Share

Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir
Menjadi Pengantin Pengganti Sang Presdir
Penulis: Rastri Quinn

Bab 1. Menjadi Pengantin Pengganti 

Alena Septira turun dari sebuah taksi daring yang mengantarkannya ke depan drop point lobby rumah sakit mewah di pusat kota. Angin berembus kencang karena ini menjelang tengah hari. Gadis itu sedikit mendongak, mengamati bangunan megah di hadapannya. Sungguh, semegah apapun bangunan rumah sakit, tidak ada seorang pun yang berharap untuk datang ke tempat ini. Tujuan Alena datang kemari adalah untuk mengantarkan titipan sahabatnya, Stevia.

Alena menatap paper bag di tangannya sejenak lalu bergegas menuju meja informasi untuk bertanya. Ia menanyakan letak ruang rawat Badai, yang tidak lain adalah calon suami Stevia, sahabatnya. Setelah mengantongi informasi yang diperlukan, gadis itu bergegas ke tempat tujuan.

Alena berdiri di depan pintu. Sepasang matanya menatap nama yang tertempel di samping pintu. Tn. Badai Aji Pamungkas. Artinya ia sudah berada di tempat yang benar. Baru saja ia akan mengetuk pintu, seseorang sudah lebih dulu membukanya dari arah dalam. Seorang wanita paruh baya yang Alena taksir berusia setengah abad, tetapi masih terlihat begitu cantik nan elegan, keluar dari sana.

“Kamu siapa?” tanya wanita itu.

Alena pun terkesiap. “Ah, s-saya Alena, temannya Stevia,” jawab gadis itu.

Wanita di hadapannya berubah semringah. “Oh, temannya Stevia,” ujar wanita itu pertanda paham. Lalu terlihat celingukan seperti tengah mencari seseorang.

Alena pun turut celingukan.

“Kamu datang sendiri?” tanya wanita itu akhirnya setelah tidak mendapati apa yang dicari.

Sepertinya Alena sedikit bisa menebak jika wanita itu barusan mencari keberadaan Stevia. Ia mengangguk pelan. “Iya. Stevia bilang masih ada urusan.”

Terlihat raut kekecewaan di wajah wanita itu. “Jadi dia menitipkan ini.” Alena mengangkat paper bag yang dibawanya. “Kebetulan saya ada di dekat sini.”

Kening wanita itu berkerut samar. “Apa ini?” tanyanya terlihat penasaran.

“Saya kurang tau juga. Tapi katanya ini milik Badai,” jawab Alena jujur. Tadi Stevia hanya bilang titip agar ia mengantarkan benda di dalam paper bag itu pada Badai.

“Oh iya, Badai!” seru wanita itu seakan baru teringat sesuatu. “Kamu mau jenguk Badai?” tanyanya kemudian.

Alena pun mengangguk mengiyakan. Wanita itu pun bergeser dari pintu, mempersilakan Alena masuk. Perlahan gadis itu masuk dan melihat seorang laki-laki yang tengah duduk setengah baring di ranjang rawat.

“Siapa, Ma?” tanya Badai terlihat acuh tak acuh.

“Alena, temannya Stevia,” ujar sang ibu memperkenalkan.

Alena mengangguk kecil bertata krama sembari tersenyum samar memberi salam. Badai hanya melirik dingin pada gadis itu. Ia memang tidak terlalu mengenal Alena.

“Bagaimana perasaannya?” tanya Alena tidak tahu harus berbicara apa. Hanya itulah yang terpikirkan olehnya.

Lagi. Badai meliriknya dingin. “Seperti yang kamu lihat. Aku masih terbaring di ranjang sialan ini. Memangnya apa yang kamu ingin dengar dari orang yang divonis cacat?” ucap Badai sinis.

Alena tersentak kaget. Apakah pertanyaannya barusan menyinggung laki-laki itu. Ia tidak bermaksud. Ia jadi salah tingkah, tidak tahu harus bersikap seperti apa.

“Badai!” tegur sang ibu. “Gadis ini cuma mau jenguk kamu karena ada titipan dari Stevia,” jelas sang ibu.

“Ah, iya. Ini!” seru Alena teringat tujuannya datang kemari. Ia pun menyodorkan paper bag yang sejak tadi digenggamnya pada laki-laki itu.

Badai menerimanya dengan malas. Astaga, Alena seolah berada di dekat bongkahan es saat berdekatan dengan laki-laki itu. Ah, benar juga, namanya juga Badai.

“Apa ini? Dan kenapa Stevia gak antar sendiri aja ke sini?” tanya Badai beruntun seperti menggerutu.

Alena ragu hendak menjawabnya atau tidak. Namun, akhirnya gadis itu memilih untuk menjawabnya. “Stevia sepertinya sedikit sibuk. Kebetulan aku ada urusan di dekat sini, jadi sekalian saja,” jelas Alena.

Badai tidak menjawab dan kini justru terlihat sibuk dengan isi paper bag di tangannya.

Alena pun merasa urusannya di sini sudah selesai dan ingin segera berpamitan. “Kalau begitu, Tante, karena keperluan saya di sini sudah selesai, saya izin pamit,” pamit Alena pada ibu Badai.

Wanita paruh baya itupun mengangguk sembari tersenyum. “Iya, hati-hati ya. Terima kasih ya sudah jenguk kemari,” ujar wanita itu tulus.

Alena pun turut mengangguk dan tersenyum. Lalu hendak meraih gagang pintu. Namun, gerakannya terhenti seketika oleh benda melayang yang nyaris mengenai wajahnya diiringi umpatan penuh kemarahan seorang laki-laki.

“Brengsek!” teriak Badai, entah karena sebab apa.

Jantung Alena mendadak berdetak dua kali lebih cepat. Pun dengan ibu Badai yang juga terlihat terkejut. Kedua perempuan berbeda generasi itu pun spontan menoleh ke arah ranjang hampir bersamaan.

“Badai, ada apa?” tanya sang ibu panik dan seketika menghampiri putranya.

Wajah Badai terlihat memerah, kentara sekali menahan amarah. Ibu laki-laki itu terlihat bingung sekaligus panik melihat ekspresi putranya. Wanita itu melirik benda yang dilemparkan oleh Badai barusan.

Sebuah kotak perhiasan teronggok tak jauh dari pintu kamar rawat dalam kondisi tidak berbentuk lagi.

Itu, kan… kotak perhiasan yang diberikan pada Stevia. Kenapa bisa ada di sini? Batin wanita itu. Ia menatap nanar ke arah bawah sana, di mana benda itu teronggok tak berdaya.

Apa maksud Stevia dengan mengembalikan semua ini sama Badai? Tatapan matanya terlihat setengah kosong. Bingung yang kini dirasakannya. Ia menoleh ke sisi putranya. Ada secarik kertas di pangkuan laki-laki itu. Sepertinya sebuah surat. Perlahan wanita itu meraih kertas itu dan membaca tulisannya.

Dear Badai.

Saat kamu membaca surat ini, artinya aku sudah pergi dari tempat ini. Aku baru sadar, kalau aku gak bisa menikah sama kamu. Ada orang lain yang aku cintai, dan itu bukan kamu.

Aku kembalikan perhiasan yang kamu kasih. Untuk persiapan pernikahan, aku cuma bisa bilang maaf. Tapi aku bener-bener gak bisa menikah sama kamu.

Aku ingin masa depan yang cerah. Aku gak mau menghabiskan sisa umurku dengan merawat orang cacat. Maaf, tapi aku hanya realistis. Aku bukan malaikat.

Aku harap kamu bisa mengerti dan menghargai keputusanku.

Stevia.

Ibu Badai melotot membaca kalimat yang Stevia tulis di dalam surat itu. Ada kemarahan tertahan tergambar di wajah wanita paruh baya itu. Itu terlihat dari tangannya yang mengepal mencengkeram sisi surat.

Badai. Wanita itu seketika menoleh ke arah putranya. Dapat ia lihat jika rahang Badai terlihat mengeras.

“Ini penghinaan, Badai. Stevia menghina keluarga kita. Menghina kamu!” ujar sang ibu penuh emosi tertahan.

Badai hanya diam tak berkomentar. Isi kepalanya seakan membara diliputi amarah. Bisa-bisanya wanita yang ia cintai berkata seperti itu. Bisa-bisanya, Stevia meninggalkannya dalam kondisi seperti ini.

Badai melirik kedua kakinya yang tertutup selimut. Ia berusaha menggerakkan keduanya, tetapi entah pandangannya yang salah atau kedua kakinya memang tidak bisa digerakkan. Bahkan ia tidak dapat merasakan jari-jarinya sendiri.

“Brengsek! Sialan, penghianat!” teriak Badai sembari memukul-mukul kedua kakinya. Laki-laki itu terlihat histeris.

“Badai, tenang Sayang. Hentikan, Nak!” pinta sang ibu terdengar nelangsa melihat apa yang dilakukan putranya. Wanita itu berusaha menghentikan dengan menangkap tangan sang anak.

“Hentikan…” lirih sang ibu lalu memeluk putranya itu.

Alena hanya bisa melihat pemandangan memilukan itu. Meski ia tidak tahu isi surat yang katanya ditulis oleh Stevia. Namun, ia sepertinya tahu jika surat itu bertuliskan kalimat yang menyakiti hati laki-laki yang ada di hadapannya, yang saat ini tengah ditenangkan oleh sang ibu.

Ya, Alena memang masih berada di dalam kamar ini menyaksikan semuanya. Ia seolah terpaku di tempat sejak beberapa saat yang lalu.

“Kenapa kamu masih ada di sini?” suara dingin Badai mengagetkannya. Laki-laki itu tersadar seketika jika Alena masih berada di kamar rawatnya. Gadis itu tersentak.

“I-itu…” Alena tidak tahu harus menjawab apa. Sejak Badai mengagetkannya dengan melempar benda yang hampir mengenai wajahnya, mana mungkin ia tiba-tiba pergi kan?

“Keluar!” usirnya.

Alena kembali tersentak. Suara teriakan laki-laki itu berhasil memacu kerja jantungnya sehingga ia gemetaran.

“Aku bilang, keluar!” teriak Badai sekali lagi.

“I-iya,” jawab Alena tergagap. Dengan tangan gemetar gadis itu membuka pintu dan segera pergi dari kamar itu. Ia berjalan dengan pelan karena kakinya seakan lemas karena gemetar.

Namun, baru beberapa meter ia melangkah, seseorang menghentikannya.

“Tunggu!” suara seorang wanita memanggilnya.

Alena menghentikan langkah dan menoleh. Ibu Badai berjalan menghampirinya.

“Siapa nama kamu tadi?” tanya wanita itu.

“Alena, Tante,” jawab gadis itu.

“Tante langsung saja. Apa kamu mau menikah dengan Badai?” tanya wanita itu langsung tanpa basa-basi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status