Share

Bab 7. Mulai Bimbang

Aku pergi ke dapur untuk membuat sarapan seperti biasa dengan ibu. Meski kata-kata Mas Dirga masih terngiang di telinga, tetapi tak mungkin aku terus meratapi nasib. Aku harus kuat! Perjuanganku untuk mendapatkan hati Mas Dirga memang takkan mudah. Aku harus banyak-banyak bersabar menghadapi sifat angkuhnya.

Sepanjang aku memasak bersama ibu, sedari tadi kulihat beliau memperhatikanku terus menerus, apa ada yang salah?

“Ibu ada apa? Kenapa terus melihatku, Bu? Apa ada yang aneh padaku?” tanyaku heran melihat sikap ibu yang menurutku tak biasa.

“Bukan ... Ibu hanya heran. Kenapa jalanmu tak biasa, ya, Nak?” jawab ibu meluapkan apa yang ada di pikirannya.

“Oh, ehmm ... i-itu enggak apa-apa kok, Bu. Aku baik-baik saja.” Aku gugup dengan kata-kata ibu.

Mana mungkin aku bilang kalau semalam habis melakukan malam pertama dengan Mas Dirga. Bisa-bisa ibu terkejut. Satu setengah tahun kami menjalani pernikahan tapi baru kali ini Mas Dirga menyentuhku, itu pun karena dia sedang mabuk sambil memikirkan wanita lain. Sungguh miris nasibku ini. Aku sontak tersenyum kaku mengingat semuanya.

“Ya sudah kalau kamu baik-baik saja, Nduk. Oh iya, semalam ibu kebetulan lihat Den Dirga pulang malam dan berjalan sempoyongan apa dia pulang dalam keadaan mabuk? Apa ada masalah dengan kalian? Enggak biasanya Den Dirga begitu. Meski memang bukan hal biasa dia seperti itu tapi ibu tak pernah melihatnya lagi setelah pernikahan kalian,” tanya ibu.

Benar juga kata ibu, ini kali pertama kulihat lagi Mas Dirga mabuk, setelah dua tahun ini sama sekali tak pernah kulihat dia seperti itu. Entah kenapa aku teringat dengan permintaanku kepadanya.

Apa itu yang membuatmu banyak pikiran, Mas?

Mungkin menghalanginya bertemu dengan Anita adalah hal yang paling egois, tapi aku juga berhak atas diri suamiku.

Aku pamit kepada Ibu setelah sarapan sudah siap, lalu masuk ke kamar untuk menyiapkan pakaian kerja Mas Dirga. Sejak menikah dengan dia, akulah yang memang selalu menyiapkan segala kebutuhannya termasuk urusan pakaian. Bagaimanapun sikap Mas Dirga, aku tetap punya kewajiban melayaninya.

Kupilihkan kemeja putih serta jas dan celana hitam senada serta tak lupa dasi biru kesayangan milik Mas Dirga. Meski sedikit kesal kepada pemiliknya, entah mengapa saat melihat pakaian itu, diri ini malah membayangkan penampilannya yang tampan dan berkarisma hingga membuat senyumku terbit. Sampai-sampai aku tak sadar, Mas Dirga sudah memandangku dengan wajah heran serta tatapan aneh.

“Kenapa senyum sendiri sambil memandang pakaianku? Memangnya ada yang aneh?” desak Mas Dirga.

Jantungku hampir saja melompat. Aku terlonjat melihat keberadaan Mas Dirga tiba-tiba sudah ada di hadapanku, sekaligus merasa gugup serta malu ketahuan diam-diam membayangkannya.

“Enggak kok, Mas,” jawabku cepat.

Aku bergegas pergi dari kamar, tetapi tak sengaja kakiku tersandung dan menubruk tubuh kekar suamiku. Untuk waktu lama kami bertatapan, entah mengapa ada sesuatu yang tak biasa kulihat dari sorot matanya.

Sampai suara ketukan di pintu menyadarkanku, lalu segera melepaskan diri dari dekapan Mas Dirga.

Aku segera berlari dan membuka pintu, ternyata Ayah Mertua yang ada di sana. Dia menyuruhku menyampaikan kepada Mas Dirga kalau hari ini mereka akan berangkat ke kantor bersama-sama. Katanya, ada sesuatu yang penting di kantor yang harus Ayah dan putranya tersebut bicarakan.

Setelah mengatakan itu, beliau berlalu. Aku tak perlu mengatakan apa pun kepada suamiku karena ucapan Ayah pasti bisa didengar olehnya.

Kulihat Mas Dirga sudah beres memakai pakaiannya hendak memasangkan dasi. Segera kuhampiri dan mengambilnya dari tangan Mas Dirga.

“Biarkan aku yang pasangkan, Mas.” Lagi-lagi kulihat dia terkejut tapi tak menghentikanku untuk memasangkan benda tersebut di kerah kemejanya.

“Memangnya kamu bisa?” tanya Mas Dirga dengan nada meremehkan. Aku tersenyum tak menanggapi pertanyaannya. Dia terus memandangku sampai membuatku gugup dan salah tingkah.

“Sebaiknya Mas makan dulu sebelum pergi ke kantor. Aku duluan mau menyiapkan semuanya, nanti Mas menyusul.” Cepat-cepat aku berbalik dan sedikit berlari meninggalkan Mas Dirga tanpa menunggu jawaban darinya. Kenapa jantungku tak dapat dikompromi, selalu saja berdetak kencang bila di dekat suamiku.

Kulihat Mas Dirga turun mengikuti. Ayah juga sudah ada di meja makan sambil membaca koran dan meminum teh hangat dan roti bakar.

Pagi sekali memang mertuaku itu tak pernah sarapan menu yang berat, berbeda dengan suamiku dia tak bisa kalau hanya memakan roti saja. Katanya sudah terbiasa saat masih ada almarhum Mama Mertua, itulah kenapa saat masih di Belanda Mas Dirga sengaja membawa seorang koki dari Indonesia untuk sekedar menyiapkan makanan untuknya terutama ketika sarapan tiba. Meski dia terlihat modern tapi untuk urusan lidah dia lebih suka masakan Nusantara. Itulah yang membuatku selalu berusaha menyajikan masakan yang enak untuk suamiku.

Saat kami sedang menikmati sarapan yang dihidangkan, perkataan Ayah Mertua menghentikan sementara acara sarapan pagi kami.

“Dirga, Minggu besok ada acara keluarga di kediaman Tante Mira yang berada di puncak sebaiknya kamu ke sana mewakili ayah. Jangan lupa ajak Alisa juga. Itung-itung kamu bulan madu. Selama ini kan kamu belum pernah ajak Alisa kemanapun sepanjang kalian menikah. Ayah harap pulang dari sana Alisa hamil cucu Ayah.” Mas Dirga begitu terkejut sampai tersedak serta terbatuk, dan aku segera memberikan dia air putih.

Tak ada yang dikatakan Mas Dirga setelah Ayah mengatakan itu di meja Makan. Kami hanya saling diam satu sama lain, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai setelah sarapan, Mas Dirga mengajakku ke kamar untuk berbicara.

“Dengar! Jangan harap aku mau menuruti keinginan Ayah untuk yang satu ini. Aku tak mau mengajakmu bertemu dengan keluarga besarku. Mau ditaruh di mana mukaku kalau mereka tahu, seorang Dirga menikahi wanita rendahan sepertimu. Lebih baik aku bawa Anita dan kuperkenalkan dia sebagai tunanganku,” desis Mas Dirga. Aku memejamkan mata menahan sakit atas apa yang dikatakannya barusan.

Begitu rendahnya aku dimatamu, Mas. Tak bisakah kau lihat aku sebagai wanita biasa bukan terus menerus mengingatkanku akan kastaku. Sungguh harga diri ini terluka.

“Aku tahu posisiku, Mas. Terima kasih sudah mengingatkanku sebagai apa aku berasal. Aku memang terlahir dari keluarga miskin sesuai yang dikatakanmu, Mas. Aku tak mau mempermalukan kehormatanmu. Silahkan jika ingin pergi dengan Mbak Anita, jika itu membuatmu puas,” ucapku dengan terisak sambil berlalu dari hadapan Mas Dirga. Tak ada gunanya aku berdebat dengannya. Dalam rumah tangga ini hanya aku sendiri yang berjuang.

‘Ya Allah aku sungguh-sungguh sudah lelah. Haruskah aku menyerah sekarang?’

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
menyerahlah Alisa karena sudah cukup km terluka dan tak di anggap istri oleh dirga suamimu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status