Pagi itu, suasana di rumah Nadia terasa tegang. Bu Ningsih berusaha sibuk dengan rutinitasnya, menyiapkan sarapan sederhana, namun jelas terlihat bahwa pikirannya tidak fokus. Sejak berita kecelakaan suaminya dan tawaran pernikahan dari Indra disampaikan, hari-hari mereka dipenuhi kecemasan. Ayah Nadia masih terbaring di rumah sakit, kondisinya belum membaik, dan tagihan biaya rumah sakit semakin menumpuk.
Nadia duduk di ruang makan, diam. Di depannya, secangkir teh yang sudah dingin tetap tak tersentuh. Wajahnya menampakkan kelelahan emosional yang selama ini coba disembunyikannya. Tawaran pernikahan dari Indra, sebuah solusi untuk masalah keluarganya, terasa bagai beban yang semakin berat di pundaknya. Dia tahu keputusan besar harus segera diambil.
"Nadia, makan dulu. Ibu tahu kamu tidak lapar, tapi kamu harus tetap kuat, Nak," kata Bu Ningsih lembut, mencoba memecah suasana yang sunyi itu.
Nadia hanya menggelengkan kepala pelan, masih menatap kosong ke arah piring di depannya. "Aku tidak bisa memikirkan apa-apa sekarang, Bu. Apa kita tidak punya cara lain?" tanyanya, suaranya terdengar berat dan nyaris pecah. Hati kecilnya menolak untuk menyerahkan hidupnya dalam pernikahan yang didasari oleh tanggung jawab dan bukan cinta.
Bu Ningsih, yang sudah beberapa malam tidak bisa tidur dengan tenang, mendekati putrinya. Matanya berkaca-kaca, merasa terjebak dalam situasi yang tak diinginkan. "Ibu tahu ini sulit, Nak. Tapi keadaan ayahmu semakin buruk, dan kita tak punya cukup uang untuk membayar biaya perawatan rumah sakit. Kalau kita menolak tawaran Indra... Ibu tak tahu apa yang akan terjadi dengan keluarga kita."
Nadia menatap wajah ibunya yang sudah mulai menua. Ada kepedihan dalam sorot matanya, menyadari bahwa ibunya tak punya pilihan lain. Situasi keluarga mereka semakin terjepit, dan tawaran Indra, meskipun tidak diinginkannya, tampak seperti satu-satunya jalan keluar.
Siang harinya, Bu Ningsih memanggil Nadia ke ruang tamu. Mereka harus membuat keputusan secepatnya. Nadia duduk dengan tubuh tegak, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang melanda dirinya. “Pamanmu, Pak Rizal, juga mengatakan bahwa pernikahan ini mungkin solusi terbaik untuk kita,” Bu Ningsih memulai percakapan, mencoba memberikan landasan rasional pada keputusan mereka.
Nadia menggigit bibirnya, menghadapi realitas yang pahit. Pamannya, yang tinggal jauh dari Jakarta, selalu dianggap sebagai tokoh bijak dalam keluarga mereka. Jika dia pun menyarankan pernikahan ini sebagai solusi, maka Nadia merasa semakin terpojok. Pernikahan dengan Indra, yang bukan dilandasi cinta, melainkan tanggung jawab dan kondisi keluarga, terasa semakin nyata dan tak terhindarkan.
“Bu, tapi apa ini benar-benar satu-satunya jalan?” tanya Nadia pelan, menahan air mata yang sudah menggenang di sudut matanya. “Aku belum siap. Aku bahkan hampir tidak mengenalnya.”
Bu Ningsih menunduk, tak sanggup menatap putrinya. Beban emosional semakin menekan dirinya. “Ibu tahu ini bukan pernikahan yang kamu impikan, Nak. Tapi kita tak punya banyak pilihan. Indra sudah menawarkan bantuannya, dan ini bisa menyelamatkan kita... menyelamatkan ayahmu.”
Di sore hari, Indra dan ibunya, Bu Yuni, datang berkunjung ke rumah mereka. Ruang tamu yang kecil itu terasa semakin sempit oleh kehadiran dua tamu dari keluarga kaya. Bu Yuni menatap sekeliling dengan pandangan dingin, mencerminkan sikap angkuhnya. Nadia merasa tidak nyaman sejak pertama kali melihat calon ibu mertuanya, yang jelas tidak menyukai kesederhanaan keluarga Nadia.
Indra, meskipun lebih tenang, juga tak banyak bicara. Sikapnya kaku, dan dia tampak tidak terlalu tertarik dengan apa yang terjadi. Bu Yuni-lah yang memimpin percakapan, dengan nada dingin dan formal. "Jadi, ini Nadia?" katanya saat matanya menelusuri wajah putri sulung Bu Ningsih. “Aku harap kamu tahu bahwa pernikahan ini adalah kesempatan besar untuk keluargamu. Jangan sampai kamu mengecewakan.”
Nadia menahan napas, merasakan ketidaknyamanan yang menusuk di hatinya. Kata-kata Bu Yuni seakan meremehkan keadaan keluarganya yang tengah terpuruk. Namun, dia tidak bisa membalas—situasinya tak memungkinkan. Dia hanya bisa menunduk dan mencoba menyembunyikan rasa tersinggung yang mulai merayap dalam dirinya.
Indra menatap Nadia sesaat, lalu berkata dengan nada rendah, “Nadia, aku tahu ini berat buatmu. Tapi aku ingin kita bisa saling menghargai. Aku hanya ingin menyelesaikan tanggung jawabku.”
Kata-kata Indra terdengar tenang, namun Nadia tak bisa membaca isi hatinya. Apakah dia tulus dalam tanggung jawab ini, ataukah hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh keluarganya? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, tanpa jawaban.
Ketika pertemuan selesai, Bu Yuni menegaskan bahwa pernikahan harus dilaksanakan secepatnya. “Keluarga kami akan mengurus semuanya,” katanya tegas. “Kami tidak ingin menunda lebih lama lagi. Nadia, keluargamu hanya perlu bersiap-siap. Jangan khawatir soal biaya atau persiapan lainnya.”
Nadia merasa jantungnya berdebar kencang. Pernikahan itu terasa seperti hukuman yang harus ia terima, meskipun dia tidak menginginkannya. Akhirnya, setelah mengumpulkan keberanian, dia mengangguk pelan. “Jika ini yang terbaik untuk keluarga saya... saya setuju.”
Nadia telah menerima keputusan untuk menikah dengan Indra, namun hatinya masih penuh keraguan. Apakah pernikahan ini akan membawanya pada kebahagiaan, atau justru semakin memperburuk hidupnya? Bagaimana dengan sikap dingin Indra dan ibunya yang angkuh? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantui Nadia saat hari pernikahannya semakin dekat.Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be