Home / Rumah Tangga / Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua / BAB 7 — Luka yang Tak pernah Sembuh

Share

BAB 7 — Luka yang Tak pernah Sembuh

Author: Dhalika Noire
last update Huling Na-update: 2025-07-16 16:21:22

Hujan turun perlahan malam itu. Jalanan kota basah, lampu-lampu tampak buram oleh kabut. Nadine memarkir mobilnya di depan sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Tempat yang jarang ia datangi, tempat di mana masa lalunya tertinggal.

Seorang pria sudah duduk di dalam, menatap jendela sambil memainkan cincin di jarinya. Wajahnya tajam, sorot matanya seperti menyimpan luka yang dalam.

Nadine masuk, melepas jaket, lalu duduk tanpa bicara.

Pria itu menatapnya. “Kamu makin cantik. Tapi tatapanmu... sama seperti dulu. Kosong.”

“Jangan mulai dengan pujian basi, Dion,” desah Nadine.

Dion tersenyum miris. “Jadi, kamu beneran nikah sama kakaknya Raka?”

“Aku pikir... dengan menikahi Dimas, aku bisa dekat dengan Raka.”

Dion menggeleng pelan. “Kamu masih terobsesi. Sejak SMA. Padahal dia nggak pernah lihat kamu sebagai apa pun selain teman kakaknya.”

Nadine menatap keluar jendela. “Aku benci cara dia menatap Rania. Dulu dia nggak pernah lihat aku seperti itu. Aku yang dulu nyimak dia cerita soal hidupnya, yang dia peluk waktu ayahnya meninggal. Tapi dia malah milih perempuan polos yang bahkan nggak tahu cara pakai eyeliner.”

“Kamu nikah sama orang yang nggak kamu cintai, Nadine.”

“Aku tahu,” Nadine tertawa hambar. “Tapi Dimas nggak sadar apa pun. Dia bahkan nggak tahu aku masih simpan foto Raka di dompet.”

Dion mencondongkan badan. “Jadi sekarang kamu mau apa? Hancurin pernikahan adik iparmu?”

“Bukan menghancurkan, Dion,” Nadine menatap lurus. “Aku cuma mau ambil kembali apa yang seharusnya jadi milikku dari dulu.”

“Dengan cara kotor?”

“Cinta itu nggak bersih. Kalau harus pakai cara paling gelap sekalipun, aku nggak peduli.”

Dion menghela napas. “Kamu nggak sadar, kamu sedang menggali kuburan buat dirimu sendiri.”

Nadine bangkit. “Kalau itu harga yang harus kubayar, aku siap.”

Sementara itu, di rumah...

Rania duduk di lantai kamar, menenangkan bayinya yang rewel. Di sampingnya ada sebuah map. Ia baru saja menghubungi temannya dari kampus, yang kini bekerja di kota sebelah. Tawaran kerja remote terbuka lebar asalkan Rania berani keluar dari lingkaran rumah ini.

Ia menatap ponsel, memikirkan satu hal.

"Apa aku cukup kuat untuk hidup sendiri bersama anakku?"

Pintu kamar diketuk. Raka masuk, wajahnya lelah.

“Kamu masih bangun?”

“Aku sedang memikirkan masa depan kita.”

Raka duduk di sampingnya. “Maksudnya?”

“Mas, kalau aku pergi dari rumah ini... ikut aku?”

Raka menatapnya, kaget. “Kamu mau pisah?”

“Bukan. Aku mau bebas. Mau hidup dengan tenang. Kalau kamu masih cinta, kita mulai dari nol. Tapi tanpa Ibu, tanpa Nadine, tanpa semua racun ini.”

Raka terdiam lama, lalu menggenggam tangannya.

“Aku cuma butuh kamu dan anak kita. Kalau kamu siap... aku ikut.”

Rania tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia melihat cahaya. Tapi ia tahu, sebelum mereka bebas, badai terakhir akan datang dan Nadine belum mengeluarkan semua senjatanya.

***

Pagi itu, rumah dipenuhi aroma gosong. Bu Yulia berteriak dari dapur, "Siapa yang masak sampai gosong begini?! Ini rumah atau kandang asap?!"

 

  Rania muncul dari kamar, masih menyusui bayinya. “Saya nggak masak, Bu.”

 

  Nadine tiba-tiba masuk, menenteng panci hitam gosong dan wajah panik penuh drama.

 

  “Maaf, Bu... aku tadi minta tolong Rania panaskan sayur buat arisan, tapi dia tinggal tidur lagi. Aku kira dia ngerti, eh malah gosong…”

 

  Rania menatap Nadine, terkejut.

  “Aku nggak pernah kamu minta panaskan apa pun!”

 

  Bu Yulia langsung menyambar. “Kamu berani bilang Nadine bohong? Aku tahu kamu suka pura-pura lelah!”

 

  “Bu, saya baru dua minggu melahirkan! Saya belum sepenuhnya pulih!”

 

  “Alasan! Semua perempuan juga melahirkan! Dulu saya lebih hebat, langsung nyuci dan ngepel dua hari setelah kamu suami kamu lahir!”

 

  Nadine menunduk, memasang wajah sedih. “Aku cuma ingin bantu, Bu... tapi mungkin aku salah karena terlalu percaya sama Rania.”

 

  Rania menatap Raka yang baru turun dari atas. “Mas... kamu percaya aku, kan?”

 

  Raka terlihat bimbang. Tapi saat hendak bicara, Bu Yulia memotong, “Udah! Aku bosan dengar kamu main drama terus. Kalau kamu nggak suka tinggal di sini, minggat!”

 

  Rania menunduk, menahan air mata. Tapi kali ini bukan karena takut melainkan karena amarah yang mendidih dalam diam.

  “Baik,” ucapnya pelan. “Kalau itu yang Ibu mau... saya akan pergi.”

 

  Raka langsung mendekat. “Rania, tunggu”

 

  Tapi Rania menatapnya dengan tegas. “Jangan tahan aku, Mas. Aku sudah cukup sabar. Aku bukan boneka yang bisa disalahkan kapan saja.”

 

  Nadine tersenyum kecil dari balik punggung Raka.

  Tapi senyum itu lenyap saat Rania berbalik padanya.

  “Kamu pikir kamu menang, ya?”

  “Aku cuma bantu Ibu menjaga rumah ini tetap tenang,” jawab Nadine dengan suara lembut yang dibuat-buat.

  “Tenang? Atau kosong? Seperti hatimu yang penuh kepalsuan?”

 

  Bu Yulia memekik, “Kamu ini kurang ajar!”

 

  Namun sebelum amarah itu meledak, tiba-tiba Rania mengeluarkan ponselnya. Ia memutar rekaman suara Nadine, dari malam sebelumnya.

 

  “...kalau harus pakai cara paling gelap sekalipun, aku nggak peduli.”

 

  Wajah Nadine membeku. Rekaman itu dibuat oleh Rania saat mengikuti Nadine secara diam-diam malam lalu. Ia sengaja menyalakan fitur rekam suara dan menyimpan bukti.

 

  “Apa ini?!” seru Bu Yulia, menatap Nadine dengan bingung.

 

  Raka merenggut ponsel itu dan mendengarnya dengan mata melebar. “Nadine... kamu ngomong kayak gini?”

 

  Nadine mencoba menyambar ponsel itu, tapi Rania lebih cepat.

 

  “Kamu bukan cuma iri. Kamu gila. Dan selama ini kamu manipulasi semua orang dengan wajah manis itu. Tapi tidak lagi.”

 

  Dimas muncul dari ruang tengah, wajahnya bingung. “Ada apa sih ribut-ribut...”

 

  Rania menatapnya penuh iba. “Mas Dimas, lihat baik-baik istri kamu. Dia bukan istri yang setia. Dia bukan ibu yang baik. Dan dia cinta adik iparnya sendiri.”

 

  Dimas menatap Nadine. “Itu bener?”

 

  Nadine menggigit bibir. Seketika semua topeng jatuh. Tatapannya kini dingin, tak lagi berusaha manis.

 

  “Ya. Aku cinta Raka. Selama ini. Sejak dulu. Dan kamu terlalu bodoh buat sadar.”

 

  Dimas terduduk. Semua terasa seperti mimpi buruk.

 

  Rania menatap semua yang terdiam dalam rumah itu. “Saya akan pergi. Tapi kali ini bukan karena diusir. Tapi karena saya memilih untuk pergi dengan kepala tegak.”

 

  Ia menatap Raka terakhir kali. “Kalau Mas masih mencintai saya, buktikan. Bukan dengan janji, tapi langkah nyata.”

 

  Rania menggendong anaknya dan melangkah pergi. Di belakangnya, rumah itu perlahan runtuh bukan secara fisik, tapi secara jiwa. Topeng-topeng hancur. Rahasia terbongkar. Dan kebenaran akhirnya menang, Meskipun Ia tahu bahwa selanjutnya hidup akan menjadi lebih tidak pasti dan ekonomi yang belum stabil.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 7 — Luka yang Tak pernah Sembuh

    Hujan turun perlahan malam itu. Jalanan kota basah, lampu-lampu tampak buram oleh kabut. Nadine memarkir mobilnya di depan sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Tempat yang jarang ia datangi, tempat di mana masa lalunya tertinggal. Seorang pria sudah duduk di dalam, menatap jendela sambil memainkan cincin di jarinya. Wajahnya tajam, sorot matanya seperti menyimpan luka yang dalam. Nadine masuk, melepas jaket, lalu duduk tanpa bicara. Pria itu menatapnya. “Kamu makin cantik. Tapi tatapanmu... sama seperti dulu. Kosong.” “Jangan mulai dengan pujian basi, Dion,” desah Nadine. Dion tersenyum miris. “Jadi, kamu beneran nikah sama kakaknya Raka?” “Aku pikir... dengan menikahi Dimas, aku bisa dekat dengan Raka.” Dion menggeleng pelan. “Kamu masih terobsesi. Sejak SMA. Padahal dia nggak pernah lihat kamu sebagai apa pun selain teman kakaknya.” Nadine menatap keluar jendela. “Aku benci cara dia menatap Rania. Dulu dia nggak pernah lihat aku seperti itu. Aku yang dulu n

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 6 - Lelaki yang Tak pernah Melihat

    BAB 6 - Lelaki yang Tak pernah Melihat Di dalam lemari, tersembunyi di bawah tumpukan pakaian, ia menemukan kotak kecil. Saat dibuka, hatinya mencelos. Foto. Bukan hanya foto Raka. Tapi juga surat cinta. Coretan tangan Nadine yang ditujukan untuk suaminya sendiri. "Kapan kau akan sadar, aku yang lebih memahami segala resahmu? Aku yang melihat luka-lukamu sebelum Rania datang mencuri tempatku..." Rania menggigit bibirnya. Tiba-tiba, semua perhatian Nadine sejak awal masuk akal. Tatapan, sentuhan, kata-kata manis yang dibungkus kepalsuan. Ia menutup kotak itu rapat. Tapi niatnya bukan melapor. Bukan menangis. Ia akan hadapi ini dengan caranya sendiri. Malamnya, ia memasak makan malam khusus. Sup ayam dan sambal favorit Raka. Saat semua sudah duduk, Rania meletakkan satu surat di atas meja. “Aku mau kita semua baca ini bersama.” Nadine langsung pucat saat melihat amplopnya. “Itu... dari mana kamu dapat?” “Dari tempat yang seharusnya bersih, tapi ternyata menyimpan ko

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 5 — Penyesalan

    Raka duduk di sisi tempat tidur, menatap Rania yang tertidur memeluk bayinya. Wajah perempuan itu lelah, tapi ada kekuatan yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Di tangannya, Raka masih memegang ponsel Rania, rekaman demi rekaman masih terputar di telinganya.Raka menunduk. Suaranya lirih. “Maafkan aku, Ran… aku terlalu pengecut untuk membelamu.”Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia menyentuh pipi Rania dengan lembut, dan mencium kening anaknya. Di hatinya mulai tumbuh rasa bersalah... dan tekad untuk membenahi semuanya.Keesokan harinya, Nadine datang ke kamar tamu, tempat Raka sedang menyiapkan dokumen kerja. Ia membawa dua cangkir kopi. “Masih ingat kopi favoritmu, Raka? Aku masih bisa racikannya.”Raka tersenyum tipis, sopan. “Terima kasih, Mbak Nadine. Tapi aku nggak biasa minum Kopi lagi”Nadine duduk di sofa dekat Raka, lalu menatapnya dalam. “Kamu berubah, Rak. Sekarang gampang marah, tegang... itu semua karena perempuan itu, ya kan?”Raka diam. Matanya mulai waspada

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 4 — Batas Luka

    Rania baru saja menidurkan bayinya di atas ranjang kecil di sudut kamar. Mata si kecil masih memerah karena terlalu sering menangis. Wajah mungil itu tampak damai untuk sementara. Rania tersenyum lemah, lalu beranjak ke kamar mandi di sebelah untuk membasuh wajah dan membuang air kecil. Pintu kamar mandi setengah terbuka. Rania tak pernah merasa aman meninggalkan bayinya, tapi tubuhnya juga butuh istirahat, walau sebentar. Tiba-tiba ... sunyi. Tangisan yang biasanya terus-menerus itu, kini hilang. Terlalu hening. Rania merasakan firasat buruk. Ia bergegas keluar dari kamar mandi. Dan . . . . Dani, anak Nadine, berdiri di depan tempat tidur. Di tangannya ada bantal yang masih menindih wajah bayi Rania. “DANI!!!” teriak Rania. Ia langsung menerobos dan menyingkirkan bantal itu. Bayinya terisak pelan, wajahnya merah dan sesak. Detik itu, darah Rania seperti membeku. “APA YANG KAMU LAKUKAN?!” Teriak Rania Dani terkejut, lalu langsung menangis keras. “Aku nggak ngapa-ngapai

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 3 - Tak pernah di Anggap

    Pagi datang begitu cepat bagi Rania yang baru saja memejamkan mata, kini Ia harus segera bergegas bangun dan memasak. Saat semua sedang sarapan pagi tiba-tiba Bu Yulia berbicara “Lusa kita akan pergi piknik ke Puncak.” “Wah pasti seru sekali, Bu,” pekik Nadine Riang Dani putra semata wayang Nadine dan Dimas juga ikut berseru ria “Hore kita pergi Piknik.” Dimas pun menyahuti, “Asik, mumpung aku lagi cuti kerja.” Raka mendesah lelah, lalu ia berkata, “Aku mungkin gak bisa ikut Bu, ada lembur.” Bu Yulia menjawab, “Kalau kamu gak ikut, terus siapa yang akan nyetir? Kamu harus ikut! Izin saja ke Bos mu!” Raka hanya mengangguk, Ia tidak pernah berani membantah ucapan Ibu nya. “Rania jangan ikut, dirumah saja jaga rumah dan bayimu!” ucap Bu Yulia “Iya Bu,” jawab Rania pasrah.***** Keesokan paginya, Tawa bersahutan dari halaman depan. Suara langkah tergesa dan koper diseret-seret mengisi udara pagi yang sejuk. Mobil keluarga sudah siap di carport. Yulia mengenakan dress c

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 2 - Retak yang Menganga

    Hujan turun deras. Aroma tanah basah menyeruak ke dalam rumah besar yang kini terasa lebih dingin dari biasanya. Di dapur, Rania sibuk memotong bawang dengan mata sembab. Tangannya gemetar, tapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya, Karena perintah Mertua yang bilang gak boleh manja dirumah orang, sedangkan iparnya sedang duduk di ruang makan membicarakan dirinya bersama Ibu mertua nya tersebut. Ibu Yulia mengetuk-ngetukkan sendok ke meja. "Sudah jam segini, lauk belum juga matang. Di rumah orang tuanya dulu diajarin masak atau cuma diajarin dandan?"Nadine tertawa kecil. "Ah, Bu. Kayaknya dia lebih jago drama daripada masak. Lagian, saya tadi lihat dia nelpon-nelpon orang di taman belakang. Mungkin pacarnya, ya? Pantesan suaminya sekarang sering pulang malam." Rania menghentikan gerakannya. Ia tahu mereka sedang memfitnah, lagi. Langkah kaki menghentak lantai. Bu Yulia masuk ke dapur dengan wajah penuh amarah. "Rania! Kamu jangan pikir aku buta. Kamu perempuan tak tahu diri,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status