Kucoba menormalkan detak jantungku yang sedang tak berirama. Sejak turun dari mobil tadi Ami selalu menyemangatiku sambil mengaitkan tangan kami sama lain. Memberikan kekuatan agar aku lebih tenang.“Percaya deh mereka pasti setuju,” bisik Ami untuk ke sekian kalinya. Sedangkan Mas Abi berjalan di depanku menuntun kami sambil menunjukkan arah meja tempat orang tuanya berada.Kulihat dia tersenyum ke arah mereka. Sepasang orang tua yang sedang menikmati teh di tangannya masing-masing.Saat kami sudah sampai. Mas Abi dan orang tuanya saling berpelukan satu sama lain. Aku dan Ami mengucapkan salam dan mencium tangan mama Mas Abi, sedangkan untuk papanya kami menangkupkan tangan di dada.“Kenalkan Ma, Pa, ini Alisa wanita yang sudah Abi ceritakan. Sedangkan ini temannya, Ami. Sengaja kami mengajaknya sebab enggak mungkin semobil berdua saja.”Aku dan Ami tersenyum sambil mengangguk sopan. Selanjutnya kami sama-sama duduk setelah dipersilahkan. Mas Abi memanggil pelayan, memesan makanan u
“Bu ... bu-kannya anda sepupu Mas Dirga? Mau apa anda ke sini? Kenapa mengikutiku? Dengar, ya! Aku dan Mas Dirga sudah tak memiliki hubungan apa pun. Jadi, kalau mau membalaskan dendam jangan kepadaku,” ucapku dengan nada bergetar.Aku mundur beberapa langkah dari pria di hadapanku. Mendengar ucapan yang terlontar barusan serta reaksiku yang ketakutan, dia terlihat terkejut.“Itukah yang kamu pikirkan padaku, Sa? Ah ... ya, pasti Dirga lah yang sudah mengatakan hal aneh padamu tentangku!” sangkalnya dengan suara yang hampir meninggi.“Maaf itu ....” Aku sama terkejutnya dengan dia. Bahkan kakiku gemetar merasa takut terhadap laki-laki yang ada di hadapanku ini. Aku mundur beberapa langkah ke belakang untuk menghindar.“Sebegitu takutnya kah kamu padaku, Sa. Padahal selama ini aku selalu mengagumimu dari sejak lama.”Mataku terbelalak mendengar perkataannya. Sebenarnya mau apa pria ini? Apa maksudnya mengatakan hal barusan?“Ma-maksud anda apa?” Kupandang wajahnya dengan mata menyipit.
Gedung bercat putih dengan dekorasi nuansa biru langit ini menjadi saksi Mas Abi telah mengucapkan akad nikah untukku. Janji suci mengarungi bahtera rumah tangga yang bahagia telah priaku ikrarkan di hadapan semua tamu yang hadir.Aku menoleh pada pemilik hati ini, senyumnya yang manis membuatku candu. Pria paling gigih dan paling baik yang pernah kukenal kini telah menjadi suamiku. Ada sesuatu yang hangat, menjalari hati ketika untuk pertama kalinya Mas Abi menggenggam tangan ini erat. Kemudian, mengusap-usap dengan penuh sayang.“Apa kamu tahu bagaimana perasaanku saat ini, Sa?” bisiknya di telinga. Aku menoleh ke arahnya, membuat mata kami kembali bersirobok, pun hidung Mas Abi menempel di pipi. Membuat pipiku bersemu merah serta tubuh ini bagaikan disengat aliran listrik.Ini bukan pertama kalinya bagiku jatuh cinta kepada seorang pria yang bergelar suami. Akan tetapi, kenapa bersama Mas Abi terasa lebih indah dan membuatku melayang? Apa karena pernikahan kami berbeda?Saat menika
Kubuka mata di saat waktu sudah menunjukkan jam empat dini hari. Aku tersenyum saat Mas Abi semakin mengeratkan dekapannya di pinggang.Aku tidak menyangka, kini setiap hariku selalu dipenuhi dengan kebahagiaan yang diberikan Mas Abi. Ia memang suami dan ayah yang terbaik. Meski suamiku belum pernah menikah sebelumnya, tetapi ia benar-benar dewasa ketika menangani segala masalah rumah tangga di antara kami. Selalu mengalah di saat terjadi perdebatan. Namun, tegas ketika aku atau anak-anak melakukan hal yang keliru.Kupandangi wajah seseorang yang telah membuatku dimabuk cinta. Hari-hariku selama lima bulan ini terasa amat menyenangkan. Aku merona mengingat kejadian semalam ketika aku menyampaikan kabar kehamilanku terhadap Mas Abi.“Mas, aku kepengen rujak mangga muda, dong,” pintaku kepada Mas Abi tadi malam ketika baru saja berbaring di kasur yang sama.Mendengar permintaanku, Mas Abi memandang heran dengan alis mengernyit s
“Untuk apa wanita tak tahu malu seperti dia ada di sini?” teriak seorang wanita yang sangat kukenal mengarahkan telunjuknya tepat di depan wajahku.“Jaga mulutmu Nindy. Dia kekasih Papi.”“Apa! Papi, dia mantan istri Mas Danang, mana mungkin dia jadi kekasih Papi?” Nindy terlihat kalap. Sedangkan aku, menunggu pembelaan dari Mas Azzam. “Papi tidak peduli dengan masa lalu Kartika, dia akan tetap menjadi calon istri Papi dan ibu sambungmu. Lagi pula, kami saling mencintai. Mau dia mantan istri Danang, Papi tidak peduli. Memangnya ada yang salah dengan hubungan kami?” ucap Mas Azzam dengan keyakinan.Aku tersenyum dan menatapnya dengan penuh cinta. Begitu pun sebaliknya, calon suami matangku itu membalas dengan tatapan mesra, seolah memberikan pengertian kalau dia pasti akan tetap mempertahankanku meski tanpa restu putrinya.“Aku tidak akan merestui hubungan kalian,” jawab Nindy terdengar ketus sambil melirikku benci.Apa-apaan dia? Lihat saja nanti pelakor, papimu akan tetap menjadikank
Bab 2. “Kamu suka?” tanya Mas Azzam saat dia menunjukkan setiap sudut rumah miliknya ini. Kami berdua sekarang tengah berdiri di salah satu balkon kamar yang dia tempati.“Bagus, indah dan pastinya ... mewah. Apa aku layak tinggal di rumah sebesar ini? Mas kan tahu, aku ini hanya seorang pelayan warung makan dan penjual gorengan pinggir jalan. Bukan seperti wanita-wanita kelas atas yang terbiasanya tampil glamor dan berkelas. Mas pikirkan lagi untuk menjadikanku istri,” gumamku lirih. Sejujurnya, hati kecilku memang merasa tak layak untuk menjadi istri seorang pria sempurna seperti Mas Azzam. Meski usianya sudah hampir kepala lima, tetapi dia masih tampan dan terlihat bugar. Jika sepintas, orang pasti berpikirnya kekasihku ini masih berusia tiga puluhan ke atas.Dia bisa mendapatkan wanita kaya yang jauh lebih segalanya dariku. Bahkan, mustahil tak ada yang mau dengannya. Anak SMA sekali pun pasti akan bersedia untuk menjadi kekasih Mas Azzam.“Kenapa bicara seperti itu? Mas sudah b
Mas Azzam meraih tanganku yang kemudian dia genggam menuju lift. Menekan lantai satu sebagai tujuan. Aku masih diam mengingat-ingat kata-kata Nindy yang terus terngiang-ngiang di kepala. Hati ini masih bergejolak menahan amarah yang belum juga mereda untuk wanita l*knut itu. “Jangan pedulikan ucapan mereka. Mas tahu kamu bukan wanita seperti itu,” ujar Mas Azzam mengelus lenganku dengan lembut. Aku hanya memalingkan muka ke arah lain tak menjawab ucapannya.“Masih marah? Mas minta maaf atas nama Nindy. Mas janji ini takkan pernah terulang lagi,” paparnya mengambil hatiku kembali.Sampai pintu lift terbuka pun, aku tak bersuara. Mas Azzam membawaku ke ruang makan dan menyuruh untuk duduk di sampingnya. Kembali, ayah tiga anak ini mencoba menarik simpatiku lagi. Dia menggeser kursi yang hendak kududuki dan mempersilakanku dengan romantis. Ah, pria ini memang selalu saja bersikap manis. Meski selalu dingin dan tegas di depan orang lain, tetapi dia selalu saja memperlakukanku dengan han
“Mau cincin yang mana?” tanya calon suamiku yang tampan ini.“Mas Azzam aja yang pilih. Aku ngeri lihat harganya,” bisikku ketika salah satu karyawan toko perhiasan ini memandang kami. Kemudian, Mas Azzam mengangguk meski sambil tersenyum geli melihat ke arahku. Entahlah apa yang ada di dalam pikirannya.Kekasihku itu melihat-lihat cincin yang ada di etalase kaca. Lalu, memanggil karyawan yang tak jauh darinya.“Mbak. Tolong keluarkan cincin model terbaru yang ada di toko ini. Untuk calon istriku. Kalau bisa, yang couple tapi untuk prianya jangan pakai emas, tapi berbahan perak,” pintanya. Seorang pelayan wanita itu mengangguk dan mengeluarkan beberapa model cincin yang bentuknya terlihat elegan dan sederhana bermata satu berlian yang berkilau. Juga, cincin berbahan perak yang memang sengaja dibuat tak banyak karena biasanya yang pesan hanya untuk pengantin pria muslim. Ya, dalam Islam memang dilarang memakai perhiasan berbahan emas untuk para pria. Makanya, toko ini menyediakannya m