Melani tampak sangat cantik mengenakan pakaian pengantin warna putih. Pesta pernikahan kali ini diadakan di Ballroom Hotel Alvarendra. Jika biasanya para pengantin akan menyewa gedung pernikahan selama dua atau empat jam saja, rencananya mereka akan memakai ballroom itu seharian penuh, dari pagi hingga malam hari.Banyak sekali tamu undangan yang menghadiri acara pesta pernikahan itu, mulai dari rakyat biasa hingga para pejabat dan rekan kerja Deon. Bahkan, para tamu undangan yang datang dari luar kota bisa menginap di hotel setempat dengan gratis.Tiba saat acara lempar bunga, para pasangan maupun para jomlo berebut buket bunga yang dilempar pengantin.Buket bunga yang dilempar Melani jatuh ke tangan Aldo dan Desy secara serempak. Mereka berdua berebut buket bunga itu dan tidak ada yang mau mengalah.“Kenapa kalian harus berebutan seperti anak kecil? Bukankah kalian akan menikah pada hari yang sama?” sindir Vina yang tia-tiba datang dengan gaun merahnya yang indah. Dia berhasil mereb
“Kamu ada waktu dalam minggu-minggu ini, Sayang? Aku ingin pergi berdua denganmu. Sejak pernikahan kita, aku belum sempat mengajakmu berbulan madu.” Deon menyempatkan menelepon Melani di sela-sela kesibukannya bekerja.Di seberang telepon, Melani sibuk mempelajari berkas-berkas perusahaan. “Maafkan aku, Sayang. Kamu tahu akhir-akhir ini aku sangat sibuk. Aku harus mengurus butik dan juga mengurus perusahaan Ayah.” Melani berkata dengan penuh penyesalan.“Tapi kamu mempunyai banyak karyawan. Kamu bisa mendelegasikan semua pekerjaanmu pada mereka,” bujuk Deon. Dia sangat berharap bisa menikmati waktu berdua dengan istrinya.“Lain kali saja ya? Kamu tahu, aku baru saja membuat kebijakan baru untuk perusahaan ayahku. Aku membuat mereka menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol. Karena kebijakanku itu, perusahaan mengalami penurunan laba yang signifikan. Aku harus memperbaiki semua ini, Sayang.”“Apa? Apa yang kamu lakukan, Melani?” Tiba-tiba Nenek Karmila masuk ke ruang
"Melani!" Johan berteriak begitu melihat Melani yang tiba-tiba telah berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. Dia tidak mengira istrinya akan datang di saat dia sedang berada di bawah tubuh wanita lain. Seorang wanita seksi duduk di atas pangkuan Johan. Wanita itu menoleh ke arah Melani sambil melambaikan tangan dan tersenyum sinis. Tidak ada rasa bersalah yang terpancar dari wajahnya. "Bonita?" Melani menjatuhkan kotak makan yang dia bawa. Niatnya memberi kejutan pada suami, malah dia sendiri yang terkejut. Sia-sia sudah memasak masakan kesukaan suami sepanjang pagi. Wanita yang sedang bersama suaminya, dia sangat mengenalnya. Wanita itu adalah Bonita, adiknya sendiri. Tiga tahun belakangan, Bonita memang bekerja satu kantor dengan suami Melani. Johan sendiri yang membantu Bonita untuk mendapatkan posisi sebagai staff administrasi di kantor itu. Melihat Melani yang masih berdiri terpaku di ambang pintu, Johan dan Bonita bukannya saling menjauh dan menghampiri Melani. Mereka malah
"Kapan Papa pulang, Ma?" Nafisa masih terjaga, padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Gadis kecil itu tidak bisa tidur sebelum melihat wajah papanya. Dia terbiasa tidur setelah mendengarkan dongeng tuan putri yang dibacakan Johan untuknya."Nafisa tidur dulu ya, Nak? Mungkin Papa masih lembur." Melani menenangkan putri kecilnya. "Hari ini biar Mama yang membacakan dongeng untuk Nafisa," lanjutnya.Dia mengambil salah satu buku cerita dari rak buku di kamar Nafisa. Mulai membaca seraya mengusap-usap rambut Nafisa agar gadis kecil itu segera tertidur.Sudah hampir satu jam Melani menemani Nafisa, tetapi gadis kecil itu tidak kunjung tidur. "Nafisa belum mengantuk?" tanya Melani lembut. "Ayo tidur, Sayang. Besok Nafisa harus sekolah," bujuknya.Nafisa menggeleng-gelengkan kepala. "Nafisa nungguin Papa, Ma. Tadi siang, Papa sudah janji mau belikan Nafisa buku cerita baru," rengek bocah kecil itu.Melani mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. Berkali-kali dia me
Melani telah mengantarkan Nafisa ke sekolah. Dia terus memegangi kepalanya yang sakit. Berjalan masuk ke sebuah cafe dekat dengan sekolah Nafisa.“Kamu kenapa, Melani?” Seorang wanita berambut pendek yang disemir merah muda sudah duduk di dalam cafe.“Kamu bilang ingin bercerita sesuatu kepadaku. Tapi, kenapa wajahmu pucat sekali? Seharusnya, kamu bilang jika memang sedang tidak enak badan. Aku bisa menjemputmu.” Perempuan itu lalu berdiri, menuntun Melani duduk di sebelahnya.“Aku butuh pekerjaan, Desy,” ujar Melani. Perlahan duduk di bangku cafe. Masih memegangi kepalanya yang terasa nyut-nyutan.“Pekerjaan? Bukankah Johan sudah memberimu segalanya? Apa terjadi sesuatu pada kalian?” Desy, sahabat Melani sejak di bangku sekolah bertanya karena penasaran. Dia sangat mengerti, sejak dulu Melani tidak memiliki keinginan untuk bekerja seperti dirinya. Melani sangat menikmati menjadi ibu rumah tangga. “Apa kamu berubah pikiran?” tanyanya dengan mengerutkan kening.“Aku dan Mas Johan akan
Seorang laki-laki masuk ke dalam kamar saat Evan berusaha menindih tubuh Melani. Kedatangan laki-laki itu membuat Evan mengurungkan niatnya. Begitu juga Melani, dia membulatkan mata melihat laki-laki itu. Dia adalah laki-laki dingin yang dia jumpai di kantor Johan!“Siapa kamu? Berani-beraninya masuk ke dalam kamarku seperti itu. Pergi, atau aku akan memanggil keamanan untuk melemparmu dari sini.” Evan berdiri mendekati laki-laki dingin yang sudah berani mendobrak pintu kamarnya.“Kamu tidak tahu siapa aku? Aku Deon Alvarendra. Hotel ini milikku. Bukan aku yang akan pergi dari kamar hotel ini. Kamulah yang harus pergi.”Deon menarik lengan Evan, dan memberinya bogem mentah. Melempar Evan ke luar kamar hotel. “Urus laki-laki tidak bermoral itu. Dia sudah berusaha memperkosa seorang wanita di kamar hotel milikku,” titahnya pada dua orang pengawal yang berjaga di luar kamar sambil menatap dingin Evan. Semakin lama, tatapan matanya terasa seperti menusuk. Dia sedang mengancam Evan untuk t
“Gimana keadaanmu, Melani? Maafkan aku. Aku tidak tahu jika Kak Evan akan berbuat nekat.” Pagi-pagi sekali, Desy berkunjung ke rumah Melani. Dia merasa bersalah dengan apa yang dilakukan kakaknya pada Melani kemarin malam. Dia bisa tahu semuanya karena Evan pulang dengan babak belur dan tanpa basa-basi menceritakan semuanya pada adiknya. “Aku sudah memarahi kakakku semalaman. Tolong maafkan dia ya?” mohon Desy. “Aku sudah memaafkan dia, Desy. Untung saja, seseorang menyelamatkanku saat Kak Evan hendak berbuat bej4t. Tapi tolong katakan pada Kak Evan agar tidak menggangguku lagi,” ucap Melani tegas. “Bagaimana dengan pekerjaanmu? Hari ini kamu mulai masuk bekerja di perusahaan kakakku, ‘kan?” tanya Desy. Masih menatap Melani dengan perasaan bersalah. Seandainya semalam dia menemani Melani saat menemui kakaknya, mungkin Kak Evan tidak akan berbuat sampai melampaui batas. Melani menggeleng-gelengkan kepala. “Seseorang yang semalam menyelamatkanku, dia memberiku pekerjaan di rumahnya
Melani tidak ingin berpangku tangan. Meski pekerjaannya telah selesai di rumah ini, dia berniat untuk membantu para rekan kerjanya sesama asisten rumah tangga. Tidak ingin ada kecemburuan sosial di antara sesama asisten rumah tangga di ruma ini. “Biar kubantu Bibi mengelap perabotan ya,” ujar Melani pada seorang wanita setengah baya yang rambutnya digelung. Dia segera mengelap perabotan dengan kain. “Tidak usah, Nona Melani. Biar saya saja yang melakukannya. Tuan akan marah jika melihat Nona Melani membantu saya,” ujar wanita setengah baya itu, merebut kain yang dibawa Melani. “Panggil aku Melani saja, Bi. Kita sama-sama pelayan di sini,” ujar Melani. Menatap wanita setengah baya penuh curiga. “Kenapa Bibi terlihat khawatir seperti itu? Apa ada yang Bibi sembunyikan dariku?” Wanita setengah baya tadi hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau begitu, gak apa kan kalau aku bantu Bibi?” Melani segera merebut kembali kain di tangan wanita setengah baya tadi. “Tidak usah, Nona. Ini su