Share

10. Kegilaan Dimulai

"Jadi namanya Dirk Vanderzee?" Hamdan menatap Rebecca tertarik. Beberapa saat lalu Rebecca bercerita tentang ayahnya yang meninggalkan ibunya di saat ia masih berusia 3 tahun. Tidak banyak yang Rebecca ceritakan, hanya sedikit tentang ayahnya dan banyak sekali tentang tempat tinggalnya di Indonesia serta ibunya yang memiliki usaha makanan tradisional. Mungkin lain kali jika ada kesempatan Hamdan ingin mencobanya.

"Ya, hanya itu yang ibu bagi tentang ayah. Hanya sebuah nama yang ia letakkan di nama belakangku, " Rebecca mengangguk lalu tersenyum saat ia sadar jika baru pertama kali ini ia membagi kisah hidupnya pada orang asing.

"Vanderzee, artinya dari laut," ujar Hamdan lirih.

"Apa?" Rebecca menaikkan sebelah alisnya lalu menatap Hamdan.

"Namamu, Vanderzee memiliki arti dari laut."

"Ba-bagaimana kau tahu?" Rebecca terlihat antusias.

Hamdan terkekeh, "itu bahasa Belanda Rebecca...," ujar Hamdan. Samar ia tersenyum saat Rebecca terlihat begitu polos dan lucu secara bersamaan.

Rebecca menunduk dengan bibir mengerucut kesal. Lagi-lagi ia merutuki dirinya yang selalu terlihat bodoh saat berurusan dengan bahasa asing. Bodohnya lagi ia tidak memelajari bahasa Belanda, negara asal ayahnya. Bagaimana jika nanti ia bertemu dengan ayahnya tapi ia tidak mengerti apa yag ayahnya katakan? Oh itu sangat menakutkan. Rebecca menggeleng gusar

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Hamdan.

Sadar sudah melakukan tindakan konyol, Rebecca mendongak lalu mengangguk menjawab pertanyaan Hamdan.

"Sudah tidak kedinginan seperti semalam?" tanya Hamdan lagi dan Rebecca hanya menggeleng dengan mulut yang masih bungkam. Sangat menggemaskan.

"Alhamdulilah...." kata Hamdan. Ia berdiri dengan gadis kecil di gendongannya. Berjalan menjauhi Rebecca dan kembali hanyut dengan aktivitasnya bersama anak-anak yang kini bermain berkejaran lalu tertawa lepas saat mengayunkan seorang anak laki-laki ke udara dan menangkapnya.

Rebecca hanya terdiam saat melihat interaksi Hamdan dan anak-anak tersebut. Dalam hati dia merasa kagum, entah bagaimana cara lelaki ini dibesarkan sehingga saat dewasa ia begitu terlihat rendah hati dan menyenangkan meski di belakang namanya ia menyandang gelar Putera Mahkota Dubai yang sekaligus menjabat sebagai dewan eksekutif di pemerintahan Uni Emirat Arab.

*****

Karena sewaktu di hotel Rebecca bekerja di bagian pastry, maka ia diberi tugas khusus untuk membuat makanan penutup dan sesuatu yang berbau roti. Saat ini ia tengah berkutat dengan tepung gula dan mentega untuk adonan crumble. Setelah selesai dengan adonan crumble Rebecca segera menyiapkan loyang yang sudah diberi alas dengan kertas roti.

"Ada yang bisa dibantu?" Hamdan muncul dari belakang Rebecca.

"Yakin mau membantu?" Rebecca menatap Hamdan sekilas lalu kembali sibuk dengan adonan crumblenya.

"Tentu saja, aku juga bisa membuat kue," sahut Hamdan.

"Oh ya?" Rebecca terlihat meremehkan.

"Jangan remehkan aku nona. Aku sering membuat cake coklat saat Sheema mampir ke rumahku," jelas Hamdan. Dengan usilnya ia meraih sebuah strawberry lalu memakannya dalam sekali suap.

"Sheema?" Rebecca menghentikan pekerjaannya lalu menatap Hamdan.

"Iya Sheema, keponakanku. Puteri pertama dari adik perempuanku," jelas Hamdan, ia kembali memakan strawberry.

Diam-diam Rebecca tersenyum saat mendengar penjelasan Hamdan. Ada bagian dalam dirinya yang merasa lega saat mendengar penjelasan Hamdan. "Astaga, jangan dimakan terus. Itu untuk makanan penutup kita malam ini. Lebih baik kau bantu aku memotong strawberry saja," Rebecca berdecak sebal lalu menyerahkan pisau ke arah Hamdan.

Tidak beberapa lama mereka tenggelam dengan aktivitas mereka masing-masing. Hamdan dengan strawberry dan Rebecca dengan simple syrup dan gula halus. Hingga Rebecca mengingat sesuatu. Dengan pipi memerah ia menatap Hamdan malu-malu.

"Hmm, Dan...," panggil Rebecca menutut perhatian.

"Ya?" Hamdan berhenti memotong strawberry lalu memiringkan kepalanya ke satu sisi dan menatap Rebecca.

"Emm, jaketnya aku kembalikan sepulang dari sini saja ya?" tanya Rebecca pelan.

"Kenapa memangnya?"

"Emm, kemarin aku memakainya tidur semalaman. Jadi aku akan mengembalikannya seusai mencucinya dengan benar," Rebecca menatap Hamdan dengan pandangan mata 'maafkan aku'.

"Tidak usah, kembalikan sekarang saja." Sahut Hamdan.

"Tapi jaketnya... bau," lirih Rebecca. Pipinya merona menggemaskan.

"Tidak tidak! Kembalikan sekarang saja! Aku bisa mencuci sendiri." Hamdan meninggikan nada bicaranya.

Hingga Rebecca mengkerut dibuatnya. Hamdan terlihat berbeda, berubah menjadi tukang perintah yang sedikit kekanakan, dan sedikit menakutkan. Dalam hati Rebecca bertanya-tanya sebenarnya apa isi kepala Hamdan.

"Sekarang... Rebecca...." Hamdan memberi penekanan pada tiap kata.

"Ya-ya, tunggu sebentar aku akan mengambilnya," tergesa Rebecca berlalu meninggalkan meja kerjanya. Setengah berlari ia menuju ke tendanya. Dalam hati ia merutuki Hamdan yang sangat mengesalkan.

Tidak berapa lama kemudian Rebecca kembali dengan jaket north face biru di tangannya. Ia menghampiri Hamdan yang berdiri menunggunya. Masih dalam keadaan bingung Rebecca menyerahkan jaket tersebut pada Hamdan.

"Kau yakin tidak ingin dicuci dulu?" tanya Rebecca.

Hamdan menggeleng, ia mengulurkan tangan menerima jaketnya. "Lanjutkan pekerjaanmu."

Hamdan tersenyum menang lalu ia berlalu meninggalkan Rebecca yang masih menatapnya bingung. Dengan langkah ringan Hamdan berjalan ke tendanya. Saat sampai di dalam, Hamdan menghentikan langkah kakinya tepat di depan pintu tenda. Perlahan ia mendekatkan jaket biru tersebut ke wajahnya. Mengendus jaketnya pelan, Hamdan tersenyum lebar saat wangi khas parfum Hayaati merasuk ke indera penciumannya. Wangi Rebecca.

Segera Hamdan mengucap istighfar ketika ia sadar jika ia telah bertingkah seperti maniak. Rebecca benar-benar merubahnya menjadi seseorang yang bukan dirinya.

*****

Rebecca keluar dari tendanya dengan menenteng koper. Ia menyusul Sylvenia yang sudah keluar dari tenda terlebih dulu. Beberapa laki-laki-rombongan khusus Hamdan-terlihat merapikan meja-meja dan mengangkutnya ke dalam mobil container. Beberapa lagi membersihkan sisa-sisa api unggun.

Tidak terasa sudah satu minggu mereka di sini. Rebecca menghela napas panjang. Sepertinya ia akan merindukan tempat ini. Merindukan warga desa yang ramah meskipun mereka tidak dapat berkomunikasi dengan benar. Selain itu Rebecca juga merasa sangat senang dan bangga karena ternyata ia masih berguna bagi orang lain. Ia sadar, menjadi bagian dari Hamdan Food and Nutrition Organization akan membawanya melihat dunia yang lebih luas dan yang belum pernah ia bayangkan.

Dari kejauhan Rebecca dapat melihat Hamdan beserta beberapa anggota tim sedang berinterasi dengan warga desa. Saling menjabat tangan, bahkan ada seorang ibu-ibu paruh baya yang memeluk Hamdan lalu mencium puncak kepala Hamdan. Lalu Hamdan beralih kepada sekumpulan anak-anak yang semingguan ini menjadi teman baiknya.

Hamdan mencium satu-persatu kening mereka. Kemudian memeluk seorang anak perempuan yang berusia sekitar 3 tahunan. Memeluknya sekilas lalu memberikan anak perempuan yang Rebecca tahu bernama Amira tersebut kepada ibunya. Tapi Amira justru menangis dan memeluk leher Hamdan dengan erat.

Melihat hal tersebut refleks Rebecca melangkahkan kakinya ke tempat Hamdan. Saat jaraknya semakin dekat, samar ia mendengar Hamdan menenangkan Amira dan berjanji untuk kembali secepatnya. Rebecca terharu dibuatnya, ia tidak menyangka jika kedekatan Hamdan dan warga desa selama seminggu ini telah berhasil membuat ikatan kasih sayang yang kuat.

Rebecca terkejut saat seorang ibu-ibu memeluknya dan mencium pipinya. Dengan sedikit cangung Rebecca balas memeluk ibu tersebut. Tubuhnya menegang, ia tidak terbiasa menerima perlakuan seperti ini terlebih dari orang asing. Rebecca menatap Hamdan yang ternyata juga menatapnya. Hamdan tersenyum seakan mengatakan tidak apa, mereka orang baik.

Sepertinya Hamdan telah berhasil menenangkan Amira yang kini sudah berada di gendongan ibunya. Hamdan memutuskan untuk sedikit menjauh, menghindari Amira agar tidak rewel lagi. Saat Hamdan melewati Rebecca, ia berhenti.

"Ayo Rebecca, kita harus segera pergi jika tidak ingin terlambat," kata Hamdan. Tangannya terulur ke udara lalu berhenti di puncak kepala Rebecca. Menepuk pelan kepala Rebecca yang tertutup hijab.

****

Hamdan mendorong trolinya cepat saat melewati pintu kedatangan. Beberapa pengawalnya berjalan di belakangnya. Sebenarnya Owaisi sudah meminta troli Hamdan agar ia yang mendorongnya tapi Hamdan menolaknya dengan alasan, ia masih kuat mendorong troli. Jika sudah seperti itu pengawalnya tidak berani membantah.

Beberapa menit yang lalu, tepat saat pesawat sudah landing dan Hamdan menyalakan ponselnya, sebuah panggilan masuk dengan id caller 'Ayah' menginterupsinya. Saat Hamdan mengangkatnya, tanpa banyak bicara ayahnya langsung menyuruh Hamdan ke Rasheed residence. Ayahnya ingin bertemu dengannya saat ini juga.

Itulah kenapa Hamdan sangat tergesa-gesa saat ini. Dari kejauhan Hamdan dapat melihat Mr. Raj supirnya yang berasal dari India sudah menunggunya dan membukakan pintu mobil untuknya. Dengan sigap laki-laki bertubuh gempal tersebut meraih koper-koper milik Hamdan dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Saat Hamdan sudah duduk di dalam mobil, Mr. Raj segera duduk di kursi kemudi dan menjalankan mobil meninggalkan bandara.

Hamdan melihat Rebecca berdiri menunggu taksi. Ingin rasanya Hamdan menghentikan mobil dan menawari Rebecca pulang bersama jika saja ia tidak ingat ayahnya yang sedang menunggunya.

Mobil berhenti di halaman depan Rasheed residence. Hamparan rerumputan hijau menyambut Hamdan. Tanpa menunggu Raj membukakan pintu untuknya Hamdan segera keluar dari mobil dan berlalu ke dalam rumah. Dua orang penjaga memberi hormat padanya. Tanpa basa basi Hamdan segera menuju ruang kerja ayahnya.

Mengetuk pintu tiga kali, lalu membukanya. Sheikh Mohammed tengah duduk di balik meja kerja. Terlihat serius dengan kacamata baca bulan sabitnya.

"Assalamualaikum," Hamdan mengucap salam. Sedetik kemudian Sheikh Mohammed mendongak dan menatap Hamdan.

Tidak menjawab salam Hamdan, Sheikh Mohammed justru bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Hamdan. Beliau berdiri tepat di depan Hamdan.

Hamdan hendak mencium tangan ayahnya tapi Sheikh Mohammed menepis tangan Hamdan. Hamdan terkejut dengan sikap ayahnya, ia menatap Sheikh Mohammed tak percaya.

Belum sempat Hamdan bertanya ada apa dengan ayahnya, sebuah tamparan mendarat di pipinya. Sheikh Mohammed menatap Hamdan marah, "kurang ajar! Aku tidak mendidikmu untuk bermain-main dengan wanita!"

"Siapa namanya? Rebecca? Jauhi dia dan segera menikah dengan wanita pilihan ibumu," tegas Sheikh Mohammed. Tidak memedulikan keadaan anak kesayangannya, beliau keluar dari ruang kerja meninggalkan Hamdan seorang diri.

Hamdan terdiam. Perih di pipinya terasa menyengat. Tapi bukan itu yang menjadi fokus utamanya. Ayahnya marah, itu buruk. Tidak pernah sekalipun selama 30 tahun ia hidup ayahnya bertindak kasar padanya. Tapi kali ini beliau menamparnya. Dan berhasil membuat Hamdan terguncang.

To be continued....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status