Deon telah berada di penginapan dekat laut. Betapa terkejutnya dia ketika melihat kursi yang semula menjadi tempat mengikat Evan telah kosong. Dia segera mengambil ponsel di saku untuk menelepon Aldo.Di rumah sakit, Desy tersenyum lega setelah melihat Evan telah siuman. “Apa yang terjadi, Kak? Otak mesum bilang Kakak sudah membuat seorang wanita dan anaknya terjun ke laut, apa itu benar?” tanyanya penasaran. “Apa wanita itu Melani?” lanjutnya tidak sabar.“Otak mesum?” Evan mengerutkan dahi tidak mengerti.“Maksudku, laki-laki yang berada di penginapan bersama Kakak. Laki-laki yang memakai pakaian serba hitam.” Desy berkata terbata-bata. “Aku juga tidak tahu siapa dia,” lanjutnya sembari mengangkat kedua bahunya.“Ah, sudahlah, tidak penting membicarakan dia. Sekarang jawab pertanyaanku tadi. Apa Kakak sudah membuat Melani dan Nafisa terjun ke laut?” Desy bertanya tidak sabar.Evan menghembuskan napas berat, lalu menganggukkan kepala. Dia mengangkat tubuhnya seraya melepaskan selang
“Apa yang mama akan bicarakan pada papa, Nek?” Nafisa mengulangi pertanyaannya. Dia mulai merasa cemas. “Apakah mereka akan bertengkar?” tanyanya ragu.Namira mengusap-usap rambut Nafisa yang terurai berantakan. “Sini biar Nenek rapikan rambut Nafisa.” Dia mulai merapikan rambut Nafisa menggunakan sisir. “Jangan khawatir, Nak. Mama dan papamu tidak mungkin bertengkar,” ucapnya menghibur.“Tapi aku mendengar mama dan papa bertengkar beberapa hari yang lalu, Nek.” Nafisa berkata terbata-bata.Namira terperanjat mendengar pernyataan Nafisa. Dia menatap cucunya dengan mata yang berkaca-kaca. Rasanya kasihan melihat bocah sekecil itu harus menerima kenyataan bahwa orangtuanya bercerai. “Dulu saat kakekmu masih hidup, Nenek juga sering berdebat dengannya. Mungkin apa yang dilakukan papa dan mamamu sama dengan apa yang dilakukan nenek dan kakekmu. Mereka sedang berdebat atau berdiskusi. Itu hal yang biasa dilakukan orang dewasa,” ucapnya panjang lebar.Namira kembali menyisir rambut Nafisa d
Saat membuka mata, Johan sudah berada di dalam kamar rawat Nafisa. Dia berbaring di atas sofa yang empuk. Meringis sembari memegangi kepalanya yang masih terasa sakit.“Ibu menemukanmu pingsan di depan kamar. Sebenarnya apa yang terjadi? Di mana Melani?” tanya Namira begitu Johan siuman. Tiba-tiba saja, Johan teringat saat seseorang memukulnya dari belakang hingga menyebabkan tubuhnya ambruk dan tidak sadarkan diri. Dia menggelengkan kepala cepat. “Aku tidak tahu, tapi, saat aku sedang berbicara dengan Melani, tiba-tiba seseorang memukulku dari belakang, lalu aku tidak ingat apa lagi yang terjadi setelah itu,” ucap Johan panjang lebar. “Apa?” Namira berteriak seraya membulatkan mata. “Apa kamu tahu siapa laki-laki yang sudah memukulmu tadi? Jangan-jangan dia juga telah melukai Namira,” ucap Namira panik. Johan hanya menjawab dengan menggelengkan kepala. “Di mana mama, Pa?” Nafisa yang sejak tadi masih tiduran di ranjang turut b
"Jadi selama ini kalian tinggal bersama?" Namira mengulangi pertanyaannya pada Melani dan Deon. "Jawab pertanyaanku, Melani. Kalian laki-laki dan wanita dewasa yang tidak memiliki hubungan darah maupun ikatan pernikahan, bagaimana bisa, selama ini kalian tinggal bersama?" Namira menyipitkan mata, menatap Melani penuh tanya."Bukan seperti itu, Ibu. Aku tinggal di rumah Tuan Deon karena aku be...." Melani hendak menjelaskan, tetapi Deon memotong perkataan Melani sebelum Melani menjelaskan yang sebenarnya."Aku yang meminta Melani tinggal di rumahku, Bu," sahut Deon. "Sebenarnya, aku menyukai Melani dan berniat untuk menikahinya," lanjutnya berkata pasti.Melani membulatkan mata mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Deon. Dia mengerutkan kening dan menatap Deon dengan aura mematikan. Bukan hanya Melani yang terkejut, Namira pun tidak kalah terkejut. Dia menatap Melani seperti hendak mendengarkan pendapat Melani setelah mendengar pernyataan dari Deon."Ibu, aku baru saja siuman. N
"Memangnya selama ini kamu dan Mama Melani tinggal di mana, Nafisa?" tanya Johan penasaran.Karena Nafisa belum juga menjawab, Johan tertawa kecut. "Apa Mama Melani menyuruh kamu berbohong? Kalian tidak mungkin tinggal di rumah yang lebih besar dan lebih bagus dari rumah yang selama ini kita temp ati." "Nafisa tidak berbohong, Papa. Apa Papa pernah melihat Nafisa berbohong?" bantah Nafisa.Johan hanya tertawa, dia menoleh ke kanan dan ke kiri, setelah memastikan bahwa tidak ada orang yang datang, dia menarik lembut lengan Nafisa. "Ayo ikut Papa," ucapnya singkat sembari menyeret Nafisa ke luar kamar."Kita mau ke mana, Pa?" Nafisa bertanya tidak mengerti. Dia berjalan tergesa-gesa mengimbangi langkah Johan."Ke mana lagi, Nafisa? Kita harus pulang. Apa kamu betah berlama-lama di rumah sakit ini?" jawab Johan, masih menggandeng tangan mungil Nafisa. "Tidak!" teriak Nafisa seraya menepis tangan Johan. "Nafisa mau pulang sama mama," lanjutnya berkata dengan lantang. "Memangnya di mana
Mobil Ferrari LaFerrari warna hitam berhenti di depan rumah kecil yang terletak di pinggiran kota. Melani turun dari mobil, disusul oleh Namira yang menggendong Nafisa. Mereka masuk ke dalam rumah diikuti oleh Deon yang baru saja turun dari mobil. Di depan rumah, Bonita sudah menyambut dengan berkacak pinggang. Dia melipat keningnya sambil berkata, "Apa ini? Kenapa Ibu membawa Kak Melani dan selingkuhannya ke rumah ini?" "Jaga ucapanmu, Bonita. Kakakmu, Melani tidak pernah berselingkuh," ujar Namira membela Melani. Dia terus melangkah masuk ke dalam rumah sambil menggendong Nafisa. "Ayo masuk!" ucapnya seraya menatap Melani dan Deon yang berdiri di teras rumah. "Kenapa Ibu selalu membela dia? Aku juga anak Ibu. Kenapa Ibu tidak pernah percaya kepadaku?" protes Bonita. Dia berjalan mengikuti langkah Namira di dalam rumah. "Ibu tidak membela siapa-siapa, Bonita. Ibu hanya membela kebenaran." Namira menurunkan Nafisa dari gendongan sambil berucap, "Nafisa masuk ke kamar dulu ya, Nak.
"Ibu sudah mengurung Bonita di kamar semalaman. Apa tidak sebaiknya Ibu membebaskannya? Ini sudah waktunya sarapan pagi. Bonita pasti kelaparan, Bu," bujuk Melani pada Namira saat sedang menikmati makanan di meja makan. Melani sendiri hanya menatap berbagai makanan yang tersaji tanpa menyentuhnya. "Ibu akan mengirimkan makanan untuk Bonita nanti, tapi tidak dengan membebaskannya. Biarkan anak itu menyadari kesalahannya." Namira meletakkan sendok dan garpu di atas piring. Dia menatap lembut Melani, lalu berkata, "Kenapa kamu tidak makan, Melani? Apa kamu sudah tidak menyukai masakan Ibu?" "Bukan begitu, Ibu. Tentu saja aku sangat menyukai masakan Ibu. Semua ini adalah makanan kesukaanku." Melani menatap ayam goreng dan sambal tomat yang tersaji di meja makan. Aroma sedap yang menyeruak dari piring saji membuat dia menelan air liurnya. "Lalu kenapa kamu tidak makan? Kamu baru saja keluar dari rumah sakit. Makanlah yang banyak agar kondisimu semakin pulih," bujuk Namira. Dia menyentong
Namira membuka pintu kamar Bonita. Dia memindai tubuh Bonita dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tatapan matanya berhenti di perut rata Bonita. Dia menatap tajam Bonita sambil berkata, "Kamu hamil? Apa benar kamu hamil?" Bonita menganggukkan kepala seraya mengusap-usap perutnya. "Ibu boleh menghukum aku, tapi jangan hukum anakku," gumam Bonita lirih. Namira menarik lengan Bonita dan menyeretnya sampai ke ruang makan. Dia mendudukkan Bonita di kursi seraya berkata, "Duduk dan makanlah. Setelah ini, Ibu ingin kamu menjelaskan semuanya pada Ibu." "Apa yang perlu dijelaskan, Bu? Aku sedang mengandung anak Kak Johan, dan aku tidak ingin Ibu melarangku mendekati Kak Johan. Aku harus menemui Kak Johan untuk meminta pertanggungjawaban." Bonita mengangkat tubuhnya. Dia berdiri dan hendak melangkahkan kaki pergi, tetapi Namira menghalanginya. "Ibu bilang duduk dan makanlah!" titah Namira seraya menarik lengan Bonita. Tidak disangka-sangka, tiba-tiba Johan telah masuk ke dalam rumah dan be