Share

Keterkejutan Abyan

Penulis: Ijahkhadijah92
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-11 00:04:37

Abyan mengangkat alis tipis, mencoba tetap tenang. “Oh, itu… kemarin aku sibuk urusan kerjaan sampai larut. Handphone ketinggalan di mobil, jadi nggak kebawa masuk.”

Pak Adi, ayahnya, ikut menimpali. “Kerjaan apa sampai nggak bisa dihubungi sama sekali? Kamu tuh sudah mau nikah, jangan bikin calon istrimu khawatir.”

Abyan meneguk kopi, memberi jeda sejenak sebelum menjawab. “Ada urusan di luar kota, Pa. Nggak bisa ditunda. Baru pulang subuh tadi.” Ia mengalihkan pandangan, menghindari tatapan penuh selidik ibunya.

“Ya sudah, tapi tolong jangan bikin orang khawatir lagi,” ujar Bu Ratna, walau tatapannya seakan belum sepenuhnya percaya.

Abyan hanya mengangguk, lalu buru-buru mengalihkan pembicaraan ke topik pekerjaan ayahnya. Fokus dia sekarang adalah mendapat kepercayaan sang kakek walaupun mustahil karena ada cucu lain. Tapi, yang selalu ditekan untuk bekerja hanyalah dirinya. itu tidak adil, bukan? Hanya karena cucu lain masih berstatus mahasiswa, sang kakek membebaskan Hendrik anak sulung dari Gunawan, adik dari Adi, papa Abyan. Setelah itu, ia berpamitan untuk berangkat ke kantor.

Malam tadi memang Abyan sengaja pulang ke rumah orang tuanya karena selalu dihubungi setelah tiga hari kemarin Abyan sengaja tidak mengaktifkan teleponnya. Dia berkomunikasi lewat ponsel satu lagi khusus dengan asistennya dan Bi Rini juga Pak Sastro..

Begitu mobilnya meninggalkan gerbang rumah orang tua, Abyan menghela napas panjang.

Entah kenapa, pikirannya kembali pada sosok Nisa di villa. Perempuan itu… terlalu polos untuk dibiarkan sendirian, tapi terlalu keras kepala untuk dilarang. Bayangan Nisa yang mencangkul halaman belakang dengan peluh membasahi pelipisnya terlintas jelas di kepala Abyan.

“Tiga hari… sudah bikin Bi Rini setengah mati jantungan,” gumam Abyan sambil tersenyum miring.

Ia mengetuk setir, memikirkan bagaimana nanti saat pulang, kemungkinan besar ia akan menemukan villa itu semakin rapi dan kinclong, sementara Nisa tetap bersikeras bahwa semua itu “nggak apa-apa.”

Namun, ada rasa aneh di dadanya. Bukan sekadar khawatir, tapi juga semacam kehangatan yang sulit ia jelaskan.

Mobil melaju lebih cepat. Mungkin hari ini ia akan pulang lebih awal, sekadar memastikan Nisa tidak mencoba membongkar bangunan villa itu.

Ya, selama ditinggalkan, Bi Rini tidak hentinya laporan tentang kegiatan Nisa di villa. Abyan hanya bisa geleng-geleng kepala apalagi saat melihat video Nisa sedang mencangkul dengan baju yang serba tertutup.

Setelah tiga hari ini, dia berniat akan pulang ke villa. Dia ingin memastikan dan melihat langsung apa yang dilakukan oleh Nisa.

***

Sore harinya, Abyan pulang lebih cepat, dia meminta Arya untuk tidak memberitahu keberadaan dirinya sekarang karena dia belum ingin diketahui tentang keberadaan Nisa.

Keluarganya juga belum ada yang tahu tentang villa yang dibeli Abyan beberapa bulan lalu.

Abyan langsung memarkirkan mobilnya di halaman villa tanpa banyak suara. Begitu masuk ke dalam villa, ia tidak langsung melihat Nisa di ruang tamu. Suasana terasa sepi, hanya terdengar suara gesekan kain dan dentingan ember dari arah dapur belakang.

Dengan langkah pelan, Abyan menyusuri lorong. Begitu sampai di pintu belakang, matanya langsung membulat.

“Nisa…” suaranya rendah tapi tegas.

Gadis itu sontak menoleh. Tangannya memegang sikat, bajunya terlihat basah sebatas paha. Sesuatu terendam di ember besar berisi air sabun. Rupanya ia sedang mencuci gorden villa yang panjangnya hampir dua kali tubuhnya.

“Oh… Tuan Abyan udah pulang?” Nisa tersenyum kikuk, lalu kembali mengucek kain gorden itu seperti tak ada yang salah.

Abyan menghela napas panjang, menahan diri untuk tidak marah. “Itu gorden mahal, Nisa. Bukan buat dicuci sembarangan, apalagi diember begitu.”

Nisa berhenti, menatapnya sebentar. “Tapi udah kotor, Tuan. Sayang kan kalau debunya numpuk.”

Abyan melangkah mendekat, meraih kain itu dari tangannya. “Mulai sekarang, kamu jangan sentuh barang-barang berat atau mahal di sini. Kalau ada yang kotor, bilang ke Bi Rini. Mengerti?”

Nisa hanya mengangguk, meski raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya setuju. Abyan memicingkan mata, merasa kalau larangan itu hanya akan bertahan sampai besok.

"Sekarang mandi!" titah Abyan.

"Saya sudah mandi... " jawabnya polos.

Abyan mengerutkan keningnya. "Lalu?"

"Saya gak ngapa-ngapain, Tuan. Nanti bude marah." tanpa disadarinya, Nisa mengungkapkan itu.

Abyan menghampiri Nisa dan berjongkok di sampingnya. "Di sini gak ada bude? Kamu aman bersama saya." ucapnya sedikit melembut.

Nisa menoleh, menatap Abyan keheranan. "Bude?" tanyanya."Ah, saya kira... "

"Kamu aman di sini, jangan khawatir. Sekarang tinggalkan itu dan mandi sebelum saya yang memandikan."

Sret!

Secepat kilat Nisa berlari dengan baju yang basah dan alhasil lantai yang dipijak oleh Nisa ikut basah.

"Ya, Allah... "

"Permisi, Tuan." Ucap Pak Sastro dari belakang.

Abyan menoleh, tatapannya langsung ke Pak Sastro dan Bi Rini yang menunduk ketakutan.

"Kenapa?" tanya Abyan datar.

"M-maafkan kami, Neng Nisa tidk bis dicegah." Pak Sastro meremas jarinya yang terasa dingin.

"Ceritanya bagaimana? Kenapa dia bisa sampai mengambil gorden yang tinggi itu?" Abyan mulai introgasi dan sebelumnya dia meminta Bi Rini dan Pak Sastro untuk duduk terlebih dahulu.

**

"Jangan! jangan pukuli aku bude... Aku akan cari uang yang banyak... " Nisa merintih dalam tidurnya, napasnya tersenggal, keringat dingin mengucur di pelipisnya.

"Neng Nisa kenapa? Bangun, Neng... " Bi Rini yang baru saja keluar dari kamarnya setelah salat asar menghampiri Nisa yang ketiduran di ruang tengah. lap setengah kering masih berada di genggamannya.

"Pak... Bapak!" Bi Rini memanggil Pak Sastro yang lebih dulu keluar rumah.

Dengan langkah cepat, Pak Sastro menghampiri Bi Rini dan mendapati Nisa yang sedang meracau.

Setelah dibangunkan, Nisa langsung ke kamarnya dan mandi.

Namun, saat Bi Rini sedang membersihkan sayuran dan Pak Sastro sedang menyiram tanaman di belakang, mereka dikejutkan dengan suara benda jatuh.

Saat diketahui, mereka menggelengkan kepalanya. "Neng Nisa... "

Ternyata Nisa berada di tumpukan gorden. Lalu Nisa keluar dari tumpukan gorden tersebut dan melihat ke arah Bi Rini dan Pak Sastro yang menatapnya khawatir. "Bi, jangan larang saya. Nanti bude marah." ucap Nisa.

**

"Saya mengkhawatirkannya, maafkan saya tuan." ucap Pak Sastro kepada Abyan.

Abyan mengerutkan keningnya, ia sepertinya harus mencari tahu apa saja yang terjadi kepada Nisa.

"Ya sudah, saya minta maaf karena Nisa sudah merepotkan bibi sama bapak. Nanti tolong pinta orang laundry saja yang meneruskan mencuci gordennya. Sepertinya Nisa perlu penanganan lebih serius lagi."

Bi Rini dan Pak Sastro mengangguk, tapi mereka tidak bisa berterus terang untuk mengomentari Nisa yang selalu tidak ingin diam. Yang ia pegang adalah pekerjaan setiap hari bahkan untuk makan saja dia harus dipaksa terlebih dahulu.

***

Abyan menatap langit sore yang memancarkan semburat senja. Matahari mulai tenggelam menandakan bahwa hari akan berganti malam.

Abyan memikirkan langkah apa yang harus ia ambil untuk kedepannya. "Aku tidak ingin mencintai dia karena kasihan. Tapi sepertinya hati ini menghangat saat melihat tingkah dia yang random." gumamnya sambil tersenyum tipis.

Kring Kring Kring

Dering ponsel Abyan terdengar nyaring. "Bos, Tuan Mahardika masuk rumah sakit... "

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Nekat

    Wanita muda itu tersenyum tipis, matanya tajam walau wajahnya terlihat lugu. “Tenang saja. Orang tidak akan curiga sama pedagang buah. Aku akan tahu siapa pun yang lewat di depan rumah itu.” Mereka berdua saling tukar pandang singkat. Sementara itu, dari dalam rumah, Nisa tengah duduk di ruang tamu, menuliskan sesuatu di buku catatannya, tak menyadari bahwa dunia di luar perlahan berubah. Ia hanya merasakan kegelisahan samar yang beberapa hari ini sering datang tanpa sebab. Di tempat lain, Rio mematikan alat komunikasinya, lalu menatap Paman Ridwan yang duduk di kursi kulit besar. “Langkah pertama selesai,” ucap Rio dengan nada puas. Ridwan mengangguk perlahan. “Jangan terburu-buru. Kita biarkan Abyan merasa aman. Saat fokusnya sepenuhnya tertuju pada perebutan kekuasaan, kita pukul dari titik terlemahnya.” Rio menyeringai licik. “Perempuan itu…” Ridwan berdiri dan berjalan ke arah jendela, menatap langit malam yang mulai gelap. “Betul. Perempuan itu akan menjadi kunci untuk men

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Serangan Balik

    “Dia melihat semua ini dari layar siaran,” lanjut Rio dengan mata berkaca-kaca. “Lo pikir semua tindakan lo tidak ada konsekuensinya? Keluarga kita… semua hancur karena ambisimu!”“Sudah, Rio,” potong Arya dengan nada menahan. “Jangan mulai di sini.”“Kenapa nggak?!” bentak Rio. “Kalian semua sibuk perang dan rebut kekuasaan! Sementara orang tua kita—keluarga kita—remuk di belakang kalian!”Suasana ruang kendali yang tadinya dipenuhi suara mesin kini berubah mencekam. Semua anak buah Abyan yang berada di sana terdiam, menyadari ini bukan sekadar pertengkaran keluarga biasa.Abyan perlahan menoleh ke Rio. Suaranya tenang tapi mengandung bara. "Gue ngelakukuin ini… supaya kita tidak terus hidup dalam bayang-bayang penindasan. Gue gak menyesal.”Rio maju selangkah, emosinya memuncak. .“Kalau semua harus dibayar dengan kehilangan orang-orang yang kita cintai… apa masih pantas disebut kemenangan, Abyan?”Pertanyaan itu menggantung tajam di udara, membuat Arya pun tertunduk dalam diam. Aby

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Alih Kendali

    Abyan mengatup rahangnya. “Kita tidak boleh mundur. Kalau kita kabur sekarang, mereka bakal menganggap kita lemah.” Dengan kode tangan, Abyan membagi tim jadi dua: satu tim menekan dari sisi kiri lorong, tim lain memutar lewat tangga darurat di kanan. Suara langkah berderap kencang, teriakan komando bercampur suara besi menghantam besi. Ledakan kecil meletus dari gr*nat asap yang dilempar Arya. Asap tebal menelan lorong, menyamarkan pandangan musuh. Dari balik asap, Abyan maju, senjata di tangan, menembak presisi ke arah cahaya senter. Dua orang lawan langsung terjatuh, tubuh mereka terhempas keras. Namun musuh lebih banyak dari perkiraan. Belasan orang turun dari atas tangga dengan senjata campuran: senapan laras panjang, tongkat listrik, bahkan parang. Bentrok jarak dekat tak bisa dihindari. Arya menghantam satu lawan dengan siku, lalu merebut senjata musuh lain sambil menendang mundur. “Cepat, Yan! Mereka nggak main-main!” Suara logam bergesekan, tubuh saling banting, ter

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Bentrok Pertama

    Kakek Bagaimana menatap monitor dengan wajah yang makin pucat. Tongkatnya keras ditepuk ke lantai. “Kalian bilang sudah aman—kenapa malah seperti ini?! Siapa yang berani main-main dengan jaringan kita?” suaranya memecah ruangan. Paman-paman saling pandang; beberapa menunduk, beberapa lagi sibuk membuka laptop. Renata yang duduk di sisi meja menggigit bibir sampai pucat. “Apa ini dampak dari bocoran itu?” desah seorang paman. “Kalau investor panik, kontrak akan runtuh.” Ridwan mengangkat kepala, matanya terlihat gelap. “Kami sudah periksa semua titik kontrol. Ada intervensi dari luar—sepertinya ada pemain baru yang sengaja menahan aliran. Ini bukan sekadar kebocoran dokumen; ini serangan terstruktur.” Seorang penasihat hukum cepat memberi saran hukum, suaranya terkontrol: “Kita harus keluarkan pernyataan perusahaan, lakukan audit internal separuh—tapi jangan panikkan publik. Hubungi regulator, tunjuk tim audit independen. Kita harus kelihatan kooperatif.” Namun kakek tidak

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Ada Perangkap

    Abyan berjalan perlahan ke arah meja, menepuk bahu beberapa anak buahnya satu per satu.“Periksa lagi persenjataan kalian. Jangan ada kelalaian sekecil apa pun. Ingat, satu kesalahan bisa jadi bumerang untuk kita semua,” tegasnya.Suasana hening sesaat, lalu terdengar jawaban serempak, “Siap, Tuan!”Abyan menoleh pada Arya. “Kamu koordinasi di lapangan sisi timur. Saya mengambil alih sisi barat. Kita harus bergerak cepat, jangan beri mereka ruang untuk melawan.”Arya tersenyum tipis. “Paham. Dan seperti biasa, saya tidak akan membiarkan kamu sendirian.”Abyan menatap sahabatnya itu lebih lama, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai nanti malam. Untuk sekarang kalian persiapkan diri kalian dengan baik.”Di tengah hiruk pikuk persiapan, pikiran Abyan sempat melayang ke Nisa lagi. Senyum tipisnya muncul tanpa sadar, lalu cepat-cepat ia hilangkan agar tak terlihat orang lain. Ada kekuatan baru yang ia rasakan setiap kali mengingat Nisa, seolah semua perjuangan ini memang mempunyai arah yang j

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Persiapan

    Gudang tua yang mereka pilih sebagai markas baru itu kini sudah berubah wajah. Lampu-lampu sorot menyala terang, meja besar penuh peta dan berkas, serta rak berisi perangkat komunikasi, laptop, bahkan senjata non-mematikan yang disiapkan Arya.Abyan berdiri di tengah ruangan, wajahnya tegas tapi ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia menatap layar proyektor yang menampilkan denah pergerakan keluarga besar, hasil intel anak buahnya yang baru tiba.“Waktu kita nggak banyak,” suara Abyan terdengar mantap. “Kakek pasti akan menggencarkan pencarian lagi. Kita harus siap sebelum mereka menemukan celah.”Arya mengangguk, sibuk mengutak-atik headset komunikasi di tangannya. “Orang-orang sudah standby, Yan. Mereka cuma butuh aba-aba dari lo.”Beberapa anak buah masuk, membawa kotak berisi perlengkapan tambahan—kamera kecil untuk mengintai, laptop cadangan, serta jalur komunikasi yang dipisahkan agar tak bisa dilacak. Suasana jadi semakin serius, seperti persiapan operasi besar.Abyan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status