Share

Penyamaran

"ALICE! ALICE! CEPAT BANGUN!" 

Alice menggeram saat mendengar Laura berteriak dengan kencang dari depan pintu kamarnya. Alice yang sebenarnya sudah terbangun sedari tadi, kini sedang bermeditasi. 

Alice melihat jam dinding. Ini baru jam 6 pagi. 

Duk! Duk! Duk! 

Sekarang, terdengar gedoran pintu kamar. "ALICE! CEPAT BANGUN BUAT SARAPAN! AKU DAN MAMA SUDAH KELAPARAN." Itu suara Selena.

Alice menarik napas panjang dan menyelesaikan kegiatannya. Ia kemudian bergegas ke pintu dan membukanya. 

"Ada apa kalian sepagi ini sudah berisik di depan pintu kamarku?" tanyanya dengan sabar.

"Kok kamu bertanya 'ada apa?' Jam berapa sekarang? Seharusnya kamu sudah menyiapkan sarapan sedari tadi, dan kami sudah melahapnya sekarang!" omel Laura.

"Loh? Bukannya di rumah ini ada puluhan pelayan rumah tangga? Kenapa harus aku yang membuatkan sarapan?" tanya Alice bingung.

"Kamu linglung ya setelah kecelakaan? Kenapa jadi melupakan tugas kamu?" seru Selena.

Untuk beberapa saat, Alice hanya beradu pandangan dengan Laura dan Selena. Tapi dua ular itu tidak juga menyerah dengan sikap sombongnya. Akhirnya, Alice mengalah lagi. Alice pergi ke dapur, di sana ada beberapa orang pelayan rumah tangga sedang sibuk melakukan beberapa hal.

"Weni, mereka biasanya memakan apa untuk sarapan pagi? Dimana bahan-bahan untuk membuatnya?" tanya Alice.

Weni tampak bingung. Mungkin karena sikap nyonya mudanya berubah 180 derajat sekarang. Alice hanya berdeham, berusaha menghilangkan kecurigaan itu.

“Karena kecelakaan kemarin, aku jadi sedikit pusing,” akting Alice sambil memijat pelipisnya.

Beruntung, Weni termakan akting buruknya itu. "Ini Nyonya Muda, bahan-bahannya sudah saya persiapkan. Nyonya Laura dan Nona Selena menyukai pasta buatan Nyonya Muda. Jika kemudian hari Nyonya Muda membutuhkan sesuatu untuk memasak, bahan-bahan terletak di lemari sebelah sana."

Weni berkata dengan terburu-buru, lalu keluar dari dapur bersama yang lainnya. Melihat itu, Alice mengerutkan dahi. Weni memang baik, tapi kenapa ia tidak mau membantu nyonya rumah ini?

"Ada apa dengan mereka, kenapa terburu-buru pergi seperti itu?" gumam Alice.

Sekarang, Alice melihat bahan-bahan yang sudah ada di meja. "Hmmm, membuat pasta ya? Oke aku akan mencoba membuatnya.”

Tidak perlu resep, tidak perlu melihat video memasak, Alice hanya memasak sesuka hatinya. Toh, mereka yang menyuruh Alice memasak, jadi suka-suka saja. Biar saja mereka rasakan masakannya yang lezat ini.

"ALICE, KENAPA LAMA SEKALI SIH? AKU SUDAH SANGAT LAPAR!"

Alice belum sempat mencicipi masakannya. Namun dari segi tampilan, dia yakin masakannya sudah berhasil dan layak untuk dimakan.

Dia kemudian membawa kedua piring yang berisi pasta dan menyajikannya kepada Laura dan Selena yang telah duduk manis di meja makan sedari tadi.

Laura melihat tampilan dan mencium aroma yang berbeda dari masakan Alice kali ini. "Kenapa aroma masakanmu sedikit berbeda?"

"Yah, aku memodifikasi resepnya sedikit," ujar Alice berbohong.

"Tapi tampilan masakanmu kali ini lebih bagus," ujar Selena menimpali.

Mereka kemudian masing-masing memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya. Namun hampir di saat yang bersamaan, Laura dan Selena memuntahkannya.

"HUEKK!"

 "ALICE! KAMU MAU MERACUNI KAMI YA?!” teriak Laura. 

“Dasar kurang ajar!” Selena segera melempar piringnya ke arah Alice sampai pecah berserakan. Pecahannya pun melukai sedikit kaki Alice.

“Apa kecelakaan kemarin membuatmu jadi gila, hah?!” Laura berteriak, lalu menarik rambut Alice. “Itu yang kamu sebut makanan?!”

“Hukum saja dia, Ma!” Selena mengompori lagi.

Alice menahan sekuat tenaga walaupun bisa saja dia menendang dua wanita ini dengan sekali gerakan. Namun, justru karena dia tidak berteriak, Laura tampak semakin marah dan mengencangkan jambakannya.

“JAWAB AKU, SIALAN!” teriak Laura.

Alice membalas tatapan Laura. “Kalian tidak takut kalau kuadukan semua ini ke Gavin?”

Mendengar itu, Laura dan Selena malah tertawa. "Gavin mana pernah peduli?! Dia menikahimu, hanya karena surat wasiat yang—” 

"Ada apa ini?"

Ketika terdengar suara Gavin, Laura segera melepaskan tangannya. Ia pun berdeham dan merapikan pakaiannya, begitu juga dengan Selena.

"G-Gavin, sepertinya istrimu ini mau membunuh kami dengan masakan ini. Dia pasti membenci kami," ujar Laura mengadu dengan wajah memelas, berbeda dari sebelumnya.

Gavin melirik piring yang berserakan di lantai, kaki Alice, lalu wajahnya. Walaupun Alice tidak berkata apapun, wanita itu juga tidak mau menatapnya.

‘Tidak seperti biasanya. Dia tidak menangis kali ini,’ batin Gavin.

"Biarkan pelayan yang memasak dan menyiapkan makanan,” ucap Gavin akhirnya. “Weni!" panggil Gavin.

Weni bergegas datang. "Ada apa Tuan Muda?"

"Segera bersihkan meja makan dan buatkan sarapan untuk kami," ujarnya kepada kepala pelayan.

"Akan segera kami persiapkan Tuan Muda!" ujar Weni yang kemudian pergi berlalu melanjutkan instruksi tuannya itu kepada para pelayan.

Setelah kekacauan itu, Gavin langsung duduk di meja makan, di bagian kepala meja. Laura dan Selena duduk sejajar di sebelah kiri Gavin. Alice ragu untuk duduk di kursi juga atau tidak, dia sangat malas berhadapan dengan tiga orang ini.

‘Apa aku kembali melanjutkan meditasi dan penyelidikanku, ya?’

“Duduk,” ucap Gavin setelah melihat gelagat Alice yang ingin beranjak.

“Aku tidak lapar,” jawab Alice.

Kali ini, Gavin menatapnya. “Duduk, Alice Welbert.”

‘Nama itu…’ entah kenapa, Alice benci mendengarnya. Ia mengatupkan rahangnya, lalu duduk di sebelah Gavin. Tidak butuh waktu yang lama, beberapa menit kemudian meja makan itu telah terisi penuh dengan makanan.

Mereka menikmati sarapan itu dalam keheningan.

"Nanti sore kamu harus ikut menemani aku pergi ke pesta ulang tahun Perdana Menteri. Bersiaplah, segala sesuatunya akan Weni persiapkan untukmu."

Walaupun Gavin tidak menyebut namanya, atau hanya menatapnya, Alice tahu kalau ucapan itu ditujukan untuknya. Alice melirik dengan ujung matanya. Apa lagi yang direncanakan pria ini?

"Oke," sahut Alice singkat. 

"Kakak, kenapa kali ini kamu harus membawa wanita kampungan ini ke pesta penting itu?" sahut Selena.

"Benar Gavin, dia hanya akan mempermalukan kamu saja," ujar Laura menimpali perkataan putrinya.

Gavin tidak mengatakan apapun, namun dia menatap dengan tajam dan dingin kepada ibu tiri dan adiknya itu. Mereka pun langsung merapatkan mulut, tidak berkata apapun.

Gavin kemudian menatap Alice. "Ingat, ketika aku pulang nanti, kamu harus sudah siap."

Alice hanya mengangguk dengan tak acuh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status