Shaka membereskan pakaiaannya ke dalam koper. Setelah dia memikirkannya ratusan kali dengan sangat terpaksa, dia akhirnya mengambil keputusan untuk menerima perintah kedua orang tuanya dan kakeknya untuk pergi ke luar negeri dan berbulan madu dengan Alisha. Shaka, yang telah memiliki cerita cukup panjang bersama Mutiarq, tidak tega untuk menyakiti hati gadis itu lebih jauh dengan berdekatan dengan Alisha di depannya. Jadi Shaka memutuskan untuk pergi ke luar negeri dengan ucapan bahwa dia akan meninggalkan Alisha disana dan meyakinkan bahwa dia tidak akan pernah memperlakukan Alisha dengan baik. "Baiklah sudah selesai," ucap Shaka. Shaka keluar dari kamarnya dan menemui kedua orang tuanya yang tengah berkumpul bersama anggota keluarga yang lain. "Kami sudah memberitahu orang tuanya Alisha bahwa kamu akan mengajaknya ke luar negeri," ucap Nida senang. Alisha yang masih berada di lantai atas, segera turun. Dia mendengar ucapan Nida. Dia buru-buru menghampiri Nida. "Ib
Isak tangis Alisha yang terus bergema membuat Shaka merasa telinganya sakit. Setiap tetes air mata yang jatuh membasahi pipinya terasa dingin, kontras dengan panasnya bara di dalam hatinya. Hatinya remuk redam. “Mas Shaka, pelankan sedikit laju mobilnya,” pinta Alisha, suaranya bergetar menahan isak. Ia melirik suaminya, yang memegang kemudi dengan cengkeraman erat, pandangan lurus ke depan, seolah tak mendengar apa pun. Pria itu bahkan tidak repot-repot menoleh. “Mas Shaka! Aku mohon, ini terlalu cepat. Aku takut.” Shaka, akhirnya membuka mulut. Bukan dengan simpati, melainkan dengan geraman dingin. “Berisik! Suaramu membuat telingaku sakit!" Suaranya tajam, memotong udara seperti pisau. Alisha memejamkan mata, membiarkan air mata baru mengalir, lebih deras dan penuh kepedihan. “Aku sudah tidak tahan, mas,” ucap Alisha lirih dan putus asa. “Aku... aku ingin kita bercerai.” Kata-kata itu menggema di dalam mobil, menembus lapisan kesombongan Shaka. Tuan muda itu tiba
Edgar mengirimkan dua pengawalnya untuk memeriksa rumah yang ia tahu adalah kediaman Mutiara. Hasilnya, tidak ada Shaka dan Mutiara disana. Yang Edgar tahu, Shaka memiliki dua rumah dan kabarnya satunya tidak ditempati. Dia pernah diberitahu oleh Emir bahwa rumah tersebut disewakan tetapi masih belum laku. Barangkali Shaka berada disana. Jadi Edgar menghubungi Nida untuk meminta alamat. “Kenapa kamu ingin menemukan Shaka?” tanya Nida dingin. Nida curiga Edgar sudah berbicara dengan Alisha soal putranya. “Alisha bilang dia ingin berbicara secara baik-baik dengan Shaka makanya dia tidak akan bercerai dengannya tanpa bicara lebih dulu,” ucap Edgar. “Bercerai? Alisha tidak akan pernah bercerai dengan Shaka. Kau mengatakan apa saja kepada Alisha? Jangan macam-macam kamu Edgar.” “Tante kenapa kamu menjadi egois sekali? Memangnya apa yang sudah kamu lakukan untuk menyenangkan menantumu? Dia itu menderita karena putramu sama sekali tidak bisa menghargai istrinya, kamu mengerti.
Pada akhirnya, Aido membantu Alisha selama beberapa menit. Alisha sangat tidak ingin merepotkan Aido jadi dia berkali-kali mengatakan bahwa siapa tahu keluarga Aido tengah mencari lelaki itu jadi sebaiknya Aido kembali. Meskipun Aido mengelak, Alisha tetap mengatakannya lagi. Sampai akhirnya, dirasa sudah cukup membantu, Aido pun pamit pulang. “Assalamu’alaikum.” Kenyataannya, Alisha tidak bisa berhenti khawatir mengenai suaminya. Begitu Aido pergi, Alisha, yang sudah meminta nomor Edgar kepada Nida, langsung menghubunginya. Alisha bersyukur ibu mertuanya tidak bertanya tujuan dia meminta nomor Edgar. “Wa’alaikumussalam. Siapa?” Edgar langsung mengangkat telepon dari Alisha. “Ini aku, Alisha. Maaf menghubungimu.” “Tidak masalah. Kebetulan aku sedang senggang. Ada apa Alisha?” tanya Edgar dengan nada ramah. “Apakah Mas Shaka masih belum pulang?” “Aku tidak tahu karena tidak berada di rumah. Aku berada di kantorku sekarang. Kau sudah mencoba bertanya kepada ibu mer
Alisha tidur dengan Yumna. Seperti biasa jika Alisha tidur bersama adiknya, dia akan membangunkan Yumna di jam dini hari untuk sholat tahajud. Yumna pun langsung bangun. Alisha sudah sholat lebih dulu dan dia membaca Al-Qur’an. Sementara Yumna sholat tahajud. Setelah mengaji, Alisha memeriksa ponselnya. Tak disangka, ada banyak pesan masuk termasuk dari ibu mertuanya. Alisha, besok kamu ke toko pakaian? Eirian akan mengantarkan Sena kesana dan Eirian akan berjaga disana untuk sementara waktu. Jika kamu memerlukan, Eirian akan menjemputmu dan mengantarmu pulang. Alisha tersenyum tipis. Suasana hatinya menjadi lebih tenang. Dia merasa aman dan nyaman di rumah kedua orang tuanya. Baik bu, terima kasih banyak. Aku akan pergi ke toko sendirian diantarkan oleh adikku. Namun Nida tidak langsung membalas. Alisha pikir ibu mertuanya masih tidur. Alisha ingin bertanya apakah Shaka sudah pulang. Padahal dia diperlakukan dengan buruk oleh suaminya itu, tetapi hatinya khawatir.
Alisha pergi ke toko pakaiannya bersama Yumna. Sesampainya di depan toko pakaiannya, Alisha bertemu dengan Aido. Aido langsung mengjampiri Alisha. “Bagaimana Aido?” tanya Alisha dengan kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya. “Mereka sudah pergi. Aku memantau dari depan sana!” ucap Aido seraya menunjuk ke toko keluarganya. Aido kemudian beralih menatap Yumna tetapi hanya sesaat karena perhatiannya kembali fokus ke Alisha. “Syukurlah. Terima kasih banyak sudah memantau tokoku,” lirih Alisha dengan tatapan putus asa menatap tokoknya. Aido mengernyitkan keningnya memperhatikan wajah Alisha yang terkenca sinar lampu jalanan yang tampak pucat dan sangat kelelahan. Aido menjadi merasa bersalah. Dia tahu bagaimana Alisha. Rasanya sebesar apapun masalahnya, Alisha tetap tidak akan membicarakannya dengan siapapun termasuk keluarganya sendiri. Aido ingin sekali membantu meskipun rasanya ada benteng yang begitu tinggi dan sangat sulit ditembus yang dibuat Alisha. Sebenarnya kenapa to