Hari pernikahan semakin dekat, dan persiapan terus berjalan tanpa henti. Setiap sudut rumah keluarga Pratama tampak sibuk, penuh dengan hiruk-pikuk orang-orang yang menyiapkan segala sesuatu sesuai keinginan Bu Yuni. Nadia, yang masih merasa terasing dalam kehidupannya sendiri, mulai pasrah pada kenyataan yang tidak bisa ia ubah. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ini benar-benar keputusan terbaik. Namun setiap kali keraguan itu muncul, ia teringat kembali pada kondisi ayahnya yang sedang kritis di rumah sakit. Setiap senyum lemah ayahnya, setiap helaan napas berat yang ia dengar ketika menengoknya, membuat Nadia menguatkan hatinya.
“Ini semua demi Ayah,” gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun rasa gundah tak pernah benar-benar hilang.
Di rumah sakit, ayahnya masih terbaring dengan berbagai alat medis yang menopang hidupnya. Wajahnya semakin pucat, dan suara desis alat pernapasan terdengar nyaring di ruangan itu. Setiap kali Nadia mengunjunginya, ia merasa semakin berat untuk kembali ke rumah dan menghadapi kenyataan bahwa hari pernikahannya semakin dekat.
“Bapak ingin melihat kamu bahagia, Nad,” kata Bu Ningsih suatu malam saat mereka berdua duduk di samping tempat tidur suaminya. “Bapak pasti akan merasa tenang kalau tahu kamu sudah menikah dan hidupmu baik-baik saja.” Meskipun ucapannya terdengar menenangkan, rasa bersalah merambat di hati Nadia. Apakah dia benar-benar bisa bahagia dengan pernikahan yang penuh keterpaksaan ini?
Hari itu, Nadia dipanggil ke rumah keluarga Pratama untuk mencoba gaun pengantinnya. Gaun putih berenda itu sangat indah, mewah, dan tentunya mahal. Di saat seharusnya ia merasa bahagia mengenakan gaun pengantin untuk pertama kalinya, hatinya malah semakin hampa. Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar di depannya. Wajahnya tampak tegang, matanya sayu. Tidak ada sedikit pun kilau kebahagiaan di sana.
"Bagus," ujar Bu Yuni singkat, sambil melirik Nadia dari sudut ruangan. "Ini yang terbaik dari koleksi desainer ternama. Kau harus bersyukur kami memilihkan yang terbaik untukmu."
Nadia hanya menunduk, tak ingin beradu tatap dengan wanita dingin itu. Setiap kali Bu Yuni berbicara, Nadia merasakan jarak yang begitu jauh antara dirinya dan keluarga suaminya yang akan datang. Mereka tidak pernah memperlakukannya seperti keluarga, melainkan seperti orang asing yang tak diharapkan kehadirannya. Kata-kata Bu Yuni selalu diiringi dengan nada merendahkan, membuat Nadia semakin merasa kecil dan tidak berharga.
“Apakah Indra akan datang?” tanya Nadia pelan. Harapannya tipis, tapi ia masih berharap Indra bisa sedikit melibatkan dirinya dalam proses ini.
"Indra sibuk," jawab Bu Yuni singkat. "Dia mempercayakan semua ini pada Ibu. Lagi pula, yang penting baginya adalah kau hadir di hari pernikahan. Hal-hal kecil seperti ini tak perlu membuatnya terganggu."
Jawaban itu membuat hati Nadia semakin tersayat. Indra, yang seharusnya menjadi pasangan hidupnya, sepertinya tak peduli sama sekali. Pernikahan ini hanyalah sebuah kewajiban yang harus dilalui. Tidak ada cinta, tidak ada kehangatan, hanya formalitas belaka.
Malam sebelum pernikahan, Nadia terbaring di tempat tidurnya, memandangi langit-langit kamar. Kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran yang tak menentu. Masa kecilnya, impian-impian sederhananya, hingga rencana-rencana yang dulu ia buat untuk masa depan, semua terasa jauh dan tak terjangkau lagi. Kini, yang ada di depannya adalah sebuah kenyataan pahit yang harus ia hadapi.
"Besok aku akan menikah," pikirnya. Kata-kata itu terdengar begitu asing dan menakutkan. Seharusnya pernikahan menjadi momen paling bahagia dalam hidup seseorang, namun baginya, pernikahan ini seperti memasuki dunia yang penuh ketidakpastian. Ia bahkan tidak mengenal Indra dengan baik.
"Apakah aku bisa hidup dengannya?" pertanyaan itu terus berputar di benaknya. Nadia tahu, pernikahan ini bukan sekadar keputusan pribadi. Ini adalah keputusan yang menyangkut kehidupan ayahnya, kesejahteraan keluarganya, dan tanggung jawab yang harus ia pikul.
Namun di balik semua itu, ada ketakutan mendalam yang tak bisa ia ungkapkan pada siapa pun. Takut akan hidup dengan seseorang yang tak mencintainya, takut akan masa depan yang penuh dengan kekecewaan.
Pagi itu, udara dingin menyelimuti suasana di rumah Nadia. Segalanya terasa hening, seolah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Nadia menatap gaun pengantinnya yang tergantung rapi di sudut kamar. Pagi ini, semuanya akan berubah. Hari ini, ia akan meninggalkan masa remajanya dan melangkah ke dunia yang baru, dunia yang tidak ia pilih, tetapi ia terima demi orang-orang yang ia cintai.
"Nadia, sudah siap?" suara lembut Bu Ningsih terdengar dari balik pintu. Nadia mengangguk, meskipun ibunya tidak bisa melihat.
Dengan berat hati, Nadia melangkah keluar dari kamar, mengenakan gaun pengantin yang terasa berat di tubuhnya. Gaun itu indah, namun terasa seperti beban yang menghimpit dada. Di setiap langkah yang ia ambil menuju altar, Nadia merasa hatinya semakin hampa.
Nadia berdiri di depan cermin, mengenakan gaun pengantin yang mewah, namun hatinya dipenuhi kekosongan. Apakah keputusan ini akan membawa kebahagiaan, ataukah hanya menjadi awal dari penderitaan yang lebih dalam? Dengan perasaan yang terombang-ambing, ia melangkah menuju altar, siap menghadapi apa pun yang menantinya di ujung perjalanan ini.Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya