Share

5. Penguntit?

Calista mengetuk pintu ruang kerja Dylan, pria itu menyahut dari dalam, Calista masuk seraya membawa nampan berisi secangkir kopi yang sempat dibuatnya.

Dylan menatap wanita itu dimulai ketika pintu terbuka hingga meletakan kopi di samping komputernya.

"Ini kopinya, Pak. Saya permis—"

"Saya cobain dulu, ya." Dylan menyela.

Calista diam membiarkan pria itu mewujudkan perkataannya, Dylan meneguk pelan kopi dengan uap menguar membaui indra penciuman.

"Ini enak," komentar Dylan setelah melatakan gelasnya.

"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya bisa per—"

"Nanti kalau misal saya pengin kopi lagi, kamu bisa kan buatin terus?"

"Hah?" Calista semakin tak habis pikir dengan tingkah Dylan. "Tapi, saya bukan sekretaris Pak Dylan, saya juga bukan office girl di kantor ini." Terlalu kesal membuat Calista harus mengutarakannya.

"Saya tahu kalau keduanya memang bukan kamu kok, kamu di sini sebagai public relation, saya juga tahu, Anton kan pernah bilang. Cuma ...." Dylan menggantungnya seraya menatap ekspresi datar di wajah Calista, sebuah kekesalan mutlak yang tak bisa diterka pria itu. "Cuma, saya suka kopi kamu. Rasanya mirip kopi favorit saya waktu di London."

Cih! Mirip dari bubuk hitamnya? Itu kan cuma kopi sachet di pantry, makin ngibul aja ini orang satu. Calista membatin.

"Daripada kopi yang dibuatin OB juga nggak terlalu enak, saya memang selalu minum kalau mereka buat, ini cuma bentuk menghargai seseorang aja. Jadi, daripada saya terus memaksakan diri buat mengonsumsi sesuatu yang sebenarnya nggak bisa saya nikmati, lebih baik berhenti, kan?"

Calista membuang napas kasar, ia baru sadar tengah menghadapi seorang pria yang begitu pandai berbicara.

"Anton juga nggak selalu bawa americano ke sini, lagian bikin kopi nggak habisin waktu seperempat jam kan, Calista?" Dylan mencoba memprovokasi wanita itu, dia meneguk kembali kopinya. "Tuh kan, manisnya pas yang nggak kemanisan. Gimana?"

Satu tangan Calista bergerak ke belakang pinggang saat tangan lain tetap memegang arsip, ia meremat jemarinya di sana sebab tak mampu menjambak rambut Dylan.

"Saya usahakan, Pak. Kalau lagi nggak sibuk, akhir-akhir ini kerjaan saya numpuk."

"Okey, santai aja."

"Sekarang saya bisa keluar kan, Pak? Saya masih harus keluar kantor buat keperluan lain."

"Oh, silakan." Dylan tersenyum hangat setelah puas berhasil membuat Calista takluk atas satu permintaannya.

Entah mengapa, bertingkah menyebalkan seperti itu justru cukup menyenangkan bagi Dylan.

Wanita itu pamit tanpa lupa membawa nampan, ia sempat bergumam saat menyusuri lorong di antara beberapa pintu pada sisi kanan dan kiri. "Kalau ada tugas tambahan gini seharusnya gaji naik kan?"

***

Sepuluh menit menjelang berakhirnya jam operasional kantor hari ini, beberapa orang sudah bersiap, pada kubikel di luar ruangan Calista, banyak karyawati melankukan touch up.

Wanita itu melepas lanyard dari leher, menatapnya sejenak membuat Calista mengingat Dylan dengan segala tingkah menjengkelkannya.

"Calista, jangan lupa lanyard kamu dipakai." Ia menirukan cara bicara Dylan disertai gaya hiperbola supaya lebih dramatis. "Calista, tolong buatin saya kopi dong." Ia berdecih dan kembali berucap dengan normal. "Dia kira semuanya ini serba gampang, serba instan. Baru juga masuk berapa hari, tapi tingkahnya udah lebih-lebih dari Pak Hartono."

Calista keluar dari ruang kerjanya, Aulia berdiri di balik kubikel dan melambai pada wanita itu, membuat Calista mendekat.

"Mbak, Mbak. Sini." Aulia memperhatikan sekitar seolah memastikan situasi aman.

"Kenapa? Kamu kayak lagi rahasia banget," ujar Calista.

"Sini dulu." Aulia menarik tangan atasannya supaya lebih dekat, lalu berbisik, "Kemarin sama Pak Dylan ngapain?"

Calista memundurkan wajah sekaligus mengernyit menatap Aulia. "Ini kamu lagi ngajak gosip?"

"Ih, aku nanya, Mbak. Janji deh kalau Mbak ngasih tahu, aku nggak bakal bocor ke siapa pun."

Entah Aulia bersungguh-sungguh atau tidak, tapi Calista takkan tersentuh, wanita itu mengedik bahu.

"Bukan masalah apa-apa kok, nggak penting. Serius deh kamu pasti nggak minta tahu juga."

"Mbak ...."

"Saya keluar duluan, ya." Calista menyingkir begitu saja, membuat Aulia kesal, ia tak peduli jika gadis itu akan mengumpat di belakangnya.

***

Calista merasa aneh karena sejak mobilnya keluar menjauh dari gedung kantor hingga jarak sekitar sepuluh kilometer sudah berhasil ditempuhnya menuju Komplek Menara Permai, kenapa rubicorn hitam di belakangnya masih saja mengekor?

Calista mulai curiga, apa Dylan sengaja membuntuti hingga harus seperti ini?

Dylan memiliki rasa keingintahuan yang besar sampai mengikuti wanita di kantornya?

Beragam pemikiran konyol muncul di kepala Calista, hanya sekian persen hal positif yang melintas, selebihnya tentang keburukan.

Terlebih, ketika mobil Calista berbelok memasuki satu blok berbeda, rubicorn tersebut tetap berada di belakangnya seakan tak bisa lepas begitu saja.

"Itu orang kenapa sih? Makin hari nggak jelasnya makin kebangetan," gumam Calista seraya memperhatikan mobil Dylan melalui spion. "Apa kalau mobilku berhenti di depan rumah, dia juga berhenti? Kalau iya sih mending langsung labrak."

Hampir saja dagu Calista terjatuh disertai bola mata memelotot sempurna ketika rubicorn Dylan benar-benar berhenti di belakang mobil Calista, wanita itu mengatupkan bibir, ia melepas seat belt dan keluar dari kendaraannya.

Dylan mengernyit tatkala Calista bergerak cepat mendekat dan mengetuk kaca mobil cukup kasar.

"Dia kenapa?" Dylan bertanya-tanya.

Pria itu keluar, ia mendapati ekspresi serta sikap tak bersahabat dari Calista.

"Ada apa?" tanya Dylan seolah belum mengerti akar permasalahannya.

"Bapak yang ada apa, sekarang saya tanya, buat apa Bapak mengikuti mobil saya?"

"Hah?" Dylan kebingungan. "Maksud-maksudnya gimana, sih?"

"Bapak pasti sadar kalau sejak mobil saya keluar dari halaman kantor, mobil Bapak juga di belakang terus, ngikutin saya. Itu kenapa sih, Pak?"

"Saya nggak ngikutin kamu kok."

"Kalau nggak ngikutin, buat apa Bapak sampai masuk komplek ini, ditambah berhenti pas di belakang mobil saya." Calista menarik napas, emosinya mulai merangkak ke kepala. "Sejujurnya saya nggak nyaman sama hal seperti ini ya, Pak. Entah maunya apa, tapi ini nggak sopan."

"Nggak sopan apa lagi, sih?" Dylan semakin tak mengerti. "Saya tuh sebenernya—"

"Saya nggak perlu tahu deh, Bapak itu nggak jelas."

"Nggak jelas?" Dylan berdecak, ia sadar ini semakin rumit. "Calista, dengar saya bicara dulu. Saya tuh ada di sini karena—"

"Saya nggak mau dengar, Pak. Serius saya nggak peduli." Calista menyudahi, menyilang tangan di depan dada. "Sudah ya, okey? Saya harap Bapak bisa langsung pulang, nggak perlu jadi penguntit kayak gini, nanti kalau orang kantor tahu, image Bapak langsung turun. Bapak mau?"

Dylan ternganga, kenapa perempuan di depannya terus berbicara tanpa Dylan mengerti ke mana arahnya.

"Penguntit? Image turun? Itu apa lagi?"

"Bapak pikir sendiri ya, Bapak ini aneh orang paling aneh seduna." Tak ada keraguan pada Calista ketika mengatakannya, puncak kemarahan telah mencuat, wanita itu menyingkir secepat mungkin menghampiri rumah persis di sisi kiri mobilnya.

"Hey, Calista! Hey, kamu bilang saya aneh itu kenapa, Hey!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status