Share

BAB 4 — Batas Luka

Author: Dhalika Noire
last update Last Updated: 2025-05-11 13:43:36

Rania baru saja menidurkan bayinya di atas ranjang kecil di sudut kamar. Mata si kecil masih memerah karena terlalu sering menangis. Wajah mungil itu tampak damai untuk sementara. Rania tersenyum lemah, lalu beranjak ke kamar mandi di sebelah untuk membasuh wajah dan membuang air kecil.

 

 Pintu kamar mandi setengah terbuka. Rania tak pernah merasa aman meninggalkan bayinya, tapi tubuhnya juga butuh istirahat, walau sebentar.

 

 Tiba-tiba ... sunyi.

 

 Tangisan yang biasanya terus-menerus itu, kini hilang. Terlalu hening.

 

 Rania merasakan firasat buruk. Ia bergegas keluar dari kamar mandi.

 

 

  Dan . . . .

 

 

 Dani, anak Nadine, berdiri di depan tempat tidur.

 

 Di tangannya ada bantal yang masih menindih wajah bayi Rania.

 

 “DANI!!!” teriak Rania.

 

 Ia langsung menerobos dan menyingkirkan bantal itu. Bayinya terisak pelan, wajahnya merah dan sesak. Detik itu, darah Rania seperti membeku.

 

   “APA YANG KAMU LAKUKAN?!” Teriak Rania

 

 Dani terkejut, lalu langsung menangis keras.

 

  “Aku nggak ngapa-ngapain! Aku cuma main! Aku nggak tahu kenapa bayinya nangis!” Jawab Dani

 

 Rania mengguncang bahu Dani. Tak bisa menahan emosi.

 

  “Kamu hampir... hampir membunuh anakku!” bentak Rania

 

 Beberapa menit kemudian, Nadine datang  tergesa ke kamar, diikuti oleh Bu Yulia dan Raka.

 

    “ADA APA INI?! Dani kenapa menangis?!” pekik lantang Nadine

 

 Rania, masih panik dan memeluk erat bayinya, berkata terbata

 “Aku lihat sendiri... Dani menindih bayi kita dengan bantal... dia .. dia hampir ...”

 

  “HENTIKAN!” Nadine berteriak. “Anakku nggak akan pernah sejahat itu!”

 

 Dani langsung memeluk ibunya dan menangis tersedu.

 

  “Aku cuma mau bantu gendong… bayinya tiba-tiba nangis… tante Rania marah…”

 

 Bu Yulia menatap Rania dengan sinis.

 

  “Kamu tega tuduh anak kecil? Ini karena kamu nggak bisa urus bayi, lalu cari kambing hitam, ya?!”

 

  “Aku LIHAT dengan mataku sendiri!” Rania teriak, hampir histeris.

 

 Raka diam. Pandangannya datar.

 

  “Kamu yakin nggak lagi halusinasi, Ran? Kamu kan lagi stres. Jangan sampai nambah masalah. Dani masih kecil.”

 

 Rania tercengang. Seakan semua udara keluar dari paru-parunya.

 

  “Kamu pikir aku bohong?”

 

  Nadine melipat tangan. “Atau... jangan-jangan, kamu sendiri yang hampir celakain anakmu, terus cari cara lempar kesalahan ke anakku?”

 

  Bu Yulia “apa kamu melakukan semua ini karena sakit hati tidak diajak piknik? Sungguh keterlaluan kamu Rania “

 

 Dan saat itu, semua orang diam. Tapi bukan karena percaya. Mereka diam… karena mereka percaya pada kebohongan.

 

 Malamnya, Rania duduk di lantai kamar sambil memeluk bayinya yang masih lemah. Matanya kosong. Ia sudah selesai menangis. Sekarang, hanya diam yang menyakitkan.

 

  “Kamu hampir mati, Nak... dan semua orang memilih membela orang yang melakukannya, Termasuk ayahmu.”

 

 Ia mencium kening bayinya.

 

   “Ibu harus lakukan sesuatu untuk menegakkan kebenaran "

 

  Suasana dini hari yang sunyi di kamar Rania, Semua orang sudah tertidur setelah hari panjang yang dipenuhi kebohongan.

 

 Rania terjaga, duduk memeluk bayinya yang kini mulai tenang. Tapi hatinya tidak. Tangis sudah habis. Kini yang tersisa hanya tekad.

 

  “Aku harus punya bukti. Bukan air mata. Bukan teriakan. Tapi sesuatu yang tidak bisa mereka sangkal.”

 

 Ia menatap ke lemari kecil di pojok kamar. Di situ ada ponsel lamanya. Layarnya retak, tapi masih bisa berfungsi. Ia membuka aplikasi perekam suara dan menyembunyikan ponsel itu di bawah boks bayi.

 

  “Mulai besok, kalian akan bicara... dan aku akan mendengar.”

 

*****

 

  Keesokan harinya, Rania bersikap seperti biasa lemah, diam, tidak melawan. Nadine menyeringai puas. Bu Yulia bahkan sempat berkomentar.

 

  “Akhirnya ngerti tempatmu, ya.”

 

 

 Namun setiap kali Nadine dan Bu Yulia bicara di kamar, di dapur, di ruang keluarga... Rania selalu meninggalkan ponsel dengan fitur perekam aktif.

 

 Ia menangkap percakapan seperti:

 

 Rekaman 1 – di dapur (antara Nadine dan Bu Yulia )

 - Nadine: "Kalau Rania sampai benar-benar gila, gampang tuh rebut hak asuh anaknya."

 -Bu Yulia: "Makanya jangan kasih dia ruang sembuh. Tekan terus. Lama-lama dia tumbang sendiri."

 

 

 Rekaman 2 – di ruang tamu (antara Nadine dan Dani)

 - Dani: "Aku gak sengaja, Ma. Tapi bayinya diam pas aku tekan bantalnya."

 - Nadine: "SSST! Jangan bilang gitu. Kalau kamu ditanya, bilang aja Rania yang marah duluan."

 

 Seminggu berlalu. Rania sudah mengumpulkan cukup rekaman. Tapi satu hal yang masih belum ia miliki: dukungan. Ia tak bisa melawan sendirian.

 

  Malam itu, Raka pulang kerja. Wajahnya lelah. Ia masuk ke kamar dan mendapati Rania duduk di meja dengan ponsel di tangan.

 

  “Kita perlu bicara,” ujar Rania tenang.

 

  “Nanti aja. Aku capek.”

 

  “Kalau begitu, dengarkan ini sebelum kamu tidur.”

 

 [klik]

 

 Rekaman Nadine dan Bu Yulia terdengar jelas. Kata-kata “tekan terus, rebut hak asuh” bergema seperti peluru.

 

 Raka terdiam. Matanya membelalak.

 

  “Apa ini…?”

 

  “Bukti. Aku bukan gila, Raka. Aku bukan halusinasi. Aku ibu yang kalian coba patahkan. Tapi aku masih berdiri.”

 

 

 Rania menatap suaminya dalam-dalam.

 

  “Aku belum melapor ke polisi. Belum. Tapi aku bisa. Dan jika aku pergi, aku tidak akan pergi diam-diam. Aku akan membawa anakku, dan kalian akan kehilangan segalanya termasuk nama baik yang kalian agung-agungkan.”

 

 

  “Pilihanku cuma dua: aku bangkit dan kita berubah, atau aku bangkit dan kalian hancur.”

 

 Raka hanya bisa menatap istrinya… untuk pertama kalinya, dengan rasa takut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 29 - Pengungkapan yang Lebih Dalam

    Setelah pertempuran yang sengit, markas Darmawan kini terasa sepi. Hujan yang semula deras mulai mereda, meninggalkan sisa-sisa air yang menggenang di sekitar bangunan. Para pasukan Darmawan yang baru datang terlihat sedang mengamankan area, memastikan tidak ada ancaman yang tersisa. Namun, di dalam markas, Rania dan keluarganya tidak merasa sepenuhnya aman. Rania berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke luar. Pikirannya jauh, merenung. Darmawan, yang sebelumnya dianggap sebagai korban dalam permainan jahat keluarga Wicaksono, kini terlihat sangat berbeda. Pencapaian dan pengorbanannya ternyata lebih besar dan lebih berbahaya dari yang pernah dibayangkan Rania. “Rania,” suara Sinta memecah lamunannya. “Kita perlu bicara.” Rania menoleh dan melihat Sinta berdiri di dekat meja, menggenggam berkas-berkas lama yang baru saja ditemukan. Di sana, terdapat beberapa dokumen yang menunjukkan hubungan antara Darmawan dan jaringan kekuasaan yang lebih besar daripada yang pernah

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 28 - Pertarungan untuk Takdir

    Darmawan, yang selama ini dianggap sebagai korban dari rencana jahat keluarga Wicaksono, mengangkat tangan dan melangkah maju dengan tenang. “Aku tahu apa yang kalian pikirkan, Ran. Tapi aku bertindak untuk sesuatu yang lebih besar dari kalian bayangkan.” Rania terdiam, hampir tidak percaya. Ia telah mengira ayahnya tewas karena serangan itu, dan kini dia muncul di hadapannya, lebih hidup dan lebih kuat dari sebelumnya. “Aku bersembunyi selama ini karena mereka tidak tahu jika aku masih hidup. Yulia akan mengira aku mati, dan itu memberiku kesempatan untuk mengatur semua ini dari belakang,” lanjut Darmawan. “Namun, aku tidak bisa membiarkan Felix menguasai segalanya.” Sinta, yang sudah tahu tentang banyak hal, menatap Darmawan dengan penuh kecurigaan. “Apa maksudmu dengan mengatakan ‘lebih besar’?” tanya Sinta. “Apa yang kamu rencanakan sebenarnya?” Darmawan menatap mereka semua dengan tatapan tegas. “Aku menyusun rencana untuk menghancurkan semua yang pernah dibangun Yulia

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 27 - Pemburuan Malam

    Malam itu, langit gelap seolah menutupi segala rahasia yang hendak terungkap. Rania berdiri di luar markas sementara mereka, menatap cakrawala yang hanya diterangi kilatan petir yang sesekali mengarah ke tanah. Hujan semakin deras, mengaburkan pandangan, namun di balik kabut itu ada ancaman yang semakin nyata. Raka, yang sedang beristirahat di dalam ruangan, merasa ada yang tak beres. Instingnya, yang selama ini tajam, terasa menggigit. Sesuatu mengintai. “Kita tidak punya banyak waktu,” kata Raka, matanya tajam menatap layar monitor. “Felix pasti datang, dan jika dia membawa pasukan... kita tidak akan cukup kuat.” Reyhan mengangguk dan berdiri. “Kami sudah menyiapkan rencana cadangan, tapi yang lebih penting sekarang adalah memastikan semua bukti tetap aman. Tanpa itu, kita bisa kehilangan semuanya.” Sinta yang berada di sisi meja kerja menekan layar ponselnya. “Aku sudah menghubungi teman-teman di lembaga hak asasi. Mereka akan siap untuk mendengar kebenaran jika kita bisa m

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 26 - Kembali dari Bayangan

    Hujan turun deras malam itu. Rania tengah memandangi berkas-berkas peninggalan Dimas di ruang kerja ketika ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia nyaris tak mengangkat, tapi suara di seberang membuat napasnya tercekat. “Rania…” Suara itu… lemah, serak, tapi sangat familiar. “Raka?” “Aku... butuh bantuanmu. Aku masih hidup.” Ponsel nyaris jatuh dari tangan Rania. “Di mana kamu?!” “Jangan bilang siapa-siapa… mereka masih mengincar aku. Aku di rumah tua Ayah, di lereng Brava…” *** Rania langsung berangkat bersama Reyhan dan Sinta secara diam-diam. Mereka tiba di sebuah rumah terbengkalai, dikelilingi kabut dan hujan. Di dalamnya, Raka terbaring lemah di sofa usang, tubuhnya penuh luka lama, beberapa masih membekas jelas. Matanya sayu, tapi masih menyala. Tangis Rania pecah seketika. Ia meraih tangan Raka dan menggenggamnya erat. “Kau… kau hidup… Tuhan, aku kira kau sudah…” Raka menggeleng pelan. “Dimas… merancang semuanya. Membuat seolah aku tewas di tempat ke

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 25 - Perburuan Terakhir

    Dua minggu sejak pelarian Dimas. Selama itu pula Rania hidup dalam pengawasan ketat. Rumahnya dijaga aparat, Reya dipindahkan ke tempat rahasia. Tapi Rania menolak bersembunyi. Ia tahu, selama Dimas belum tertangkap, tak ada tempat yang benar-benar aman. “Dia akan datang padaku. Bukan Sinta, bukan Felix. Aku. Karena aku yang menjatuhkannya,” ujar Rania tegas saat Sinta menyarankan pelindung tambahan. Reyhan mengatur strategi, tapi Dimas seolah lenyap. Semua jejak menghilang. Sampai akhirnya, surat tanpa pengirim tiba di kantor kejaksaan. Isinya: “Main terakhir kita. Tanpa polisi. Tanpa kamera. Datanglah ke tempat semuanya bermula. Sendirian. Jika kau ingin ini berakhir.” Tertulis di bawahnya: “Villa Gunung Senja.” Itu adalah rumah lama keluarga Wicaksono. Tempat pertama Rania dibawa setelah menikah. Tempat Yulia pertama kali menyiksanya. *** Malam itu. Rania memutuskan untuk datang. Meski ditentang semua pihak, ia tahu—ini bukan lagi sekadar perburuan hukum. Ini te

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 24 - Balas Dendam dari Balik Jeruji

    BAB 36 — Balas Dendam dari Balik Jeruji Malam sunyi. Di dalam penjara kelas satu, Dimas duduk di ranjangnya, ditemani sebatang rokok yang menyala setengah. Meski dinding jeruji mengelilinginya, wajahnya tetap tenang. Di depannya, seorang pengacara bayangan membisikkan kabar. "Kami sudah temukan orangnya. Infiltrasi ke dalam LPSK, akses ke lokasi rumah aman Felix. Kita hanya butuh waktu." Dimas mengangguk pelan. “Aku tak butuh waktu. Aku butuh hasil. Buat mereka menderita, satu per satu. Mulai dari Rania.” *** Keesokan harinya, Rania menerima paket misterius. Sebuah kotak kayu kecil dengan inisial “R”. Di dalamnya, bukan barang, melainkan segel rambut bayi, yang ia kenali sebagai milik anaknya, Reya. Tangannya gemetar. Pesan pendek tertulis di balik tutup kotak: "Kau mencuri milikku. Sekarang, kutarik kembali yang jadi milikmu." Rania langsung menggendong Reya dan menghubungi Sinta. Laporan diajukan ke kepolisian, dan Reyhan mempercepat proses pemindahan saksi dan kelu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status