"Hai, Senja. Kenapa muka kamu manyun? Tadi aja sumringah. Nggak biasanya habis ketemu Pak Pur begini," Fifi menegur Senja yang masih menahan kesal pada Adam.
"Kesel tahu, nggak? Jangan memancing emosiku, Fi!"Dua gadis yang kerap bersama-sama kemana-mana itu sedang duduk di gazebo taman kampus. Suasana kampus swasta ternama di Bandung itu terlihat tenang karena bersamaan dengan ujian tengah semester.Fifi baru saja lulus, sedangkan Senja entah gimana nasibnya ke depan belum diketahui rimbanya. Harapan lulus semester ini pun tertunda karena harus ganti dosen pembimbing. Bukan ia tidak pintar, malah saking pintarnya ia kalah cepat dengan Fifi. Sebab ia terlalu sibuk mengurus bisnis yang dibangunnya. Dan tentunya tidak mudah seperti apa yang dipikirkannya."Ayolah, Ja! Kamu kan tinggal nunggu ACC saja dari Pak Pur. Aku yakin kita bisa wisuda bareng. Jangan patah semangat gitu dong!""Apanya yang wisuda bareng. Pak Pur tega nelantarin aku, Fi.""Hah, nelantarin gimana?""Ya nelantarin. Pak Pur lepas tangan.""Lepas tangan? Udah nggak mau bimbing? Padahal kan kamu mahasiswa kesayangan beliau," ujar Fifi tak mengerti."Itu dia. Saking sayangnya beliau, aku tuh dicariin ganti dosen pembimbing baru. Tahu, nggak?""Enggak.""Ishh, ntr dulu aku belum selesai ngomong, Fi."Fifi terkekeh tiap melihat sahabatnya emosi. Tangan dan kaki Senja pasti sudah gatal ingin menonjok orang, pikirnya. Bagaimana tidak, Fifi juga sering menemani Senja berlatih karate karena ada kekasihnya yakni Andre, yang juga berlatih di dojo yang sama."Jadi siapa dosen penggantinya?" Fifi ikut penasaran dengan menopangkan dagu pada kedua tangannya."Kamu nggak kenal," cetus Senja masih saja menghentakkan kakinya karena geram."Ya ampun Ja, segitunya kamu kesel. Pasti dosennya cakep ya? Masih muda, single lagi. Iya, kan?" Lagi, Fifi tertawa renyah membuat Senja mengacak rambut sahabatnya itu."Udah-udah ngapain malah ngelantur. Iya Pak Adam memang ganteng. Lebih ganteng dari Andre kekasihmu itu malah." Fifi sontak membelalakkan mata gara-gara Senja menyebut dan membandingkan ketampanan kekasihnya."Apaan sih, Ja. Jelas Andre nggak ada duanya.""Ckk. Iya-iya yang punya Andre nggak mau dibilang kalah ganteng.""Iyalah." Senyum Fifi terbit lagi setelah sempat merengut."Jadi, nama dosennya Pak Adam, Ja? Kamu jadi Hawa nya dong," kelakar Fifi membuat Senja bersungut. Namun, sedetik kemudian Senja tertawa lucu."Tuh, kan malah senyum-senyum sendiri. Kesambet apa coba?""Hush, jangan ngobong sembarangan.""Lha itu ngapain?""Tunggu saja. Aku bakal menaklukkan tuh muka kulkas.""Maksudmu siapa Ja yang muka kulkas?" Kening Fifi bertaut menanti jawaban."Siapa lagi kalau bukan Pak Adam.""Astaga, kamu tuh ya. Nggak sama Pak Pur, sekarang sama Pak Adam pengin jadi pawang," celetuk Fifi. Senja hanya mengulas senyum menanggapi sahabatnya."Lagian kata Pak Pur, Pak Adam masih single. Jadi nggak masalah kan kalau diajak bargaining.""Tawar menawar apaan? Awas kamu, Ja! Nanti kualat sama Pak Dosen.""Ya, tinggal disenyumin atau diajak bercanda aja biar es di kulkas mencair," celoteh Senja. Ia kembali senyum-senyum sendiri. Entah apa yang sudah ada di otaknya saat ini."Oh lha kirain kamu mau nggodain beliau trus jadiin pasangannya gitu. Kamu kan masih jomblo." Fifi menahan tawa dengan menutup mulutnya.Plak!"Ough. Sakit, Ja.""Makanya jangan piktor dong. Mentang-mentang situ dah punya pacar. Aku lagi mau jadi orang yang lurus, nih. Kata emak dan bapakku jodoh itu cerminan diri. Sudah semester akhir, aku mau cari bekal ilmu nggak cuma dunia tapi juga akhirat. Lulus dapat ijazah sama ijab sah. Masak iya aku nyari jodoh kayak kulkas gitu.""Tumben, Ja. Kamu kok mikirnya bener. ""Enak aja, selama ini kan aku mikirnya lurus. Kamunya aja yang ngajakin belok.""Hehe, iya maaf-maaf. Trus gimana dong sekarang? Eh, tapi kalau beliau kayak kulkas kan malah cocok kamu yang nyairin, Ja.""Ogah. Aku tetap satu tujuan, nyari jodoh tak jauh-jauh dari ustad idola.""Ustadz Akbar?" ucap Fifi dengan mulut menganga."Kenapa? Nggak percaya, ya?""Bukan nggak percaya. Jadi, selama ini kamu ngajakin aku ikut kajian di masjid ujung komplek kos buat deketin Ustadz Akbar?""Emang iya, Fi. Healing yang manfaatnya dobel kan. Dapat ilmunya sekaligus ajang mencari jodoh.""Duh Senja, banyak yang idolain dia. Siap-siap deh patah hati.""Kamu doain yang baik-baik dong. Siapa tahu dia jodohku.""Siapa? Ustadz Akbar atau Pak Adam?" goda Fifi."Fifi!" Senja membelalakkan matanya. Bisa-bisanya Fifi menyebut nama terakhir itu dengan keras. Alhasil, ia mengomeli sahabatnya.Ehem. Suara deheman tidak mengusik celotehan Senja. Meski Fifi sudah memberi kode, sahabatnya tetap nyerocos. Sampai-sampai Fifi harus memajukan dagunya."Dia siapa, Ja?" bisik Fifi sambil menunjuk ke arah belakang Senja."Mana?" Senja menoleh ke belakang. Sungguh ia terperanjat. Bisa-bisanya dosennya sudah berdiri di belakangnya."Pak Adam dengar nggak, ya? Bisa-bisa kegeeran," batinnya sambil meringis."Pak Adam nyari saya?" tanya Senja dengan nada santai. Ia berdiri lalu pura-pura membersihkan bajunya yang tidak kotor. Mendengar nama Adam, Fifi pun ikut terkejut. Sebab keduanya sempat ngobrolin tentang laki-laki itu."Pulpen kamu ketinggalan," ucap Adam dengan nada dingin."Ah iya, makasih, Pak." Senja justru merespon dengan senyum khasnya. Tanpa diduga Adam sedikit menunduk mendekati sebelah telinganya. Sontak saja gadis itu tersentak."Lain kali jangan suka ghibahin orang!"Semua yang hadir di ruang keluarga menepuk dahi kecuali Adam dan Senja yang masih tak percaya."Kalian berdua memang sudah bikin heboh. Tunggu sanksi dari Abi dan Umi," ungkap Aryo."Hah?!" Senja tersipu malu. Ia tak enak hati pada keluarga Adam dan juga keluarganya."Pokoknya kita adakan resepsi secepatnya. Siap ya, Al, Syad," usul Opa Zein."Siap, Pa, Ma," balas Alea dan Irsyad bersamaan."Kan ada Rendra sama Galang yang jadi PJnya," sahut Alea yang disambut tawa kedua keluarga."Walah, kalau tahu begini, Umi sama Abi nggak susah-susah nyariin jodoh kamu biar nggak nyari-nyari Senja. Kamu nggak ingat dulu waktu kecil, kamu suka main sama Senja?" Nayla mencoba menceritakan masa kecil putranya saat diajak Aryo membahas bisnis kerja sama dengan perusahaan Zein."Yang mana ya, Ma?" tanya Adam mencoba mengingat-ingat."Itu lho yang dulu gadis berkuncir dua."Seolah ingatannya terbang ke masa lalu, Adam malah senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba sebuah ide melintas dibenaknya."Senja." Adam me
"Aku menyayangimu, Ja. Percayalah, aku mulai menyukaimu sejak lama. Sejak kita bertemu pertama kali di kampus. Sejak kamu menjadi mahasiswa bimbinganku." Senja tidak bisa berkata-kata. Hanya bulir bening yang mewakili rasa harunya. Ternyata cintanya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Ia merasa kurang sabar memahami lelaki yang dikasihinya. "Mas Adam. Maafkan aku!" Adam meletakkan telunjuknya di bibir Senja. "Sttt, kamu tidak pantas meminta maaf. Seharusnya aku yang berjuang." Tangan kanan Adam mencoba merapikan rambut poni Senja. "Senja, maukah kita memulai semuanya dari awal? Aku mau kita menjalin hubungan serius sebagai pasangan halal bukan pasangan kontrak." Senja mengangguk tanpa kata. Adam pun membalas dengan senyuman. Tanpa aba-aba, Adam melabuhkan sebuah kecupan dikening Senja. Meleburkan rasa rindu yang menggebu. Kini kesalah pahaman itu telah berlalu menyisakan kerinduan yang ingin terbayarkan. "Aku mencintaimu Senja Kamila Rahmawan." "Aku juga, Mas Adam Syail
"Ough. Sakit, Ja! Kenapa kamu pukul suamimu?!" "Hah?! Pak Adam?" Senja syok mendapati Adam yang ada di kamarnya. Namun, kesadarannya langsung pulih dengan ekspresi marah dan berkacak pinggang. "Pak Adam sengaja menakuti saya?! Kenapa masuk ke kamar ini diam-diam?" Adam yang terjungkal ke lantai karena tak siap dilawan Senja hanya bisa mengaduh. Ia berdiri lalu mengusap bagian tubuhnya yang sakit. "Kamu gimana sih, Ja. Suami sendiri malah dih4jar gini? Untung kamu nggak nendang...." Belum selesai Adam mengucap, Senja sudah terkikik geli sambil memegang perutnya. Namun, beberapa detik kemudian wajahnya berubah datar lagi. "Mau apa kemari? Bukannya Pak Adam udah balikan sama mantan?!" ucapnya seraya mendecis. Ia pun mendaratkan pant*tnya ke r4njang. "Maksud kamu apa, Ja?" "Kenapa Pak Adam tanya sama saya? Tanya saja pada diri sendiri." Lagi, Senja masih berbicara dengan nada ketus. Hal itu membuat Adam semakin tak mengerti. "Sebentar, Ja! Jangan bilang kalau kamu selama ini salah
"Ya Rabb, kenapa harus ketemu dia di rumah ini?" "Sudah pulang, Pa." Suara Sekar terdengar di telinga Senja yang masih mematung. "Senja, ini Mas Ardian suamiku. Yang ini Adam Syailendra adikku." "Hah, Adik?" Senja membatin sambil mengerutkan dahi. Ia juga mengerjapkan mata berulang, berharap itu hanya mimpi." "Kenapa jadi Pak Adam adik Mbak Sekar? Lalu Andika? Gawat, nih." "Yuk, masuk, Dam. Mbak kenalin kolega dari Yogya. Ada Senja sama Andika." "Ma, diajak duduk dulu lah. Adam dari tadi suntuk tuh. Kelaparan kayaknya. Papa ajak makan nggak mau," celetuk Ardi. Senja hanya bisa menelan ludahnya kala tatapan tajam Adam mengarah padanya. Sedetik kemudian ia justru tidak menggubris ucapan Sekar. Memilih duduk di Sofa, Adam bersikap tak acuh pada Senja maupun Andika. "Lho ternyata Pak Adam adiknya Mbak Sekar, ya? Dunia ini sempit sekali," ucap Andika santai. Namun tidak dengan Senja yang ketar-ketir sedari tadi. Ia berharap Andika tidak membuat rencana kerja samanya dengan Sekar gat
"Fifi?! Kanget tahu, nggak? Kenapa nggak bilang kalau pindah ke sini, sih?" Senja berlari lalu mem3luk tubuh Fifi. Ia tidak pernah berubah. Dilihat oleh Fifi, sahabatnya itu masih saja sama seperti saat kuliah. Suka teriak heboh sendiri. "Udah nyer0cosnya? Kayak kereta aja," sahut Fifi sambil bersungut. Senja melepas p3lukannya sambil terkikik geli. "Lagian kamu nih nggak ada kabarnya." "Yeay, siapa yang ga ada kabar. Nggak kebalik? Kamu kan yang super sibuk. Sejak jadi bos, lupa deh sama sahabat sendiri," cibir Fifi. Keduanya berjalan menuju ruang tunggu stasiun. Sebab kedatangan orang tua Fifi untuk menjenguk cucu sekaligus liburan masih sejam lagi. "Sini, ceritakan tentang kabarmu! Katanya mau nikah? Kapan? Jangan-jangan udah ya? Sejak terakhir ketemu Pak Adam di restoran, aku sudah nggak dapat kabarmu lagi, Ja. Gimana hubungan kalian?" "Nih, gini nih. Tadi aja ngatain aku myerocos kayak kereta. Giliran nanya, kamu juga nggak ada jedanya sama sekali, Fi." Fifi terbahak disusul
Seminggu berlalu, pagi-pagi sekali Senja sudah berangkat menuju kantor Sekar. Ia menginap di hotel tak jauh dari kantor. Padahal Sekar sudah menawarinya menginap. Senja merasa belum akrab, alhasil hanya mengiyakan kalau masa tinggal di hotel telah habis. "Andre!" Senja sudah sampai di kantor Sekar karena permintaan bos besar itu sendiri. "Hah, aku nggak salah lihat?" Andre mengucek matanya dengan salah satu tangan. Sementara tangan lain memegang berkas. "Ini Senja, Ndre." "Astaga! Kamu beneran Senja? Kok kamu bisa sampai sini, Ja?" "Ishh, sini aku yang harusnya tanya kenapa kamu bida di sini, Ndre?" "Aku memang pindah ke sini sudah tiga bulan, Ja." "Apa?! Fifi juga?" Senja menarik lengan Andre lalu celingukan mencari tempat duduk yang nyaman. "Sini lho kalau mau ngobrol. Memangnya kamu sudah hafal tempat-temapat di sini?" celetuk Andre. Senja hanya meringis. Dia terlalu pede dan tidak ingat kalau sedang di perusahaan orang. "Kamu pindah sama Fifi nggak kasih kabar sih, Ndre. A