Dera berdiri di depan pintu rumahnya, dagunya terangkat tinggi saat tatapan tajam matanya menelusuri wajah kedua orang tuanya. Tas punggungnya tergantung malas di bahu kanannya, seperti benda berat yang selalu siap ia tinggalkan. Rasa jengah melandanya, udara di sekitar rumah ini terasa begitu berat, lebih berat daripada sebelumnya.
"Jadi, kalian mau aku yang gantiin Dela buat nikah sama orang itu? Karena dia kabur, dan aku, 'satu-satunya pilihan yang tersisa,' begitukah?" Suaranya terdengar sinis, tajam seperti pisau yang menguliti setiap kata dengan ketidakpedulian. Ayahnya, pria dengan raut wajah tegas namun kaku, menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut. "Dera, ini bukan tentang kamu. Ini tentang keluarga. Jangan bertindak seolah kamu tak mengerti. Lakukan ini demi nama baik kita." Dera tersenyum miring, senyum yang penuh ejekan. "Ah, nama baik? Kalian baru peduli sekarang? Aneh sekali, mengingat selama ini nama Dela yang selalu keluar dari mulut kalian. Namaku saja rasanya baru kali ini Ayah ingat," balasnya, nadanya sarkastik namun terasa menyakitkan. Dari sudut matanya, ia melihat ibunya bergetar, menahan emosi yang tak terbendung. "Dera, ini bukan waktu untuk durhaka. Kita hanya minta kamu melakukan hal yang benar," ujar ibunya dengan suara yang sedikit gemetar, seperti tali yang sudah terlalu lama direntang. "Durhaka?" Dera tertawa kecil, dingin. "Kalian tahu apa tentang durhaka? Selama ini kalian yang selalu memperlakukan aku seperti duri dalam daging. Dan sekarang, kalian ingin aku jadi tumbal? Kalian nggak pernah peduli dengan aku, tapi tiba-tiba aku jadi harapan satu-satunya?" Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Dera dengan kekuatan penuh. Terlalu keras. Terlalu menyakitkan. Namun Dera tidak terkejut, ini bukan pertama kalinya. Dia sudah kebal dengan pukulan, baik yang fisik maupun yang emosional. Tamparan ini hanya menambah daftar panjang luka yang telah lama menumpuk dalam hidupnya. Tanpa mengusap pipinya yang memerah, Dera tetap berdiri tegak. "Kalian pikir tamparan bisa bikin aku tunduk?" katanya, lebih pelan namun penuh ancaman. "Semua ini cuma soal uang, kan? Kalian mau aku nikah sama pewaris yang lumpuh itu demi saham dan kekayaan? Sejak kapan kalian peduli tentang aku?" Ibunya mulai terisak, wajahnya menunjukkan kepanikan yang sudah lama terpendam. "Dera, kita bisa bangkrut kalau perjodohan ini batal. Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluarga kita," katanya, tangisnya semakin jelas. Dera menggeleng pelan, pandangannya kosong, dingin. "Bangkrut? Dan apa peduliku? Selama ini aku hidup tanpa bantuan kalian. Semua yang kumiliki, kudapatkan sendiri. Dari kalian? Nggak ada. Kalian bahkan nggak pernah tanya kabarku saat aku jatuh. Kalian hanya peduli pada Dela." Mereka diam. Akhirnya, Dera mendapatkan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya dari orang tuanya: kebungkaman. Keheningan yang selama ini ia impikan, seolah-olah kata-katanya baru saja menembus perisai ketidakpedulian mereka. Dengan napas yang sedikit tertahan, Dera berjalan melewati kedua orang tuanya, menaiki tangga yang berderit, menuju kamar yang pernah menjadi gudang. Di situlah dia menghabiskan sebagian besar hidupnya, jauh dari mereka. Dera mengingat bagaimana dia sendiri yang membersihkan kamar itu, mengubahnya menjadi ruang kecil tempat dia bisa bernapas di tengah kekacauan rumah ini. Setidaknya di tempat itu, dia merasa memiliki sesuatu yang dia ciptakan sendiri. Setelah mengambil laptop yang ia simpan, Dera memeriksa isinya sejenak. Kerangka skripsinya aman, disimpan dengan rapi di folder yang sudah ia atur. Sebuah napas lega keluar dari bibirnya. "Untung aja masih ada," gumamnya pelan. Suara berat ayahnya kembali bergema dari lantai bawah. "Dera! Kita belum selesai berbicara! Kembali ke sini sekarang juga!" Dera menarik napas panjang, mengangkat bahunya, lalu dengan santai memasukkan laptop ke dalam tasnya. Ia turun dengan langkah ringan namun tegas. Di bawah, tatapan penuh amarah menunggunya, tetapi Dera tidak gentar. "Ada lagi yang mau dibahas? Sudah jelas kan jawabanku?" katanya sambil menatap langsung ke arah ayahnya. "Aku nggak akan jadi boneka kalian. Dela yang kalian cari, bukan aku." Ibunya meratap, "Dera, tolonglah. Demi kita..." Dera menggeleng lagi, kali ini dengan lebih tegas. "Kalian minta aku menyelamatkan sesuatu yang bahkan bukan bagian dari hidupku. Kalau kalian mau selamat, cari Dela. Bukan aku." Ayahnya berdiri, wajahnya memerah karena marah. "Kalau Dela nggak kabur, aku nggak akan pernah minta bantuan kamu!" Dera hanya tersenyum kecil, sinis. "Benar. Dan aku nggak akan pernah ada di sini kalau bukan untuk laptopku." Ia melangkah keluar tanpa menghiraukan teriakan ayahnya yang semakin keras. Dunia di luar rumah itu jauh lebih menarik daripada tempat yang selama ini disebutnya sebagai 'neraka dunia.' Saat tiba di luar, Zidan, sohibnya, duduk di motor dengan wajah bosan. "Lo ngapain di dalam? Ngambil laptop aja lama banget, gue udah setengah mati nungguin tau," keluh Zidan. "Sorry, konflik keluarga. Lo tau sendiri gimana kalau gue pulang ke sini," balas Dera sambil menghembuskan napas panjang. Zidan tertawa kecil. "Hidup lo kebanyakan drama, Ra. Kayak figuran yang sibuknya ngalahin pemeran utama. Jadi, ribut soal apa kali ini?" Dera mendengus pelan. "Gue disuruh gantiin Dela buat nikah." Zidan langsung terbahak. "Hah? Lo? Nikah? Sama siapa? Hahahaha..." Dera mengangkat tinjunya, siap memberi Zidan satu pelajaran lagi kalau dia tidak berhenti tertawa. "Gue nggak segan, Din. Lo mau kena lagi?" Zidan masih tertawa, meski mencoba meredakannya. "Gue nggak bisa bayangin lo jadi emak-emak, Ra. Dunia kayaknya bakalan kacau." Dera melotot tajam. "Lo kalau nggak berhenti ketawa, gue sumpel mulut lo pakai batu bata." "Ampun, ampun! Calon ibu-ibu galak amat!" Zidan mengangkat tangannya, menyerah. Dera menggerutu sambil naik ke motor. "Ayo cepet, gue udah muak sama tempat ini." Zidan tertawa kecil lagi sebelum menyalakan motornya, mereka pun melaju, meninggalkan rumah itu dengan segala kekacauannya di belakang.Pagi-pagi sekali, Dera dikejutkan dengan dering telepon yang mengharuskan dirinya pergi ke kampus. Jadi Dera yang hendak menyiapkan sarapan untuk dia dan Dafi memilih untuk berhenti, skripsi akhirnya lebih penting. Kemarin, baru saja dia mendapatkan ACC untuk bagian pembahasan. Sebentar lagi penderitaannya akan berakhir. Arkan juga sudah menyepam pesan sejak kemarin. Mungkin karena Dera belum sempat membuka ponsel, jadi baru sempat membukanya sekarang. Ada ajakan nongkrong kemarin, tapi tidak jadi karena Dera tidak ikut serta dengan mereka."Harus cepet, bentar lagi wisuda!" seru Dera penuh semangat. Dera segera bergegas, mengambil tasnya dan memasukkan laptop serta berkas-berkas penting yang sudah disiapkan sejak kemarin. Dafi, yang masih setengah terjaga, bangun dan melihat Dera yang tampak sibuk entah karena apa. "Buru-buru, mau kemana?" tanya Dafi dengan raut bingung. "Kampus, maaf ya nggak jadi masak. Bimbingan kali ini lebih awal dari hari-hari sebelumnya, ada urusan mendad
"Manusia sultan mah bebas. Gue yakin si Dafi rumahnya nggak cuma ini dan yang sebelumnya doang, pasti masih banyak aset yang gue nggak tau. Mana rumahnya tetep gede semua lagi." kata Dera sambil menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Ehhh tunggu, ini beneran rumah yang waktu itu gue datengin karena habis nolongin orang kan? Jadi apa bener yang gue tolongin waktu itu beneran si Dafi?" Dafi sudah keluar dari dalam mobil lebih dulu, meninggalkan dirinya yang masih berada di dalam mobil karena dia sempat berpura-pura tidur tadi. Luar kota yang dimaksud Dafi ternyata hanya perbatasan kota saja. Dera kira harus membutuhkan banyak waktu untuk perjalanan ke tempat yang Dafi maksud. Dera keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Dia memandangi rumah besar yang sekarang tampak begitu familiar. Ingatannya mulai berputar kembali ke kejadian beberapa hari yang lalu ketika dia menolong seorang pria yang dikeroyok. "Jadi yang gue tolongin waktu itu beneran Dafi, jangan-jangan bener gue
"Apa itu masih sakit? Sini saya obatin muka kamu." kata Dafi ketika Dera baru saja masuk ke dalam mobil. Kaget, tentu saja Dera merasakan hal itu. Dafi menggeser tubuhnya agar Dera bisa duduk di sampingnya. Sejak tadi dia juga sudah menyiapkan P3K, berharap Dera mau segera diobati lukanya ketika menyusulnta. Namun nyatanya Dafi harus dibuat menunggu, sambil mengamati gerak-gerik yang dilakukan istrinya sejak tadi. Bangga tentu saja, padahal Dafi sudah mencari informasi sedetail yang dia bisa. Yang dilakukan Ayahnya kepada Dera hhanyalah menorehkan ebagian luka besar menganga tak pernah diobati. Namun Dera masih terlihat berbaik hati, menunggu dengan setia hingga Ayahnya masuk ke dalam taksi. "Ini mungkin sedikit perih, tapi kamu harus bertahan ya?" Dafi tiba-tiba berkata lembut, tangannya bergerak pelan membersihkan luka tamparan di wajah Dera dengan hati-hati. Dera meringis sedikit, tapi dia tetap diam tidak berkomentar apapun. Pikirannya masih dipenuhi oleh fakta-fakta yang
Dera itu memang tipikal perempuan yang gampang patuh, namun di sisi lain dia juga tipikal yang pembangkang juga. Setelah masuk ke dalam kontrakan, dia memilih untuk memasang telinganya dalam-dalam. Ingin tahu apa yang dibicarakan oleh Ayahnya dan suaminya secara serius tentu saja! Mendekatkan telinganya ke arah pintu, berharap bisa mendengar dengan jelas percakapan antara ayahnya dan Dafi di luar sana. Ayahnya berbicara dengan nada yang jelas tegang dan marah, sementara Dafi masih dengan suara yang tenang dan datar. "Saya sudah tidak peduli dengan siapa saya berbicara sekarang. Pada intinya, anda harus membantu perusahaan saya! Sesuai perjanjian bisnis dalam pernikahan, sudah seharusnya anda membantu keruntuhan perusahaan saya!" suara Ayah Dera terdengar jelas di telinga Dera saat ini. Dera terkekeh kecil, benar-benar tidak tau malu Ayahnya itu. Padahal Ayahnya sendiri yang melanggar perjanjian dengan menggantikan Dela dengan dirinya didetik-detik terakhir lantaran berita kecelakaa
Dera tidak langsung pulang ke rumah suaminya. Sebaliknya dia memilih untuk pergi ke tempat kontrakannya sebelumnya, ada beberapa barang penting yang seharusnya dia bawa ke tempat tinggal barunya. Beruntung ketika Arkan mengambil barang-barangnya tempo beberapa hari yang lalu, kuncinya tidak dibawa dan diletakkan di tempat persembunyian aman. Jadi dia memilih untuk bersantai sebentar, presetan dengan waktu yang sudah hampir menjelang sore. "Ini baru Dera, kehidupan seperti ini yang sebenarnya gue mau. Aman, tenang, damai, dan yang pasti hidup sendirian." kata Dera sambil tersenyum dan memejamkan matanya.Andai Ayahnya tidak memintanya untuk menikah, andai Ayahnya tidak memintanya untuk menggantikan posisi kembarannya dalam sebuah pernikahan bisnis, mungkin Dera masih bisa hidup dengan tenang sekarang. Minusnya, Dera mungkin akan selalu hidup di bawah garis kemiskinan. "Hidup terlalu sempurna untuk kembaran gue. Sedangkan hidup gue terlalu hancur demi kebahagian kembaran gue." lanjut
Dafi kini berada di kursi kebesarannya dengan senyum yang kadang-kadang timbul. Kantornya yang mewah dan rapi memancarkan kesan profesionalisme, namun pikiran Dafi melayang kembali ke momen-momen bersama Dera tadi pagi. Dia merasakan kepuasan yang mendalam melihat bagaimana hubungan mereka perlahan-lahan membaik meskipun dengan sedikit paksaan. Di depannya, Andrew Matthew sang sahabat sekaligus sekretarisnya itu menatap Dafi dengan raut bingung. Ia sebenarnya sedikit agak ngeri, kejadian seperti ini tidak pernah terjadi selama mereka menjalin persahabatan. Sahabatnya tidak sedang kerasukan kan sekarang? "Hei, bro," panggil Andrew pelan, berusaha mengembalikan perhatian Dafi dari lamunan dan senyum mengembangkan, "Lo nggak sedang kerasukan kan? Gue takut lo ketempelan genderuwo diperjalanan ke kantor tadi." Andrew Matthew menatap Dafi dengan rasa ingin tahu yang semakin besar. Ia sudah mengenal Dafi sejak lama, dan senyum yang kadang-kadang muncul di wajah sahabatnya itu adalah