Share

Bab 3. Dia Bukan Papaku!

“Digadaikan?” tanya Alena tak percaya. 

“Benar. Suami Bu Mirna meminjam sejumlah uang pada Bos kami dengan menjaminkan sertifikat rumah ini.”

Alena luruh di tempatnya. Kedatangan dua orang pria ini tidak lain untuk menagih angsuran utang yang ia sendiri tidak tahu. Ia masih mencerna informasi barusan.

“Dan jika bulan ini kembali menunggak, mau tidak mau kami terpaksa akan menyita rumah ini,” lanjut pria berjaket kulit itu tanpa berbasa-basi.

Baik Alena maupun Bu Mirna, sama-sama kaget. Rumah ini adalah satu-satunya peninggalan Papa Alena.

“Kalau boleh tau, berapa ya uang yang dipinjam?” Alena memberanikan diri untuk bertanya tanpa menyebut nama ayah tirinya.

“Dua ratus lima puluh juta,” jawab laki-laki itu.

Mata Alena sukses membelalak tak percaya. Dua ratus lima puluh juta bukanlah uang yang sedikit. Bagaimana bisa Om Surya  menjaminkan sertifikat rumah ini. Dasar kurang ajar. Tangan Alena terkepal menahan geram.

“Dan jatuh tempo pembayaran adalah tanggal 20 bulan ini. Kami mohon kerjasamanya,” lanjut laki-laki itu.

Ah, kepala Alena serasa berdenyut seketika. Seolah ada palu besar yang menghantam kepalanya. Dari mana dirinya akan dapat uang sebanyak itu. Kalaupun ia bisa membayar angsuran yang menunggak selama tiga bulan, lalu bulan selanjutnya ia dapat uang dari mana lagi?

Om Surya benar-benar keterlaluan. Rumah ini adalah peninggalan ayah Alena dan pria itu jelas  tidak punya hak. Lancang sekali dia.

“Kalau begitu, kami permisi,” pamit mereka.

Di antara Alena dan Bu Mirna, tidak ada satu pun dari keduanya yang beranjak dari kursi. Pandangan mereka nanar dan terlihat syok sekali, terlebih Alena. Namun, kemudian kesadarannya kembali. Gadis itu menatap sang ibu dengan tajam.

“Mama jawab yang sebenernya!” tuntut Alena. “Mama tau, Om Surya gadain sertifikat rumah ini?” desaknya.

Wanita di hadapannya itu menggeleng cepat. “Mama sama sekali gak tau, Al,” jawab sang ibu jujur.

“Lalu gimana Om Surya bisa dapet sertifikat rumah ini kalau bukan dari Mama?” cecar Alena lagi benar-benar tidak percaya.

“Waktu itu, Papamu–”

Belum sempat sang ibu menyelesaikan ucapannya, gadis itu langsung memotong.

“Jangan sebut dia Papaku!” tolak Alena. Ia sama sekali tidak pernah mengakui Om Surya sebagai ayah sambungnya.

“Dia memang suami Mama, tapi bukan Papa Alena,” lanjutnya. Napasnya terlihat menderu. Alena benci pada laki-laki itu. Laki-laki yang membuat ibunya tidak berdaya. Entah apa yang dimiliki laki-laki itu hingga sang ibu begitu menurut padanya.

“Waktu itu Om Surya tanya soal sertifikat rumah.”

“Terus Mama kasih tau?” tanya Alena tidak sabaran.

“Mama cuma bilang kalo sertifikat, Mama yang simpan. Mama beneran gak tau kalau Om Surya ternyata mengambilnya untuk dijadikan jaminan.”

Alena mengepalkan kedua tangannya erat-erat hingga terlihat buku jarinya memutih. “Mamaaa!” geram Alena dengan suara tertahan dan rahang mengerat hingga giginya terasa ngilu.

Alena bangkit dari kursi. Tangannya masih terkepal. Emosinya menguasai rongga dada hingga naik hingga ubun-ubun dan terasa panas. Wajahnya memerah padam. Ia berbalik dan membuka mulut, tetapi tidak ada sepatah katapun keluar.

“Hah!”

Alena membuang napas kasar. Ia ingin marah, memaki dan menghancurkan apapun yang ada di dekatnya. Namun, ia sadar dengan siapa ia berhadapan. Biar bagaimanapun, wanita itu tetaplah ibunya. Wanita yang telah melahirkannya.

Gadis itu tidak kuasa untuk berada lebih lama di rumah itu. Tujuannya tadi datang ke sini karena rindu ibunya. Namun, apa yang didapatkannya tidak sesuai yang diharapkan.

***

Alena benar-benar merasakan emosi di kepalanya. Ia menendang apapun yang terlihat oleh matanya. Batu kecil, patahan kayu, dan kaleng bekas minuman bersoda. Tak sengaja benda terakhir yang ditendangnya mengenai belakang kepala seseorang.

“Woi! Siapa yang lempar ini?” seorang laki-laki yang tengah duduk di sebuah kursi membelakanginya refleks berdiri dan menoleh.

Alena terkejut bukan main. Duh, gimana ini? Ia memang tidak kira-kira kalau sedang emosi.

Kabur… atau ngaku?  Batinnya berperang. 

“Eh, Lu kan yang lempar?” tunjuk laki-laki itu padanya.

Alena melebarkan mata sembari menoleh ke kanan dan ke kiri.

“Iya Elu. Malah celingak celinguk lagi.” Laki-laki itu mendekat ke arahnya.

Alena menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi bloon. Laki-laki itu mengangguk dan wajahnya terlihat marah.

“Itu, sorry gak sengaja. Tadi lagi emosi dan nendang abstrak,” lirih Alena merasa bersalah.

Laki-laki itu mendengkus. “Lu cewek, barbar juga ya.” Laki-laki itu mengangkat tangan yang mengepal seperti hendak menjotos Alena.

Refleks gadis itu menghindar dan kabur begitu saja, lari sejauh mungkin. Namun, setelah beberapa meter ia berhenti dan berbalik.

“Aku beneran gak sengaja!” teriak Alena. “Maaf,” lanjutnya seraya menyatukan telapak tangan ke depan. Lalu, ia kembali berlari sejauh mungkin.

Sementara laki-laki itu menggerutu kesal. “Gila, ya. Ada gitu spesies cewek barbar kayak gitu.”

Laki-laki itu mengepalkan kedua tangan seolah ingin meninju apapun, tetapi ditahan. Ia menggeram kesal.

***

Alena meneguk air mineral dingin yang barusan dibelinya di pedagang kaki lima. Kerongkongannya terasa dingin, tetapi tidak dengan hatinya. Dadanya terasa panas penuh emosi dan ia butuh pelampiasan.

“Arghhh!” teriaknya keras. Tidak peduli jika berpasang mata sontak menoleh padanya dan berkasak-kusuk. Ia hanya butuh melepas beban yang seolah menghimpit dadanya. Sesak.

Gadis itu menumpahkan sebagian air dingin ke puncak kepalanya. Berharap ubun-ubunnya terasa dingin. Ia biarkan air itu mengalir hingga ke wajah. Namun, kenapa kepalanya belum dingin juga?

Harus dari mana ia dapat uang sebanyak itu untuk menebus sertifikat rumahnya dari rentenir? Apakah ia biarkan saja mereka menyita rumahnya? Tidak. Ia tidak rela rumah itu disita. Tapi … ke mana ia harus cari uang sebanyak itu hanya dalam waktu tiga hari?

Alena menjambak rambutnya sendiri dengan siku bertumpu di paha. Ia merasa frustrasi. Tiba-tiba ia teringat akan ucapan ibunya Badai.

“Tante langsung saja. Apa kamu mau menikah dengan Badai?”

“Me-menikah, Tante? Dengan Badai?”

“Ya.”

Alena memang syok saat mendengar permintaan wanita itu, yang ia anggap tidak masuk akal. Ia bisa melihat sorot penuh harap di netra wanita paruh baya itu.

Alena terlihat berpikir sejenak dan tanpa sadar menggigit kuku jarinya sendiri.

Apa sebaiknya aku terima aja tawaran Mamanya Badai?

Jika ia menerima tawaran ibunya Badai, mungkin wanita itu bisa membantunya keluar dari masalah. Jika ia menjadi istri Badai, permintaannya akan dikabulkan, 'kan?

Namun, sedetik kemudian ia menggeleng cepat. Gak, gak! Apa sih yang aku pikirin? Elaknya. Kebanyakan pikiran membuat otaknya serasa buntu.

Gadis itu menatap langit yang mulai terlihat semburat jingga. Bias cahaya sang penguasa siang pulang ke peraduan. Sebentar lagi adzan magrib kan berkumandang. Alena beranjak dari duduknya, memilih pulang ke kosan dan mendinginkan kepala. Makin lama berada di luar membuat pikirannya makin kacau. Salah salah, bisa kesurupan.

“Halo?” Alena menjawab panggilan pengemudi ojek online yang baru saja dipesannya untuk mengkonfirmasi titik jemput.

Perkara dari mana ia bisa mendapatkan uang, akan ia pikirkan lagi nanti setelah pikirannya lebih tenang. Butuh kepala dingin untuk memutuskan hal besar agar tidak salah langkah.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status