Rania baru saja menidurkan bayinya di atas ranjang kecil di sudut kamar. Mata si kecil masih memerah karena terlalu sering menangis. Wajah mungil itu tampak damai untuk sementara. Rania tersenyum lemah, lalu beranjak ke kamar mandi di sebelah untuk membasuh wajah dan membuang air kecil.
Pintu kamar mandi setengah terbuka. Rania tak pernah merasa aman meninggalkan bayinya, tapi tubuhnya juga butuh istirahat, walau sebentar. Tiba-tiba ... sunyi. Tangisan yang biasanya terus-menerus itu, kini hilang. Terlalu hening. Rania merasakan firasat buruk. Ia bergegas keluar dari kamar mandi. Dan . . . . Dani, anak Nadine, berdiri di depan tempat tidur. Di tangannya ada bantal yang masih menindih wajah bayi Rania. “DANI!!!” teriak Rania. Ia langsung menerobos dan menyingkirkan bantal itu. Bayinya terisak pelan, wajahnya merah dan sesak. Detik itu, darah Rania seperti membeku. “APA YANG KAMU LAKUKAN?!” Teriak Rania Dani terkejut, lalu langsung menangis keras. “Aku nggak ngapa-ngapain! Aku cuma main! Aku nggak tahu kenapa bayinya nangis!” Jawab Dani Rania mengguncang bahu Dani. Tak bisa menahan emosi. “Kamu hampir... hampir membunuh anakku!” bentak Rania Beberapa menit kemudian, Nadine datang tergesa ke kamar, diikuti oleh Bu Yulia dan Raka. “ADA APA INI?! Dani kenapa menangis?!” pekik lantang Nadine Rania, masih panik dan memeluk erat bayinya, berkata terbata “Aku lihat sendiri... Dani menindih bayi kita dengan bantal... dia .. dia hampir ...” “HENTIKAN!” Nadine berteriak. “Anakku nggak akan pernah sejahat itu!” Dani langsung memeluk ibunya dan menangis tersedu. “Aku cuma mau bantu gendong… bayinya tiba-tiba nangis… tante Rania marah…” Bu Yulia menatap Rania dengan sinis. “Kamu tega tuduh anak kecil? Ini karena kamu nggak bisa urus bayi, lalu cari kambing hitam, ya?!” “Aku LIHAT dengan mataku sendiri!” Rania teriak, hampir histeris. Raka diam. Pandangannya datar. “Kamu yakin nggak lagi halusinasi, Ran? Kamu kan lagi stres. Jangan sampai nambah masalah. Dani masih kecil.” Rania tercengang. Seakan semua udara keluar dari paru-parunya. “Kamu pikir aku bohong?” Nadine melipat tangan. “Atau... jangan-jangan, kamu sendiri yang hampir celakain anakmu, terus cari cara lempar kesalahan ke anakku?” Bu Yulia “apa kamu melakukan semua ini karena sakit hati tidak diajak piknik? Sungguh keterlaluan kamu Rania “ Dan saat itu, semua orang diam. Tapi bukan karena percaya. Mereka diam… karena mereka percaya pada kebohongan. Malamnya, Rania duduk di lantai kamar sambil memeluk bayinya yang masih lemah. Matanya kosong. Ia sudah selesai menangis. Sekarang, hanya diam yang menyakitkan. “Kamu hampir mati, Nak... dan semua orang memilih membela orang yang melakukannya, Termasuk ayahmu.” Ia mencium kening bayinya. “Ibu harus lakukan sesuatu untuk menegakkan kebenaran " Suasana dini hari yang sunyi di kamar Rania, Semua orang sudah tertidur setelah hari panjang yang dipenuhi kebohongan. Rania terjaga, duduk memeluk bayinya yang kini mulai tenang. Tapi hatinya tidak. Tangis sudah habis. Kini yang tersisa hanya tekad. “Aku harus punya bukti. Bukan air mata. Bukan teriakan. Tapi sesuatu yang tidak bisa mereka sangkal.” Ia menatap ke lemari kecil di pojok kamar. Di situ ada ponsel lamanya. Layarnya retak, tapi masih bisa berfungsi. Ia membuka aplikasi perekam suara dan menyembunyikan ponsel itu di bawah boks bayi. “Mulai besok, kalian akan bicara... dan aku akan mendengar.” ***** Keesokan harinya, Rania bersikap seperti biasa lemah, diam, tidak melawan. Nadine menyeringai puas. Bu Yulia bahkan sempat berkomentar. “Akhirnya ngerti tempatmu, ya.” Namun setiap kali Nadine dan Bu Yulia bicara di kamar, di dapur, di ruang keluarga... Rania selalu meninggalkan ponsel dengan fitur perekam aktif. Ia menangkap percakapan seperti: Rekaman 1 – di dapur (antara Nadine dan Bu Yulia ) - Nadine: "Kalau Rania sampai benar-benar gila, gampang tuh rebut hak asuh anaknya." -Bu Yulia: "Makanya jangan kasih dia ruang sembuh. Tekan terus. Lama-lama dia tumbang sendiri." Rekaman 2 – di ruang tamu (antara Nadine dan Dani) - Dani: "Aku gak sengaja, Ma. Tapi bayinya diam pas aku tekan bantalnya." - Nadine: "SSST! Jangan bilang gitu. Kalau kamu ditanya, bilang aja Rania yang marah duluan." Seminggu berlalu. Rania sudah mengumpulkan cukup rekaman. Tapi satu hal yang masih belum ia miliki: dukungan. Ia tak bisa melawan sendirian. Malam itu, Raka pulang kerja. Wajahnya lelah. Ia masuk ke kamar dan mendapati Rania duduk di meja dengan ponsel di tangan. “Kita perlu bicara,” ujar Rania tenang. “Nanti aja. Aku capek.” “Kalau begitu, dengarkan ini sebelum kamu tidur.” [klik] Rekaman Nadine dan Bu Yulia terdengar jelas. Kata-kata “tekan terus, rebut hak asuh” bergema seperti peluru. Raka terdiam. Matanya membelalak. “Apa ini…?” “Bukti. Aku bukan gila, Raka. Aku bukan halusinasi. Aku ibu yang kalian coba patahkan. Tapi aku masih berdiri.” Rania menatap suaminya dalam-dalam. “Aku belum melapor ke polisi. Belum. Tapi aku bisa. Dan jika aku pergi, aku tidak akan pergi diam-diam. Aku akan membawa anakku, dan kalian akan kehilangan segalanya termasuk nama baik yang kalian agung-agungkan.” “Pilihanku cuma dua: aku bangkit dan kita berubah, atau aku bangkit dan kalian hancur.” Raka hanya bisa menatap istrinya… untuk pertama kalinya, dengan rasa takut.Di saat Rania pulang dari konfrontasi itu, markas LUMINA diserang. Ledakan terdengar dari arah timur. Mereka datang dengan sisa kekuatan—pasukan bayangan Valedra terakhir yang loyal. Tapi Dimas dan Sinta sudah bersiap. “Kau pikir mereka akan menangkap kita hidup-hidup?” tanya Sinta. Dimas mengangkat senjatanya. “Tidak malam ini.” Perang kecil pecah. Tapi dengan bantuan publik yang kini sudah terbuka, pasukan pengaman resmi turun tangan. Satu per satu pasukan Valedra ditangkap. Beberapa tewas. Beberapa melarikan diri. Dan Rania berdiri di tengah puing, tubuhnya penuh luka, tapi wajahnya penuh tekad. “Ini bukan soal balas dendam lagi. Ini soal membangun ulang dunia yang mereka hancurkan.” Namun dari balik reruntuhan, seorang pria muncul diam-diam, membawa pesan terakhir dari Nyonya Merah. “Valedra tidak mati. Dia hanya tidur. Dan saat dunia lengah lagi... kami akan bangkit.” *** Langit pagi di kota itu tak pernah terasa sebiru ini. Hembusan angin yang dulu membawa teror
Markas rahasia LUMINA malam itu tak seperti biasanya. Semua anggota sibuk—sebagian menyusun strategi distribusi data, sebagian lagi memperkuat sistem pertahanan digital. Flashdisk di tangan Rania adalah senjata pemusnah massal bagi kekuasaan Valedra. Sekali data itu menyebar, tak akan ada tempat bersembunyi bagi para penguasa dalam bayang-bayang. “Kita sebar melalui beberapa jalur,” ujar Sinta serius. “Dark web, whistleblower platform, akun publik LUMINA, dan ke media luar negeri yang masih independen.” “Jangan lupa backup-nya,” tambah Alvan. “Kalau mereka tahu kita akan menyebarkan ini, mereka akan menyerang balik. Fisik dan digital.” Dimas berdiri di belakang Rania, masih dibayangi konflik batin. “Jika mereka tahu kita punya semua ini… mereka akan habisi kita satu per satu.” Rania menoleh padanya. “Mereka sudah mencoba menghabisi kita sejak dulu, Dim. Bedanya sekarang… bisa melawan.” Hari itu, LUMINA menyebarkan file “EDEN” dengan sistem berlapis, menghindari deteksi
Kompol Bagas mengangguk, lalu menyerahkan sebuah flashdisk. “Isi ini adalah rekaman transaksi dan daftar nama yang pernah ditugaskan oleh Valedra—termasuk pejabat tinggi, menteri, bahkan pemilik jaringan media ternama. Hati-hati. Sekarang, kalian target.” Malamnya, saat Rania membuka isi flashdisk itu bersama Dimas dan Sinta, mereka menemukan sesuatu yang membuat darah mereka membeku—nama Yulia tertera sebagai “Anggota Tidur Valedra”. Ia bukan hanya istri pengusaha dan mertua Rania, tapi juga bagian dari organisasi ini. “Ibu mertua kita bagian dari mereka...” desis Dimas. “Itu sebabnya dia selalu selangkah lebih maju... Dia punya pelindung. Kita pikir dia hanya wanita kejam penuh ambisi, tapi dia lebih dari itu. Dia bagian dari kegelapan yang lebih tua.” Dan di antara daftar itu, nama Nadine juga tertera sebagai “proxy personal” milik Yulia. Dimas terduduk. Tangannya gemetar. “Dia... semua ini hanya sandiwara? Bahkan cinta yang dia berikan padaku?” Sinta menggenggam bahu Dimas.
Gedung Pengadilan Tinggi Jakarta dipenuhi oleh massa, wartawan, dan para pengacara dari berbagai firma ternama. Suasana siang itu panas dan mencekam. Hari itu bukan hanya menjadi saksi kasus kriminal biasa—ini adalah persidangan paling besar dalam sejarah keluarga Wicaksono dan kekuasaan gelap Irwan Santoso. Rania melangkah masuk ke ruang sidang dengan kepala tegak. Di belakangnya, Sinta, Dimas, dan tim pengacara yang telah mereka bentuk dengan susah payah. Di seberang ruangan, Irwan duduk dengan tenang, namun matanya tidak bisa menyembunyikan amarah dan kegelisahan yang ia rasakan. Hakim utama masuk, mengetukkan palu dengan keras. "Sidang dimulai." Pengacara Rania berdiri pertama, membawa setumpuk dokumen, rekaman, dan kesaksian dari saksi-saksi yang mereka lindungi selama ini. "Yang Mulia, kami memiliki bukti tak terbantahkan tentang pencucian uang, penyuapan pejabat negara, serta upaya sabotase media dan sistem hukum yang dilakukan oleh Tuan Irwan Santoso," kata pengacara i
Rania berdiri di depan kaca besar yang memantulkan wajahnya yang penuh dengan kelelahan dan ketegangan. Perjalanan panjang ini semakin menekan setiap detik yang berlalu, dan semakin mendalam ia menyelami permainan kekuasaan yang dimainkan oleh Irwan Santoso, semakin terasa bahwa ia berada di titik yang sangat berbahaya. Waktu terus berjalan, dan Rania tahu bahwa mereka harus segera mengambil tindakan besar, atau semuanya akan hilang. Namun, bahkan saat mereka semakin dekat dengan kebenaran, keraguan dan ketidakpastian tetap menggantung di atas kepala mereka. Apakah mereka sudah siap untuk menghadapi bahaya yang lebih besar? Siapa lagi yang terlibat dalam permainan ini yang mungkin belum terungkap? Malam itu, Rania, Sinta, dan Dimas berkumpul di sebuah ruang pertemuan yang tersembunyi di tempat aman, jauh dari sorotan media dan pengawasan pihak berwenang. Mereka sedang merencanakan langkah mereka selanjutnya—langkah yang akan membawa mereka lebih dalam ke sarang kekuasaan yang dipega
Dengan setiap langkah yang diambil, Rania semakin terperangkap dalam labirin pengkhianatan yang tampaknya tidak ada ujungnya. Pihak yang mengendalikan permainan ini semakin sulit untuk dilacak, dan meskipun ia mulai mengumpulkan lebih banyak informasi, ketidakpastian semakin menyelimuti. Rania tahu bahwa untuk bertahan hidup, ia harus lebih pintar dan lebih berhati-hati, atau ia bisa jatuh menjadi pion dalam permainan yang jauh lebih besar daripada dirinya.Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Felix, Rania dan Sinta memutuskan untuk melangkah lebih hati-hati. Mereka memulai pencarian lebih mendalam tentang pihak yang mengendalikan Darmawan, tetapi setiap kali mereka mendekati titik terang, semakin banyak pintu yang tertutup rapat. Sinta merasa bahwa mereka berada di titik yang sangat berbahaya.“Ran, aku mulai merasa kita tidak hanya melawan Darmawan dan Felix. Ada sesuatu yang lebih dalam dari ini. Jika kita terus melangkah tanpa rencana yang jelas, kita bisa terjebak,”