Share

Bab 2. Lepaskan Tanganmu dari Mamaku!

Alena jelas terkejut. “Me-menikah, Tante?” tanya Alena mengulang ucapan wanita di hadapannya.

Ibu Badai menjawab dengan anggukan.

“Dengan Badai?” tanya Alena lagi seolah ingin memastikan.

Wanita di hadapannya kembali mengangguk. “Ya.”

Undangan sudah terlanjur tersebar dan tanggal pernikahan tinggal menghitung hari. Bagaimana mungkin mereka akan memberi pengumuman kepada semua tamu jika pernikahan batal. Itulah yang dipikirkan oleh ibu Badai.

“Tapi, Tante. Apa ini gak terlalu–em–maksud saya–”

Ah, bahkan Alena sampai kehilangan kata-katanya. Ucapan permintaan ibu Badai barusan sangat di luar perkiraannya. Ia sama sekali tidak menyangka.

Ibu Badai terlihat ragu sebenarnya, tetapi ia harus mencoba. Melihat ekspresi tak percaya di wajah Alena, wanita itu pun kembali berujar. “Tante, akan berikan apapun yang kamu minta. Bukan. Kamu bisa mendapatkan apapun yang kamu inginkan,” ujar wanita itu segera meralat ucapannya.

“Tante, maaf sebelumnya. Tapi ini terlalu mendadak. Saya tidak bisa menikah begitu saja–” Alena menolak dengan halus. Sebenarnya ia merasa tidak enak hati pada wanita itu, tetapi apa daya. Ia bahkan tidak mengenal Badai.

“Maaf, Tante tidak berpikir sampai ke sana. Tentu saja kamu mana mau,” wanita itu tertunduk seolah tersadar. Ia merutuki dirinya sendiri. Mana ada gadis muda yang mau menikahi laki-laki lumpuh dan membuang masa depannya.

Alena makin merasa tidak enak hati. Ia seperti merasa jika ucapannya barusan telah menyentuh sisi sensitif perasaan wanita itu. “Bukan! Tante jangan salah paham,” pinta Alena. “Saya hanya merasa tidak mengenal anak Tante. Itu saja alasan saya,” lanjut Alena jujur.

Wanita itu menatapnya dan tersenyum. “Iya, tidak apa-apa. Tante mengerti. Maaf karena tadi Tante hanya emosional saja. Jangan terlalu dipikirkan permintaan Tante barusan.” Wanita itu mengusap pundak Alena pelan.

“Kalau begitu saya pamit, Tante,” pamit Alena kemudian.

Ibu Badai hanya mengangguk sambil tersenyum tipis mempersilakan gadis itu pergi. Untuk beberapa saat wanita itu memperhatikan punggung Alena yang kian menjauh dari pandangan matanya. Entah mengapa ia seperti memiliki harapan pada gadis itu.

***

Hari ini sungguh melelahkan. Setelah mengantar titipan Stevia dan menyaksikan kehisterisan Badai, lalu mendapat tawaran menikah secara mendadak dan kini ia baru saja selesai membagi brosur. Alena merasa haus.

Gadis itu menepi dan duduk di bangku tepat di bawah pohon sambil meneguk air mineral cup yang barusan dibelinya dari pedagang kaki lima.

Terasa lega saat segarnya air membasahi kerongkongan. Gadis itu merogoh tas mengambil ponsel. Ia melihat jam di layar menunjukkan angka 4.15 sore.

Ah, tidak terasa sudah jam segini rupanya.

[Al, malam ini jadi pulang ke rumah?]

Ia teringat pesan yang dikirim sang ibu tadi pagi. Rencananya memang dia akan pulang ke rumah sang ibu sepulang kerja. Lekas gadis itu memesan ojek online. Dan tak menunggu lama, ia mendapatkan driver.

“Diantar ke mana, Mbak?” tanya Abang driver sembari menyodorkan helm pada Alena.

“Sesuai aplikasi, Bang.” Alena menerima helm tersebut dan langsung memakainya. Ia segera naik ke dudukan belakang. Lalu Abang drivernya segera melajukan kendaraan roda dua itu membelah jalanan kota.

Lalu lintas sore ini terbilang ramai lancar karena jam pulang kantor masih sekitar satu jam-an lagi. Jangan bayangkan kalau pulang berbarengan dengan jam pulang kantor, otomatis akan kena macet.

Hanya butuh waktu sekitar setengah jam untuk Alena sampai di rumah. Gadis itu turun dan mengembalikan helm yang ia pakai.

“Terima kasih ya, Bang.” Tak lupa gadis itu mengucap terima kasih.

“Sama-sama Mbak.” Abang ojek menyelesaikan orderan di ponselnya, kemudian berlalu memacu kendaraan roda duanya meninggalkan Alena.

Alena berdiri sejenak menatap bangunan rumah dua lantai di hadapannya. Ia menghela napas. Sudah cukup lama ia tidak menginjakkan kaki di rumah ini. Rumah kenangan masa kecilnya, tetapi terpaksa ia tinggalkan karena suatu alasan.

Pranggg!!!

Suara gaduh seperti benda jatuh dengan sangat keras terdengar dari arah dalam. Alena terkejut dan segera berlari ke dalam rumah. Matanya membola melihat kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Ia melangkah hati-hati di antara pecahan perabot yang berserakan di lantai. Ia bergegas menuju kamar utama.

Alangkah kaget dia melihat sang ibu bersimpuh di sudut kamar. Seorang pria yang ia kenal, mencengkeram kasar rahang sang ibu.

“Itu hukuman karena kamu berani melawanku!” bentak pria itu terdengar marah. Pria itu belum menyadari kehadirannya.

Hati Alena geram dan marah melihat perlakuan yang diterima ibunya. Emosi seketika menguasai dada gadis itu.

“Lepaskan tanganmu itu dari Mamaku, brengsek!” bentak Alena dengan mata berkilat marah.

Pria itu menoleh ke asal suara dan melepas cengkeramannya dari sang ibu.

“Alena,” desis sang ibu yang terlihat terkejut mendapati keberadaan putrinya.

Pria itu menghampiri Alena. “Oho, siapa ini?” seringai pria itu. Tangannya terulur ke arah wajah Alena. Refleks gadis itu mengelak. Pria itu pun menarik kembali tangannya.

“Anda tau kan, kalau apa yang anda lakukan ke Mama saya itu KDRT? Saya bisa laporkan anda ke polisi,” ancam Alena menatap tajam pria di hadapannya.

“Oh ya?” ejek pria itu. “Apa kamu yakin Mama kamu berpikiran yang sama?” tanya balik pria itu seolah tak terpengaruh dengan ancaman Alena.

Alena mengepalkan tangan. Ia sangat tahu jika sang ibu tidak akan melaporkan perbuatan pria itu. Itu membuatnya geram, kenapa ibunya sangat bodoh. Melihat ekspresi Alena menerbitkan senyum mengejek dari pria tersebut.

“Kamu itu sebenarnya cantik, tapi sayang wajah kamu terlalu mirip Panji.” Ekspresi pria itu berubah. Bahkan rahangnya terlihat mengeras. Ada sorot kebencian di mata laki-laki itu.

“Mas Surya, jangan ganggu Alena. Ini–” Ibu Alena lekas bangkit mengambil dompet dan menyerahkan pada pria itu. Ia tidak ingin sang suami mengganggu putrinya.

Om Surya menoleh pada istrinya. Wajahnya berubah cerah.

“Gitu dong dari tadi.”

Pria itu lekas membuka dompet dan menguras isinya. Namun, ekspresinya berubah seketika.

“Cuma segini?” tanyanya tak percaya.

“Mas, jangan diambil semua. Aku juga butuh untuk belanja,” mohon sang ibu.

“Apa-apaan! Ini aja kurang,” protes laki-laki itu. Lalu menoleh pada Alena. “Kamu! Pasti punya uang, kan?”

“Gak ada!” sahut Alena seketika.

Hah! Teriak pria itu frustrasi. “Ibu dan anak sama saja. Kalau bukan karena Mama kamu, sudah lama kamu ku jual,” gerutu pria itu sembari berlalu dari hadapan dua wanita ibu dan anak tersebut.

Kedua wanita itu kembali tersentak saat pria itu menendang sesuatu di depan. Alena lekas menghampiri sang ibu begitu merasa pria itu sudah pergi. Ia menuntun sang ibu untuk duduk di tepi ranjang.

“Kenapa Mama diam saja? Tindakan Om Surya sudah melewati batas,” geram Alena dengan suara tertahan.

“Mama hanya mau melindungi kamu,” jawab sang ibu membela diri.

Alena menghela napas lelah. “Tapi, Ma–” Baru saja Alena hendak berbicara lagi, terdengar suara seseorang memanggil di luar. Ia pun keluar untuk melihat, diiringi oleh sang ibu di belakang.

Dua orang pria yang berdiri di depan pintu. Satunya mengenakan kaus polo yang dimasukkan menutupi perut buncitnya dan satunya lagi memakai kaus yang dibalut jaket kulit berwarna hitam.

“Cari siapa?” sambut Alena.

“Bisa bertemu ibu Mirna?” tanya laki-laki yang mengenakan kaus polo. Alena menoleh pada sang ibu. Wanita itu juga menoleh padanya pertanda tidak tahu. Lalu sang ibu beralih menoleh dua orang laki-laki di depan pintu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status