Share

12. Pilihan Yang Sulit

Rebecca menunduk, menghindari ibunya yang menatap marah dari layar laptop yang sedang membuka aplikasi skype.  Sudah hampir lima belas menit dan ibunya tidak mengatakan apapun kecuali menatap Rebecca dingin dan penuh amarah.

"Ma... Becca," akhirnya Rebecca mengalah, ia membuka suara dan menatap ibunya.

"Apa? Mau tidur karena besok kerja masuk pagi?" sahut ibunya sengit.

Rebecca menggeleng lalu menunduk lagi. Tidak biasanya ibunya menatapnya seperti itu, hal ini membuat Rebecca ingin menangis. Dulu ibunya seperti ini saat ia masih SMP, waktu itu Rebecca menanyakan tentang ayahnya. Dan yang ia dapatkan hanya kemarahan ibunya yang menatapnya dingin dan langsung pergi tanpa memberikan penjelasan.

Sekarang ibunya melakukannya lagi. Rebecca meremas jemarinya yang gemetar. Dalam hati ia tahu jika kemarahan ibunya kali ini ada kaitannya dengan Adrian.

"Kamu berhutang penjelasan pada mama, apa yang kamu bilang ke Adrian? Kok dia bilang kalau kamu nolak perjodohan ini?"

"Karena kami tidak saling mencintai mama, maka dari itu sebelum semuanya terlanjur lebih baik kami hentikan sekarang juga," jawab Rebecca.

"Apa gunanya cinta? Mama mencintainya, tapi buktinya dia meninggalkan kita. Cinta itu tidak penting Becca, yang penting itu Adrian lelaki baik-baik, dan dia bisa jagain kamu,"dengan nada putus asa ibunya menatap Rebecca penuh harap.

Samar Rebecca dapat melihat kerutan di sudut mata ibunya. Oh ma, maafkan aku....

"Kenapa mama selalu mengatakan itu pada Becca? Kenapa mama selalu menggunakan masa lalu mama, masa lalu kita sebagai ancaman agar Becca mau menikah dengan mas Adri?" Rebecca meninggikan nada bicaranya sebagai wujud protes pada ibunya. Oh seandainya ibunya tahu tentang apa yang Adrian janjikan pada Sherina.

"Kam—kamu tidak mengerti apa yang mama maksud," ujar ibunya, matanya terlihat memerah. "Mama beri kamu waktu satu bulan untuk menyelesaikan urusanmu di sana. Setelah itu pulang dan menikah dengan Adrian. Lihat dia, bahkan setelah kamu menolaknya Adrian masih mau menunggumu."

"Becca tidak akan pulang ma, tidak." Rebecca menggelengkan kepalanya berkali-kali.

"Mama gak mau tahu. Pokoknya bulan depan kamu harus sudah pulang." Bersamaan dengan keputusan bernada final yang berasal dari ibunya, sambungan skype dimatikan.

Dengan gerakan seperti robot, Rebecca mematikan laptop. Merapikan headset lalu meletakkannya di meja rias. Dengan kaki gemetar Rebecca berjalan ke tempat tidur dan duduk di sampingnya. Mengusap wajahnya gusar, Rebecca memilih untuk merebahkan tubuhnya. Tidak melakukan apa-apa hanya berbaring menatap langit-langit kamarnya sembari berpikir. Mengingat betapa keras nada bicara ibunya, Rebecca sadar jika ibunya tidak dapat dibantah. Jika Rebecca tidak pulang, maka dapat dipastikan ibunya akan menyeret Rebecca untuk pulang dengan tangannya sendiri.

Satu bulan, jangka waktu yang diberikan ibunya. Satu bulan ia harus menyelesaikan semua urusannya. Lalu Rebecca harus mulai darimana? Melepaskan pekerjaan yang selama ini menjadi passion-nya di Burj Al Arab, lalu mengemasi barangnya di flat, mengirim ke Indonesia dan terakhir ia harus memesan tiket kepulangannya.

Lalu bagaimana dengan project barunya bersama Hamdan Food and Nutrition Organization? Project baru yang terlanjur ia cintai. Lalu bagaimana dengan Hamdan? Apa yang harus Rebecca katakan padanya? Selama Rebecca bergabung dalam tim tersebut, lelaki itu sudah mengajarkan banyak hal padanya. Kemurahan hati, kasih sayang, keberanian, keceriaan, kerendahan hati dan masih banyak lagi.

Hamdan, apa kabarnya lelaki itu? Terakhir ia bertemu dengan Hamdan saat mereka kembali dari Uzbekistan. Setelah itu Rebecca tidak bertemu lagi dengan Hamdan. Bahkan sudah dua kali pertemuan Hamdan tidak hadir.

*****

"Nona Rebecca, bagaimana menurutmu?"

Rebecca terdiam, ia menatap lelaki bernama Ahmed yang dua jam lalu mengenalkan dirinya sebagai adik Hamdan dan mulai hari ini ia yang mengambil alih Hamdan Food and Nutrition Organization. Lelaki yang terlihat sedikit lebih gemuk dari Hamdan tersebut bersikap sangat ramah bahkan penuh canda. Penampilannya yang sedikit selengekan dengan rambut setengah panjang menjadi pembeda dengan Hamdan. Dan juga matanya, tidak sama, mata Ahmed lebih cekung dan tak seindah milik Hamdan.

"Rebecca, kau mendengarku?" Ahmed memanggil Rebecca, "Rebecca," panggil Ahmed lagi dan sedikit lebih keras.

"Ah, i—iya maaf," jawab Rebecca geragapan setelah Sylvenia menyiku lengannya.

"Bagaimana menurutmu jika kunjungan kedua kita nanti ke India saja?" tanya Ahmed, "kau pasti tidak mendengar pertanyaanku," tambahnya.

"Maaf," Rebecca tersenyum lemah. "Saya rasa tidak masalah, saya setuju."

"Baiklah, kurasa hanya ini yang perlu kita bahas. Jika tidak keberatan aku ingin satu kali lagi pertemuan untuk pematangan rencana dan konsep yang kita usung. Terima kasih banyak atas kerja keras kalian." Ahmed menutup pertemuan mereka yang kali ini diadakan di Origami Dubai, rumah makan jepang yang belakangan ini menarik perhatian banyak orang.

Melihat anggota tim tidak ada yang beranjak dari duduknya, Ahmed tersenyum lalu berdiri. "Tidak apa, kalian bisa pulang terlebih dulu. Aku masih ingin disini. Kalian tahu,aku butuh waktu sendiri bersama California roll," jelas Ahmed yang langsung disambut dengan tawa oleh yang lain. Begitu juga Rebecca.

Satu persatu mulai meninggalkan ruangan yang khusus dipesan untuk acara meeting. Tapi Rebecca sengaja merapikan berkas-berkas dan alat tulisnya sedikit lama. Ada hal yang ingin ia tanyakan pada Ahmed.

"Ada yang ingin kau tanyakan Rebecca?" Ahmed membuka mulutnya karena sedari tadi ia merasa jika Rebecca sengaja berlama-lama disini. jika tidak salah lihat bahkan dua kali Rebecca mengeluarkan notebook yang sudah ia masukkan ke dalam tas.

Rebecca mendongak menatap Ahmed, ragu ia bertanya "Apakah Sheikh Hamdan baik-baik saja? Kenapa anda menggantikan Sheikh Hamdan?" ujar Rebecca pelan. Setelah kalimatnya selesai, Rebecca segera menunduk. Diam-diam ia menepuk bibirnya merasa sudah sangat lancang dengan bertanya seperti itu.

Ahmed tertawa, "kalau kau tanya tentang kesehatannya, maka akan kubilang kakakku baik-baik saja. Tapi entah dengan hatinya."

Rebecca mengernyit, menatap Ahmed tak paham.

"Ada lagi yang ingin kau tanyakan?" Ahmed menaikkan sebelah alisnya.

"Emm, apa rencana keberangkatan kita ke India dapat terealisasi dalam bulan ini?"

"Itu tergantung dari izin yang kita dapat Rebecca. aku baru akan mengurus perizinan kita besok pagi, paling lambat dua minggu bisa diproses lalu pengurusan visa paling cepat satu minggu. Kenapa kau menanyakan hal ini?" jelas Ahmed panjang lebar. Laki-laki tersebut memiringkan kepalanya ke satu sisi.

Sangat mirip dengan Hamdan, batin Rebecca.

"Tidak, hanya saja... saya akan mengundurkan diri dari tim bulan depan," jawab Rebecca. Nada bicaranya sumbang seakan tidak yakin.

"Kenapa mengundurkan diri? Apa karena rumor tentang kalian?" tanya Ahmed.

Rebecca membelalakan matanya tak percaya. Ia tidak menyangka jika Ahmed akan membahas hal ini. Sedetik kemudian Rebecca menggeleng saat sadar jika Ahmed menunggu jawabannya.

"Tidak, tapi bulan depan saya harus pulang ke Indonesia," jelas Rebecca, "dan tidak akan kembali," lanjut Rebecca.

Terdengar helaan napas panjang dari Ahmed. Ia menatap Rebecca menyelidik, lalu ia menghempaskan punggungnya di sandaran kursi saat tahu jika Rebecca tidak berbohong. "Begini Rebecca, aku tidak dapat memberimu izin untuk mengundurkan diri. Kurasa lebih baik kau hubungi Hamdan saja, dia lebih berhak." putus Ahmed.

Rebecca membeku. Haruskah ia bertemu dengan Hamdan?

*****

Sudah berkali-kali Hamdan menghapus lalu mengetik lagi kata pembuka untuk sambutan yang akan ia sampaikan pada saat membuka pameran bangunan di DTM center. Hatinya gelisah, masih teringat bagaimana kemarahan ayahnya yang bahkan sampai detik ini tidak mau menemuinya. Belum lagi tekanan dari ibunya yang mengatakan jika bulan depan akan melamar Rania sekaligus mengadakan pertunangan mereka.

Hamdan menutup macbook-nya keras. Kedua tangannya mengacak rambutnya kesal. Demi Allah, ia tidak bisa menjalani ini semua. Selama ini ia senang-senang saja saat menjalani tugasnya sebagai seorang putera mahkota dan anggota dewan pemerintahan. Tapi kini rasanya ia tidak bisa lagi melakukannya. Entah karena apa hatinya begitu berat dan berpengaruh pada kinerjanya.

Selama ini ia melakukan apapun yang menjadi keinginnan ayahnya. Mengambil tugas putera mahkota yang seharusnya jatuh ke tangan Rasheed, kakaknya. Jika saja waktu dapat diputar ulang, pasti Hamdan akan menolak tugas ini dan sekarang ia hidup bebas seperti yang dilakukan Rasheed. Tapi saat itu ia tidak bisa menolak karena ibunya memohon padanya. Dan hal ini kembali terulang saat ibunya meminta ia menikahi Rania. Sanggupkah Hamdan menolak permintaan pemilik surganya? Tidak, ia tidak sanggup.

Tapi Ahmed benar, ia harus memperjuangkan cintanya. Meski ia belum bisa menyimpulkan rasa tertariknya pada Rebecca akan berakhir menjadi cinta, paling tidak ia butuh waktu untuk menelaah perasaannya.

Hamdan mengembuskan napas gusar. Ia melipat kedua tangannya di meja kerjanya lalu menelungkupkan kepalanya di sana. Ponselnya berbunyi sekali, menandakan jika ada pesan. Dengan malas Hamdan meraih ponsel di sebelah kirinya. Setelah memasukkan kombinasi password ia membuka pesan yang ternyata berasal dari Ahmed.

Kurasa ini saatnya kau berjuang, itupun jika kau tidak ingin menyesal seumur hidupmu. Bulan depan gadismu Rebecca akan pulang ke Indonesia.

 

 

To be continued ....

 

 

Karya ini sangat jauh dari kata bagus, saya sadar itu. jadi jangan sungkan untuk memberi kritik dan saran. Jangan lupa tinggalkan jejaknya ya... biar saya makin semangat nulisnya.

Sungguh saya sangat berterima kasih... love banyak banyak 😘😘

 

Regard

Sashie Rahma

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status