Kos-kosan tempat Dera tinggal malam ini tampak seperti markas besar para remaja pemberontak. Suara gelak tawa, denting botol yang beradu, dan obrolan yang tak ada habisnya menggema dari ruang tengah. Kosan kecil yang biasanya tenang kini dipenuhi keributan. Beberapa bungkus snack berserakan di lantai, sementara kaleng minuman tergeletak asal di mana-mana, membuat tempat itu lebih mirip seperti arena pesta daripada tempat tinggal.
“Tempat ternyaman untuk nongkrong,” begitulah kata mereka. Entah kenapa, meskipun tempat Dera sempit, teman-temannya selalu berkumpul di sini. Entah itu mau diskusi skripsi, menonton bola, atau hanya sekadar ngerumpi hal-hal konyol, tempat ini seperti magnet yang menarik mereka semua untuk datang. Bahkan saat kondisi kos-kosan Dera sudah hampir ambruk karena ulah mereka sendiri. Dera memandang kekacauan itu dengan mata yang menyipit penuh amarah. Tumpukan sampah semakin menumpuk di sudut ruangan, sementara Aldo dan Arkan tengah sibuk tertawa tanpa peduli. Zidan malah asyik mengutak-atik ponselnya di pojok sofa, seolah semua ini tak ada hubungannya dengan dia. “Gue udah nggak tahan lagi!” Dera akhirnya meledak. “Kalau kalian nggak mau bantuin bersih-bersih, gue serius bakalan tendang kalian keluar!” Mereka hanya tertawa, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Zidan, yang dari tadi sibuk dengan ponselnya, tertawa paling keras. "Hahaha... Gue nggak bisa ngebayangin kalau si Dera akhirnya nikah. Sepangling apa kita nanti? Jalan aja masih kayak mau nantang orang gelut!" Tatapan Dera langsung menusuk Zidan dengan pandangan yang bisa membekukan lautan. "Nggak usah ngomongin gue bisa? Kita di sini buat bahas skripsi, bukan buat ngurusin hidup gue yang nggak penting." “Kalau nggak ngomongin lo, rasanya hambar aja gitu, Ra. Mana topik yang dibahas selalu bisa jadi trending di grup kita,” Aldo menambahkan dengan cengiran khasnya. “Nggak percaya? Tanya aja Arkan. Mereka juga ngetawain lo barusan.” Dera hanya bisa mendesah keras, menahan gejolak amarah yang mulai mendidih. Rasanya dia sudah terbiasa jadi bahan bercandaan mereka, tapi ada kalanya semua ini melewati batas. Apalagi dengan semua kekacauan yang sedang melanda hidupnya. “Btw,” Aldo menambahkan dengan lebih serius, “Kalau kembaran curut lo nggak ketemu juga, berarti lo beneran bakal gantiin dia buat nikah?” “Gue nggak tau,” balas Dera, nada suaranya mendadak lebih berat. “Tapi kemungkinan besar mereka bakal maksa gue buat ngurus masalah yang mereka ciptain.” Zidan menghela napas panjang, tampak berpikir sejenak sebelum menoleh ke arah Dera. “Kalau lo perlu bantuan, bilang aja. Bapak gue pengacara, bapaknya Arkan hakim. Kita punya banyak koneksi, lo tau itu. Temen-temen lo juga kebanyakan orang-orang yang berpengaruh.” Dera menggeleng tegas. “Gue nggak mau ngandelin kalian. Selama gue masih bisa ngurus sendiri, gue bakal urus sendiri.” Arkan tersenyum, menepuk kepala Dera dengan penuh rasa bangga. "Itu baru sepupu gue. Gue bangga sama lo." Dera hanya mengangguk pelan. "Sekarang bubar semua. Gue mau pergi. Skripsi juga nggak kelar-kelar kalau kalian di sini." Ketiganya saling melirik heran, ekspresi mereka berubah penasaran. Biasanya, Dera adalah tipe yang paling ceria, ceplas-ceplos, dan paling semangat kalau sudah kumpul. Tapi malam ini dia terasa berbeda—lebih pendiam, lebih muram. “Mau kemana?” tanya Arkan akhirnya. “Entahlah,” jawab Dera sambil mengambil kunci motor vespanya. “Gue butuh waktu buat ngebersihin kepala gue. Emosi gue udah kayak bom waktu. Kalau gue nggak segera keluar, bisa-bisa otak gue kebakar. Jangan ikutin gue.” Arkan mengangguk pelan. “Oke, cuma hati-hati. Ini udah malam. Lo boleh marah, tapi ingat, nyawa lo cuma satu.” Dera tersenyum tipis. “Tenang aja. Kalau gue mati, gue bakal reinkarnasi jadi kucing.” Dengan kalimat itu, Dera melangkah keluar tanpa menoleh ke belakang. Suara tawa kecil mereka perlahan memudar saat Dera melaju di atas vespanya, menikmati dinginnya angin malam yang menyapu wajahnya. Mungkin inilah saat yang tepat untuk melarikan diri sejenak dari semua masalah. Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama. Di ujung jalan yang remang-remang, Dera melihat sesuatu yang tak beres. Sekelompok pria berpakaian hitam tengah bertarung melawan beberapa pria berbadan besar yang terlihat seperti bodyguard. Mereka mengelilingi sebuah mobil mewah, jelas-jelas melindungi seseorang di dalamnya. Dera menghentikan motornya, memperhatikan dari kejauhan. Suara tembakan tiba-tiba terdengar memecah udara malam. Satu per satu bodyguard itu tumbang. Ketegangan melingkupi sekitarnya, udara malam terasa semakin berat. "Buset... dari sini aja kelihatan kalau dia ganteng," gumam Dera ketika melihat seorang pria turun dari mobil. Wibawanya memancar, wajahnya terlihat tenang meskipun situasinya sangat berbahaya. Kaum Sultan pasti, pikir Dera. Tanpa berpikir panjang, Dera memutuskan untuk terlibat. Ia menggerakkan vespanya lebih cepat, menunggu momen yang tepat untuk bertindak. Dengan gesit, dia mendekatkan motornya ke arah pria itu dan berteriak, "Cepet naik kalau lo nggak mau mati muda!" Pria itu tidak ragu, langsung melompat ke atas motor. Begitu ia duduk, Dera langsung tancap gas. Vespa miliknya melesat dengan kecepatan luar biasa, tak kalah dari motor-motor sport. Suara tembakan kembali terdengar, membuat Dera harus lihai menghindar dengan membelokkan motornya ke sana kemari. Sementara jantungnya berdegup kencang, Dera menggerutu, "Sial... kenapa gue harus terjebak dalam masalah orang kaya? Gue bakalan mati nggak ya?" Ia membelokkan motornya ke gang kecil yang hanya cukup dilewati satu motor, berharap bisa menghilangkan jejak. Setelah beberapa menit berlalu, suara tembakan pun berhenti. Dera akhirnya menepi di tempat yang cukup aman, lalu menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pemuda itu turun dari motor dengan santai, seolah-olah tak ada yang terjadi. "Terima kasih. Saya bukan pencuri seperti yang mungkin kamu pikirkan. Saya sudah memiliki segalanya." Dera mendengus kecil. “Oh ya? Terus kenapa lo dikejar-kejar kayak maling?” Pemuda itu tersenyum tipis. "Itu urusan pribadi. Saya lupa membawa ponsel dan dompet. Bisa tolong antar saya pulang?" Dera menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Jadi lo minta gue anter lo pulang sekarang? Oke, tapi lo gantiin bensin dan biaya waktu gue ya. Gue orang miskin, bro." "Tenang saja. Saya akan bayar semua." Perjalanan pun berlanjut. Setelah sekitar empat puluh menit melaju di jalanan malam yang sepi, mereka tiba di depan sebuah rumah megah, lebih mirip istana daripada rumah. Bodyguard berbaris di luar gerbang, sementara lampu-lampu terang benderang menerangi halaman yang luas. “Ini rumah lo? Serius nggak salah alamat?” Dera terpana melihat kemewahan di depannya. Rasanya seperti melihat sesuatu yang hanya ada di televisi. “Ya, ini rumah saya. Tunggu sebentar.” Pemuda itu segera berjalan masuk, meninggalkan Dera yang masih termangu di atas vespa bututnya. Dera menghela napas panjang. "Gue jadi lupa apa yang mau gue beli tadi," gumamnya sendiri. Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk pergi. Sudah terlalu larut, dan pikirannya masih dipenuhi rencana-rencana besar untuk masa depan. "Skripsi kelar, sidang oke, wisuda, dan selesai. Setelah itu, gue bakalan pergi jauh-jauh dari kota ini," katanya dengan nada penuh tekad. Kota ini sudah terlalu banyak memberikan luka baginya. Orang tua yang tak pernah peduli, hidup yang keras, dan rasa terasing yang selalu membekas. Dera hanya ingin satu hal: hidup bahagia dengan caranya sendiri. *****Pagi-pagi sekali, Dera dikejutkan dengan dering telepon yang mengharuskan dirinya pergi ke kampus. Jadi Dera yang hendak menyiapkan sarapan untuk dia dan Dafi memilih untuk berhenti, skripsi akhirnya lebih penting. Kemarin, baru saja dia mendapatkan ACC untuk bagian pembahasan. Sebentar lagi penderitaannya akan berakhir. Arkan juga sudah menyepam pesan sejak kemarin. Mungkin karena Dera belum sempat membuka ponsel, jadi baru sempat membukanya sekarang. Ada ajakan nongkrong kemarin, tapi tidak jadi karena Dera tidak ikut serta dengan mereka."Harus cepet, bentar lagi wisuda!" seru Dera penuh semangat. Dera segera bergegas, mengambil tasnya dan memasukkan laptop serta berkas-berkas penting yang sudah disiapkan sejak kemarin. Dafi, yang masih setengah terjaga, bangun dan melihat Dera yang tampak sibuk entah karena apa. "Buru-buru, mau kemana?" tanya Dafi dengan raut bingung. "Kampus, maaf ya nggak jadi masak. Bimbingan kali ini lebih awal dari hari-hari sebelumnya, ada urusan mendad
"Manusia sultan mah bebas. Gue yakin si Dafi rumahnya nggak cuma ini dan yang sebelumnya doang, pasti masih banyak aset yang gue nggak tau. Mana rumahnya tetep gede semua lagi." kata Dera sambil menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Ehhh tunggu, ini beneran rumah yang waktu itu gue datengin karena habis nolongin orang kan? Jadi apa bener yang gue tolongin waktu itu beneran si Dafi?" Dafi sudah keluar dari dalam mobil lebih dulu, meninggalkan dirinya yang masih berada di dalam mobil karena dia sempat berpura-pura tidur tadi. Luar kota yang dimaksud Dafi ternyata hanya perbatasan kota saja. Dera kira harus membutuhkan banyak waktu untuk perjalanan ke tempat yang Dafi maksud. Dera keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Dia memandangi rumah besar yang sekarang tampak begitu familiar. Ingatannya mulai berputar kembali ke kejadian beberapa hari yang lalu ketika dia menolong seorang pria yang dikeroyok. "Jadi yang gue tolongin waktu itu beneran Dafi, jangan-jangan bener gue
"Apa itu masih sakit? Sini saya obatin muka kamu." kata Dafi ketika Dera baru saja masuk ke dalam mobil. Kaget, tentu saja Dera merasakan hal itu. Dafi menggeser tubuhnya agar Dera bisa duduk di sampingnya. Sejak tadi dia juga sudah menyiapkan P3K, berharap Dera mau segera diobati lukanya ketika menyusulnta. Namun nyatanya Dafi harus dibuat menunggu, sambil mengamati gerak-gerik yang dilakukan istrinya sejak tadi. Bangga tentu saja, padahal Dafi sudah mencari informasi sedetail yang dia bisa. Yang dilakukan Ayahnya kepada Dera hhanyalah menorehkan ebagian luka besar menganga tak pernah diobati. Namun Dera masih terlihat berbaik hati, menunggu dengan setia hingga Ayahnya masuk ke dalam taksi. "Ini mungkin sedikit perih, tapi kamu harus bertahan ya?" Dafi tiba-tiba berkata lembut, tangannya bergerak pelan membersihkan luka tamparan di wajah Dera dengan hati-hati. Dera meringis sedikit, tapi dia tetap diam tidak berkomentar apapun. Pikirannya masih dipenuhi oleh fakta-fakta yang
Dera itu memang tipikal perempuan yang gampang patuh, namun di sisi lain dia juga tipikal yang pembangkang juga. Setelah masuk ke dalam kontrakan, dia memilih untuk memasang telinganya dalam-dalam. Ingin tahu apa yang dibicarakan oleh Ayahnya dan suaminya secara serius tentu saja! Mendekatkan telinganya ke arah pintu, berharap bisa mendengar dengan jelas percakapan antara ayahnya dan Dafi di luar sana. Ayahnya berbicara dengan nada yang jelas tegang dan marah, sementara Dafi masih dengan suara yang tenang dan datar. "Saya sudah tidak peduli dengan siapa saya berbicara sekarang. Pada intinya, anda harus membantu perusahaan saya! Sesuai perjanjian bisnis dalam pernikahan, sudah seharusnya anda membantu keruntuhan perusahaan saya!" suara Ayah Dera terdengar jelas di telinga Dera saat ini. Dera terkekeh kecil, benar-benar tidak tau malu Ayahnya itu. Padahal Ayahnya sendiri yang melanggar perjanjian dengan menggantikan Dela dengan dirinya didetik-detik terakhir lantaran berita kecelakaa
Dera tidak langsung pulang ke rumah suaminya. Sebaliknya dia memilih untuk pergi ke tempat kontrakannya sebelumnya, ada beberapa barang penting yang seharusnya dia bawa ke tempat tinggal barunya. Beruntung ketika Arkan mengambil barang-barangnya tempo beberapa hari yang lalu, kuncinya tidak dibawa dan diletakkan di tempat persembunyian aman. Jadi dia memilih untuk bersantai sebentar, presetan dengan waktu yang sudah hampir menjelang sore. "Ini baru Dera, kehidupan seperti ini yang sebenarnya gue mau. Aman, tenang, damai, dan yang pasti hidup sendirian." kata Dera sambil tersenyum dan memejamkan matanya.Andai Ayahnya tidak memintanya untuk menikah, andai Ayahnya tidak memintanya untuk menggantikan posisi kembarannya dalam sebuah pernikahan bisnis, mungkin Dera masih bisa hidup dengan tenang sekarang. Minusnya, Dera mungkin akan selalu hidup di bawah garis kemiskinan. "Hidup terlalu sempurna untuk kembaran gue. Sedangkan hidup gue terlalu hancur demi kebahagian kembaran gue." lanjut
Dafi kini berada di kursi kebesarannya dengan senyum yang kadang-kadang timbul. Kantornya yang mewah dan rapi memancarkan kesan profesionalisme, namun pikiran Dafi melayang kembali ke momen-momen bersama Dera tadi pagi. Dia merasakan kepuasan yang mendalam melihat bagaimana hubungan mereka perlahan-lahan membaik meskipun dengan sedikit paksaan. Di depannya, Andrew Matthew sang sahabat sekaligus sekretarisnya itu menatap Dafi dengan raut bingung. Ia sebenarnya sedikit agak ngeri, kejadian seperti ini tidak pernah terjadi selama mereka menjalin persahabatan. Sahabatnya tidak sedang kerasukan kan sekarang? "Hei, bro," panggil Andrew pelan, berusaha mengembalikan perhatian Dafi dari lamunan dan senyum mengembangkan, "Lo nggak sedang kerasukan kan? Gue takut lo ketempelan genderuwo diperjalanan ke kantor tadi." Andrew Matthew menatap Dafi dengan rasa ingin tahu yang semakin besar. Ia sudah mengenal Dafi sejak lama, dan senyum yang kadang-kadang muncul di wajah sahabatnya itu adalah