Home / Rumah Tangga / Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua / BAB 6 - Lelaki yang Tak pernah Melihat

Share

BAB 6 - Lelaki yang Tak pernah Melihat

Author: Dhalika Noire
last update Last Updated: 2025-05-11 14:12:14

BAB 6 -  Lelaki yang Tak pernah Melihat

    Di dalam lemari, tersembunyi di bawah tumpukan pakaian, ia menemukan kotak kecil. Saat dibuka, hatinya mencelos.

 

  Foto. Bukan hanya foto Raka. Tapi juga surat cinta. Coretan tangan Nadine yang ditujukan untuk suaminya sendiri.

 

  "Kapan kau akan sadar, aku yang lebih memahami segala resahmu? Aku yang melihat luka-lukamu sebelum Rania datang mencuri tempatku..."

 

  Rania menggigit bibirnya. Tiba-tiba, semua perhatian Nadine sejak awal masuk akal. Tatapan, sentuhan, kata-kata manis yang dibungkus kepalsuan.

 

  Ia menutup kotak itu rapat. Tapi niatnya bukan melapor. Bukan menangis. Ia akan hadapi ini dengan caranya sendiri.

 

  Malamnya, ia memasak makan malam khusus. Sup ayam dan sambal favorit Raka.

  Saat semua sudah duduk, Rania meletakkan satu surat di atas meja. “Aku mau kita semua baca ini bersama.”

 

  Nadine langsung pucat saat melihat amplopnya. “Itu... dari mana kamu dapat?”

 

  “Dari tempat yang seharusnya bersih, tapi ternyata menyimpan kotoran.”

  Bu Yulia ikut bicara, “Apa ini?! Apa kalian mau bikin keributan lagi?”

 

  Rania membuka surat itu dan membaca keras-keras beberapa kalimat Nadine.

 

  “‘Kau tahu, Raka, setiap malam aku membayangkan andai saja bukan dia yang kau nikahi...’”

 

  Semua terdiam. Raka menunduk dalam rasa malu dan terkejut.

  Rania berdiri, menatap Nadine. “Kau ingin aku pergi, supaya kau bisa menggantikan tempatku. Tapi dengar baik-baik! aku tidak akan menyerah semudah itu. Aku sudah berdarah demi keluarga ini. Dan aku tidak akan membiarkan ular berkeliaran di rumahku.”

 

  Nadine bangkit dari kursi, mencoba merebut surat itu.

  “Kau tak tahu apa-apa, Rania!”

  “Aku tahu lebih dari cukup. Dan sekarang aku juga tahu siapa musuhku.”

 

  Rania menatap Bu Yulia yang diam membeku. “Bu, saya tahu Ibu tidak pernah suka saya. Tapi bahkan saya tidak pernah mencintai suami orang.”

  Bu Yulia terdiam. Untuk pertama kalinya, ia tak punya jawaban.

 

  Malam itu, Rania duduk di kamar dengan bayinya di pelukan.

  Di luar, dunia masih gelap. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa memegang kendali.

 

  Dimas yakni suami Nadine duduk di ruang tengah, menonton televisi dengan volume terlalu besar, seperti biasa. Remote di tangan kanan, keripik di tangan kiri. Pikirannya tak pernah jauh dari tontonan laga dan gosip olahraga, Tanpa pernah memperdulikan putranya

 

  “Mas, kamu nggak lihat anak kita udah dua jam nangis?” tanya Nadine sambil mengusap peluh.

 

  “Lho, aku kira dia cuma ngelantur... Biasanya juga kamu bisa tenangin, kan?” jawab Dimas santai, tanpa menoleh.

 

  Nadine mendesis pelan. Ia mencium keringat di leher, melihat bajunya yang basah karena sibuk mengurus rumah dan anak sendirian. Sementara Dimas? Bahkan tidak sadar istrinya sudah berulang kali pulang larut malam tanpa alasan jelas.

  “Mas,” katanya lebih tegas. “Kita bisa bicara sebentar?”

  “Lain kali aja, Nadine. Ini lagi seru. Tim favoritku tanding ulang.”

 

  Nadine mengepalkan tangan. Ini bukan lagi soal perhatian. Dimas bukan hanya tidak peka, dia tidak mau peduli.

 

  Baginya, istrinya tetaplah istri yang mengurus, melayani, dan tidak menuntut apa-apa kecuali makan dan tempat tidur.

 

  Beberapa hari kemudian.

  Dimas sedang duduk di beranda sambil main game di ponsel. Rania menghampirinya dengan wajah datar.

 

  “Mas Dimas, maaf, boleh saya tanya sesuatu?”

  “Boleh dong, adik iparku yang baik hati,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar

  “Mas nggak pernah curiga sama Nadine?”

  “Curiga kenapa?”

  Rania menatapnya. “Dia sering pulang malam, suka kirim pesan ke Raka tengah malam, dan...”

 

  “Hei, hei,” Dimas tertawa canggung. “Kamu ini nonton sinetron kebanyakan, ya? Nadine itu istri terbaik. Dia nggak mungkin ngapa-ngapain. Lagian, Raka kan adik aku. Mana mungkin.”

  “Justru karena itu, Mas.”

  Dimas mengerutkan kening, tapi ekspresi wajahnya tetap kosong. Seolah otaknya tidak terprogram untuk mencurigai atau menyelidiki apa pun.

 

  “Udahlah, Rania. Kamu capek habis lahiran, jadi terlalu sensitif. Mending istirahat aja.”

 

  Rania hanya diam. Dalam hati, ia tahu Dimas bukan jahat hanya terlalu... tidak ada guna.

 

  Ia tidak melihat istri yang perlahan berubah.

  Ia tidak melihat Raka yang mulai ditarik ke arah yang salah.

  Ia hanya melihat layar, makanan, dan kasur.

  Dan itulah alasan Nadine merasa bebas berbuat apa pun.

 

  Malamnya, Nadine masuk kamar dengan aroma parfum tajam.

  “Dari mana, Nadine?” tanya Dimas tanpa menoleh dari ponsel.

  “Salon,” jawab Nadine ringan, membuka bra dan menggantinya tanpa rasa bersalah.

  “Oke. Besok jangan lupa kita ada arisan keluarga.”

  “Hmm. Kalau aku sibuk, kamu aja yang pergi.”

  “Oke.”

  Nadine menatap suaminya. Tidak ada kemarahan. Tidak ada pertanyaan.

  Dan justru karena itu, rasa muaknya semakin menjadi-jadi.

 

  "Kau bahkan tidak tahu saat istrimu mencintai adikmu sendiri."

 

  Dalam hati, Nadine tertawa. Suami yang terlalu bodoh adalah berkah dan juga kutukan, Lalu Ia mengambil ponsel miliknya dan menghubungi seseorang di sana.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 37 - Cahaya Setelah Malam

    Di saat Rania pulang dari konfrontasi itu, markas LUMINA diserang. Ledakan terdengar dari arah timur. Mereka datang dengan sisa kekuatan—pasukan bayangan Valedra terakhir yang loyal. Tapi Dimas dan Sinta sudah bersiap. “Kau pikir mereka akan menangkap kita hidup-hidup?” tanya Sinta. Dimas mengangkat senjatanya. “Tidak malam ini.” Perang kecil pecah. Tapi dengan bantuan publik yang kini sudah terbuka, pasukan pengaman resmi turun tangan. Satu per satu pasukan Valedra ditangkap. Beberapa tewas. Beberapa melarikan diri. Dan Rania berdiri di tengah puing, tubuhnya penuh luka, tapi wajahnya penuh tekad. “Ini bukan soal balas dendam lagi. Ini soal membangun ulang dunia yang mereka hancurkan.” Namun dari balik reruntuhan, seorang pria muncul diam-diam, membawa pesan terakhir dari Nyonya Merah. “Valedra tidak mati. Dia hanya tidur. Dan saat dunia lengah lagi... kami akan bangkit.” *** Langit pagi di kota itu tak pernah terasa sebiru ini. Hembusan angin yang dulu membawa teror

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 36 - Benturan Terbuka

    Markas rahasia LUMINA malam itu tak seperti biasanya. Semua anggota sibuk—sebagian menyusun strategi distribusi data, sebagian lagi memperkuat sistem pertahanan digital. Flashdisk di tangan Rania adalah senjata pemusnah massal bagi kekuasaan Valedra. Sekali data itu menyebar, tak akan ada tempat bersembunyi bagi para penguasa dalam bayang-bayang. “Kita sebar melalui beberapa jalur,” ujar Sinta serius. “Dark web, whistleblower platform, akun publik LUMINA, dan ke media luar negeri yang masih independen.” “Jangan lupa backup-nya,” tambah Alvan. “Kalau mereka tahu kita akan menyebarkan ini, mereka akan menyerang balik. Fisik dan digital.” Dimas berdiri di belakang Rania, masih dibayangi konflik batin. “Jika mereka tahu kita punya semua ini… mereka akan habisi kita satu per satu.” Rania menoleh padanya. “Mereka sudah mencoba menghabisi kita sejak dulu, Dim. Bedanya sekarang… bisa melawan.” Hari itu, LUMINA menyebarkan file “EDEN” dengan sistem berlapis, menghindari deteksi

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 35 - Penyusup Dalam Bayangan

    Kompol Bagas mengangguk, lalu menyerahkan sebuah flashdisk. “Isi ini adalah rekaman transaksi dan daftar nama yang pernah ditugaskan oleh Valedra—termasuk pejabat tinggi, menteri, bahkan pemilik jaringan media ternama. Hati-hati. Sekarang, kalian target.” Malamnya, saat Rania membuka isi flashdisk itu bersama Dimas dan Sinta, mereka menemukan sesuatu yang membuat darah mereka membeku—nama Yulia tertera sebagai “Anggota Tidur Valedra”. Ia bukan hanya istri pengusaha dan mertua Rania, tapi juga bagian dari organisasi ini. “Ibu mertua kita bagian dari mereka...” desis Dimas. “Itu sebabnya dia selalu selangkah lebih maju... Dia punya pelindung. Kita pikir dia hanya wanita kejam penuh ambisi, tapi dia lebih dari itu. Dia bagian dari kegelapan yang lebih tua.” Dan di antara daftar itu, nama Nadine juga tertera sebagai “proxy personal” milik Yulia. Dimas terduduk. Tangannya gemetar. “Dia... semua ini hanya sandiwara? Bahkan cinta yang dia berikan padaku?” Sinta menggenggam bahu Dimas.

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 34 - Pengadilan Akhir

    Gedung Pengadilan Tinggi Jakarta dipenuhi oleh massa, wartawan, dan para pengacara dari berbagai firma ternama. Suasana siang itu panas dan mencekam. Hari itu bukan hanya menjadi saksi kasus kriminal biasa—ini adalah persidangan paling besar dalam sejarah keluarga Wicaksono dan kekuasaan gelap Irwan Santoso. Rania melangkah masuk ke ruang sidang dengan kepala tegak. Di belakangnya, Sinta, Dimas, dan tim pengacara yang telah mereka bentuk dengan susah payah. Di seberang ruangan, Irwan duduk dengan tenang, namun matanya tidak bisa menyembunyikan amarah dan kegelisahan yang ia rasakan. Hakim utama masuk, mengetukkan palu dengan keras. "Sidang dimulai." Pengacara Rania berdiri pertama, membawa setumpuk dokumen, rekaman, dan kesaksian dari saksi-saksi yang mereka lindungi selama ini. "Yang Mulia, kami memiliki bukti tak terbantahkan tentang pencucian uang, penyuapan pejabat negara, serta upaya sabotase media dan sistem hukum yang dilakukan oleh Tuan Irwan Santoso," kata pengacara i

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 33 -Ujung Labirin

    Rania berdiri di depan kaca besar yang memantulkan wajahnya yang penuh dengan kelelahan dan ketegangan. Perjalanan panjang ini semakin menekan setiap detik yang berlalu, dan semakin mendalam ia menyelami permainan kekuasaan yang dimainkan oleh Irwan Santoso, semakin terasa bahwa ia berada di titik yang sangat berbahaya. Waktu terus berjalan, dan Rania tahu bahwa mereka harus segera mengambil tindakan besar, atau semuanya akan hilang. Namun, bahkan saat mereka semakin dekat dengan kebenaran, keraguan dan ketidakpastian tetap menggantung di atas kepala mereka. Apakah mereka sudah siap untuk menghadapi bahaya yang lebih besar? Siapa lagi yang terlibat dalam permainan ini yang mungkin belum terungkap? Malam itu, Rania, Sinta, dan Dimas berkumpul di sebuah ruang pertemuan yang tersembunyi di tempat aman, jauh dari sorotan media dan pengawasan pihak berwenang. Mereka sedang merencanakan langkah mereka selanjutnya—langkah yang akan membawa mereka lebih dalam ke sarang kekuasaan yang dipega

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 32 - LAabirin Pengkhianatan

    Dengan setiap langkah yang diambil, Rania semakin terperangkap dalam labirin pengkhianatan yang tampaknya tidak ada ujungnya. Pihak yang mengendalikan permainan ini semakin sulit untuk dilacak, dan meskipun ia mulai mengumpulkan lebih banyak informasi, ketidakpastian semakin menyelimuti. Rania tahu bahwa untuk bertahan hidup, ia harus lebih pintar dan lebih berhati-hati, atau ia bisa jatuh menjadi pion dalam permainan yang jauh lebih besar daripada dirinya.Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Felix, Rania dan Sinta memutuskan untuk melangkah lebih hati-hati. Mereka memulai pencarian lebih mendalam tentang pihak yang mengendalikan Darmawan, tetapi setiap kali mereka mendekati titik terang, semakin banyak pintu yang tertutup rapat. Sinta merasa bahwa mereka berada di titik yang sangat berbahaya.“Ran, aku mulai merasa kita tidak hanya melawan Darmawan dan Felix. Ada sesuatu yang lebih dalam dari ini. Jika kita terus melangkah tanpa rencana yang jelas, kita bisa terjebak,”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status