"Ganteng juga dosbing barumu, Ja."
Sepeninggal Adam, Fifi tidak berhenti memuji-muji pelaki itu. Alih-alih menenangkan justru Fifi terus menggoda Senja. Gadis itu hanya bersungut karena ucapan Adam masih terngiang di telinganya."Ishh, kamu jangan bikin aku tambah kesel, Fi.""Haha, iya maaf."Drrt, dering ponsel di tas Senja menyapa telinga."Duh, Seno. Kenapa saat seperti ini malah muncul.""Siapa, Ja?""Stt, Seno." Senja meletakkan telunjuknya ke bibir."Halo, Sen.""Senja! Kapan kamu mau bayar utangnya? Ini sudah lewat seminggu dari jatuh tempo. Ingat bunganya bakal berlipat. Jangan sampai bos besar marah." Ucapan dari seberang membuat Senja terhenyak."Iya, Sen. Tenang aja, aku bakal bayar utangku." Setelah panggilan ditutup, Senja menyandarkan kepalanya ke pinggiran gazebo."Ada apa, Ja? Seno lagi?" Senja mengangguk dengan wajah gusar. Fifi sudah bisa menangkap raut sahabatnya kurang bagus."Andre kemana, Fi? Aku mau tambah jam part time. Aku perlu ambil shift malam." Ucapan Senja membuat Fifi menatap tidak rela. Pasalnya tempat kerja kekasihnya adalah di kafe 24jam. Malam hari kafe itu mirip klub malam. Ia pikir Senja nggak akan cocok kerja di sana."Jangan Ja! Kamu jangan ambil shift malam di sana. Lebih baik part time di tempat lain," saran Fifi."Nggak, Fi. Aku dah jatuh tempo dan uang yang kubutuhkan tidak sedikit.""Tapi, Ja.""Tenanglah, Fi. Aku bisa jaga diri. Kamu lupa kalau aku bisa beladiri," terang Senja meyakinkan sahabatnya. Ia menghela napas panjang sambil membetulkan kunciran rambutnya."Untuk saat ini hanya kafe di sana aku bisa mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat Fi.""Tapi kafe itu malam hari mirip klub malam, Ja.""Ayolah, Fi. Bantu aku ya! Hubungi Andre kalau aku tambah shift malam."Lagi, Senja membujuk rayu Fifi untuk bisa part time di tempat kerja Andre. Tentu saja ia bisa dengan mudah mendapatkan kepercayaan karena ada Andre yang membantunya."Baiklah. Tapi janji ya, kamu harus jaga diri. Kalau perlu Andre aku minta jagain kamu.""Iya, iya.""Besok kalau aku sudah mulai kerja di perusahaan yang menerima lamaranku kemrain, kamu ikut kerja di sana aj, Ja.""Beres, bestie. Kamu deketin dulu CEOnya. Kalau perlu diajak kencan, baru deh aku dengan mudah masuk ke sana," canda Senja."Ishh, kamu mau buat Andre kebakaran jenggot."Tawa Senja meledak. Sejenak ia bisa melupakan masalahnya. Senja terlibat utang cukup besar gegara mencoba bisnis. Namun, relasinya dengan sengaja menipunya. Tak pelak ia kehilangan modal banyak yang dipinjamnya dari Seno. Belakangan Senja tahu kalau Seno teman seangkatan beda jurusan, mendapat uang itu dari seorang bos preman. Mau tak mau Senja harus segera membayar utang itu agar terhindar dari masalah besar.*****"Ja, kamu cukup melayani pesanan mereka saja. Kalau sudah langsung balik ke meja bar. Jaga diri baik-baik, " Begitulah pesan Andre. Lelaki pekerja keras itu memang kerja malam karena terpaksa. Ia harus membantu keuangan keluarganya dan juga menabung untuk modal menikahi Fifi. Berbagai lamaran ia coba masukkan ke perusahaan tetapi rejeki belum menghampirinya.Berbeda dengan Andre, Senja bekerja part time karena tidak mendapat fasilitas extra dari mama papanya. Sebab, ia tidak mengambil jurusan yang disarankan kedua orangtuanya. Senja nekat kuliah di Bandung sesuai pilihannya. Alhasil, ia harus kerja keras untuk mendapat uang biaya hidup."Iya, Ndre. Aku pasti jaga diri. Makasih sudah bantu aku.""Oya, jangan pernah melepas penutup mata, Ja." Andre mencoba mengingatkan Senja. Di kafe itu hanya dua perempuan yang menjadi pelayan. Sekarang menjadi tiga termasuk Senja. Andre selalu mengingatkan teman yang perempuan untuk memakai asesoris penutup mata serupa topeng pesta. Dengan memakainya, Andre berpikir teman-temannya akan terhindar dari godaan usil lelaki hidung belang. Termasuk Senja yang merupakan sahabat kekasihnya. Andre tidak mau hal buruk terjadi."Siap, Ndre.""Oke, sekarang kamu di meja bar aja. Aku yang berjaga di depan." Senja pun mengangguk. Ia mengikuti intruksi dari Andre setelah tadi dikenalkan dengan teman-teman yang kerja di sana. Mereka sudah bertugas di tempat masing-masing sesuai intruksi Andre penanggung jawabnya.Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, kafe mulai ramai pengunjung. Benar saja, Senja melihat suasana yang berkebalikan dengan siang hari. Kafe itu lebih cocok disebut klub malam. Suara dentuman musik yang keras sebagai penanda para pengunjing mulai berdatangan. Ia bergidik ngeri, tetapi sedetik kemudian ia kembali normal karena teringat utangnya harus segera lunas."Hufh, semoga tidak ada hal buruk aku part time malam," doanya dalam hati.Satu jam berselang, Senja melayani dengan lihai. Keramahannya mengundang para pengunjung untuk tertarik berkenalan. Alhasil Senja mengenalkan diri dengan nama Sela. Begitulah saran Andre melindungi teman-teman perempuan yang kerja disitu."Mbak Sela tolong antar pesana ini ke meja yang ada di pojok ya!" pinta rekan kerja Senja yang terburu ingin ke toilet."Oke." Dengan langkah hati-hati, Senja membawa nampan berisi minuman pesanan pengunjung di meja yang terletak di pojok."Sayang, aku kangen banget sama kamu. Mumpung aku lagi off, kita nikmati malam ini ya." Senja mendekati sepasang kekasih yang memesan minumannya. Ia bisa melihat seorang perempuan cantik sedang merayu kekasihnya entah mau diajak menikmati yang bagaimana. Senja berusaha menulikan pendengaran. Ia harus berpura-pura asing dengan semua pengunjung untuk bisa bekerja secara profesional."Cukup, Rev. Aku hanya menemani kamu minum saja. Lain kali kita makan di restoran saja.""Ayolah, Sayang! Kita jarang-jarang lho bisa begini." Perempuan cantik berbaju seksi itu masih berusaha merayu."Ini pesanannya, Nona. Silakan diminum!""Terima kasih," ucap perempuan itu dengan senyum masam setelah mendapat penolakan dari si lelaki.Senja hendak pergi. Namun begitu lelaki itu menoleh, ia terperanjat setelah melihat wajahnya."Hah, kenapa lelaki itu ada di sini.""Ini pesanannya, Nona. Silakan diminum!""Terima kasih," ucap perempuan itu dengan senyum masam setelah mendapat penolakan dari si lelaki.Senja hendak pergi. Namun begitu lelaki itu menoleh, ia terperanjat setelah melihat wajahnya. Ia masih memegang nampan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan membetulkan rok selututnya."Hah, kenapa lelaki itu ada di sini." Ya, lelaki itu adalah Adam--dosen pembimbingnya yang baru menggantikan Pak Pram. Tatapan keduanya saling mengunci. Senja hanya tertegun dan menelan salivanya. Ia segera memutus kontak, karena teringat topeng yang menyembunyikan identitasnya."Ayo, Sayang. Minum dulu!" Suara manja Reva--kekasih Adam masih terdengar oleh Senja."Moga aja Pak Adam nggak ngenalin aku, hufh. Jadi, perempuan seksi itu pacarnya? Ternyata beliau suka datang ke tempat beginian," gumam Senja sambil berjalan menuju meja bar."Ada masalah?""Eh enggak, Ndre. Tadi barusan anter ke pengunjung di pojok itu." Andre menangkap wajah Senja berubah tidak secer
"Tunggu!" Senja berhenti dengan posisi memunggungi Adam. Lelaki itu mencoba menghirup kembali aroma parfum yang menguar di hidungnya. Lalu syarafnya mengirimkan ke otak dan merespon seperti pernah mengenali parfum itu."Sepertinya kita pernah bertemu Nona."Senja menarik napas panjang. Berusaha menetralkan debaran jantungnya yang masih bertalu, ia menoleh ke belakang."Maaf, Tuan salah kira. Saya baru pertama kerja di sini.""Sela. Tolong layani pelanggan di depan ya, tambah ramai nih!" seru teman Senja. Kedua perempuan bertopeng itu berlalu meninggalkan Adam yang termangu. Entah kenapa begitu mencium aroma parfum segar tadi, benaknya terlintas wajah mahasiswanya yang ditemui tadi siang. Siapa lagi kalau bukan Senja."Ckk. Apa-apaan ini, kenapa aku malah teringat gadis itu." Adam membuang napasnya kasar. Ia segera kembali ke tempat duduknya tadi."Adam, kamu kemana aja? Aku nyari-nyari tadi. Lho perut kamu kenapa?" Reva dengan suara manjanya terlihat begitu mengkhawatirkan Adam. Perem
"Kamu kenapa, Ja?" Fifi sudah menghentikan langkah Senja yang terseok menuju arah kantin."Ada masalah lagi dengan Seno?" Senja menggeleng. Raut mukanya masih suram."Sama Pak Adam?""Huaaah, tahu nggak sih, Fi. Ini ulah beliau. Bikin kesel. Nambah kerjaan, kan. Mana nanti malam disuruh ngerjainnya. Besok ketemu beliau lagi." Senja memghentakkan kaki sambil pura-pura menangis di depan Fifi. Sahabatnya yang sudah hafal sifat Senja hanya menggelengkan kepala."Bagus, kan?" celetuknya."Apa?! Kamu bilang bagus? Bagus dari mana?" ucap Senja tidak terima."Ya baguslah Pak Adam ngelakuin itu. Berarti kamu disuruh revisi segera biar cepat sidang.""Lalu apa ini? Coretannya banyak sekali. Mana sempat aku revisi dalam semalam.""Iya sih, Pak Adam tega juga ya? Melebihi Pak Pram," lirih Fifi. Ia tidak mau membuat Senja tambah kesal.Senja meletakkan berkas skripsinya di meja. Ia sudah meletakkan kepala di atas dua tangannya yang bersedekap di meja. Menatap Fifi yang kebingungan mau menghiburnya
"Ya Rabb, kenapa Pak Adam ke sini lagi. Hobi banget sih berduaan di tempat beginian. Nggak ngerti apa memang orangnya mudah dikibulin sih. Jelas-jelas kalau malam hari ceweknya gandengan sama lelaki lain, hufh." Senja membetulkan topeng yang dipakainya untuk menghilangkan kecanggungan. Ia sudah menggumam sendiri tak jelas sambil menuju meja bar."Pesan apa, Dam? Biar pelayan tambahkan.""Biar aku ke sana pesan sendiri. Kamu tunggu di sini, Rev." Reva mengangguk. Ia menikmati musik yang sudah mulai membuat hasr*t berjogetnya mencuat. Ia pun tidak melewatkan kesempatan untuk bergabung dengan para pengunjung yang sudah berjoget lebih dulu.Sementara itu, Adam mengikuti langkah Senja yang terlihat seperti menghindari dirinya."Mbak, saya mau nambah pesanan teman.""Huh, teman. Kekasih kok bilangnya teman. Lelaki memang suka begitu ya biar nggak kelihatan sudah sold out," gerutu Senja. Entah kenapa ia malah kesal dengan sikap Adam yang berbohong."Maaf, Tuan bisa menambahkan di sini. Teman
Senja kelabakan mendengar ucapan Adam. Ia memang ceroboh tidak membaca lagi draft yang sudah di print. Ia bermaksud mengambil draft yang sedang dipegang Adam. Namun, dosennya itu tidak berniat melepaskan draftnya. Satu tangan kiri Adam justru menarik tangan kanan Senja."Tanganmu sudah diobati semalam?"Senja tertegun mendengar ucapan Adam. Hampir saja ia tersedak ludahnya sendiri. Matanya sudah tidak berani menatap lawan bicaranya. Segera ia menunduk lalu mengambil dengan cepat berkasnya. Beruntung dosennya sudah tidak memegangnya dengan erat. Sebab satu tangannya melepaskan draftnya."Maaf, Pak Adam membicarakan apa, ya?" Senja mencoba pura-pura tidak mengerti. Namun, kening Adam justru bertaut dan bibirpun tertarik sedikit ke samping."Ckk, gadis ini masih mau berkilah.""Sudahlah, Ja. Buat apa kamu bekerja di kafe itu malam-malam, huh? Saya jelas bisa mengenali gadis bertopeng tadi malam. Kamu harusnya menyelesaikan kuliahmu, bukan malah nyambi di sana. Kamu tahu kan di tempat itu
"Yang benar saja, Bapak sudah nekat. Ngapain juga saya harus pura-pura? Kan sudah ada Nona Reva. Lagian berbihing sama orang tua dosa, Pak. Saya nggak mau kena getahnya.""Reva belum siap, jadi kamu yang menggantikan.""TIDAK!""IYA!""Saya nggak mau Pak Adam yang terhormat.""Saya nggak terima penolakan. Tiga hari tiga malam segera beri jawaban atau saya carikan dosbing lain.""Ckk, dasar pemaksa."*****Sejak pertemuan dengan dosennya di kampus siang itu, Senja tidak tenang. Bayangan kelulusan yang terhambat selalu menghantui. Ini sudah dua hari yang berarti tinggal sehari dari batas yang diberikan Adam."Aku harus gimana, Fi? Buruk nih, buruk nasibku ganti dosbing." Berkali-kali Senja memukul meja di kantin. Fifi hanya mengulas senyum. Dengan sabar ia menunggu Senja melampiaskan emosinya."Fi, jangan cuma senyum dong. Bantuin aku mikir.""Lha gimana? Aku juga ga punya uang pribadi yang banyak, Ja. Gimana kalau kamu terima saja tawaran Pak Adam. Lagian cuma pura-pura juga." Fifi sebe
"Fi, di mana kamu?"Senja sudah sampai di sebuah bangunan gedung tinggi. Katanya kantor baru tempat Fifi kerja. Ia masih menunggu pesan singkat yang belum dibalas sahabatnya.Ting."Masuk aja, Ja! Parkirkan motorku di tempat yang pas. Jangan sembarangan parkir!"Melihat pesan balasan dari Fifi membuat Senja tergelak. Ia menahan tawa, tentu saja menertawakan dirinya sendiri. Suka ceroboh memarkirkan motor temannya saat di kampus atau di manapun."Stop! Stop dulu, Mbak!""Ah iya, maaf, Pak.""Mbak ada perlu ke kantor ini?" tanya satpam dengan muka serius. Senja yang tadinya kaget lantas mengobral senyum."Eh, itu, Pak. Saya ingin melamar kerja.""Maaf di sini nggak ada lowongan kerja, Mbak. Dua minggu yang lalu sudah ditutup lowongannya. Malahan udah ada yang masuk kerja karyawan yang diterima." Ungkapan satpam membuat Senja mengerutkan kening. "Bapak nggak bohong sama saya, kan?" ujar Senja sambil memainkan telunjuknya di depan wajah."Lha, mana mungkin saya berbohong. Itu coba baca p
"SENJA!" "Apa sih, Fi?" Senja merasa tidak ada yang janggal sementara Fifi justru tidak enak hati diperhatikan Restu sambil senyum sedari tadi."Ini Pak Restu bos aku. Bisa sopan nggak sih?"Senja membelalak sempurna. Urat malunya seolah putus, ia mati-matian sksd dengan lelaki ini di depan pos satpam. Ternyata lelaki yang dimaksud adalah bos di kantor ini. Menarik napas panjang, ia mengukir senyuman semanis madu."Selamat pagi Pak Restu," ucap Senja dibuat sebisa mungkin tidak gugup. Sambil memberi kode dua jarinya yang diangkat. Sontak saja Fifi menyikut sahabatnya yang sudah membuatnya malu benar."Kamu karyawan baru, bukan?" tanya Restu masih dengan mengul*m senyum. Tatapannya mengarah ke Fifi yang reflek menunduk. Senja justru mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan Restu. Tentu saja ini mengingatkannya saat di kantor Opa Zein."Iya, Pak. Saya Fifi. Ini teman saya Senja Kamila yang ingin mengisi lowongan sebagai cleaning service." Fifi menoel lengan Senja yang pandangann