Share

Bab 2 Jodoh

"Hai, Senja. Kenapa muka kamu manyun? Tadi aja sumringah. Nggak biasanya habis ketemu Pak Pur begini," Fifi menegur Senja yang masih menahan kesal pada Adam.

"Kesel tahu, nggak? Jangan memancing emosiku, Fi!"

Dua gadis yang kerap bersama-sama kemana-mana itu sedang duduk di gazebo taman kampus. Suasana kampus swasta ternama di Bandung itu terlihat tenang karena bersamaan dengan ujian tengah semester.

Fifi baru saja lulus, sedangkan Senja entah gimana nasibnya ke depan belum diketahui rimbanya. Harapan lulus semester ini pun tertunda karena harus ganti dosen pembimbing. Bukan ia tidak pintar, malah saking pintarnya ia kalah cepat dengan Fifi. Sebab ia terlalu sibuk mengurus bisnis yang dibangunnya. Dan tentunya tidak mudah seperti apa yang dipikirkannya.

"Ayolah, Ja! Kamu kan tinggal nunggu ACC saja dari Pak Pur. Aku yakin kita bisa wisuda bareng. Jangan patah semangat gitu dong!"

"Apanya yang wisuda bareng. Pak Pur tega nelantarin aku, Fi."

"Hah, nelantarin gimana?"

"Ya nelantarin. Pak Pur lepas tangan."

"Lepas tangan? Udah nggak mau bimbing? Padahal kan kamu mahasiswa kesayangan beliau," ujar Fifi tak mengerti.

"Itu dia. Saking sayangnya beliau, aku tuh dicariin ganti dosen pembimbing baru. Tahu, nggak?"

"Enggak."

"Ishh, ntr dulu aku belum selesai ngomong, Fi."

Fifi terkekeh tiap melihat sahabatnya emosi. Tangan dan kaki Senja pasti sudah gatal ingin menonjok orang, pikirnya. Bagaimana tidak, Fifi juga sering menemani Senja berlatih karate karena ada kekasihnya yakni Andre, yang juga berlatih di dojo yang sama.

"Jadi siapa dosen penggantinya?" Fifi ikut penasaran dengan menopangkan dagu pada kedua tangannya.

"Kamu nggak kenal," cetus Senja masih saja menghentakkan kakinya karena geram.

"Ya ampun Ja, segitunya kamu kesel. Pasti dosennya cakep ya? Masih muda, single lagi. Iya, kan?" Lagi, Fifi tertawa renyah membuat Senja mengacak rambut sahabatnya itu.

"Udah-udah ngapain malah ngelantur. Iya Pak Adam memang ganteng. Lebih ganteng dari Andre kekasihmu itu malah." Fifi sontak membelalakkan mata gara-gara Senja menyebut dan membandingkan ketampanan kekasihnya.

"Apaan sih, Ja. Jelas Andre nggak ada duanya."

"Ckk. Iya-iya yang punya Andre nggak mau dibilang kalah ganteng."

"Iyalah." Senyum Fifi terbit lagi setelah sempat merengut.

"Jadi, nama dosennya Pak Adam, Ja? Kamu jadi Hawa nya dong," kelakar Fifi membuat Senja bersungut. Namun, sedetik kemudian Senja tertawa lucu.

"Tuh, kan malah senyum-senyum sendiri. Kesambet apa coba?"

"Hush, jangan ngobong sembarangan."

"Lha itu ngapain?"

"Tunggu saja. Aku bakal menaklukkan tuh muka kulkas."

"Maksudmu siapa Ja yang muka kulkas?" Kening Fifi bertaut menanti jawaban.

"Siapa lagi kalau bukan Pak Adam."

"Astaga, kamu tuh ya. Nggak sama Pak Pur, sekarang sama Pak Adam pengin jadi pawang," celetuk Fifi. Senja hanya mengulas senyum menanggapi sahabatnya.

"Lagian kata Pak Pur, Pak Adam masih single. Jadi nggak masalah kan kalau diajak bargaining."

"Tawar menawar apaan? Awas kamu, Ja! Nanti kualat sama Pak Dosen."

"Ya, tinggal disenyumin atau diajak bercanda aja biar es di kulkas mencair," celoteh Senja. Ia kembali senyum-senyum sendiri. Entah apa yang sudah ada di otaknya saat ini.

"Oh lha kirain kamu mau nggodain beliau trus jadiin pasangannya gitu. Kamu kan masih jomblo." Fifi menahan tawa dengan menutup mulutnya.

Plak!

"Ough. Sakit, Ja."

"Makanya jangan piktor dong. Mentang-mentang situ dah punya pacar. Aku lagi mau jadi orang yang lurus, nih. Kata emak dan bapakku jodoh itu cerminan diri. Sudah semester akhir, aku mau cari bekal ilmu nggak cuma dunia tapi juga akhirat. Lulus dapat ijazah sama ijab sah. Masak iya aku nyari jodoh kayak kulkas gitu."

"Tumben, Ja. Kamu kok mikirnya bener. "

"Enak aja, selama ini kan aku mikirnya lurus. Kamunya aja yang ngajakin belok."

"Hehe, iya maaf-maaf. Trus gimana dong sekarang? Eh, tapi kalau beliau kayak kulkas kan malah cocok kamu yang nyairin, Ja."

"Ogah. Aku tetap satu tujuan, nyari jodoh tak jauh-jauh dari ustad idola."

"Ustadz Akbar?" ucap Fifi dengan mulut menganga.

"Kenapa? Nggak percaya, ya?"

"Bukan nggak percaya. Jadi, selama ini kamu ngajakin aku ikut kajian di masjid ujung komplek kos buat deketin Ustadz Akbar?"

"Emang iya, Fi. Healing yang manfaatnya dobel kan. Dapat ilmunya sekaligus ajang mencari jodoh."

"Duh Senja, banyak yang idolain dia. Siap-siap deh patah hati."

"Kamu doain yang baik-baik dong. Siapa tahu dia jodohku."

"Siapa? Ustadz Akbar atau Pak Adam?" goda Fifi.

"Fifi!" Senja membelalakkan matanya. Bisa-bisanya Fifi menyebut nama terakhir itu dengan keras. Alhasil, ia mengomeli sahabatnya.

Ehem. Suara deheman tidak mengusik celotehan Senja. Meski Fifi sudah memberi kode, sahabatnya tetap nyerocos. Sampai-sampai Fifi harus memajukan dagunya.

"Dia siapa, Ja?" bisik Fifi sambil menunjuk ke arah belakang Senja.

"Mana?" Senja menoleh ke belakang. Sungguh ia terperanjat. Bisa-bisanya dosennya sudah berdiri di belakangnya.

"Pak Adam dengar nggak, ya? Bisa-bisa kegeeran," batinnya sambil meringis.

"Pak Adam nyari saya?" tanya Senja dengan nada santai. Ia berdiri lalu pura-pura membersihkan bajunya yang tidak kotor. Mendengar nama Adam, Fifi pun ikut terkejut. Sebab keduanya sempat ngobrolin tentang laki-laki itu.

"Pulpen kamu ketinggalan," ucap Adam dengan nada dingin.

"Ah iya, makasih, Pak." Senja justru merespon dengan senyum khasnya. Tanpa diduga Adam sedikit menunduk mendekati sebelah telinganya. Sontak saja gadis itu tersentak.

"Lain kali jangan suka ghibahin orang!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status