Home / Rumah Tangga / Menjadi Istri yang Dilupakan / Bab 7: Keputusan yang Berat

Share

Bab 7: Keputusan yang Berat

Author: Le Vant
last update Last Updated: 2024-10-10 17:07:00

Setelah pertemuan itu berakhir, suasana rumah Nadia terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Bu Ningsih tampak berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya, meski sesekali ia terlihat menghela napas panjang di sudut dapur, memandang kosong ke arah jendela. Sementara itu, Nadia duduk di kamarnya, tatapannya kosong menatap dinding. Keputusan yang baru saja diambil terasa seperti beban yang menghimpit dadanya.

Pikirannya tak henti-hentinya melayang kepada Indra. Pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat. Sejak pertemuan pertama di rumah sakit hingga saat ini, Nadia masih tidak sepenuhnya bisa memahami bagaimana perasaannya terhadap Indra. Dia tidak membencinya, namun juga tak bisa mengatakan bahwa dia menyukainya. Perasaan itu berada di tengah—begitu ambigu dan tak terdefinisi.

"Kenapa semua harus jadi seperti ini?" bisiknya pelan. Pernikahan yang semula dianggapnya sebagai impian indah, kini terasa seperti kurungan tanpa pintu keluar.

Sementara itu, di ruangan lain, Bu Ningsih berbicara dengan suara pelan melalui telepon. "Ya, Pak Rizal, Nadia sudah setuju. Kami akan mulai persiapan secepatnya," suaranya terdengar sedikit lega, tapi tetap ada kekhawatiran yang terselip. Setelah menutup telepon, dia mendekati kamar Nadia.

Bu Ningsih masuk ke kamar Nadia dengan langkah pelan. Saat itu, Nadia masih duduk di sudut tempat tidurnya, wajahnya dipenuhi kecemasan. Bu Ningsih, yang bisa merasakan kepedihan putrinya, duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya.

“Nak, ibu tahu ini semua tidak mudah,” kata Bu Ningsih lembut. “Tapi Ibu yakin kamu akan bisa melewatinya.”

Nadia menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah mulai menggenang di sudut matanya. "Aku tidak tahu, Bu... Aku merasa seperti menyerahkan hidupku begitu saja. Apa benar ini satu-satunya jalan?"

Bu Ningsih memeluk Nadia dengan erat, menenangkannya. "Ibu tahu, Nak. Tapi lihat kondisi ayahmu. Kita tak punya banyak pilihan. Ibu yakin, meskipun sekarang berat, kamu pasti bisa menyesuaikan diri. Indra bukan orang yang jahat. Mungkin... dengan waktu, kamu bisa belajar menerimanya."

Nadia menarik napas panjang. Kata-kata ibunya adalah penghiburan, tapi hatinya tetap meragukan apakah ia benar-benar bisa menjalani kehidupan pernikahan yang tak diinginkannya. Di balik ketenangan yang coba ia tunjukkan, hatinya dipenuhi dengan ketakutan akan masa depan yang belum jelas.

Beberapa hari kemudian, persiapan pernikahan dimulai. Indra, dengan pengaruh dan kekayaannya, langsung mengambil alih semua persiapan. Tim wedding organizer terbaik di Jakarta dikerahkan, memastikan segala detail tersusun rapi. Meskipun begitu, Nadia merasa semakin terasing dalam proses ini. Semua keputusan diambil tanpa berkonsultasi padanya. Mulai dari dekorasi, gaun, hingga tamu undangan. Semua sudah diputuskan oleh Indra dan keluarganya.

"Kamu hanya perlu datang di hari pernikahan, Nadia. Biarkan kami yang mengurus semuanya," kata Bu Yuni saat mereka bertemu di rumah mewah keluarga Pratama. Senyumannya penuh kesombongan, seolah menegaskan bahwa keluarga Nadia hanya tamu dalam urusan ini.

Nadia menunduk, mencoba menahan rasa tidak enak yang kembali muncul. Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu repot mengurus pernikahannya sendiri. Namun di sisi lain, ia merasa seperti tamu di hari pernikahannya sendiri. Tak ada satupun elemen dari pernikahan ini yang mencerminkan kepribadiannya atau keluarganya. Semua adalah cerminan keangkuhan keluarga Pratama, terutama Bu Yuni.

Indra tampak jarang hadir dalam proses ini. Sesekali ia muncul, hanya untuk memastikan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Tak ada percakapan mendalam antara dirinya dan Nadia, tak ada upaya untuk lebih mengenal satu sama lain. Semua berjalan seperti sebuah transaksi formal, dan semakin lama, Nadia semakin merasa pernikahan ini hanyalah formalitas tanpa makna.

Pada suatu malam, ketika Nadia dan Bu Ningsih duduk bersama di ruang keluarga, suara dering telepon memecah keheningan. Bu Ningsih mengangkat telepon dan suaranya langsung berubah serius.

"Ada apa, Pak Dokter?" tanyanya. Raut wajahnya berubah, matanya melebar seiring dengan informasi yang ia terima. Ayah Nadia mengalami komplikasi serius di rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, mereka segera bergegas menuju rumah sakit.

Di rumah sakit, Nadia melihat tubuh ayahnya yang lemah terbaring dengan berbagai alat bantu medis. Wajahnya pucat, napasnya terengah-engah. Dokter menyarankan operasi segera untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, biayanya sangat besar.

Nadia merasa dunia seakan runtuh. Pilihan itu kini nyata di depannya. Pernikahan dengan Indra, yang selama ini terasa seperti beban, kini menjadi satu-satunya harapan untuk menyelamatkan ayahnya. Air mata tak bisa ia tahan lagi.

"Ibu... kita harus menyelamatkan ayah," bisiknya. "Aku akan melakukannya. Aku akan menikah dengan Indra. Tak ada jalan lain."

Nadia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pernikahan demi menyelamatkan nyawa ayahnya. Namun, keputusan ini menambah beban emosional yang semakin berat. Apakah pernikahan ini benar-benar solusi, ataukah hanya akan memperburuk hidupnya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 123: Luka yang Makin Terbuka

    Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 122: Ketegangan yang Makin Menjauh

    Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 121: Menjaga Sisa Harapan

    Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 120: Di Persimpangan Hati

    Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 119: Tersesat di Antara Janji dan Kenyataan

    Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 118: Pendar yang Mulai Redup

    Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 117: Pukulan Berulang

    Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 116: Kesabaran yang Diuji

    Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 115: Cinta yang Hilang

    Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status