LOGINDengan hati tak menentu, Meiza melangkah masuk ke kamar yang disediakan untuknya. Belum sempat dia istirahat, majikannya sudah memanggilnya dan menginginkan gadis itu melayaninya.
“Aku mau makan, tolong siapkan makanan untukku!” titah Ratu setelah Meiza berada di depannya. Tanpa berkata apa pun, Meiza langsung membawa majikannya ke meja makan. “Dengar Meiza, nanti malam suamiku akan membawa seorang Ustadz dan beberapa orang yang bisa menikahkan kalian secara agama, kamu silakan kabari keluarga kamu agar menjadi wali bagi kamu, nanti,” ujar Arda. Meiza hanya mengangguk mendengar semua perkataan bosnya. “Nanti setelah kamu menikah dengan suamiku, kami akan mendatangkan pembantu ke rumah ini untuk menemani kamu.” “Iya, Madam. Terima kasih,” jawab Meiza singkat. Ia sungguh malas berbicara dengan majikannya itu. Meiza terus saja menyetujui apa pun yang dikatakan Arda, ia tak sadar bahwa Arda menginginkannya mengandung, untuk mengambil bayinya. Dalam pikiran Meiza, dia hanya diperintahkan menjadi istri sementara tanpa disentuh. Hari telah berubah gelap, Meiza memutuskan untuk menghubungi keluarganya agar ada yang mau menjadi wali pada proses akad nikah nanti. “Apa, Kakak akan menikah dengan orang kota?” tanya Hafidz, adiknya yang masih SMA dalam sambungan telefon. “Iya, Dek. Majikan Kakak mau menolong kakak mengirim uang buat biaya operasi Ayah, dengan syarat kakak harus menikah dengan majikan kakak," jawab Meiza. Karena Meiza sudah meyakinkan adik-adiknya, dan juga ibunya, akhirnya mereka menyetujui rencana pernikahan itu. Meiza akan dinikahkan oleh Hafidz, meski hanya lewat Video Call. Azan magrib berkumandang, tak lama kemudian, Arda memanggil Meiza ke ruang tamu. Di sana sudah terlihat ada beberapa orang menunggu. "Bersiaplah, aku beri waktu kamu tiga puluh menit," ketus Arda. Meiza hanya bisa mengangguk pasrah. Dia pun kembali ke kamarnya dan bersiap memakai baju seadanya, kemudian duduk di depan meja rias, memandangi bayangannya di cermin. "Ya Allah, apa yang hamba lakukan ini sudah benar? Ampuni hamba, jika ini merupakan sebuah dosa, ampuni hamba ya Allah, hamba tak bermaksud mempermainkan syariat pernikahan. Hamba terpaksa melakukan ini, dan Engkau maha tahu hati hamba, ya Robb!" rintihnya dengan air mata berurai tak karuan. Hingga ia tak sadar, tiga puluh menit telah berlalu. Arda yang menunggu Meiza di ruang tamu kini terlihat kesal, ia pun segera menelefon gadis itu. ("Meiza, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu belum datang?") bentak Arda dalam sambungan telefon itu. Meiza tak menjawab majikannya, ia mematikan sambungan telefon dan langsung memoles wajahnya dengan sedikit make up agar menyamarkan wajah sembabnya. Selesai berdandan, ia pun menuju ruang tamu. Ternyata di situ, Ardi pun sudah duduk di dekat istrinya. "Kamu ini lama sekali, ayo cepat duduk!" titah Arda a dengan wajah galak. Meiza pun duduk dan perlahan membuka ponselnya untuk melakukan Video Call. "Pak, silakan, ini adik saya, dia yang akan menjadi wali saya, karena ayah saya barusan dioperasi, dan belum sadarkan diri," ucap Meiza sambil menyerahkan ponselnya ke orang Indonesia yang akan menikahkannya. "Baik, Mbak. Mister, ayo kita mulai!" ujar orang itu pada Ardi. Dengan malas, Ardi pun mendekat, dan mengikuti semua yang dikatakan oleh Ustadz yang berasal dari kampung itu. Proses pengucapan Akad pun berlangsung khidmat sampai selesai. "Alhamdulilah, Mister Ardi dan Mbak Meiza sekarang sudah sah menjadi suami istri dalam pandangan agama. Jadi, kalian mulai dari sekarang bisa melaksanakan hak dan kewajiban sebagai suami istri. Setelah selesai, ke lima orang Indonesia itu pun berpamitan. Kini tinggal ketiga orang itu yang berada di Villa, Ardi dan kedua istrinya. Perasaan mereka bertiga kini terasa campur aduk, Arda yang tadinya antusias ingin menikahkan Meiza dengan suaminya, kini terlihat cemas. Ada kecemasan yang tiba-tiba menghantui dirinya, cemas kalau nanti Ardi justru akan jatuh cinta pada Meiza, tetapi dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, bahwa suaminya tak mungkin jatuh cinta pada seorang pembantu. Sementara Meiza, hati Meiza semakin ketakutan karena dia menyadari, kini dia telah terikat dengan pernikahan yang tak tahu kemana haluannya. Dia juga sadar, bahwa kini dia terikat perjanjian aneh dengan Arda, entah bagaimana nasibnya nanti, dia hanya bisa berpasrah pada Sang Pengatur kehidupan. Sedangkan Ardi, kini terlihat memandang kedua perempuan yang berstatus istrinya itu secara bergantian. Hati Ardi sendiri tak mengerti kenapa dia mau saja menuruti permintaan gila istrinya. 'Baiklah, aku akan menuruti permainan ini, semoga kamu gak akan menangis kalau melihat gadis buluk itu hamil, eh, apa aku harus menyentuh gadis buluk itu? Hmm,' batin Ardi sambil memandangi kedua istrinya secara bergantian.Karena terlalu pusing, Sultan alhirnya memutuskan untuk pergi ke tempat Mona. Dia masuk ke apartemen tanpa mengucapkan salam. Dia langsung masuk dan merebahkan tubuhnya di sofa. "Sultan, kapan kamu masuk? Kok, gak salam dulu?" tanya Mona seraya duduk di sofa depan Sultan. "Maaf, aku lupa, kepalaku pusing sekali makanya aku tadi langsung masuk," jawab Sultan. Mona terlihat manggut-manggut, kemudian dia pergi ke dapur dan membuatkan minuman untuk Sultan. "Minumlah, biar kamu merasa segar!" titah Mona sambil menyodorkan gelas berisi jus Jeruk nipis. "Terima kasih, Mona." Sultan memberikan gelas pada Mona. Entah kenapa bukan cuma kepalanya yang terasa dingin, tapi juga hatinya. Ada sebuah ketenangan yang dia rasakan ketika memandang wajah Mona. Mona menerima gelas itu dan meletakkannya di bar dapur. Setelahnya dia duduk di samping Sultan. "Sini, aku pijitin, biar kamu merasa rilex." Mona menuntun Sultan dan membawanya ke ruang olah raga. "Kamu mau saya olah raga?" t
Sultan merenungi kata-kata sang OB dengan sungguh-sungguh. Ia benar-benar ingin belajar seperti yang dikatakan Mona. Dia sangat penasaran dengan gaya hidup Mona yang menurutnya aneh."Baiklah, aku ingin mendengarkan lebih banyak hal tentang itu. Karenanya, kamu saya angkat menjadi penasehat probadi saya. Assistant Mahdi, silakan beri dia hadiah juga," ujar Sultan sambil meninggalkan ruangan meeting.Dia ingin langsung pergi ke apartemen untuk menemui Mona, tapi dia mendapat telefon dari Moza bahwa ibunya kini berada di rumah Moza. Dia pun langsung memerintahkan sopir untuk membawanya pulang. Selamat siang, Ummi!" sapa Sultan pada ibunya.Amnah menoleh ke arah pintu. Dia tersenyum ketika melihat sang putri masuk dan langsung memeluknya. "Selamat siang juga Nak, apa kabar kamu?" sambut Amnah sembari membalas pelukan Sultan.Mereka pun duduk di Sofa, tapi Sultan dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang bersama ibunya. Seorang wanita cantik yang tentunya dia kenal, yang tak lain adal
Mona hampir saja kehilangan kendali akibat gerakan Sultan di tubuhnya, tapi dia mendorong tubuh Sultan dengan lembut. “Aku bersedia melakukannya denganmu, tapi dengan satu syarat,” ujar Mona sambil berpindah tempat duduk.“Apa itu, apa kamu mau aku belikan sesuatu? Kalau begitu bersiaplah, aku akan mengantarmu ke toko mana pun yang kamu mau?” jawab Sultan dengan penuh antusias. Dia mengira Mona hanya menginginkan hartanya.Mona memutar bola matanya, kemudian mendengkus kasar. “Dasar orang kaya, apa di pikiranmu hanya ada uang dan barang-barang mewah? Aku mau lebih dari barang mewah. Aku mau kamu menjadi suamiku yang sesungguhnya. Kamu harus tahu dan paham, apa tujuan berumah tangga dalam Islam, apa kamu sanggup?” tanya Mona sembari memicingkan matanya. Sultan manggut-manggut karena dia pikir yang dipinta Mona adalah hal yang mudah. “Baik, aku sanggup, hmm tapi bagaimana caranya?” “Hmmm, kamu cari saja tutorialnya di situs Islami, ya pokoknya aku mau kamu melakukan apapun dalam rumah
“Marry dan Sisi, pegangi dia!” titah Moza pada kedua pembantunya, sementara dia sendiri mendekatkan kursi rodanya ke arah Mona yang tangannya kini sudah dipegangi.“Lepaskan saya! Kurang ajar kalian! Anda Madam, kenapa Anda ingin menyiksa saya? Anda yang menjebak saya, tapi kenapa saya yang disalahkan?” Mona terus berteriak sambil meronta-ronta.“Jangan banyak omong kamu! Dekatkan wajahnya padaku!” Tanpa banyak bicara, Marry dan Sisi menekan kepala Mona agar mendekat ke arah Moza, Sementara Moza menghunus sebilah pisau dan mengacungkannya ke arah wajah Mona di depannya. “Rasakan ini, biar kamu jadi jelek!” Moza mengangkat tangannya bermaksud mengarahkan pisah itu ke wajah Mona dan menggoresnya. Namun, belum sempat pisau itu mengenai kulit wajah Mona, Sebuah sepatu melayang ke arah tangan Moza sehingga pisau itu terlepas dari tangannya.“Moza, kenapa kamu keterlaluan?” teriak Sultan dari belakang Moza. Dengan wajah memerah, dia mendekat ke arah Moza dan Mona yang masih dipegangi kedu
"Ayo naik!" Sultan langsung membuka pintu mobil yang ada di samping kanannya memerintahkan Mona masuk ke dalam. Karena tak punya pilihan lain, Mona pun memasuki mobil itu tanpa Mobil Sultan melaju melewati tepi pantai kemudian menembus terowongan yang panjangnya ratusan meter. Sekitar 4 jam kemudian, mereka pun tiba di kota A. "Turun!" titahnya pada Mona. Mona pun langsung turun tanpa berkata apa pun. Sultan membawa Mona ke salah satu apartemen-nya. "Kamu akan tinggal di sini, nanti saya akan sering menengok kamu," ujar Sultan ketika mereka sampai di depan pintu salah satu unit apaetemen itu. Tanpa menjawab, Mona langsung memasuki apartemen itu. "Aku sudah menyediakan semua keperluanmu di sini, bahan makanan juga ada di dapur," Sepeninggal Sultan, Mona berjalan mondar-mandir di dalam apartemennya, dia bermaksud untuk kabur. "Aku harus kabur dari sini!" Mona gegas menuju balkon. Dia mengukur ketinggian kamar yang dia tempati. Untungnya kamar apartemennya hanya ada di lantai
Meiza dan Yati hanya mendengkus kesal mendengar ucapan majikan mereka yang bawel itu. "Ya ampun, kirain kita gak diawasi, dasar nenek lampir!" maki Yati penuh kekesalan, sementara Meiza hanya tersenyum geli melihat teman kerjanya itu. Siang berganti malam, Yati sudah pergi tidur ke kamarnya, sementara Meiza, masih duduk termenung di balkon memandangi pinggir teluk yang terlihat indah karena dihiasi lampu-lampu malam. "Ya Allah, apa aku kabur saja, ya? aku gak mau dijadiin seperti ternak, yang harus beranak kemudian anakku harus diserahkan pada mereka. Aku gak mau anakku hidup bersama orang lain, aku gak mau!" Meiza terus merutuki keadaannya. Dia memejamkan mata sambil berpikir, apa harus dia pergi meninggalkan Villa. Setelah mendapat keputusan, dia pun menyiapkan pakaiannya di koper. Setelah itu, dia berjalan ke arah ruangan kontrol cctv dan kwh. Dia bergegas memadamkan listrik di Villa itu. Setelah selesai, dia pun pergi ke gerbang. Baru saja dia akan membuka, gerbang itu







