BAB 6 - Lelaki yang Tak pernah Melihat
Di dalam lemari, tersembunyi di bawah tumpukan pakaian, ia menemukan kotak kecil. Saat dibuka, hatinya mencelos. Foto. Bukan hanya foto Raka. Tapi juga surat cinta. Coretan tangan Nadine yang ditujukan untuk suaminya sendiri. "Kapan kau akan sadar, aku yang lebih memahami segala resahmu? Aku yang melihat luka-lukamu sebelum Rania datang mencuri tempatku..." Rania menggigit bibirnya. Tiba-tiba, semua perhatian Nadine sejak awal masuk akal. Tatapan, sentuhan, kata-kata manis yang dibungkus kepalsuan. Ia menutup kotak itu rapat. Tapi niatnya bukan melapor. Bukan menangis. Ia akan hadapi ini dengan caranya sendiri. Malamnya, ia memasak makan malam khusus. Sup ayam dan sambal favorit Raka. Saat semua sudah duduk, Rania meletakkan satu surat di atas meja. “Aku mau kita semua baca ini bersama.” Nadine langsung pucat saat melihat amplopnya. “Itu... dari mana kamu dapat?” “Dari tempat yang seharusnya bersih, tapi ternyata menyimpan kotoran.” Bu Yulia ikut bicara, “Apa ini?! Apa kalian mau bikin keributan lagi?” Rania membuka surat itu dan membaca keras-keras beberapa kalimat Nadine. “‘Kau tahu, Raka, setiap malam aku membayangkan andai saja bukan dia yang kau nikahi...’” Semua terdiam. Raka menunduk dalam rasa malu dan terkejut. Rania berdiri, menatap Nadine. “Kau ingin aku pergi, supaya kau bisa menggantikan tempatku. Tapi dengar baik-baik! aku tidak akan menyerah semudah itu. Aku sudah berdarah demi keluarga ini. Dan aku tidak akan membiarkan ular berkeliaran di rumahku.” Nadine bangkit dari kursi, mencoba merebut surat itu. “Kau tak tahu apa-apa, Rania!” “Aku tahu lebih dari cukup. Dan sekarang aku juga tahu siapa musuhku.” Rania menatap Bu Yulia yang diam membeku. “Bu, saya tahu Ibu tidak pernah suka saya. Tapi bahkan saya tidak pernah mencintai suami orang.” Bu Yulia terdiam. Untuk pertama kalinya, ia tak punya jawaban. Malam itu, Rania duduk di kamar dengan bayinya di pelukan. Di luar, dunia masih gelap. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa memegang kendali. Dimas yakni suami Nadine duduk di ruang tengah, menonton televisi dengan volume terlalu besar, seperti biasa. Remote di tangan kanan, keripik di tangan kiri. Pikirannya tak pernah jauh dari tontonan laga dan gosip olahraga, Tanpa pernah memperdulikan putranya “Mas, kamu nggak lihat anak kita udah dua jam nangis?” tanya Nadine sambil mengusap peluh. “Lho, aku kira dia cuma ngelantur... Biasanya juga kamu bisa tenangin, kan?” jawab Dimas santai, tanpa menoleh. Nadine mendesis pelan. Ia mencium keringat di leher, melihat bajunya yang basah karena sibuk mengurus rumah dan anak sendirian. Sementara Dimas? Bahkan tidak sadar istrinya sudah berulang kali pulang larut malam tanpa alasan jelas. “Mas,” katanya lebih tegas. “Kita bisa bicara sebentar?” “Lain kali aja, Nadine. Ini lagi seru. Tim favoritku tanding ulang.” Nadine mengepalkan tangan. Ini bukan lagi soal perhatian. Dimas bukan hanya tidak peka, dia tidak mau peduli. Baginya, istrinya tetaplah istri yang mengurus, melayani, dan tidak menuntut apa-apa kecuali makan dan tempat tidur. Beberapa hari kemudian. Dimas sedang duduk di beranda sambil main game di ponsel. Rania menghampirinya dengan wajah datar. “Mas Dimas, maaf, boleh saya tanya sesuatu?” “Boleh dong, adik iparku yang baik hati,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar “Mas nggak pernah curiga sama Nadine?” “Curiga kenapa?” Rania menatapnya. “Dia sering pulang malam, suka kirim pesan ke Raka tengah malam, dan...” “Hei, hei,” Dimas tertawa canggung. “Kamu ini nonton sinetron kebanyakan, ya? Nadine itu istri terbaik. Dia nggak mungkin ngapa-ngapain. Lagian, Raka kan adik aku. Mana mungkin.” “Justru karena itu, Mas.” Dimas mengerutkan kening, tapi ekspresi wajahnya tetap kosong. Seolah otaknya tidak terprogram untuk mencurigai atau menyelidiki apa pun. “Udahlah, Rania. Kamu capek habis lahiran, jadi terlalu sensitif. Mending istirahat aja.” Rania hanya diam. Dalam hati, ia tahu Dimas bukan jahat hanya terlalu... tidak ada guna. Ia tidak melihat istri yang perlahan berubah. Ia tidak melihat Raka yang mulai ditarik ke arah yang salah. Ia hanya melihat layar, makanan, dan kasur. Dan itulah alasan Nadine merasa bebas berbuat apa pun. Malamnya, Nadine masuk kamar dengan aroma parfum tajam. “Dari mana, Nadine?” tanya Dimas tanpa menoleh dari ponsel. “Salon,” jawab Nadine ringan, membuka bra dan menggantinya tanpa rasa bersalah. “Oke. Besok jangan lupa kita ada arisan keluarga.” “Hmm. Kalau aku sibuk, kamu aja yang pergi.” “Oke.” Nadine menatap suaminya. Tidak ada kemarahan. Tidak ada pertanyaan. Dan justru karena itu, rasa muaknya semakin menjadi-jadi. "Kau bahkan tidak tahu saat istrimu mencintai adikmu sendiri." Dalam hati, Nadine tertawa. Suami yang terlalu bodoh adalah berkah dan juga kutukan, Lalu Ia mengambil ponsel miliknya dan menghubungi seseorang di sana.Setelah pertempuran yang sengit, markas Darmawan kini terasa sepi. Hujan yang semula deras mulai mereda, meninggalkan sisa-sisa air yang menggenang di sekitar bangunan. Para pasukan Darmawan yang baru datang terlihat sedang mengamankan area, memastikan tidak ada ancaman yang tersisa. Namun, di dalam markas, Rania dan keluarganya tidak merasa sepenuhnya aman. Rania berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke luar. Pikirannya jauh, merenung. Darmawan, yang sebelumnya dianggap sebagai korban dalam permainan jahat keluarga Wicaksono, kini terlihat sangat berbeda. Pencapaian dan pengorbanannya ternyata lebih besar dan lebih berbahaya dari yang pernah dibayangkan Rania. “Rania,” suara Sinta memecah lamunannya. “Kita perlu bicara.” Rania menoleh dan melihat Sinta berdiri di dekat meja, menggenggam berkas-berkas lama yang baru saja ditemukan. Di sana, terdapat beberapa dokumen yang menunjukkan hubungan antara Darmawan dan jaringan kekuasaan yang lebih besar daripada yang pernah
Darmawan, yang selama ini dianggap sebagai korban dari rencana jahat keluarga Wicaksono, mengangkat tangan dan melangkah maju dengan tenang. “Aku tahu apa yang kalian pikirkan, Ran. Tapi aku bertindak untuk sesuatu yang lebih besar dari kalian bayangkan.” Rania terdiam, hampir tidak percaya. Ia telah mengira ayahnya tewas karena serangan itu, dan kini dia muncul di hadapannya, lebih hidup dan lebih kuat dari sebelumnya. “Aku bersembunyi selama ini karena mereka tidak tahu jika aku masih hidup. Yulia akan mengira aku mati, dan itu memberiku kesempatan untuk mengatur semua ini dari belakang,” lanjut Darmawan. “Namun, aku tidak bisa membiarkan Felix menguasai segalanya.” Sinta, yang sudah tahu tentang banyak hal, menatap Darmawan dengan penuh kecurigaan. “Apa maksudmu dengan mengatakan ‘lebih besar’?” tanya Sinta. “Apa yang kamu rencanakan sebenarnya?” Darmawan menatap mereka semua dengan tatapan tegas. “Aku menyusun rencana untuk menghancurkan semua yang pernah dibangun Yulia
Malam itu, langit gelap seolah menutupi segala rahasia yang hendak terungkap. Rania berdiri di luar markas sementara mereka, menatap cakrawala yang hanya diterangi kilatan petir yang sesekali mengarah ke tanah. Hujan semakin deras, mengaburkan pandangan, namun di balik kabut itu ada ancaman yang semakin nyata. Raka, yang sedang beristirahat di dalam ruangan, merasa ada yang tak beres. Instingnya, yang selama ini tajam, terasa menggigit. Sesuatu mengintai. “Kita tidak punya banyak waktu,” kata Raka, matanya tajam menatap layar monitor. “Felix pasti datang, dan jika dia membawa pasukan... kita tidak akan cukup kuat.” Reyhan mengangguk dan berdiri. “Kami sudah menyiapkan rencana cadangan, tapi yang lebih penting sekarang adalah memastikan semua bukti tetap aman. Tanpa itu, kita bisa kehilangan semuanya.” Sinta yang berada di sisi meja kerja menekan layar ponselnya. “Aku sudah menghubungi teman-teman di lembaga hak asasi. Mereka akan siap untuk mendengar kebenaran jika kita bisa m
Hujan turun deras malam itu. Rania tengah memandangi berkas-berkas peninggalan Dimas di ruang kerja ketika ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia nyaris tak mengangkat, tapi suara di seberang membuat napasnya tercekat. “Rania…” Suara itu… lemah, serak, tapi sangat familiar. “Raka?” “Aku... butuh bantuanmu. Aku masih hidup.” Ponsel nyaris jatuh dari tangan Rania. “Di mana kamu?!” “Jangan bilang siapa-siapa… mereka masih mengincar aku. Aku di rumah tua Ayah, di lereng Brava…” *** Rania langsung berangkat bersama Reyhan dan Sinta secara diam-diam. Mereka tiba di sebuah rumah terbengkalai, dikelilingi kabut dan hujan. Di dalamnya, Raka terbaring lemah di sofa usang, tubuhnya penuh luka lama, beberapa masih membekas jelas. Matanya sayu, tapi masih menyala. Tangis Rania pecah seketika. Ia meraih tangan Raka dan menggenggamnya erat. “Kau… kau hidup… Tuhan, aku kira kau sudah…” Raka menggeleng pelan. “Dimas… merancang semuanya. Membuat seolah aku tewas di tempat ke
Dua minggu sejak pelarian Dimas. Selama itu pula Rania hidup dalam pengawasan ketat. Rumahnya dijaga aparat, Reya dipindahkan ke tempat rahasia. Tapi Rania menolak bersembunyi. Ia tahu, selama Dimas belum tertangkap, tak ada tempat yang benar-benar aman. “Dia akan datang padaku. Bukan Sinta, bukan Felix. Aku. Karena aku yang menjatuhkannya,” ujar Rania tegas saat Sinta menyarankan pelindung tambahan. Reyhan mengatur strategi, tapi Dimas seolah lenyap. Semua jejak menghilang. Sampai akhirnya, surat tanpa pengirim tiba di kantor kejaksaan. Isinya: “Main terakhir kita. Tanpa polisi. Tanpa kamera. Datanglah ke tempat semuanya bermula. Sendirian. Jika kau ingin ini berakhir.” Tertulis di bawahnya: “Villa Gunung Senja.” Itu adalah rumah lama keluarga Wicaksono. Tempat pertama Rania dibawa setelah menikah. Tempat Yulia pertama kali menyiksanya. *** Malam itu. Rania memutuskan untuk datang. Meski ditentang semua pihak, ia tahu—ini bukan lagi sekadar perburuan hukum. Ini te
BAB 36 — Balas Dendam dari Balik Jeruji Malam sunyi. Di dalam penjara kelas satu, Dimas duduk di ranjangnya, ditemani sebatang rokok yang menyala setengah. Meski dinding jeruji mengelilinginya, wajahnya tetap tenang. Di depannya, seorang pengacara bayangan membisikkan kabar. "Kami sudah temukan orangnya. Infiltrasi ke dalam LPSK, akses ke lokasi rumah aman Felix. Kita hanya butuh waktu." Dimas mengangguk pelan. “Aku tak butuh waktu. Aku butuh hasil. Buat mereka menderita, satu per satu. Mulai dari Rania.” *** Keesokan harinya, Rania menerima paket misterius. Sebuah kotak kayu kecil dengan inisial “R”. Di dalamnya, bukan barang, melainkan segel rambut bayi, yang ia kenali sebagai milik anaknya, Reya. Tangannya gemetar. Pesan pendek tertulis di balik tutup kotak: "Kau mencuri milikku. Sekarang, kutarik kembali yang jadi milikmu." Rania langsung menggendong Reya dan menghubungi Sinta. Laporan diajukan ke kepolisian, dan Reyhan mempercepat proses pemindahan saksi dan kelu