Hujan turun perlahan malam itu. Jalanan kota basah, lampu-lampu tampak buram oleh kabut. Nadine memarkir mobilnya di depan sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Tempat yang jarang ia datangi, tempat di mana masa lalunya tertinggal.
Seorang pria sudah duduk di dalam, menatap jendela sambil memainkan cincin di jarinya. Wajahnya tajam, sorot matanya seperti menyimpan luka yang dalam. Nadine masuk, melepas jaket, lalu duduk tanpa bicara. Pria itu menatapnya. “Kamu makin cantik. Tapi tatapanmu... sama seperti dulu. Kosong.” “Jangan mulai dengan pujian basi, Dion,” desah Nadine. Dion tersenyum miris. “Jadi, kamu beneran nikah sama kakaknya Raka?” “Aku pikir... dengan menikahi Dimas, aku bisa dekat dengan Raka.” Dion menggeleng pelan. “Kamu masih terobsesi. Sejak SMA. Padahal dia nggak pernah lihat kamu sebagai apa pun selain teman kakaknya.” Nadine menatap keluar jendela. “Aku benci cara dia menatap Rania. Dulu dia nggak pernah lihat aku seperti itu. Aku yang dulu nyimak dia cerita soal hidupnya, yang dia peluk waktu ayahnya meninggal. Tapi dia malah milih perempuan polos yang bahkan nggak tahu cara pakai eyeliner.” “Kamu nikah sama orang yang nggak kamu cintai, Nadine.” “Aku tahu,” Nadine tertawa hambar. “Tapi Dimas nggak sadar apa pun. Dia bahkan nggak tahu aku masih simpan foto Raka di dompet.” Dion mencondongkan badan. “Jadi sekarang kamu mau apa? Hancurin pernikahan adik iparmu?” “Bukan menghancurkan, Dion,” Nadine menatap lurus. “Aku cuma mau ambil kembali apa yang seharusnya jadi milikku dari dulu.” “Dengan cara kotor?” “Cinta itu nggak bersih. Kalau harus pakai cara paling gelap sekalipun, aku nggak peduli.” Dion menghela napas. “Kamu nggak sadar, kamu sedang menggali kuburan buat dirimu sendiri.” Nadine bangkit. “Kalau itu harga yang harus kubayar, aku siap.” Sementara itu, di rumah... Rania duduk di lantai kamar, menenangkan bayinya yang rewel. Di sampingnya ada sebuah map. Ia baru saja menghubungi temannya dari kampus, yang kini bekerja di kota sebelah. Tawaran kerja remote terbuka lebar asalkan Rania berani keluar dari lingkaran rumah ini. Ia menatap ponsel, memikirkan satu hal. "Apa aku cukup kuat untuk hidup sendiri bersama anakku?" Pintu kamar diketuk. Raka masuk, wajahnya lelah. “Kamu masih bangun?” “Aku sedang memikirkan masa depan kita.” Raka duduk di sampingnya. “Maksudnya?” “Mas, kalau aku pergi dari rumah ini... ikut aku?” Raka menatapnya, kaget. “Kamu mau pisah?” “Bukan. Aku mau bebas. Mau hidup dengan tenang. Kalau kamu masih cinta, kita mulai dari nol. Tapi tanpa Ibu, tanpa Nadine, tanpa semua racun ini.” Raka terdiam lama, lalu menggenggam tangannya. “Aku cuma butuh kamu dan anak kita. Kalau kamu siap... aku ikut.” Rania tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia melihat cahaya. Tapi ia tahu, sebelum mereka bebas, badai terakhir akan datang dan Nadine belum mengeluarkan semua senjatanya. *** Pagi itu, rumah dipenuhi aroma gosong. Bu Yulia berteriak dari dapur, "Siapa yang masak sampai gosong begini?! Ini rumah atau kandang asap?!" Rania muncul dari kamar, masih menyusui bayinya. “Saya nggak masak, Bu.” Nadine tiba-tiba masuk, menenteng panci hitam gosong dan wajah panik penuh drama. “Maaf, Bu... aku tadi minta tolong Rania panaskan sayur buat arisan, tapi dia tinggal tidur lagi. Aku kira dia ngerti, eh malah gosong…” Rania menatap Nadine, terkejut. “Aku nggak pernah kamu minta panaskan apa pun!” Bu Yulia langsung menyambar. “Kamu berani bilang Nadine bohong? Aku tahu kamu suka pura-pura lelah!” “Bu, saya baru dua minggu melahirkan! Saya belum sepenuhnya pulih!” “Alasan! Semua perempuan juga melahirkan! Dulu saya lebih hebat, langsung nyuci dan ngepel dua hari setelah kamu suami kamu lahir!” Nadine menunduk, memasang wajah sedih. “Aku cuma ingin bantu, Bu... tapi mungkin aku salah karena terlalu percaya sama Rania.” Rania menatap Raka yang baru turun dari atas. “Mas... kamu percaya aku, kan?” Raka terlihat bimbang. Tapi saat hendak bicara, Bu Yulia memotong, “Udah! Aku bosan dengar kamu main drama terus. Kalau kamu nggak suka tinggal di sini, minggat!” Rania menunduk, menahan air mata. Tapi kali ini bukan karena takut melainkan karena amarah yang mendidih dalam diam. “Baik,” ucapnya pelan. “Kalau itu yang Ibu mau... saya akan pergi.” Raka langsung mendekat. “Rania, tunggu” Tapi Rania menatapnya dengan tegas. “Jangan tahan aku, Mas. Aku sudah cukup sabar. Aku bukan boneka yang bisa disalahkan kapan saja.” Nadine tersenyum kecil dari balik punggung Raka. Tapi senyum itu lenyap saat Rania berbalik padanya. “Kamu pikir kamu menang, ya?” “Aku cuma bantu Ibu menjaga rumah ini tetap tenang,” jawab Nadine dengan suara lembut yang dibuat-buat. “Tenang? Atau kosong? Seperti hatimu yang penuh kepalsuan?” Bu Yulia memekik, “Kamu ini kurang ajar!” Namun sebelum amarah itu meledak, tiba-tiba Rania mengeluarkan ponselnya. Ia memutar rekaman suara Nadine, dari malam sebelumnya. “...kalau harus pakai cara paling gelap sekalipun, aku nggak peduli.” Wajah Nadine membeku. Rekaman itu dibuat oleh Rania saat mengikuti Nadine secara diam-diam malam lalu. Ia sengaja menyalakan fitur rekam suara dan menyimpan bukti. “Apa ini?!” seru Bu Yulia, menatap Nadine dengan bingung. Raka merenggut ponsel itu dan mendengarnya dengan mata melebar. “Nadine... kamu ngomong kayak gini?” Nadine mencoba menyambar ponsel itu, tapi Rania lebih cepat. “Kamu bukan cuma iri. Kamu gila. Dan selama ini kamu manipulasi semua orang dengan wajah manis itu. Tapi tidak lagi.” Dimas muncul dari ruang tengah, wajahnya bingung. “Ada apa sih ribut-ribut...” Rania menatapnya penuh iba. “Mas Dimas, lihat baik-baik istri kamu. Dia bukan istri yang setia. Dia bukan ibu yang baik. Dan dia cinta adik iparnya sendiri.” Dimas menatap Nadine. “Itu bener?” Nadine menggigit bibir. Seketika semua topeng jatuh. Tatapannya kini dingin, tak lagi berusaha manis. “Ya. Aku cinta Raka. Selama ini. Sejak dulu. Dan kamu terlalu bodoh buat sadar.” Dimas terduduk. Semua terasa seperti mimpi buruk. Rania menatap semua yang terdiam dalam rumah itu. “Saya akan pergi. Tapi kali ini bukan karena diusir. Tapi karena saya memilih untuk pergi dengan kepala tegak.” Ia menatap Raka terakhir kali. “Kalau Mas masih mencintai saya, buktikan. Bukan dengan janji, tapi langkah nyata.” Rania menggendong anaknya dan melangkah pergi. Di belakangnya, rumah itu perlahan runtuh bukan secara fisik, tapi secara jiwa. Topeng-topeng hancur. Rahasia terbongkar. Dan kebenaran akhirnya menang, Meskipun Ia tahu bahwa selanjutnya hidup akan menjadi lebih tidak pasti dan ekonomi yang belum stabil.Di saat Rania pulang dari konfrontasi itu, markas LUMINA diserang. Ledakan terdengar dari arah timur. Mereka datang dengan sisa kekuatan—pasukan bayangan Valedra terakhir yang loyal. Tapi Dimas dan Sinta sudah bersiap. “Kau pikir mereka akan menangkap kita hidup-hidup?” tanya Sinta. Dimas mengangkat senjatanya. “Tidak malam ini.” Perang kecil pecah. Tapi dengan bantuan publik yang kini sudah terbuka, pasukan pengaman resmi turun tangan. Satu per satu pasukan Valedra ditangkap. Beberapa tewas. Beberapa melarikan diri. Dan Rania berdiri di tengah puing, tubuhnya penuh luka, tapi wajahnya penuh tekad. “Ini bukan soal balas dendam lagi. Ini soal membangun ulang dunia yang mereka hancurkan.” Namun dari balik reruntuhan, seorang pria muncul diam-diam, membawa pesan terakhir dari Nyonya Merah. “Valedra tidak mati. Dia hanya tidur. Dan saat dunia lengah lagi... kami akan bangkit.” *** Langit pagi di kota itu tak pernah terasa sebiru ini. Hembusan angin yang dulu membawa teror
Markas rahasia LUMINA malam itu tak seperti biasanya. Semua anggota sibuk—sebagian menyusun strategi distribusi data, sebagian lagi memperkuat sistem pertahanan digital. Flashdisk di tangan Rania adalah senjata pemusnah massal bagi kekuasaan Valedra. Sekali data itu menyebar, tak akan ada tempat bersembunyi bagi para penguasa dalam bayang-bayang. “Kita sebar melalui beberapa jalur,” ujar Sinta serius. “Dark web, whistleblower platform, akun publik LUMINA, dan ke media luar negeri yang masih independen.” “Jangan lupa backup-nya,” tambah Alvan. “Kalau mereka tahu kita akan menyebarkan ini, mereka akan menyerang balik. Fisik dan digital.” Dimas berdiri di belakang Rania, masih dibayangi konflik batin. “Jika mereka tahu kita punya semua ini… mereka akan habisi kita satu per satu.” Rania menoleh padanya. “Mereka sudah mencoba menghabisi kita sejak dulu, Dim. Bedanya sekarang… bisa melawan.” Hari itu, LUMINA menyebarkan file “EDEN” dengan sistem berlapis, menghindari deteksi
Kompol Bagas mengangguk, lalu menyerahkan sebuah flashdisk. “Isi ini adalah rekaman transaksi dan daftar nama yang pernah ditugaskan oleh Valedra—termasuk pejabat tinggi, menteri, bahkan pemilik jaringan media ternama. Hati-hati. Sekarang, kalian target.” Malamnya, saat Rania membuka isi flashdisk itu bersama Dimas dan Sinta, mereka menemukan sesuatu yang membuat darah mereka membeku—nama Yulia tertera sebagai “Anggota Tidur Valedra”. Ia bukan hanya istri pengusaha dan mertua Rania, tapi juga bagian dari organisasi ini. “Ibu mertua kita bagian dari mereka...” desis Dimas. “Itu sebabnya dia selalu selangkah lebih maju... Dia punya pelindung. Kita pikir dia hanya wanita kejam penuh ambisi, tapi dia lebih dari itu. Dia bagian dari kegelapan yang lebih tua.” Dan di antara daftar itu, nama Nadine juga tertera sebagai “proxy personal” milik Yulia. Dimas terduduk. Tangannya gemetar. “Dia... semua ini hanya sandiwara? Bahkan cinta yang dia berikan padaku?” Sinta menggenggam bahu Dimas.
Gedung Pengadilan Tinggi Jakarta dipenuhi oleh massa, wartawan, dan para pengacara dari berbagai firma ternama. Suasana siang itu panas dan mencekam. Hari itu bukan hanya menjadi saksi kasus kriminal biasa—ini adalah persidangan paling besar dalam sejarah keluarga Wicaksono dan kekuasaan gelap Irwan Santoso. Rania melangkah masuk ke ruang sidang dengan kepala tegak. Di belakangnya, Sinta, Dimas, dan tim pengacara yang telah mereka bentuk dengan susah payah. Di seberang ruangan, Irwan duduk dengan tenang, namun matanya tidak bisa menyembunyikan amarah dan kegelisahan yang ia rasakan. Hakim utama masuk, mengetukkan palu dengan keras. "Sidang dimulai." Pengacara Rania berdiri pertama, membawa setumpuk dokumen, rekaman, dan kesaksian dari saksi-saksi yang mereka lindungi selama ini. "Yang Mulia, kami memiliki bukti tak terbantahkan tentang pencucian uang, penyuapan pejabat negara, serta upaya sabotase media dan sistem hukum yang dilakukan oleh Tuan Irwan Santoso," kata pengacara i
Rania berdiri di depan kaca besar yang memantulkan wajahnya yang penuh dengan kelelahan dan ketegangan. Perjalanan panjang ini semakin menekan setiap detik yang berlalu, dan semakin mendalam ia menyelami permainan kekuasaan yang dimainkan oleh Irwan Santoso, semakin terasa bahwa ia berada di titik yang sangat berbahaya. Waktu terus berjalan, dan Rania tahu bahwa mereka harus segera mengambil tindakan besar, atau semuanya akan hilang. Namun, bahkan saat mereka semakin dekat dengan kebenaran, keraguan dan ketidakpastian tetap menggantung di atas kepala mereka. Apakah mereka sudah siap untuk menghadapi bahaya yang lebih besar? Siapa lagi yang terlibat dalam permainan ini yang mungkin belum terungkap? Malam itu, Rania, Sinta, dan Dimas berkumpul di sebuah ruang pertemuan yang tersembunyi di tempat aman, jauh dari sorotan media dan pengawasan pihak berwenang. Mereka sedang merencanakan langkah mereka selanjutnya—langkah yang akan membawa mereka lebih dalam ke sarang kekuasaan yang dipega
Dengan setiap langkah yang diambil, Rania semakin terperangkap dalam labirin pengkhianatan yang tampaknya tidak ada ujungnya. Pihak yang mengendalikan permainan ini semakin sulit untuk dilacak, dan meskipun ia mulai mengumpulkan lebih banyak informasi, ketidakpastian semakin menyelimuti. Rania tahu bahwa untuk bertahan hidup, ia harus lebih pintar dan lebih berhati-hati, atau ia bisa jatuh menjadi pion dalam permainan yang jauh lebih besar daripada dirinya.Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Felix, Rania dan Sinta memutuskan untuk melangkah lebih hati-hati. Mereka memulai pencarian lebih mendalam tentang pihak yang mengendalikan Darmawan, tetapi setiap kali mereka mendekati titik terang, semakin banyak pintu yang tertutup rapat. Sinta merasa bahwa mereka berada di titik yang sangat berbahaya.“Ran, aku mulai merasa kita tidak hanya melawan Darmawan dan Felix. Ada sesuatu yang lebih dalam dari ini. Jika kita terus melangkah tanpa rencana yang jelas, kita bisa terjebak,”