Share

3. Single mother.

"Ngopi dulu biar nggak tegang banget." Anton meletakan sebuah paper cup berisi americano yang sempat dipesannya melalui satu aplikasi.

"Thank's." Dylan menyahut seraya menatap Anton. "Gue boleh tanya nggak?"

"Pasti soal Calista, ya?" Anton terbahak melihat perubahan ekspresi di wajah sahabat lamanya itu, ia mengenal baik siapa Dylan Azel, putra pemilik PT. Berlian Semesta yang akhirnya kembali dari London setelah menyelesaikan pendidikan strata duanya di sana. "Gue udah nebak dari pas elo tiba-tiba nunjuk dia sambil nyebut koper, lo itu bukan yang suka sembarangan ke orang lain."

"Paham banget lo."

Mereka berada di ruang kerja Dylan, tempat yang sudah disiapkan sejak lama—jauh sebelum pria itu kembali ke Indonesia, dan kemungkinan besar takkan lama lagi Dylan akan menduduki kursi CEO yang masih ditempati Hartono.

Dylan beranjak, ia mendekat ke arah kaca tebal yang hampir mengelilingi keseluruhan ruang kerjanya, kantor yang memiliki lima belas lantai tersebut layak disebut sebagai gedung mewah di antara pencakar langit lain.

"Gue ketemu dia dua hari lalu di bandara, kopernya ketuker."

Anton manggut-manggut, seraya tetap memegang paper cup miliknya, pria itu mendekati Dylan.

"Lucu banget kisah pertemuannya," sahut Anton.

"Lucu?" Sepasang alis Dylan menyatu. "Lo sebut itu lucu pas nyokap gue nuduh anaknya mengidap kleptomania."

Alih-alih merasa miris atau bersalah karena tanggapannya, Anton justru semakin liar untuk terbahak.

"Lucunya di mana, anjing!" Dylan mulai tersulut.

"Kleptomania bukannya penyakit yang katanya suka nyolong itu, kan?"

"Nggak usah diperpanjang, monyet."

"Emang isi kopernya apa?"

"Ya isi keperluan cewek lah, sama ...." Dylan berhenti, membuat Anton penasaran.

"Sama apa?"

"Sama kotak mainan isi robot gitu lah."

"Oh, mainan. Ya wajar lah, kan dia punya anak."

Dylan mengernyit. "Anak?"

Sahabatnya mengangguk, ia meneguk kopi lebih dulu sebelum kembali berbicara. "Iya, Calista kan punya anak."

"Berarti udah menikah?"

"Iya, udah cerai juga sih."

"Jan-da?" Dylan skeptis mengatakannya, tersirat kesan berbeda setelah menyimpulkan seperti itu.

"Iya, janda. Mantan suaminya juga sempet kerja di sini."

Dylan tak lagi berbicara, ia kembali duduk di kursi dan meneguk kopi pemberian Anton.

***

Jam operasional kantor telah berakhir, untung saja lift kembali bisa digunakan, jadi takkan terdengar keluhan tentang kaki yang pegal akibat menuruni puluhan hingga ratusan anak tangga darurat.

Calista baru saja keluar bersama enam orang lainnya dari lift, ia tersentak mundur melihat Dylan berada di lobi.

Pria yang sebelumnya duduk di sofa—lantas beranjak ketika melihat Calista melangkah tak jauh dari posisinya, membuat Calista yakin jika ialah seseorang yang Dylan tunggu.

"Calista, bisa bicara sebentar?" tanya Dylan tanpa ragu meski beberapa karyawati termasuk Aulia berada di belakang Calista.

"Oh, iya, Pak."

"Ikut saya." Dylan melangkah mendahului, Calista masih bergeming sebelum mengekor pelan di belakang pria itu, sementara Aulia memulai pergosipan dengan menebak situasi antara putra bos serta Calista.

Mereka tiba di sebuah koridor sepi, Dylan memutar arah seraya mengulurkan ponselnya. "Tulis nomornya, handphone kamu nggak ketinggalan lagi di meja, kan?"

Calista tak menyahut, ia menerima ponsel Dylan, mengeluarkan ponselnya dari tas sebelum membuka kontak dan mengetik dua belas digit nomornya pada ponsel Dylan.

"Ini, Pak."

"Makasih." Dylan menyimpan kembali ponselnya. "Kamu ada waktu kapan buat ketemu, saya mau secepatnya ya, kalau bisa hari ini."

"Nanti saya kabari."

"Saya tunggu." Dylan menyingkir begitu saja, biasanya sikap dingin dan sok cuek seperti itu akan digilai banyak perempuan, tapi justru sangat menyebalkan di mata Calista. "Bawaannya harus tahan emosi kalau berhadapan sama dia."

***

Sebuah pelataran minimarket menjadi tempat pilihan Calista untuk menemui Dylan, wanita itu turut membawa Ardio karena sebelumnya sempat beberlanja susu serta sereal favorit putra tunggalnya.

Pintu di belakang kursi pengemudi terbuka, Ardio duduk tenang pada car seat khusus anak yang sudah Calista ubah setelah bercerai dari Ardan, ia ingin melihat Ardio lebih mandiri saja. Jadi, bocah itu selalu duduk di belakang Calista acapkali berpergian.

"Dio happy?" tanya Calista seraya memperhatikan Ardio yang sibuk menikmati es krimnya.

"Happy, Bunda."

"Bunda juga happy, jangan lupa dielap pakai tissu ya, Nak. Kalau belepotan nanti semutnya gigit, Dio."

"Okey, Bunda."

Perhatian Calista teralihkan ketika sepasang cahaya lampu sen mobil menyorot ke arahnya, sebuah rubicorn hitam muncul dan berhenti tepat di depan mobil Calista.

Tanpa harus menunggu pemiliknya turun, ia bisa melihat jelas lewat kaca di bagian depan mobil.

"Dio jangan ke mana-mana, ya." Calista menuju belakang mobil, ia mengeluarkan koper milik Dylan dari sana. Lantas menariknya menghampiri pria itu. Dylan membawa serta koper Calista.

Sejenak, Dylan sempat melihat sosok bocah di dalam mobil Calista, ia hampir saja tersenyum ketika bocah tampan itu menatapnya tanpa kedip dan kembali menikmati es krim.

"Ini koper Bapak." Mereka saling menukar koper, Calista membuka sedikit ritsleting sekadar memastikan isinya, ia takut kecolongan lagi. "Makasih."

"Ya."

Dylan kembali melihat ke arah Ardio, membuat Calista mengikuti arah matanya.

"Dia anak saya," ucap Calista tanpa ragu, tak peduli bagaimana tanggapan Dylan setelah ini, tapi Calista benar-benar mengakuinya.

Dylan terhenyak, ia sempat berpikir jika Calista akan sedikit berbohong dan mengatakan jika bocah kecil di sana adalah adik atau keponakannya, tapi satu kejujuran membuat Dylan mengerti, Calista tak berpura-pura.

"Em, okey."

"Nggak ada hal lain lagi kan, Pak? Saya mau pulang sekarang."

"Silakan." Sikap Dylan cukup melunak, ia masih berdiri di dekat mobilnya ketika Calista menyimpan koper di bagasi belakang, menutup pintu di samping Ardio dan berakhir duduk di balik kemudi.

Kesadaran Dylan baru kembali setelah lampu sen sekaligus klakson mobil Calista menyala.

Bisa-bisanya gue ngelamun.

Dylan bergegas memarkir mundur mobilnya, membiarkan kendaraan Calista lewat lebih dulu, wanita itu sempat kembali menekan klakson sebagai bentuk sapaan.

"Bunda, tadi siapa, Bunda?" tanya Ardio.

"Teman bunda di kantor, Nak."

"Mobilnya ada di belakang."

Calista mengecek melalui spion samping, ternyata benar, rubicorn hitam Dylan berada di belakangnya.

"Nggak apa-apa, mungkin arah pulang temen bunda juga lewat sini."

"Oh, iya."

Calista sempat tersenyum, tapi pertanyaan Ardio menggugurkannya.

"Ayah Dio kapan pulang lagi, Bunda?"

"Eum, bunda tanya dulu ya, Nak. Ayah kapan enggak sibuknya, Ardio sabar ya." Sejujurnya menjawab pertanyaan sederhana dari Ardio menjadi sebuah siksaan bagi Calista, sebab tak mudah mengabulkan permintaan bocah itu.

Ardan bukan lagi sosok yang bisa dihubungi maupun ditemuinya setiap waktu meski pria itu pasti selalu bersedia.

Sebab, selain harus menjaga perasaan putra tunggalnya, Calista juga harus menjaga perasaan istri baru Ardan, dan Calista belum memiliki nyali untuk mengatakan sebuah kejujuran pada Ardio jika orangtuanya sudah tak bersama.

Selama ini Ardio hanya tahu jika Ardan bekerja di tempat yang jauh, sehingga tak bisa tinggal serumah.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status