Share

BAB 5 — Penyesalan

Author: Dhalika Noire
last update Huling Na-update: 2025-05-11 14:07:15

Raka duduk di sisi tempat tidur, menatap Rania yang tertidur memeluk bayinya. Wajah perempuan itu lelah, tapi ada kekuatan yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Di tangannya, Raka masih memegang ponsel Rania, rekaman demi rekaman masih terputar di telinganya.

 

Raka menunduk. Suaranya lirih.

 

 “Maafkan aku, Ran… aku terlalu pengecut untuk membelamu.”

 

 

Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia menyentuh pipi Rania dengan lembut, dan mencium kening anaknya. Di hatinya mulai tumbuh rasa bersalah... dan tekad untuk membenahi semuanya.

 

 

Keesokan harinya, Nadine datang ke kamar tamu, tempat Raka sedang menyiapkan dokumen kerja. Ia membawa dua cangkir kopi.

 

 “Masih ingat kopi favoritmu, Raka? Aku masih bisa racikannya.”

 

 

Raka tersenyum tipis, sopan.

 

 “Terima kasih, Mbak Nadine. Tapi aku nggak biasa minum Kopi lagi”

 

 

Nadine duduk di sofa dekat Raka, lalu menatapnya dalam.

 

 “Kamu berubah, Rak. Sekarang gampang marah, tegang... itu semua karena perempuan itu, ya kan?”

 

Raka diam. Matanya mulai waspada.

 

 “Kamu kasihan sama dia karena dia main drama. Tapi kamu lupa... dulu sebelum dia datang, kita semua damai. Kamu selalu cerita ke aku soal kerjaan, soal mimpimu. Kamu inget nggak, dulu waktu kamu kecelakaan kecil waktu SMA, siapa yang nungguin kamu di rumah sakit diam-diam?”

 

Raka membeku.

 

 “Itu... masa lalu, Mbak.”

 

Nadine berdiri dan perlahan mendekat.

 

“Tapi rasa ini nggak pernah jadi masa lalu buatku.”

 

 

Ia menyentuh bahu Raka. Tatapannya penuh hasrat yang selama ini ia pendam.

 

“Kalau kamu terus terikat sama dia, kamu nggak akan bisa bebas. Aku bisa jadi yang kamu butuhkan, Rak… bukan hanya sebagai ipar, mbak Ingin kamu!”

 

Raka langsung menjauh. Tegas.

 

 “Mbak, cukup. Jangan lanjutkan.”

 

 

 “Kenapa? Karena kamu takut? Atau karena kamu sebenarnya juga ngerasa hal yang sama?”

 

 Ternyata Rania diam - diam mendengar percakapan mereka lagi dari balik pintu

 

 setelah semua orang tidur, Rania memberanikan diri bicara dengan Raka. Mereka duduk di kasur, lampu kamar temaram.

 

 “Mas...”

 

 “Iya?”

 

 “Aku sering dengar ... Nadine bicara sesuatu ke kamu.”

 

 Raka menghela napas panjang. “Jangan pikir macam-macam, Ran.”

 

 

 “Macam-macam? Dia bilang dia ingin kamu. Itu bukan cuma salah dengar.”

 

 Raka terdiam.

 

 “Dan kamu diam saja. Kamu tidak bilang dia salah, tidak menjauhkan dia.”

 

 Raka memejamkan mata. “Aku hanya lelah. Kamu tahu rumah ini seperti apa. Aku pikir kalau aku diam, semuanya akan tenang.”

 

 

 “Tidak, Mas. Diammu membunuhku.”

 

 Rania berdiri, tubuhnya masih goyah. Tapi suaranya mantap.

 

 “Aku mungkin perempuan yang baru saja melahirkan, tubuhku masih remuk, tapi aku bukan boneka yang bisa kamu biarkan dihina dan digeserkan!”

 

 Raka berdiri juga, mendekatinya. “Rania…”

 

 “Aku butuh suami. Bukan penonton yang melihat aku dilukai dan hanya bilang ‘sabar’. Kalau kamu masih pilih diam, maka aku akan bicara untuk diriku sendiri!”

 

 

 Untuk pertama kalinya, Rania menatap suaminya tanpa takut. Ada kekuatan yang bangkit dari dalam dirinya kekuatan yang muncul karena terlalu sering disakiti.

 

 

 Pagi berikutnya, Rania berdiri di meja makan. Ia menyajikan sarapan tanpa bantuan. Luka masih ada, tapi hatinya kini punya api.

 

 Bu Yulia datang sambil mengerutu seperti biasa. “Hari ini jangan malas lagi, Rania. Cuci baju semua!”

 

 Rania menoleh. “Bu. Kalau ingin semuanya bersih, kita bisa bagi tugas. Atau bisa panggil asisten rumah tangga.”

 

 Bu Yulia menatapnya seperti tak percaya.

 

 “Apa kamu bicara begitu ke mertuamu?!”

 

 “Tidak ada yang boleh memperlakukan saya seperti budak, Bu. Saya bukan anak kecil. Saya ibu dari cucu Ibu.”

 

 

 Ruangan menjadi hening. Nadine muncul di lorong, mata terbelalak mendengar suara Rania yang keras.

 

 

 Bu Yulia ingin membalas, tapi Raka datang dari belakang.

 

 “Ibu, Rania benar. Dia bukan budak disini. Kita bisa bicarakan semuanya baik-baik.”

 

 Rania melirik Nadine. Tatapan mereka bertemu. Kali ini Rania tidak menunduk.

 

 Ia hanya berkata pelan, tapi tajam, “Jangan berpikir bisa mencuri apa yang bukan milikmu.”

 

 Nadine tersenyum kecil. “Lihat saja nanti.”

 

Hari-hari berikutnya, Rania berubah.

 

Ia tidak lagi hanya menunggu diperintah. Ia mengurus bayinya sendiri, tapi kini juga mulai membuka laptop tuanya setiap malam saat rumah mulai tenang. Ia dulu pernah kuliah di bidang desain sesuatu yang terkubur sejak menikah.

 

Kini, malam adalah waktunya diam-diam mencari kembali dirinya yang hilang.

 

“Masih kerja malam-malam?” tanya Raka suatu malam saat ia mendapati Rania mengetik di dapur.

 

Rania menoleh pelan. “Cuma coba-coba buka jasa desain logo. Tadi ada yang respon di I*******m. Lumayan, seratus ribu.”

 

Raka mendekat, menatap layar. “Kamu hebat.”

 

“Bukan hebat, Mas. Terdesak.”

 

Raka tertawa tipis, lalu menggenggam tangan Rania. “Aku janji akan lebih tegas pada Ibu. Dan... aku akan bicara serius pada Nadine.”

 

 

“Terima kasih,” bisik Rania. Tapi ia tahu, janji laki-laki kadang lebih ringan dari hembusan angin.

 

Siang itu, Nadine tidak ada di rumah. Rania memanfaatkan kesempatan itu. Ia membuka kamar Nadine diam-diam. Tidak untuk mengusik, tapi karena ada sesuatu yang selama ini terasa janggal.

 

Lalu betapa Terkejutnya Rania dengan apa yang Ia temukan di kamar Nadine.

  “ Apa ini? ” Ucap Rania

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 7 — Luka yang Tak pernah Sembuh

    Hujan turun perlahan malam itu. Jalanan kota basah, lampu-lampu tampak buram oleh kabut. Nadine memarkir mobilnya di depan sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Tempat yang jarang ia datangi, tempat di mana masa lalunya tertinggal. Seorang pria sudah duduk di dalam, menatap jendela sambil memainkan cincin di jarinya. Wajahnya tajam, sorot matanya seperti menyimpan luka yang dalam. Nadine masuk, melepas jaket, lalu duduk tanpa bicara. Pria itu menatapnya. “Kamu makin cantik. Tapi tatapanmu... sama seperti dulu. Kosong.” “Jangan mulai dengan pujian basi, Dion,” desah Nadine. Dion tersenyum miris. “Jadi, kamu beneran nikah sama kakaknya Raka?” “Aku pikir... dengan menikahi Dimas, aku bisa dekat dengan Raka.” Dion menggeleng pelan. “Kamu masih terobsesi. Sejak SMA. Padahal dia nggak pernah lihat kamu sebagai apa pun selain teman kakaknya.” Nadine menatap keluar jendela. “Aku benci cara dia menatap Rania. Dulu dia nggak pernah lihat aku seperti itu. Aku yang dulu n

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 6 - Lelaki yang Tak pernah Melihat

    BAB 6 - Lelaki yang Tak pernah Melihat Di dalam lemari, tersembunyi di bawah tumpukan pakaian, ia menemukan kotak kecil. Saat dibuka, hatinya mencelos. Foto. Bukan hanya foto Raka. Tapi juga surat cinta. Coretan tangan Nadine yang ditujukan untuk suaminya sendiri. "Kapan kau akan sadar, aku yang lebih memahami segala resahmu? Aku yang melihat luka-lukamu sebelum Rania datang mencuri tempatku..." Rania menggigit bibirnya. Tiba-tiba, semua perhatian Nadine sejak awal masuk akal. Tatapan, sentuhan, kata-kata manis yang dibungkus kepalsuan. Ia menutup kotak itu rapat. Tapi niatnya bukan melapor. Bukan menangis. Ia akan hadapi ini dengan caranya sendiri. Malamnya, ia memasak makan malam khusus. Sup ayam dan sambal favorit Raka. Saat semua sudah duduk, Rania meletakkan satu surat di atas meja. “Aku mau kita semua baca ini bersama.” Nadine langsung pucat saat melihat amplopnya. “Itu... dari mana kamu dapat?” “Dari tempat yang seharusnya bersih, tapi ternyata menyimpan ko

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 5 — Penyesalan

    Raka duduk di sisi tempat tidur, menatap Rania yang tertidur memeluk bayinya. Wajah perempuan itu lelah, tapi ada kekuatan yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Di tangannya, Raka masih memegang ponsel Rania, rekaman demi rekaman masih terputar di telinganya.Raka menunduk. Suaranya lirih. “Maafkan aku, Ran… aku terlalu pengecut untuk membelamu.”Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia menyentuh pipi Rania dengan lembut, dan mencium kening anaknya. Di hatinya mulai tumbuh rasa bersalah... dan tekad untuk membenahi semuanya.Keesokan harinya, Nadine datang ke kamar tamu, tempat Raka sedang menyiapkan dokumen kerja. Ia membawa dua cangkir kopi. “Masih ingat kopi favoritmu, Raka? Aku masih bisa racikannya.”Raka tersenyum tipis, sopan. “Terima kasih, Mbak Nadine. Tapi aku nggak biasa minum Kopi lagi”Nadine duduk di sofa dekat Raka, lalu menatapnya dalam. “Kamu berubah, Rak. Sekarang gampang marah, tegang... itu semua karena perempuan itu, ya kan?”Raka diam. Matanya mulai waspada

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 4 — Batas Luka

    Rania baru saja menidurkan bayinya di atas ranjang kecil di sudut kamar. Mata si kecil masih memerah karena terlalu sering menangis. Wajah mungil itu tampak damai untuk sementara. Rania tersenyum lemah, lalu beranjak ke kamar mandi di sebelah untuk membasuh wajah dan membuang air kecil. Pintu kamar mandi setengah terbuka. Rania tak pernah merasa aman meninggalkan bayinya, tapi tubuhnya juga butuh istirahat, walau sebentar. Tiba-tiba ... sunyi. Tangisan yang biasanya terus-menerus itu, kini hilang. Terlalu hening. Rania merasakan firasat buruk. Ia bergegas keluar dari kamar mandi. Dan . . . . Dani, anak Nadine, berdiri di depan tempat tidur. Di tangannya ada bantal yang masih menindih wajah bayi Rania. “DANI!!!” teriak Rania. Ia langsung menerobos dan menyingkirkan bantal itu. Bayinya terisak pelan, wajahnya merah dan sesak. Detik itu, darah Rania seperti membeku. “APA YANG KAMU LAKUKAN?!” Teriak Rania Dani terkejut, lalu langsung menangis keras. “Aku nggak ngapa-ngapai

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 3 - Tak pernah di Anggap

    Pagi datang begitu cepat bagi Rania yang baru saja memejamkan mata, kini Ia harus segera bergegas bangun dan memasak. Saat semua sedang sarapan pagi tiba-tiba Bu Yulia berbicara “Lusa kita akan pergi piknik ke Puncak.” “Wah pasti seru sekali, Bu,” pekik Nadine Riang Dani putra semata wayang Nadine dan Dimas juga ikut berseru ria “Hore kita pergi Piknik.” Dimas pun menyahuti, “Asik, mumpung aku lagi cuti kerja.” Raka mendesah lelah, lalu ia berkata, “Aku mungkin gak bisa ikut Bu, ada lembur.” Bu Yulia menjawab, “Kalau kamu gak ikut, terus siapa yang akan nyetir? Kamu harus ikut! Izin saja ke Bos mu!” Raka hanya mengangguk, Ia tidak pernah berani membantah ucapan Ibu nya. “Rania jangan ikut, dirumah saja jaga rumah dan bayimu!” ucap Bu Yulia “Iya Bu,” jawab Rania pasrah.***** Keesokan paginya, Tawa bersahutan dari halaman depan. Suara langkah tergesa dan koper diseret-seret mengisi udara pagi yang sejuk. Mobil keluarga sudah siap di carport. Yulia mengenakan dress c

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 2 - Retak yang Menganga

    Hujan turun deras. Aroma tanah basah menyeruak ke dalam rumah besar yang kini terasa lebih dingin dari biasanya. Di dapur, Rania sibuk memotong bawang dengan mata sembab. Tangannya gemetar, tapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya, Karena perintah Mertua yang bilang gak boleh manja dirumah orang, sedangkan iparnya sedang duduk di ruang makan membicarakan dirinya bersama Ibu mertua nya tersebut. Ibu Yulia mengetuk-ngetukkan sendok ke meja. "Sudah jam segini, lauk belum juga matang. Di rumah orang tuanya dulu diajarin masak atau cuma diajarin dandan?"Nadine tertawa kecil. "Ah, Bu. Kayaknya dia lebih jago drama daripada masak. Lagian, saya tadi lihat dia nelpon-nelpon orang di taman belakang. Mungkin pacarnya, ya? Pantesan suaminya sekarang sering pulang malam." Rania menghentikan gerakannya. Ia tahu mereka sedang memfitnah, lagi. Langkah kaki menghentak lantai. Bu Yulia masuk ke dapur dengan wajah penuh amarah. "Rania! Kamu jangan pikir aku buta. Kamu perempuan tak tahu diri,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status