Share

Bab 3. Dia Bukan Papaku!

Author: Rastri Quinn
last update Last Updated: 2023-07-07 12:47:32

“Digadaikan?” tanya Alena tak percaya. 

“Benar. Suami Bu Mirna meminjam sejumlah uang pada Bos kami dengan menjaminkan sertifikat rumah ini.”

Alena luruh di tempatnya. Kedatangan dua orang pria ini tidak lain untuk menagih angsuran utang yang ia sendiri tidak tahu. Ia masih mencerna informasi barusan.

“Dan jika bulan ini kembali menunggak, mau tidak mau kami terpaksa akan menyita rumah ini,” lanjut pria berjaket kulit itu tanpa berbasa-basi.

Baik Alena maupun Bu Mirna, sama-sama kaget. Rumah ini adalah satu-satunya peninggalan Papa Alena.

“Kalau boleh tau, berapa ya uang yang dipinjam?” Alena memberanikan diri untuk bertanya tanpa menyebut nama ayah tirinya.

“Dua ratus lima puluh juta,” jawab laki-laki itu.

Mata Alena sukses membelalak tak percaya. Dua ratus lima puluh juta bukanlah uang yang sedikit. Bagaimana bisa Om Surya  menjaminkan sertifikat rumah ini. Dasar kurang ajar. Tangan Alena terkepal menahan geram.

“Dan jatuh tempo pembayaran adalah tanggal 20 bulan ini. Kami mohon kerjasamanya,” lanjut laki-laki itu.

Ah, kepala Alena serasa berdenyut seketika. Seolah ada palu besar yang menghantam kepalanya. Dari mana dirinya akan dapat uang sebanyak itu. Kalaupun ia bisa membayar angsuran yang menunggak selama tiga bulan, lalu bulan selanjutnya ia dapat uang dari mana lagi?

Om Surya benar-benar keterlaluan. Rumah ini adalah peninggalan ayah Alena dan pria itu jelas  tidak punya hak. Lancang sekali dia.

“Kalau begitu, kami permisi,” pamit mereka.

Di antara Alena dan Bu Mirna, tidak ada satu pun dari keduanya yang beranjak dari kursi. Pandangan mereka nanar dan terlihat syok sekali, terlebih Alena. Namun, kemudian kesadarannya kembali. Gadis itu menatap sang ibu dengan tajam.

“Mama jawab yang sebenernya!” tuntut Alena. “Mama tau, Om Surya gadain sertifikat rumah ini?” desaknya.

Wanita di hadapannya itu menggeleng cepat. “Mama sama sekali gak tau, Al,” jawab sang ibu jujur.

“Lalu gimana Om Surya bisa dapet sertifikat rumah ini kalau bukan dari Mama?” cecar Alena lagi benar-benar tidak percaya.

“Waktu itu, Papamu–”

Belum sempat sang ibu menyelesaikan ucapannya, gadis itu langsung memotong.

“Jangan sebut dia Papaku!” tolak Alena. Ia sama sekali tidak pernah mengakui Om Surya sebagai ayah sambungnya.

“Dia memang suami Mama, tapi bukan Papa Alena,” lanjutnya. Napasnya terlihat menderu. Alena benci pada laki-laki itu. Laki-laki yang membuat ibunya tidak berdaya. Entah apa yang dimiliki laki-laki itu hingga sang ibu begitu menurut padanya.

“Waktu itu Om Surya tanya soal sertifikat rumah.”

“Terus Mama kasih tau?” tanya Alena tidak sabaran.

“Mama cuma bilang kalo sertifikat, Mama yang simpan. Mama beneran gak tau kalau Om Surya ternyata mengambilnya untuk dijadikan jaminan.”

Alena mengepalkan kedua tangannya erat-erat hingga terlihat buku jarinya memutih. “Mamaaa!” geram Alena dengan suara tertahan dan rahang mengerat hingga giginya terasa ngilu.

Alena bangkit dari kursi. Tangannya masih terkepal. Emosinya menguasai rongga dada hingga naik hingga ubun-ubun dan terasa panas. Wajahnya memerah padam. Ia berbalik dan membuka mulut, tetapi tidak ada sepatah katapun keluar.

“Hah!”

Alena membuang napas kasar. Ia ingin marah, memaki dan menghancurkan apapun yang ada di dekatnya. Namun, ia sadar dengan siapa ia berhadapan. Biar bagaimanapun, wanita itu tetaplah ibunya. Wanita yang telah melahirkannya.

Gadis itu tidak kuasa untuk berada lebih lama di rumah itu. Tujuannya tadi datang ke sini karena rindu ibunya. Namun, apa yang didapatkannya tidak sesuai yang diharapkan.

***

Alena benar-benar merasakan emosi di kepalanya. Ia menendang apapun yang terlihat oleh matanya. Batu kecil, patahan kayu, dan kaleng bekas minuman bersoda. Tak sengaja benda terakhir yang ditendangnya mengenai belakang kepala seseorang.

“Woi! Siapa yang lempar ini?” seorang laki-laki yang tengah duduk di sebuah kursi membelakanginya refleks berdiri dan menoleh.

Alena terkejut bukan main. Duh, gimana ini? Ia memang tidak kira-kira kalau sedang emosi.

Kabur… atau ngaku?  Batinnya berperang. 

“Eh, Lu kan yang lempar?” tunjuk laki-laki itu padanya.

Alena melebarkan mata sembari menoleh ke kanan dan ke kiri.

“Iya Elu. Malah celingak celinguk lagi.” Laki-laki itu mendekat ke arahnya.

Alena menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi bloon. Laki-laki itu mengangguk dan wajahnya terlihat marah.

“Itu, sorry gak sengaja. Tadi lagi emosi dan nendang abstrak,” lirih Alena merasa bersalah.

Laki-laki itu mendengkus. “Lu cewek, barbar juga ya.” Laki-laki itu mengangkat tangan yang mengepal seperti hendak menjotos Alena.

Refleks gadis itu menghindar dan kabur begitu saja, lari sejauh mungkin. Namun, setelah beberapa meter ia berhenti dan berbalik.

“Aku beneran gak sengaja!” teriak Alena. “Maaf,” lanjutnya seraya menyatukan telapak tangan ke depan. Lalu, ia kembali berlari sejauh mungkin.

Sementara laki-laki itu menggerutu kesal. “Gila, ya. Ada gitu spesies cewek barbar kayak gitu.”

Laki-laki itu mengepalkan kedua tangan seolah ingin meninju apapun, tetapi ditahan. Ia menggeram kesal.

***

Alena meneguk air mineral dingin yang barusan dibelinya di pedagang kaki lima. Kerongkongannya terasa dingin, tetapi tidak dengan hatinya. Dadanya terasa panas penuh emosi dan ia butuh pelampiasan.

“Arghhh!” teriaknya keras. Tidak peduli jika berpasang mata sontak menoleh padanya dan berkasak-kusuk. Ia hanya butuh melepas beban yang seolah menghimpit dadanya. Sesak.

Gadis itu menumpahkan sebagian air dingin ke puncak kepalanya. Berharap ubun-ubunnya terasa dingin. Ia biarkan air itu mengalir hingga ke wajah. Namun, kenapa kepalanya belum dingin juga?

Harus dari mana ia dapat uang sebanyak itu untuk menebus sertifikat rumahnya dari rentenir? Apakah ia biarkan saja mereka menyita rumahnya? Tidak. Ia tidak rela rumah itu disita. Tapi … ke mana ia harus cari uang sebanyak itu hanya dalam waktu tiga hari?

Alena menjambak rambutnya sendiri dengan siku bertumpu di paha. Ia merasa frustrasi. Tiba-tiba ia teringat akan ucapan ibunya Badai.

“Tante langsung saja. Apa kamu mau menikah dengan Badai?”

“Me-menikah, Tante? Dengan Badai?”

“Ya.”

Alena memang syok saat mendengar permintaan wanita itu, yang ia anggap tidak masuk akal. Ia bisa melihat sorot penuh harap di netra wanita paruh baya itu.

Alena terlihat berpikir sejenak dan tanpa sadar menggigit kuku jarinya sendiri.

Apa sebaiknya aku terima aja tawaran Mamanya Badai?

Jika ia menerima tawaran ibunya Badai, mungkin wanita itu bisa membantunya keluar dari masalah. Jika ia menjadi istri Badai, permintaannya akan dikabulkan, 'kan?

Namun, sedetik kemudian ia menggeleng cepat. Gak, gak! Apa sih yang aku pikirin? Elaknya. Kebanyakan pikiran membuat otaknya serasa buntu.

Gadis itu menatap langit yang mulai terlihat semburat jingga. Bias cahaya sang penguasa siang pulang ke peraduan. Sebentar lagi adzan magrib kan berkumandang. Alena beranjak dari duduknya, memilih pulang ke kosan dan mendinginkan kepala. Makin lama berada di luar membuat pikirannya makin kacau. Salah salah, bisa kesurupan.

“Halo?” Alena menjawab panggilan pengemudi ojek online yang baru saja dipesannya untuk mengkonfirmasi titik jemput.

Perkara dari mana ia bisa mendapatkan uang, akan ia pikirkan lagi nanti setelah pikirannya lebih tenang. Butuh kepala dingin untuk memutuskan hal besar agar tidak salah langkah.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir   Part 20. Siapa Kamu Sebenarnya?

    Bayu sedang menunggu asistennya mengambil mobil di parkiran. Tanpa sengaja, pandangannya menangkap sosok seorang wanita yang baru saja beberapa saat yang lalu dia temui. Ya, perempuan itu adalah Alena, istri dari Badai. Laki-laki itu tampak menatap lekat sosok Alena, dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ada senyum samar di bibir Bayu saat menatap perempuan itu. Lalu, pandangannya teralih pada mobil yang tengah melaju. Namun, terlihat mencurigakan. Ia pun menatap bergantian ke arah Alena juga mobil tersebut. Seketika ia tersentak, matanya membelalak saat menyadari. Sepertinya pengendara mobil itu ingin mencelakai Alena. Tak ingin membuang waktu, Bayu segera berlari ke arah Alena. Ia berharap masih sempat menyelamatkan perempuan itu.Teriakan orang-orang terdengar ramai. Yang meminta Alena segera minggir untuk menghindari mobil yang tengah melaju kencang. Namun, sepertinya perempuan itu seperti kehilangan kontrol akan kesadarannya. Ia mengalami freezing response. Di ma

  • Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir   Part 19. Kecelakaan

    Bayu sedang mengadakan pertemuan dengan salah satu klien di sebuah restoran. Ia tidak sendirian. Tentu saja selalu ditemani oleh Reka, asistennya. Pertemuan dengan klien yang satu ini terbilang cukup sulit karena kesibukan pria dari perusahaan yang akan jadi mitra kerjanya itu cukup padat.Pria paruh baya di hadapan Bayu itu terlihat manggut-manggut membaca dokumen yang mereka bawa. Pria itu sepertinya tengah mempertimbangkan sebelum mengambil keputusan.“Baik, saya suka dengan rencana yang kalian tawarkan,” ujar pria itu akhirnya.Bayu dan Reka pun dapat bernapas lega. Akhirnya…"Semoga kerjasama kita ini bisa sukses," ujar pria tersebut."Kalau begitu, silakan dinikmati hidangannya, Pak!” ujar Bayu mempersilakan dengan soapn.Pria itu mengangguk dan mereka pun mulai menyantap makan siang sambil sesekali diselingi obrolan ringan yang sama sekali bukan membahas masalah pekerjaan. Hingga akhirnya pria itu bersama dengan sekretarisnya pun pamit lebih dulu.“Kalau begitu, saya pamit dulu

  • Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir   Part 18. Dendam Daniel

    Pagi itu, suasana pantry sudah terlihat ramai. Beberapa karyawan yang ingin membuat kopi ataupun teh, tengah mengantri bergantian untuk menyeduh minuman mereka. Sembari menunggu, mereka tampak berbincang ringan. Hingga salah satu karyawan yang menyeletuk. "Kalian tau, gak? Si Indah, kena semprot si Bos cuma gara-gara masalah sepele?" beritahu Irma dengan ekspresi wajah serius. "Hah, gara-gara apa emang?" tanya Nina terpancing ingin tahu. Irma pun memajukan wajah dengan sedikit merunduk, khas para tukang gosip. Kedua temannya pun ikut-ikutan mendekat sembari merunduk mengikuti Irma. Irma berkedip dengan bola mata bergerak-gerak, siap untuk bergosip. "Dia kena marah habis-habisan cuma gara-gara beresin susu coklat yang ada di meja Pak Bayu." "Hah?" Nina dan Sari kompak memekik terkejut dengan mulut membulat dan mata melebar. Kedua wanita itu seperti tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Irma barusan. "Serius?" tanya Sari tidak percaya. " Bukannya Pak Bayu paling benci ya

  • Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir   Part 17. Gara-gara Sekotak Susu Cokelat

    Badai sudah cukup menahan kesabaran selama semalaman. Maka, begitu melihat Alena di pagi harinya, laki-laki itu sudah tidak bisa mengontrol emosinya.“Alena!” panggil Badai dengan suara setengah membentak.Alena yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan seketika terjengkit kaget.“A-ada apa, M-mas?” tanya Alena mendadak takut.Sepagi ini sudah mendapat bentakan dari laki-laki itu. Wajahnya mendadak berubah pucat.“Kan sudah kubilang, jangan sentuh barang-barang di dalam kamarku. Kamu itu bodoh atau gimana sih?” emosi Badai.Alena bingung, apa kiranya yang membuat Badai marah sepagi ini. Dengan takut-takut, ia pun bertanya.“Maaf, Mas. Memangnya apa yang sudah gak sengaja aku lakuin?” tanya Alena agar lebih jelas.Badai melebarkan mata. Gak sengaja, dia bilang?Laki-laki itu menghela napas kasar. Ia pikir, Alena ini adalah tipe orang yang tidak punya rasa bersalah meski telah melakukan kesalahan.“Ternyata kamu beneran bodoh, ya? Atau memang gak punya rasa bersalah? Di mana bingkai

  • Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir   Part 16. Hidupku penuh dengan kerja keras

    “Tapi … ada satu masalah lagi.” Mahes terdengar ragu mengatakannya.“Apa?” Tatap mata Badai terlihat tajam penuh sorot waspada.“Salah satu klien kita, Pak Prana dari pihak PT Bumi Pertiwi, membatalkan kerjasama.”“Di mana mereka sekarang?” tanya Badai selanjutnya.“Mereka sedang makan siang di restaurant Tiga Saudara,” jawab Mahes memberitahu.Badai segera memutar kursi rodanya. Namun, kembali menghentikannya dan menoleh ke Mahes yang masih berdiri di tempat semula.“Tunggu apa lagi? Ayo kita susul mereka!” sentak Badai seakan menyadarkan Mahes yang masih berdiri terpaku.Laki-laki itu lekas mengambil alih untuk mendorong mursi roda sang bos meninggalkan kantor. Saat akan memasuki lift keduanya diperhatikan oleh sepasang mata milik seorang wanita yang tidak lain adalah sang ibu, Mama Sarah.“Badai?” gumam Mama Sarah seolah tidak percaya jika sang putra kini berada di kantor. Wanita itu mendecak pelan.“Anak itu, sudah dibilang tidak usah khawatir soal urusan kantor, tetap saja,” hera

  • Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir   Part 15. Masalah di Kantor

    Bayu melangkah gontai memasuki kamar rawat Bu Winarsih. Laki-laki itu menatap wajah sang ibu asuh yang masih terbaring dengan mata terpejam. Ia menarik kursi ke sisi ranjang dan duduk di sana. Tangannya menggenggam tangan sang ibu. “Aku bertemu wanita itu, Bu. Dia … terlihat baik-baik saja dan bahagia bersama putranya.” Sebelah tangannya mengepal, sarat akan amarah tertahan dan … kecemburuan. Matanya memerah seolah menunjukkan semua derita yang dia tanggung selama ini. Kepalanya menunduk dalam. Tiba-tiba laki-laki itu merasakan sebuah usapan lembut di kepalanya. “Ngger!” panggil lembut suara wanita. Bayu mengangkat wajah mendengar panggilan lirih itu. Ia melihat Bu Winarsih kini menatapnya lemah. “Ibu sudah bangun? Bayu, panggil dokter dulu.” Laki-laki itu hendak beranjak. Namun, Bu Winarsih menahan tangan putranya dan menggelengkan kepala pelan. Bayu kembali duduk. “Apa ibu ngerasa gak nyaman?” tanya Bayu lagi merasa khawatir. Bu Winarsih kembali menggeleng. Tak lama, terden

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status