam tenda. Tristan yang sedang memanaskan air untuk menyeduh kopi/teh, memandang pada kedua wanita itu tanpa berkedip. Sehingga tanpa sadar, air panas itu menyiram sebelah kaki Tristan. "Aaww..." teriak Tristan kaget. Sontak beberapa orang yang ada di sekitar Tristan mendekat, melihat apa yang terjadi. Tak terkecuali Gladis. Gladis dengan raut wajah cemas berjalan cepat ke tempat Tristan terduduk. Sementara Olivia, tetap berdiri pada tempatnya. Meski awal