LOGINMata Meiza membulat seketika. Tubuhnya bergetar hebat, ia pun gegas menelefon sang adik yang memberi kabar. "Hallo, Dek. Apa yang terjadi?" tanya Meiza dalam sambungan telefon.
"Ayah kecelakaan, Kak. Sekarang di rumah sakit, harus dioperasi, tapi ... tapi kita gak punya uang, Kak!" jawab adik Meiza dari seberang sana. Meiz tak bisa lagi berkata-kata. Ia tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Adiknya Meiza mengirim foto-foto ayah mereka saat kecelakaan, dan saat dibawa ke ruang IGD. "Kata dokter, Ayah harus dioperasi sekarang, kalau tidak, Dokter tak tahu apa Ayah bisa bertahan sampai besok atau tidak," terang Azizah di tengah isaknya. Air mata Meiza kini mulai meluncur deras ke pipinya. Ia sungguh tak tahu apa yang akan dia lakukan. Mata Arda menyipit melihat pembantunya menangis, ia pun bertanya. "Kenapa kamu menangis?" Meiza mendongak melihat ke arah Arda Seketika terlintas di pikirannya, apa kah dia harus menerima tawaran Arda? Haruskah dia menjadi istri kedua? Apa kah dia harus melakukan hal yang dilarang oleh agama? Tapi jika dia tak melakukannya, bagaimana dengan ayahnya? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas begitu saja di benaknya. "Ya Allah, ampuni hamba jika ini adalah sebuah dosa. Bukankah Engkau maha pengampun jika ada hamba-Mu melakukan sesuatu karena terpaksa?" keluh Meiza dalam hatinya. "Ayah saya kecelakaan, Madam," jawab Meiza seraya tertunduk. Ia tak mampu berbicara berapi-api seperti tadi. Hatinya dipenuhi kegalauan dan kebimbangan. "Ouh, saya turut prihatin. Aku yakin pastinya mereka membutuhkan biaya, iya kan? Kenapa kamu tak menerima tawaranku saja?" Arda kembali mendesak Meiza. Dia kali ini tersenyum penuh kemenangan karena dia tahu, Meiza tak akan mampu menolak keinginannya. Meiza bergeming, dia diam seribu bahasa. Hanya air matanya yang menjawab pertanyaan majikannya. Hatinya sungguh pilu, tak ada kah pilihan lain selain harus menerima tawaran gila majikannya. Meiza menghela napas dalam-dalam, tatapan matanya terlihat kosong.⁷ Dengan mengucap istigfar, ia akhirnya mengangguk di hadapan Arda, pertanda dia telah setuju dan menyerah pada kemauan bosnya itu. "Bagus, sekarang berikan nomor rekeningmu, aku akan mentransfer sekarang juga," kata Ratu Arda sambil menadahkan tangan kanannya. Meiza yang paham maksud Arda, segera memberikan nomor rekeningnya. Matanya membulat sempurna ketika menerima notifikasi di ponselnya. Ia membaca sms itu dengan mulut setengah menganga karena terkejut melihat nominal di nomor rekeningnya. "Itu hanya dp, sisanya akan aku transfer saat kamu sudah menikah dengan suamiku," tegas Arda sambil tersenyum menyeringai. "Sekarang pergilah, persiapkan dirimu. Kita akan pergi ke Aldira," lanjutnya. Setelah selesai berbicara, Meiza gegas undur diri dari hadapan Arda. Ia berjalan dengan gontai menuju kamarnya, kemudian membuka lemarinya, membereskan semua barang-barangnya. "Mez, kamu mau kemana? Apa kamu mau dipulangkan?" tanya Janet. Mona mencoba tersenyum melihat ke arah Janet. Ia mengatakan bahwa dia hanya disuruh beres-beres bajunya, tapi dia tak diberi tahu akan dipulangkan atau tidak. "Halah, paling juga kamu akan dipenjarakan karena kamu udah mencuri!" ledek Sisi menimpali Meiza. Meiza hanya diam tak merespon perkataan temannya yang selalu usil itu. Sementara itu Arda, setelah kepergian Mona, dia gegas menelefon suaminya untuk memintanya mengambil pembantu baru untuk dirinya. Tanpa banyak membantah, Ardi pun menuruti keinginan istrinya. "Apa kamu sudah siap, Sayang?" tanya Ardi ketika dia sudah kembali ke rumah mereka. Arda mengangguk, dia segera meminta Meiza menghadap dirinya. "Ayo kita berangkat, kamu masukkan semua barang-barang kamu ke bagasi mobil!" titah Moza pada Mona. Tanpa banyak bicara, Meiza pun bergegas menuju tempat di mana mobil majikannya terparkir. Arda duduk di depan, sedangkan dia sendiri duduk di belakang. Setelah melihat istri dan pembantunya masuk mobil, Ardi pun memasuki mobilnya. "Apa kamu sudah siap, Sayang?" tanya Aedi pada istrinya dengan mesra, bibirnya menyapa Arda, tapi ujung matanya melirik ke arah spion yang memperlihatkan wajah Meiza. Mobil Range rover itu terus berjalan menjauh dari kota A menuju kota Aldira. Ardian adalah seorang pengusaha yang memiliki beberapa villa di setiap kota di . Villa Aedi di kota Aldira terletak di tepi teluk yang menghadap langsung ke arah teluk. "Bawa semua barang-barang ini ke Villa!" titah Ardian pada Meiza. Sementara dia sendiri membawa Arda masuk ke Villa. Tanpa menjawab perkataan majikanny, Meiza langsung menurunkan barang-barang miliknya juga milik majikannya, tetapi dia tidak membawanya sendiri. Dia memanggil satpam yang ada di situ. Wajah Ardian terlihat memerah, ketika melihat bukan Meiza yang memasukkan semua barang-barangnya, "Heh, kamu! Aku suruh kamu memasukkan semua barangku, kenapa kamu menyuruh satpam?" bentak Ardian. Meiz melirik ke arah laki-laki yang memakai Jas navy lengkap dengan kemeja putih dan dasi senada dengan jasnya. "Saya gak sanggup bawa sendiri. Saya ini perempuan, jadi harusnya Anda tidak memperdaya saya!" sahut Meiza pada majikannya. Mendengar sindiran pedas itu, Ardian mendekat ke arah gadis itu dan berbisik. "Jangan sombong, kamu! Jangan mentang-mentang istri saya mau menikahkan kamu denganku, lantas kamu menjadi besar kepala. Ingat, bagi saya kamu tetap pembantu saya, meski nanti saya menikahi kamu!" tandas Ardian sambil berlalu meninggalkan Meiza yang terbakar amarah karena mendengar hinaan majikannya itu.Karena terlalu pusing, Sultan alhirnya memutuskan untuk pergi ke tempat Mona. Dia masuk ke apartemen tanpa mengucapkan salam. Dia langsung masuk dan merebahkan tubuhnya di sofa. "Sultan, kapan kamu masuk? Kok, gak salam dulu?" tanya Mona seraya duduk di sofa depan Sultan. "Maaf, aku lupa, kepalaku pusing sekali makanya aku tadi langsung masuk," jawab Sultan. Mona terlihat manggut-manggut, kemudian dia pergi ke dapur dan membuatkan minuman untuk Sultan. "Minumlah, biar kamu merasa segar!" titah Mona sambil menyodorkan gelas berisi jus Jeruk nipis. "Terima kasih, Mona." Sultan memberikan gelas pada Mona. Entah kenapa bukan cuma kepalanya yang terasa dingin, tapi juga hatinya. Ada sebuah ketenangan yang dia rasakan ketika memandang wajah Mona. Mona menerima gelas itu dan meletakkannya di bar dapur. Setelahnya dia duduk di samping Sultan. "Sini, aku pijitin, biar kamu merasa rilex." Mona menuntun Sultan dan membawanya ke ruang olah raga. "Kamu mau saya olah raga?" t
Sultan merenungi kata-kata sang OB dengan sungguh-sungguh. Ia benar-benar ingin belajar seperti yang dikatakan Mona. Dia sangat penasaran dengan gaya hidup Mona yang menurutnya aneh."Baiklah, aku ingin mendengarkan lebih banyak hal tentang itu. Karenanya, kamu saya angkat menjadi penasehat probadi saya. Assistant Mahdi, silakan beri dia hadiah juga," ujar Sultan sambil meninggalkan ruangan meeting.Dia ingin langsung pergi ke apartemen untuk menemui Mona, tapi dia mendapat telefon dari Moza bahwa ibunya kini berada di rumah Moza. Dia pun langsung memerintahkan sopir untuk membawanya pulang. Selamat siang, Ummi!" sapa Sultan pada ibunya.Amnah menoleh ke arah pintu. Dia tersenyum ketika melihat sang putri masuk dan langsung memeluknya. "Selamat siang juga Nak, apa kabar kamu?" sambut Amnah sembari membalas pelukan Sultan.Mereka pun duduk di Sofa, tapi Sultan dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang bersama ibunya. Seorang wanita cantik yang tentunya dia kenal, yang tak lain adal
Mona hampir saja kehilangan kendali akibat gerakan Sultan di tubuhnya, tapi dia mendorong tubuh Sultan dengan lembut. “Aku bersedia melakukannya denganmu, tapi dengan satu syarat,” ujar Mona sambil berpindah tempat duduk.“Apa itu, apa kamu mau aku belikan sesuatu? Kalau begitu bersiaplah, aku akan mengantarmu ke toko mana pun yang kamu mau?” jawab Sultan dengan penuh antusias. Dia mengira Mona hanya menginginkan hartanya.Mona memutar bola matanya, kemudian mendengkus kasar. “Dasar orang kaya, apa di pikiranmu hanya ada uang dan barang-barang mewah? Aku mau lebih dari barang mewah. Aku mau kamu menjadi suamiku yang sesungguhnya. Kamu harus tahu dan paham, apa tujuan berumah tangga dalam Islam, apa kamu sanggup?” tanya Mona sembari memicingkan matanya. Sultan manggut-manggut karena dia pikir yang dipinta Mona adalah hal yang mudah. “Baik, aku sanggup, hmm tapi bagaimana caranya?” “Hmmm, kamu cari saja tutorialnya di situs Islami, ya pokoknya aku mau kamu melakukan apapun dalam rumah
“Marry dan Sisi, pegangi dia!” titah Moza pada kedua pembantunya, sementara dia sendiri mendekatkan kursi rodanya ke arah Mona yang tangannya kini sudah dipegangi.“Lepaskan saya! Kurang ajar kalian! Anda Madam, kenapa Anda ingin menyiksa saya? Anda yang menjebak saya, tapi kenapa saya yang disalahkan?” Mona terus berteriak sambil meronta-ronta.“Jangan banyak omong kamu! Dekatkan wajahnya padaku!” Tanpa banyak bicara, Marry dan Sisi menekan kepala Mona agar mendekat ke arah Moza, Sementara Moza menghunus sebilah pisau dan mengacungkannya ke arah wajah Mona di depannya. “Rasakan ini, biar kamu jadi jelek!” Moza mengangkat tangannya bermaksud mengarahkan pisah itu ke wajah Mona dan menggoresnya. Namun, belum sempat pisau itu mengenai kulit wajah Mona, Sebuah sepatu melayang ke arah tangan Moza sehingga pisau itu terlepas dari tangannya.“Moza, kenapa kamu keterlaluan?” teriak Sultan dari belakang Moza. Dengan wajah memerah, dia mendekat ke arah Moza dan Mona yang masih dipegangi kedu
"Ayo naik!" Sultan langsung membuka pintu mobil yang ada di samping kanannya memerintahkan Mona masuk ke dalam. Karena tak punya pilihan lain, Mona pun memasuki mobil itu tanpa Mobil Sultan melaju melewati tepi pantai kemudian menembus terowongan yang panjangnya ratusan meter. Sekitar 4 jam kemudian, mereka pun tiba di kota A. "Turun!" titahnya pada Mona. Mona pun langsung turun tanpa berkata apa pun. Sultan membawa Mona ke salah satu apartemen-nya. "Kamu akan tinggal di sini, nanti saya akan sering menengok kamu," ujar Sultan ketika mereka sampai di depan pintu salah satu unit apaetemen itu. Tanpa menjawab, Mona langsung memasuki apartemen itu. "Aku sudah menyediakan semua keperluanmu di sini, bahan makanan juga ada di dapur," Sepeninggal Sultan, Mona berjalan mondar-mandir di dalam apartemennya, dia bermaksud untuk kabur. "Aku harus kabur dari sini!" Mona gegas menuju balkon. Dia mengukur ketinggian kamar yang dia tempati. Untungnya kamar apartemennya hanya ada di lantai
Meiza dan Yati hanya mendengkus kesal mendengar ucapan majikan mereka yang bawel itu. "Ya ampun, kirain kita gak diawasi, dasar nenek lampir!" maki Yati penuh kekesalan, sementara Meiza hanya tersenyum geli melihat teman kerjanya itu. Siang berganti malam, Yati sudah pergi tidur ke kamarnya, sementara Meiza, masih duduk termenung di balkon memandangi pinggir teluk yang terlihat indah karena dihiasi lampu-lampu malam. "Ya Allah, apa aku kabur saja, ya? aku gak mau dijadiin seperti ternak, yang harus beranak kemudian anakku harus diserahkan pada mereka. Aku gak mau anakku hidup bersama orang lain, aku gak mau!" Meiza terus merutuki keadaannya. Dia memejamkan mata sambil berpikir, apa harus dia pergi meninggalkan Villa. Setelah mendapat keputusan, dia pun menyiapkan pakaiannya di koper. Setelah itu, dia berjalan ke arah ruangan kontrol cctv dan kwh. Dia bergegas memadamkan listrik di Villa itu. Setelah selesai, dia pun pergi ke gerbang. Baru saja dia akan membuka, gerbang itu







