“Digadaikan?” tanya Alena tak percaya. “Benar. Suami Bu Mirna meminjam sejumlah uang pada Bos kami dengan menjaminkan sertifikat rumah ini.”Alena luruh di tempatnya. Kedatangan dua orang pria ini tidak lain untuk menagih angsuran utang yang ia sendiri tidak tahu. Ia masih mencerna informasi barusan.“Dan jika bulan ini kembali menunggak, mau tidak mau kami terpaksa akan menyita rumah ini,” lanjut pria berjaket kulit itu tanpa berbasa-basi.Baik Alena maupun Bu Mirna, sama-sama kaget. Rumah ini adalah satu-satunya peninggalan Papa Alena.“Kalau boleh tau, berapa ya uang yang dipinjam?” Alena memberanikan diri untuk bertanya tanpa menyebut nama ayah tirinya.“Dua ratus lima puluh juta,” jawab laki-laki itu.Mata Alena sukses membelalak tak percaya. Dua ratus lima puluh juta bukanlah uang yang sedikit. Bagaimana bisa Om Surya menjaminkan sertifikat rumah ini. Dasar kurang ajar. Tangan Alena terkepal menahan geram.“Dan jatuh tempo pembayaran adalah tanggal 20 bulan ini. Kami mohon ker
Setengah jam lebih Alena berada di kamar mandi dengan isi kepala yang melanglang buana. Akhirnya gadis itu merasa lebih segar dari sebelumnya. Ia yang telah berganti dengan pakaian tidur merebahkan diri di kasur tanpa dipan miliknya. Kedua netranya berkedap-kedip menatap plafon kamar. Pikirannya mengawang. Ia benar-benar bimbang.Meski memaksa kedua mata untuk memejam, tetapi ia merasa sulit untuk terlelap. Butuh perjuangan hingga akhirnya ia dapat terlelap pukul tiga dinihari. Dan pagi ini Alena sudah bangun dan membersihkan diri. Ia telah berdandan rapi, maksudnya berpakaian rapi dan sopan.Setelah semalaman berpikir, ia memutuskan untuk menerima tawaran ibu Badai.“Tante, saya bersedia menikah dengan Badai.”Hening. Alena terlihat berpikir, menggeleng cepat. Lalu, mengulang ucapannya.“Saya menerima tawaran Tante untuk menikah dengan Badai.”Alena menghela napas berat dan menatap lurus pantulan dirinya yang berdiri di depan cermin. Ia tersenyum samar.Kamu pasti bisa, Al. Batinnya
Semua persiapan pernikahan dilakukan serba kilat. Begitu mencapai kata sepakat antara pihak Badai dan Alena, orang kepercayaan Badai segera mengurus administrasi dan kelengkapan syarat pernikahan di KUA. Jika uang yang berbicara, semua bisa dipercepat.Alena juga memberitahukan pada sang ibu soal pernikahannya. Awalnya sang ibu terlihat terkejut dengan kabar mendadak ini. Namun, Alena menjelaskan jika Badai adalah laki-laki pilihannya. Pernikahan disegerakan lebih cepat lebih baik, tanpa menjelaskan alasan yang sebenarnya.“Apa gak sebaiknya kita kasih tau Pap–maksud Mama Om Surya, soal pernikahan kamu?” saran Bu Mirna.“Gak perlu kasih tau Om Surya. Dia bukan siapa-siapa. Apa Mama mau Om Surya tau tempat tinggal Mama sekarang?” Alena menatap sang ibu penuh rasa penasaran. Biar bagaimanapun, pria itu masih suami sah ibunya. Apakah ia begitu jahat jika memaksa sang ibu bercerai di usia yang tidak lagi muda?Memang sejak kejadian tempo hari, Alena membawa sang ibu ke rumah kontrakannya.
Badai duduk termenung di sisi jendela lebar kamarnya. Lebih tepatnya, kamar sementara di lantai bawah, selama proses pemasangan lift. Memang sebelumnya kamar laki-laki itu berada di lantai atas. Namun, sejak dirinya harus terperangkap di kursi roda, tak akan bisa ia berpindah ke lantai berbeda menggunakan tangga.Laki-laki itu termenung, memikirkan banyak hal. Semuanya terjadi begitu cepat. Seolah hanya mimpi. Kecelakaan yang membuat kedua kakinya lumpuh. Ditinggalkan kekasih saat pernikahan di depan mata.Namun, seharusnya ia masih bersyukur. Hanya kakinya yang lumpuh. Bukan nyawanya yang melayang. Meski Stevia meninggalkannya, ada Alena yang menggantikan. Bukankah itu sebuah keberuntungan?Pikirannya mengawang, merentang waktu. Ingatannya mendarat di saat Stevia mendatanginya, dua hari sebelum pernikahannya dengan Alena.“Badai, aku minta maaf. Bisakah kita lanjutkan rencana pernikahan kita? Aku kembali untuk itu.”Badai menatap dingin, tetapi sorot matanya tajam.“Tidak.”Hanya sa
Stevia terpekur di depan meja rias. Ponselnya tergeletak begitu saja tak jauh dari tempatnya. Ia baru saja menghubungi nomor laki-laki itu, ayah dari janinnya. Berulang kali Stevia menghubungi, tetapi tidak pernah tersambung. Lelaki itu menghilang entah kemana. Seolah sengaja menghindarinya.Perempuan itu menyangga sisi kepala dengan siku bertumpu di meja rias. Matanya memejam, menggulung pikirannya yang semerawut.Saat ia memutuskan untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan Badai, ia mendapat amukan dari sang ayah. Lalu, bagaimana jika pria itu tahu jika dirinya kini tengah hamil tanpa suami.“Dasar anak tidak tau diuntung. Sudah bagus ada laki-laki yang mau menikahimu. Ini pakai acara kabur segala! Sudah merasa hebat? Hah!” amuk sang ayah.Bukan cuma amukan dan cercaan, tetapi juga disertai kekerasan fisik. Stevia memegang pipi kanannya yang terasa panas. Seringan itu sang ayah melayangkan tangan. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mendapat perhatian dan kasih sayang san
Pria itu keluar dari pintu kedatangan internasional bandara. Ia menggeret koper dengan sebelah tangan dan sebelah tangan lagi dibenamkan dalam saku celana. Setelan jas formal yang dikenakannya cukup menunjukkan strata sosial yang ia punya.Wajah tampan dibingkai rahang tegas yang dihiasi jambang tipis. Kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Menambah kesan maskulin. Auranya dingin tak tersentuh tanpa senyuman di bibir.Dia adalah Bayu. Bayu Segara Putra.Salah satu pebisnis muda yang sukses menduduki dua puluh besar pengusaha paling berpengaruh.“Selamat datang kembali, Bos!” sambut seorang lelaki muda yang tak berbeda jauh umur dengannya.Ia adalah Reka, sang asisten. Lelaki itu mengambil alih koper sang bos.“Hmm!”Bayu hanya menjawab dengan dehaman. Kembali melangkah diikuti sang asisten.“Bagaimana anak itu?” tanya pria itu tanpa menghentikan langkah.Jeda beberapa saat hingga ia menoleh pada asistennya.“Dia tetap menikah seperti rencana awal.”Bayu menghentikan lang
Mendengar keributan berasal dari ruangan bosnya, Reka bergegas ke sana. Ia disambut tatapan penuh tanya oleh staff sekretaris di lantai itu. Namun, ia tak peduli.Reka mengetuk pintu dan mendorongnya perlahan. Ia terkejut melihat papan nama bosnya tergeletak tak jauh dari pintu. Ia langsung memungutnya. Dan mengusap dengan penuh hati-hati, seolah benda itu adalah benda keramat yang rapuh. Tak salah sih sebenarnya.“Apa yang terjadi?” tanya Reka yang masih memeluk papan nama atasannya.Bayu menoleh. Wajahnya jelas masih diselimuti emosi.“Kau, berikan gadis itu uang dalam jumlah besar!” titahnya.“Ya?” Reka terkejut.“Aku tidak suka menikmati sesuatu secara gratis,” jelasnya.‘Berapa harga diri gadis itu?’ Ia akan membayarnya. Bayu akan tersinggung jika orang lain meremehkannya. Ia tidak suka.“Baik. Berapa yang harus saya berikan?” tanya Reka agar tak salah langkah.“Satu Milyar.”“Ya?”Lagi-lagi Rela berseru terkejut. Satu milyar bukan uang yang sedikit. Tapi bosnya itu seolah enteng
Selesai sarapan, Alena membereskan bekas peralatan makan serta menyimpan makanan yang tak habis. Hanya meringkasi saja. Mencucinya akan dikerjakan ART mertuanya.Alena kembali ke kamar mengambil tas serta ponsel dan dompet. Saat akan keluar lewat pintu depan, ia melihat Badai tengah duduk di sofa ruang keluarga sembari memeriksa sesuatu di tabletnya. Ia menghampiri dan berdiri tepat di samping Badai.Menyadari ada orang di sebelahnya membuat Badai spontan mendongak. Ia melihat Alena terlihat sedikit salah tingkah.“Ehmm, Mas–” ucap gadis itu sedikit ragu. Semburat merah menghiasi dua belah pipi gadis itu.Badai tentu merasa sedikit kaget mendengar panggilan istrinya. Ada perasaan yang berbeda saat mendengar panggilan baru itu. Namun, ia dapat dengan cepat menguasai ekspresinya.“Ya?”“Aku berangkat dulu.” Alena mengulurkan tangan pada suaminya.Badai yang paham pun lantas menyodorkan tangan kanannya. Alena membawa punggung tangan sang suami untuk ia cium. Berharap keberkahan langkahny