Udara pagi di kota kecil sebelah lebih tenang. Tidak ada teriakan. Tidak ada sindiran. Tidak ada api di balik senyum manis.
Rania membuka jendela kamar kontrakan mungilnya. Bayinya tertidur di ayunan sederhana. Dinding kamar masih polos, tapi terasa lebih hangat daripada rumah besar yang dulu ia tempati. Ia menyesap teh hangat sambil membuka laptop. Email dari teman lamanya sudah masuk. “Selamat bergabung, Rania. Kerja pertamamu dimulai Senin. Kami percaya padamu.” Ia tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, senyuman itu lahir dari hati. *** Sementara itu, di rumah lama... Raka duduk di teras, menatap kosong jalanan depan rumah. Sudah dua minggu sejak Rania pergi. Sejak rumah itu berubah dari tempat tinggal menjadi reruntuhan batin. Bu Yulia jarang keluar kamar. Dimas tak lagi bicara dengan siapa pun. Dan Nadine? Ia telah kembali ke rumah orang tuanya. setelah Dimas memintanya pergi. Namun Raka tetap di situ. Merenung. Menyesal. Pagi itu, ia memantapkan hati dan berdiri. Ia mengepak barang-barangnya ke dalam tas kecil, lalu menatap ibu dan kakaknya. “Aku mau pergi, Bu. Aku mau menjemput istri dan anakku.” Bu Yulia menatapnya, tak berkata apa-apa. Raka melangkah keluar. Tak dengan kemarahan, tapi dengan tekad. *** Hari itu, Rania sedang menyuapi anaknya bubur saat pintu kontrakan diketuk. Ia menoleh. Jantungnya berdebar. Perlahan ia membuka pintu. Di hadapannya berdiri Raka. dengan wajah lelah, mata sembab, dan tangan gemetar menggenggam sekotak kecil. "Aku nggak bawa janji lagi, Ra. Aku bawa bukti." Ia membuka kotak itu. Di dalamnya ada kunci rumah baru, kecil, sederhana. Ada juga surat pengunduran diri dari perusahaan keluarga. “Aku mau hidup sama kamu. Di tempat ini. Mulai dari nol. Kita aja. Kamu, aku, anak kita. Kalau kamu izinkan…” Rania menatapnya lama. Air mata menitik pelan. “Kenapa baru sekarang, Mas?” “Karena baru sekarang aku benar-benar kehilangan, dan baru sadar... yang hilang itu adalah nyawaku sendiri.” Ia jatuh berlutut di hadapannya, lalu bersandar pada lutut Rania, menangis seperti anak kecil. Dan untuk pertama kalinya sejak semua luka itu menganga, Rania membiarkan dirinya percaya, bahwa mungkin, cinta bisa tumbuh kembali... di tempat yang lebih tenang, tanpa racun, dan tanpa bayangan siapa pun. *** Dua bulan telah berlalu. Rania kini bekerja dari rumah sebagai penulis konten. Raka membuka jasa desain kecil-kecilan, kliennya datang dari media sosial dan rekomendasi teman-teman lama. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang lebih besar dari sebelumnya, masih sederhana tapi penuh tawa. Setiap malam diisi dengan cerita, bukan teriakan. Dan setiap pagi, Raka selalu mencium dahi Rania sebelum mulai bekerja. “Ini tempat kita, ya,” ujar Raka suatu pagi, menggenggam tangan istrinya di balkon kecil. Rania mengangguk. “Bukan cuma tempat, Mas. Ini hidup baru kita.” Namun, kebahagiaan selalu diuji. *** Di sebuah ruangan sempit, Nadine menatap dinding penuh kertas. Foto-foto Rania. Gambar Raka. Potongan chat yang ia print sendiri. Di tengah-tengah semua itu, ada tulisan tangan: "Kalau aku nggak bisa punya dia, maka tak ada yang boleh." Ia menatap layar ponselnya, menyaksikan video singkat dari akun media sosial baru Rania. Di situ Rania tertawa sambil bermain dengan anaknya, dan Raka duduk di samping, tertawa kecil. “Kalian bahagia, ya?” bisik Nadine. “Tapi sebentar lagi tidak lagi.” Ia membuka kotak kecil berisi ponsel burner. ponsel rahasia yang tak bisa dilacak. Ia mulai mengetik pesan. "Rania, kau pikir masa lalu tak bisa menyusulmu? Tunggu aku." *** Sore itu, Rania sedang menyiram tanaman saat ponselnya berbunyi. Nomor tak dikenal. Pesannya hanya satu kalimat: "Indah ya hidup baru kalian? Sayang kalau harus hancur lagi." Rania menggenggam ponsel erat. Tangannya gemetar. Ia tahu... Nadine belum selesai. Raka melihat ekspresi istrinya berubah. “Ra? Ada apa?” Rania menunjukkan pesan itu. Wajah Raka berubah. Ia menarik napas panjang, lalu berkata dengan mantap: “Aku nggak akan biarkan dia menyentuh kamu lagi. Kali ini, aku yang akan berdiri di depanmu.” Rania menatap mata suaminya. Ada ketegasan di sana. Ada perlindungan. Dan untuk pertama kalinya, ia tahu: mereka akan menghadapi ini bersama. *** Namun, dari seberang kota... Nadine sudah bersiap. Dan kali ini, serangannya bukan hanya lewat kata-kata. Melainkan rencana yang bisa memisahkan mereka untuk selamanya. Lalu apa Rencana Nadine sebenarnya?Hari itu mendung tak juga berubah jadi hujan. Udara berat seperti menyimpan sesuatu. Rania dan Raka baru saja pulang dari pengadilan negeri setelah menyerahkan dokumen ke pengacara. Di rumah, ibu Rania terlihat gelisah. Pandangannya terus mengarah ke jam dinding. “Bu, kenapa?” tanya Rania curiga. “Gak apa-apa,” jawabnya singkat. Tapi malam itu, saat semua sudah tidur, suara pelan di ruang tamu membuat Rania terjaga. Ia melangkah keluar dengan hati-hati. Dan yang ia lihat di sana... membuat darahnya berdesir dingin. Ibunya sedang bicara di telepon. “Iya, aku udah tahan cukup lama di sini... Tapi dia makin curiga. Kalian harus cepat. Aku gak bisa jamin dia gak nemu catatan warisan yang asli.” “...Iya, aku tahu Reza itu pintar. Tapi anakku juga bukan bodoh. Kalau dia sampai sadar surat itu hilang karena aku…” Gelas di tangan Rania nyaris terjatuh. Tapi ia menahan napas, mundur perlahan. Ia kembali ke kamar dengan tubuh gemetar. Raka terbangun melihat wajah pucat istriny
Malam itu, saat Raka keluar membuang sampah, ia mendapati sesuatu di gerbang: sebuah amplop hitam kecil, tanpa nama, berisi satu foto—Rania sedang duduk bersama seorang pria asing, terlihat serius berbicara di kafe. Dan di belakangnya, ada tulisan tangan: “Kau pikir dia jujur padamu? Bahkan dia pun menyimpan rahasia.” Raka menatap foto itu lama. Hatinya menolak percaya. Tapi pikirannya… mulai goyah. ** Di dalam rumah, Rania sedang merapikan dokumen lama peninggalan ayahnya bersama sang ibu. Tapi tanpa ia sadari, Raka berdiri di ambang pintu, menatapnya diam-diam, memegang foto itu di balik saku. Untuk pertama kalinya sejak mereka menikah… ada jarak yang tak terlihat di antara mereka. Dan badai baru pun mulai terbentuk bukan dari luar, tapi dari dalam Sudah tiga hari Raka bersikap berbeda. Ia tak lagi bicara panjang. Pelukan pagi jadi sekadar sentuhan ringan. Tatapannya lebih sering kosong, dan malam hari ia sering duduk lama di teras, memandangi gelap. Rania me
Hujan mengguyur kota sejak siang. Rania berdiri di dapur, menatap kosong ke arah jendela saat suara pintu diketuk bertalu-talu. Ia berjalan perlahan, membuka pintu… dan di sana, ibunya berdiri dengan payung setengah rusak, wajahnya kuyup, matanya sembab. “Rania... tolong, biar Ibu masuk sebentar aja...” Rania berdiri diam. Pikirannya mendesak agar pintu itu ditutup kembali. Tapi... suaranya serak, lelah, dan sedikit gemetar. Itu suara yang dulu, waktu Rania masih kecil dan ibunya baru pulang dari pasar. Tanpa sadar, ia menggeser tubuh, mempersilakan masuk. Ibunya duduk di ujung sofa, menggenggam cangkir teh panas yang tak disentuh. “Aku tahu kamu marah. Dan aku layak dibenci,” katanya pelan. “Tapi aku juga manusia, Na. Ibu juga pernah terluka.” “Jadi kamu meninggalkan anakmu, menikah dengan orang yang kasar, lalu sekarang kembali... minta pengertian?” tanya Rania lirih. Ibunya terdiam. Tapi kali ini, air matanya jatuh tanpa suara. “Aku takut saat itu. Suamiku sekaran
Sampai suatu hari, ia memergoki sang ibu menggeledah laci meja kerja Raka, memotret dokumen klien, lalu memasukkan sesuatu ke dalam tasnya. “BU! APA YANG IBU LAKUKAN?!” seru Rania kaget. Perempuan itu terperanjat, tapi dengan cepat menutup tasnya. “Aku... cuma lihat-lihat. Penasaran aja, kalian kerja apa sekarang.” “Kerja kami bukan urusan Ibu!” Rania berseru, matanya berkaca-kaca. “Ibu ke sini bukan karena rindu, tapi karena Ibu butuh sesuatu, kan? Uang? Data? Ancaman dari suami baru Ibu?” Wajah perempuan itu berubah tegang. “Aku... aku butuh bantuannya. Aku punya utang, dan mereka mengancam akan menyakitiku kalau aku nggak.” Rania mengangkat tangan, menahan air matanya. “Pergi dari rumahku. Sekarang.” *** Di malam yang hening, Rania bersandar di dada Raka. “Aku lelah, Mas. Kenapa mereka semua datang pas aku udah mulai bahagia?” Raka mengusap rambutnya lembut. “Mungkin karena cahaya paling terang akan menarik semua bayangan. Tapi kita tetap cahaya itu, Ra. Kit
Hari itu hujan deras. Rania berdiri di balik dinding kafe yang sama, tempat foto pertama Raka dan perempuan bayaran itu diambil. Di telinganya, Dina berbicara lewat earphone. “Target udah masuk. Kamera rolling. Tim siap di tiga sudut.” Gino si aktor duduk di tempat yang sama seperti sebelumnya. Di seberangnya, kali ini bukan Raka... tapi lelaki yang disuruh berpakaian mirip Raka dari belakang. Dan tak lama kemudian... Nadine datang. Topi dan masker tak mampu menyembunyikan gestur penuh keyakinan di langkahnya. Ia mendekati meja, menyodorkan amplop tebal ke Gino. “Kamu tahu harus ngapain, kan?” Gino mengangguk. “Foto, pegang tangan, lalu pasang ekspresi dramatis. Setelah itu kasih ke kamu.” Nadine tersenyum miring. “Bagus. Kalau ini gagal, aku yang turun tangan sendiri.” Tapi tepat saat Gino hendak mulai akting... lampu blitz menyala dari berbagai sudut. Klik. Klik. Klik. Beberapa orang keluar dari balik meja dan pilar termasuk Dina dan dua teman jurnalisnya. “Terima kasih
Nadine duduk di depan layar laptop di kamar apartemennya. Di sebelahnya, ada seorang pria muda berpakaian santai tapi dengan wajah licik. “Pastikan dia terlihat romantis,” ujar Nadine, menyerahkan beberapa lembar uang. “Dan pastikan ada yang memotret.” Pria itu seorang aktor bayaran dari agensi gelap, mengangguk. “Tenang, Mba. Ini bukan pertama kalinya saya disewa buat jadi selingkuhan bayangan.” *** Sore itu, Raka tengah menunggu klien di sebuah kafe kecil, seperti biasa. Ia sedang menjelaskan desain logo untuk UMKM milik teman Rania. Saat itulah, seorang perempuan asing masuk dan duduk tepat di meja seberang. Raka menoleh cepat, sedikit bingung. Perempuan itu mengenakan rok pendek dan blus ketat—gaya yang tak lazim untuk tempat itu. Tapi ia tak bicara sepatah kata pun. Lalu tiba-tiba... ia tersenyum pada Raka, berdiri, dan mendekat. Sebelum Raka bisa mengelak, perempuan itu meraih tangannya dan berbisik: “Mainkan saja. Ini untukmu juga, Mas.” Klik. Klik. Dari seberang jala