BAB 109Ayana memilih tempat duduk di samping seorang mahasiswi yang tidak terlalu mencolok di kelas. Gadis itu tampaknya sangat pemalu dan tidak memiliki teman di kelas itu. Ayana pun berencana akan berteman baik dengan gadis itu.Tidak berapa lama kemudian Kenzo masuk ke dalam kelas. Seperti biasa ia akan memindai semua mahasiswa yang ada di kelas. Ia merasa lega dan senang saat melihat Ayana tidak duduk di samping Mario.*Usai mengajar di kelas Ayana, Kenzo bergegas pergi ke parkiran. Kemudian ia melajukan mobilnya kembali ke tempat fotokopi untuk mengambil makalah Ayana.Setelah menerima makalah itu dan membayarnya, betapa terkejutnya Kenzo saat membaca cover makalah itu. Ia baru membaca dan menyadarinya kalau yang tercantum di cover depan itu adalah namanya, bukan nama Ayana.“Ck! Kok bisa salah begini sih!” sungut Kenzo kesal dengan dirinya sendiri yang ceroboh. Baru kali ini ia tidak fokus dalam mengerjakan sesuatu. Mungkin karena ia terbiasa mengerjakan tugasnya sendiri, kare
“Tumben pakai jaket, Ay?” celetuk Mario saat bertemu Ayana di depan ruang dosen. Mereka baru saja sama-sama sampai di kampus dan akan naik ke lantai dua. Hari ini kedua kalinya ia melihat Ayana memakai jaket di kampus.Karena tadi pagi keramas, rambut Ayana masih basah. Kenzo tidak memiliki pengering rambut. Jadi, Ayana membiarkan rambutnya kering dengan sendirinya. Sialnya, mereka naik mobil saat berangkat ke kampus. Jadi, rambut Ayana lama keringnya karena tidak terkena angin dan panas.“Keramas pagi-pagi wajah kamu jadi kelihatan tambah segar. Jadi tambah cantik loh,” imbuh Mario memuji sebelum Ayana sempat menjawabnya. Ia mengatakan yang sebenarnya. Wajah Ayana memang tampak lebih cerah dan lebih segar. Pipinya pun tampak kemerahan merona.Kenzo yang hendak masuk ke ruang dosen pun mendengar ucapan Mario. Tiba-tiba dadanya terasa meradang. Sebelumnya ia sudah sangat tidak suka dengan Mario. Apalagi sekarang ia mendengar Mario memuji kecantikan istrinya. Ia mengepalkan telapak tang
“Latihan, Ay. Latihan menyusui nanti kalau kita sudah punya anak,” balas Kenzo lalu terkekeh sendiri. Ia membayangkan betapa serunya saat mereka punya anak yang lucu nanti.“Kamu mau punya anak sekarang, Mas?” tanya Ayana dengan mata melotot. Alisnya berkerut tampak khawatir. Ia mau berhubungan intim dengan Kenzo nanti malam, tapi bukan berarti ia mau punya anak.“Aku nggak bilang gitu. Terserah kamu aja mau punya anaknya kapan. Sesiap kamu. Aku nggak maksa,” ujar Kenzo lalu menghampiri Ayana dan mengecup puncak kepala Ayana. Ia tidak boleh membuat Ayana panik. Apalagi sampai menuntutnya memiliki anak. Bisa-bisa Ayana tidak mau disentuhnya. Kalaupun Ayana tidak ingin memiliki anak sekarang, ia sudah siap karena sudah membeli kondom satu kresek yang ia simpan di mobilnya.“Pakai jaket, Ay. Leher kamu merah-merah tuh. Nggak malu apa dilihat orang,” titah Kenzo seraya menyentuh leher Ayana. Setelah melihat hasil karyanya di leher Ayana, ia jadi merasa terlalu buas tadi malam meskipun bel
BAB 105“Kamu itu terlalu manja, Ay. Aku dulu pas kuliah, selalu mengerjakan semuanya sendiri. Nggak ada drama merengek, apa lagi nangis-nangis kayak gini karena nggak bisa mengerjakan tugas. Namanya kuliah memang berat. Nggak kamu aja kok yang kayak gini, tapi semua mahasiswa. Kamu kira kuliah itu enak? Tinggal di luar kota, jalan bareng teman, nongkrong sana nongkrong sini. Kamu salah besar kalau mikirnya kayak gitu. Kuliah itu yang niat. Kasihan orang tua yang membiayai kuliah kalau mikirnya hanya senang-senang di kota orang,” ujar Kenzo menasihati Ayana.Ayana pun merasa tertampar dengan ucapan Kenzo. Ia dan ketiga sahabatnya dulu juga mikirnya seperti yang diucapkan Kenzo. Mereka berniat kuliah di Yogyakarta agar bisa sering jalan-jalan dan main ke jalan Malioboro. Foto-foto bersama dan kuliner sepuasnya.Dengan segera Ayana berbalik badan membelakangi Kenzo. Ia menangis tersedu-sedu seraya menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.Kenzo yang awalnya tegas pun mulai meras
“Kalau kasih uang, aku masih belum bisa. Makan tiap hari aja aku masih minta sama kamu. Kalau nyuci mobil sama motor gimana, Mas?” jawab Ayana menawarkan imbalan dengan tersenyum.Kenzo menggelengkan kepala seraya mencebikkan bibirnya.“Kerjakan sendiri sana!” ujar Kenzo lalu beranjak bangkit dari duduknya.Ayana buru-baru bangkit dari duduknya lalu menahan Kenzo agar tidak meninggalkan meja kerja.“Mas Kenzo mau apa? Apa aku kasih imbalan menyenangkan bapak aja gimana?” tanya Ayana seraya mendongak menatap Kenzo yang lebih tinggi darinya. Ia merasa sudah memiliki ide yang sangat cemerlang saat ini.“Menyenangkan bapak gimana? Bapak maunya punya cucu. Apa kamu mau punya anak sekarang?” balas Kenzo seraya menatap Ayana dengan tatapan serius. Untuk memiliki anak, ia dan Ayana harus memikirkannya dengan serius. Mereka sama-sama sibuk. Siapa yang merawat harus dipikirkan terlebih dahulu.Ayana menganggukkan kepalanya mantap dengan tersenyum.“Bapak ‘kan pengen cepet-cepet punya cucu? Kala
Pukul delapan malam, Kenzo pulang dari mengajar. Ia masuk ke dalam rumah seperti biasanya sambil membawa bungkusan makanan di tangannya. Ia yakin kalau saat ini Ayana pasti belum makan. Ia meletakkan makanan itu di atas meja makan lalu masuk ke dalam kamar.“Ay,” panggil Kenzo saat memasuki pintu kamar.Ayana tidak menyahuti panggilan Kenzo. Ia terus menatap laptop di hadapannya.“Ay …,” panggil Kenzo lagi seraya memegang bahu Ayana. Kemudian ia menunduk dan mencondongkan badannya ke dekat wajah Ayana.Tampaklah bibir Ayana yang cemberut dengan mata berkaca-kaca. Ada air mata menggenang di pelupuk matanya. Saat Kenzo mendekat ke arah wajahnya, ada air mata yang meluruh dari pelupuk matanya.Tiba-tiba terdengar isak tangis dari bibir Ayana.“Kenapa? Kenapa nangis?” tanya Kenzo tiba-tiba panik lalu mengusap air mata Ayana dengan ibu jarinya.“Tugasku belum selesai, Mas …,” lirih Ayana kemudian mengalungkan kedua tangannya ke leher Kenzo. Air matanya pun keluar semakin deras.Kenzo sudah