Share

4. Secangkir kopi.

Kesibukan utama Calista setiap pagi adalah mengantar Ardio ke sekolah, bocah itu sudah menginjak usia Taman Kanak-Kanak, tapi Ardio takkan sendiri jika Calista sudah berangkat ke kantor, sebab sudah ada Suster Agita yang dipekerjakan untuk menjaga Ardio hingga Calista kembali dari kantor.

Calista berjongkok mengecup kening Ardio sebelum membagi nasihat setiap pagi yang selalu Ardio dengar tanpa membantah.

"Dio belajar yang rajin ya, jangan nakal sama teman, terus bekalnya dimakan." Tiga poin utama sebagai bingkisan suara untuk Ardio.

"Baik, Bunda. Terima kasih banyak, Bunda."

Calista tersenyum, ia beranjak menatap Agita yang sudah berdiri di samping Ardio. "Saya berangkat sekarang, ya. Jangan lupa telepon kalau ada apa-apa."

"Baik, Bu. Hati-hati di jalan."

"Okey." Saat ia memasuki mobil, Ardio berlari menuju halaman sekolah diikuti Agita, suara klakson terdengar sebelum mobil menyingkir dari sisi jalan.

***

Di area parkir kantor, mobil Calista baru saja berhenti tepat di samping rubicorn hitam yang juga baru tiba, pemiliknya kompak turun.

Dylan menatap sejenak sosok perempuan yang akhir-akhir ini bersinggungan dengannya, Calista tersenyum menyapa seraya menunduk singkat, wanita itu melenggang melewatinya.

"Calista," panggil Dylan.

Calista berhenti, ia menoleh. "Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?"

Dylan terhenyak sekaligus bingung, ia seperti baru saja menyadari sesuatu. "Eum, lanyard kamu nggak ketinggalan kan?"

Calista ikut terkejut, ia merasa aneh dengan pertanyaan itu, tapi ia tetap menggeleng dan berucap, "Lanyard saya selalu ada di laci ruang kerja saya kok, Pak. Jadi, nggak akan hilang."

"Oh gitu, syukurlah." Dylan tersenyum kikuk, ia berharap Calista tak menyadari jika sebelumnya Dylan hanya spontan memanggil tanpa memiliki niat apa pun, Dylan sendiri merasa heran karena otaknya memerintah untuk memanggil Calista tanpa alasan.

"Baik, Pak." Ia melanjutkan langkah, Dylan berada sekitar dua jengkal di belakangnya.

Ketika banyak orang mulai mengantre bergantian menunggu lift, Dylan tetap berada di belakang Calista, membuat pemandangan aneh menjadi pembicaraan banyak orang, terlebih kemarin Calista sempat diajak bicara empat mata oleh Dylan.

Jika Calista memang bukan sosok yang mudah terpengaruh oleh hiruk-pikuk kantor, maka Dylan menunjukan karakter dinginnya sebagai benteng pertahanan.

"Pagi, Pak Dylan."

"Pagi, Pak."

"Selamat pagi, Pak Dylan."

Beberapa karyawan menyapa, pria itu hanya mengangguk tanpa tersenyum.

Ketika pintu lift terbuka menunjukan kekosongannya, sekitar tujuh orang memasuki lift hingga penuh, Calista berniat masuk, tapi tiba-tiba tangan di belakangnya menarik lengan Calista hingga ia terlambat untuk masuk karena pintu otomatis tertutup rapat.

Calista menoleh, Dylan refleks melepasnya dan mengangkat tangan seolah menunjukan—‘gue tuh cuma niat narik aja’.

"Kamu nggak lihat kalau tadi di dalam udah lumayan penuh, biarpun kamu kecil, kalau nyempil di dalam pasti tetep sempit," ujar Dylan membagi alasannya sampai menarik Calista begitu saja.

Kecil? 162 centi nggak sekecil itu. Calista membatin.

"Eum, iya, Pak." Tak ada bantahan, mereka harus menunggu lift berikutnya, berdua saja.

"Apalagi semuanya yang di sana tadi cowok, kok berani banget sih," lirih Dylan, ia hanya sebatas bergumam, tapi sampai terdengar di telinga Calista.

"Gimana, Pak?"

"Apa?"

"Barusan Bapak bilang apa? Saya nggak terlalu denger."

"Nggak bilang apa-apa kok, nggak penting."

"Oh, okey." Calista juga berharap jika indra pendengarannya salah.

Lift berikutnya tiba, Calista menekan tombol di sisi pintu, ia tak berniat untuk langsung masuk ketika menatap seorang putra CEO di sampingnya.

"Silakan, Pak."

Dylan menggeleng. "Enggak, ladies first."

Calista mengalah dan masuk, Dylan menyusul berdiri di sampingnya, tapi wanita itu justru mundur—memilih berdiri di belakang Dylan.

"Kenapa?" tanya Dylan merasa heran.

"Nggak apa-apa, Pak."

"Ya udah sini di sebelah saya, kamu bukan asisten saya."

Lagi, Calista dipaksa mengalah, untung ia bukan seseorang yang begitu ekspresif, jadi meski sedikit kesal, raut wajahnya takkan memperlihatkan hal itu. Ia akan tetap datar seolah semuanya baik-baik saja.

Lift berhenti di lantai tujuh, Calista harus keluar sekarang, saat langkahnya baru melewati pintu lift yang terbuka lebar, Dylan kembali memanggil.

"Ada apa lagi, Pak?"

Dylan menunjuknya seraya tetap berdiri di dalam lift, ia takkan keluar di lantai tujuh. "Lanyard kamu jangan lupa dipakai."

Calista membeku, harus seperhatian itu kah?

Hingga pintu lift kembali menutup rapat, Calista masih terdiam menatap Dylan.

Ia mengembuskan napas panjang. "Itu orang kok makin ke sini malah makin ke sana, terserah deh ya."

***

Siang itu Dylan menginginkan kopi, ia berharap Anton memasuki ruang kerjanya dan meletakan paper cup berisi americano seperti kemarin, atau ada OB yang datang menawarkan sesuatu.

Namun, dua keinginan sederhana Dylan sepertinya tak kunjung terwujud. Baik OB maupun Anton, tak satu pun dari mereka muncul. Sementara Dylan terlalu enggan beranjak, ia larut mempelajari beberapa tumpuk arsip berisi berkas sebuah project yang harus dikerjakan Dylan seperti permintaan Hartono pagi tadi.

Dylan berdecak menatap pintu. "Ini nggak ada gitu orang muncul bawain kopi, males banget mau jalan."

Meski sudah menggerutu, ia sadar jika hanya mengeluh takkan menghasilkan apa-apa. Jadi, Dylan memaksa raganya beranjak. Ia melangkah keluar dari ruang kerja, menyusuri lorong panjang hingga menemukan beberapa kubikel karyawan, semua orang sibuk dengan urusan mereka.

Dylan berhenti memperhatikan sekitar, karyawan yang tak sengaja melihatnya langsung menunduk terus bekerja supaya terlihat lebih rajin.

Senyum Dylan terukir ketika melihat wanita yang dikenalnya baru saja keluar dari sebuah ruangan di lantai empat belas ini, bak bola lampu menyala terang di kepala, Dylan memanggilnya.

"Calista!" Ia bergegas mendekati wanita itu.

Calista berkedip, antara bingung sekaligus terkejut, kenapa mereka terus saja berinteraksi?

"Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Ada banget kok, kamu pasti bisa kan buatin saya kopi," titah Dylan penuh percaya diri.

Calista melongo, beberapa orang di balik kubikel mereka diam-diam memperhatikan interaksi tersebut.

"Kop-kopi?" Calista harap ia salah mendengar.

"Iya, kopi. Nggak mungkin kalau kamu nggak bisa bikin." Ya secara dia kan pernah punya suami, batin Dylan.

"Iya saya bisa, tapi memangnya OB—"

"OB lagi pada sibuk ngerjain yang lain, ada yang lagi ngehitung tangga darurat juga."

"Hah?"

"Tolong ya kopinya, kamu lihat ke sana." Tanpa ragu Dylan menyentuh bahu Calista, memutar arahnya hingga menghadap lorong, lantas menunjuk bagian kosong tersebut. "Di sana, ruangan saya ada di ujung, nanti kamu bawa aja kopinya langsung ke sana. Saya masih banyak kerjaan, saya baru dapat project dari papa saya. Okey?"

Calista menelan ludah, ia masih mempercayai dirinya untuk tidak terpengaruh seperti kebanyakan wanita di kantor ini, tapi kenapa Dylan terus saja bertingkah seolah mereka sangat akrab?

Ini mengesalkan.

Jika Dylan hanyalah bawahan Calista, tentu wanita itu enggan mengikuti perintahnya, terlebih untuk sesuatu yang bukan tanggung jawab Calista.

"Calista, kamu dengar kan?"

Wanita itu mengangguk. "Iya, Pak. Nanti saya buatkan kopinya."

"Okey, makasih, Calista." Ia menyingkir, sementara Calista meremat erat arsip di tangannya.

Selama kerja di sini, nggak pernah ada yang minta dibuatin kopi kecuali aku sendiri yang nawarin, kenapa Dylan itu malah banyak tingkah?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status