Raka duduk di sisi tempat tidur, menatap Rania yang tertidur memeluk bayinya. Wajah perempuan itu lelah, tapi ada kekuatan yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Di tangannya, Raka masih memegang ponsel Rania, rekaman demi rekaman masih terputar di telinganya.
Raka menunduk. Suaranya lirih. “Maafkan aku, Ran… aku terlalu pengecut untuk membelamu.” Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia menyentuh pipi Rania dengan lembut, dan mencium kening anaknya. Di hatinya mulai tumbuh rasa bersalah... dan tekad untuk membenahi semuanya. Keesokan harinya, Nadine datang ke kamar tamu, tempat Raka sedang menyiapkan dokumen kerja. Ia membawa dua cangkir kopi. “Masih ingat kopi favoritmu, Raka? Aku masih bisa racikannya.” Raka tersenyum tipis, sopan. “Terima kasih, Mbak Nadine. Tapi aku nggak biasa minum Kopi lagi” Nadine duduk di sofa dekat Raka, lalu menatapnya dalam. “Kamu berubah, Rak. Sekarang gampang marah, tegang... itu semua karena perempuan itu, ya kan?” Raka diam. Matanya mulai waspada. “Kamu kasihan sama dia karena dia main drama. Tapi kamu lupa... dulu sebelum dia datang, kita semua damai. Kamu selalu cerita ke aku soal kerjaan, soal mimpimu. Kamu inget nggak, dulu waktu kamu kecelakaan kecil waktu SMA, siapa yang nungguin kamu di rumah sakit diam-diam?” Raka membeku. “Itu... masa lalu, Mbak.” Nadine berdiri dan perlahan mendekat. “Tapi rasa ini nggak pernah jadi masa lalu buatku.” Ia menyentuh bahu Raka. Tatapannya penuh hasrat yang selama ini ia pendam. “Kalau kamu terus terikat sama dia, kamu nggak akan bisa bebas. Aku bisa jadi yang kamu butuhkan, Rak… bukan hanya sebagai ipar, mbak Ingin kamu!” Raka langsung menjauh. Tegas. “Mbak, cukup. Jangan lanjutkan.” “Kenapa? Karena kamu takut? Atau karena kamu sebenarnya juga ngerasa hal yang sama?” Ternyata Rania diam - diam mendengar percakapan mereka lagi dari balik pintu setelah semua orang tidur, Rania memberanikan diri bicara dengan Raka. Mereka duduk di kasur, lampu kamar temaram. “Mas...” “Iya?” “Aku sering dengar ... Nadine bicara sesuatu ke kamu.” Raka menghela napas panjang. “Jangan pikir macam-macam, Ran.” “Macam-macam? Dia bilang dia ingin kamu. Itu bukan cuma salah dengar.” Raka terdiam. “Dan kamu diam saja. Kamu tidak bilang dia salah, tidak menjauhkan dia.” Raka memejamkan mata. “Aku hanya lelah. Kamu tahu rumah ini seperti apa. Aku pikir kalau aku diam, semuanya akan tenang.” “Tidak, Mas. Diammu membunuhku.” Rania berdiri, tubuhnya masih goyah. Tapi suaranya mantap. “Aku mungkin perempuan yang baru saja melahirkan, tubuhku masih remuk, tapi aku bukan boneka yang bisa kamu biarkan dihina dan digeserkan!” Raka berdiri juga, mendekatinya. “Rania…” “Aku butuh suami. Bukan penonton yang melihat aku dilukai dan hanya bilang ‘sabar’. Kalau kamu masih pilih diam, maka aku akan bicara untuk diriku sendiri!” Untuk pertama kalinya, Rania menatap suaminya tanpa takut. Ada kekuatan yang bangkit dari dalam dirinya kekuatan yang muncul karena terlalu sering disakiti. Pagi berikutnya, Rania berdiri di meja makan. Ia menyajikan sarapan tanpa bantuan. Luka masih ada, tapi hatinya kini punya api. Bu Yulia datang sambil mengerutu seperti biasa. “Hari ini jangan malas lagi, Rania. Cuci baju semua!” Rania menoleh. “Bu. Kalau ingin semuanya bersih, kita bisa bagi tugas. Atau bisa panggil asisten rumah tangga.” Bu Yulia menatapnya seperti tak percaya. “Apa kamu bicara begitu ke mertuamu?!” “Tidak ada yang boleh memperlakukan saya seperti budak, Bu. Saya bukan anak kecil. Saya ibu dari cucu Ibu.” Ruangan menjadi hening. Nadine muncul di lorong, mata terbelalak mendengar suara Rania yang keras. Bu Yulia ingin membalas, tapi Raka datang dari belakang. “Ibu, Rania benar. Dia bukan budak disini. Kita bisa bicarakan semuanya baik-baik.” Rania melirik Nadine. Tatapan mereka bertemu. Kali ini Rania tidak menunduk. Ia hanya berkata pelan, tapi tajam, “Jangan berpikir bisa mencuri apa yang bukan milikmu.” Nadine tersenyum kecil. “Lihat saja nanti.” Hari-hari berikutnya, Rania berubah. Ia tidak lagi hanya menunggu diperintah. Ia mengurus bayinya sendiri, tapi kini juga mulai membuka laptop tuanya setiap malam saat rumah mulai tenang. Ia dulu pernah kuliah di bidang desain sesuatu yang terkubur sejak menikah. Kini, malam adalah waktunya diam-diam mencari kembali dirinya yang hilang. “Masih kerja malam-malam?” tanya Raka suatu malam saat ia mendapati Rania mengetik di dapur. Rania menoleh pelan. “Cuma coba-coba buka jasa desain logo. Tadi ada yang respon di I*******m. Lumayan, seratus ribu.” Raka mendekat, menatap layar. “Kamu hebat.” “Bukan hebat, Mas. Terdesak.” Raka tertawa tipis, lalu menggenggam tangan Rania. “Aku janji akan lebih tegas pada Ibu. Dan... aku akan bicara serius pada Nadine.” “Terima kasih,” bisik Rania. Tapi ia tahu, janji laki-laki kadang lebih ringan dari hembusan angin. Siang itu, Nadine tidak ada di rumah. Rania memanfaatkan kesempatan itu. Ia membuka kamar Nadine diam-diam. Tidak untuk mengusik, tapi karena ada sesuatu yang selama ini terasa janggal. Lalu betapa Terkejutnya Rania dengan apa yang Ia temukan di kamar Nadine. “ Apa ini? ” Ucap RaniaDi saat Rania pulang dari konfrontasi itu, markas LUMINA diserang. Ledakan terdengar dari arah timur. Mereka datang dengan sisa kekuatan—pasukan bayangan Valedra terakhir yang loyal. Tapi Dimas dan Sinta sudah bersiap. “Kau pikir mereka akan menangkap kita hidup-hidup?” tanya Sinta. Dimas mengangkat senjatanya. “Tidak malam ini.” Perang kecil pecah. Tapi dengan bantuan publik yang kini sudah terbuka, pasukan pengaman resmi turun tangan. Satu per satu pasukan Valedra ditangkap. Beberapa tewas. Beberapa melarikan diri. Dan Rania berdiri di tengah puing, tubuhnya penuh luka, tapi wajahnya penuh tekad. “Ini bukan soal balas dendam lagi. Ini soal membangun ulang dunia yang mereka hancurkan.” Namun dari balik reruntuhan, seorang pria muncul diam-diam, membawa pesan terakhir dari Nyonya Merah. “Valedra tidak mati. Dia hanya tidur. Dan saat dunia lengah lagi... kami akan bangkit.” *** Langit pagi di kota itu tak pernah terasa sebiru ini. Hembusan angin yang dulu membawa teror
Markas rahasia LUMINA malam itu tak seperti biasanya. Semua anggota sibuk—sebagian menyusun strategi distribusi data, sebagian lagi memperkuat sistem pertahanan digital. Flashdisk di tangan Rania adalah senjata pemusnah massal bagi kekuasaan Valedra. Sekali data itu menyebar, tak akan ada tempat bersembunyi bagi para penguasa dalam bayang-bayang. “Kita sebar melalui beberapa jalur,” ujar Sinta serius. “Dark web, whistleblower platform, akun publik LUMINA, dan ke media luar negeri yang masih independen.” “Jangan lupa backup-nya,” tambah Alvan. “Kalau mereka tahu kita akan menyebarkan ini, mereka akan menyerang balik. Fisik dan digital.” Dimas berdiri di belakang Rania, masih dibayangi konflik batin. “Jika mereka tahu kita punya semua ini… mereka akan habisi kita satu per satu.” Rania menoleh padanya. “Mereka sudah mencoba menghabisi kita sejak dulu, Dim. Bedanya sekarang… bisa melawan.” Hari itu, LUMINA menyebarkan file “EDEN” dengan sistem berlapis, menghindari deteksi
Kompol Bagas mengangguk, lalu menyerahkan sebuah flashdisk. “Isi ini adalah rekaman transaksi dan daftar nama yang pernah ditugaskan oleh Valedra—termasuk pejabat tinggi, menteri, bahkan pemilik jaringan media ternama. Hati-hati. Sekarang, kalian target.” Malamnya, saat Rania membuka isi flashdisk itu bersama Dimas dan Sinta, mereka menemukan sesuatu yang membuat darah mereka membeku—nama Yulia tertera sebagai “Anggota Tidur Valedra”. Ia bukan hanya istri pengusaha dan mertua Rania, tapi juga bagian dari organisasi ini. “Ibu mertua kita bagian dari mereka...” desis Dimas. “Itu sebabnya dia selalu selangkah lebih maju... Dia punya pelindung. Kita pikir dia hanya wanita kejam penuh ambisi, tapi dia lebih dari itu. Dia bagian dari kegelapan yang lebih tua.” Dan di antara daftar itu, nama Nadine juga tertera sebagai “proxy personal” milik Yulia. Dimas terduduk. Tangannya gemetar. “Dia... semua ini hanya sandiwara? Bahkan cinta yang dia berikan padaku?” Sinta menggenggam bahu Dimas.
Gedung Pengadilan Tinggi Jakarta dipenuhi oleh massa, wartawan, dan para pengacara dari berbagai firma ternama. Suasana siang itu panas dan mencekam. Hari itu bukan hanya menjadi saksi kasus kriminal biasa—ini adalah persidangan paling besar dalam sejarah keluarga Wicaksono dan kekuasaan gelap Irwan Santoso. Rania melangkah masuk ke ruang sidang dengan kepala tegak. Di belakangnya, Sinta, Dimas, dan tim pengacara yang telah mereka bentuk dengan susah payah. Di seberang ruangan, Irwan duduk dengan tenang, namun matanya tidak bisa menyembunyikan amarah dan kegelisahan yang ia rasakan. Hakim utama masuk, mengetukkan palu dengan keras. "Sidang dimulai." Pengacara Rania berdiri pertama, membawa setumpuk dokumen, rekaman, dan kesaksian dari saksi-saksi yang mereka lindungi selama ini. "Yang Mulia, kami memiliki bukti tak terbantahkan tentang pencucian uang, penyuapan pejabat negara, serta upaya sabotase media dan sistem hukum yang dilakukan oleh Tuan Irwan Santoso," kata pengacara i
Rania berdiri di depan kaca besar yang memantulkan wajahnya yang penuh dengan kelelahan dan ketegangan. Perjalanan panjang ini semakin menekan setiap detik yang berlalu, dan semakin mendalam ia menyelami permainan kekuasaan yang dimainkan oleh Irwan Santoso, semakin terasa bahwa ia berada di titik yang sangat berbahaya. Waktu terus berjalan, dan Rania tahu bahwa mereka harus segera mengambil tindakan besar, atau semuanya akan hilang. Namun, bahkan saat mereka semakin dekat dengan kebenaran, keraguan dan ketidakpastian tetap menggantung di atas kepala mereka. Apakah mereka sudah siap untuk menghadapi bahaya yang lebih besar? Siapa lagi yang terlibat dalam permainan ini yang mungkin belum terungkap? Malam itu, Rania, Sinta, dan Dimas berkumpul di sebuah ruang pertemuan yang tersembunyi di tempat aman, jauh dari sorotan media dan pengawasan pihak berwenang. Mereka sedang merencanakan langkah mereka selanjutnya—langkah yang akan membawa mereka lebih dalam ke sarang kekuasaan yang dipega
Dengan setiap langkah yang diambil, Rania semakin terperangkap dalam labirin pengkhianatan yang tampaknya tidak ada ujungnya. Pihak yang mengendalikan permainan ini semakin sulit untuk dilacak, dan meskipun ia mulai mengumpulkan lebih banyak informasi, ketidakpastian semakin menyelimuti. Rania tahu bahwa untuk bertahan hidup, ia harus lebih pintar dan lebih berhati-hati, atau ia bisa jatuh menjadi pion dalam permainan yang jauh lebih besar daripada dirinya.Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Felix, Rania dan Sinta memutuskan untuk melangkah lebih hati-hati. Mereka memulai pencarian lebih mendalam tentang pihak yang mengendalikan Darmawan, tetapi setiap kali mereka mendekati titik terang, semakin banyak pintu yang tertutup rapat. Sinta merasa bahwa mereka berada di titik yang sangat berbahaya.“Ran, aku mulai merasa kita tidak hanya melawan Darmawan dan Felix. Ada sesuatu yang lebih dalam dari ini. Jika kita terus melangkah tanpa rencana yang jelas, kita bisa terjebak,”